MOH LIMO
OJO drengki srei, dahwen, kemeren, tukar padu, bedhog colong, begal kace aja dilakoni, apa maneh kutil jupuk, nemu wae emoh.
(Jangan dengki, berbuat jahat, iri hati, bertengkar, merampok, mencuri, dan menjambret, mengambil barang yang bukan miliknya), dalam ajaran Wali Songo (Sunan Ampel) dikenal moh limo.
Moh Limo (Jawa : Ma lima) adalah filosofi prinsip kehidupan yang diajarkan oleh salah satu anggota terkemuka Walisongo, Sunan Ampel. Secara harfiah, Moh limo berarti tidak mau melakukan lima hal. Lima hal tersebut adalah yang berkaitan dengan perilaku maksiat yang berkembang di masyarakat pada masa Sunan Ampel. Prinsip ini memang sengaja dibuat untuk memperbaiki etika masyarakat masa itu yang sangat rusak. Banyak orang yang menganggap bahwa filosofi ini masih relevan hingga saat ini.
Isi dari moh limo adalah lima prinsip untuk tidak melakukan lima hal yang buruk.
Lima hal itu antara lain :
1. Moh Madhat.
Moh Madhat secara literal berarti tidak ingin mabuk. Maksud dari tidak ingin mabuk dalam konteks itu adalah tidak menggunakan barang yang menyebabkan seseorang menjadi mabuk seperti candu.
2. Moh Madon.
Moh Madon berarti tidak memainkan wanita, dalam artian untuk tidak melakukan zina atau percumbuan terhadap lawan jenis yang bukan mahram-nya.
3. Moh Main.
Moh Main berarti tidak bermain. Bermain yang dimaksud adalah bermain judi yang terjadi masa tersebut seperti bermain kartu yang mempertaruhkan uang.
4. Moh Minum.
Moh Minum berarti tidak meminum. Meminum di sini diartikan sebagai meminum minuman yang memabukkan seperti arak dan khamr. Berbeda dengan Moh Madhat, Moh Minum lebih ditujukan kepada suatu bentuk minuman tertentu.
5. Moh Maling.
Moh Maling berarti tidak mencuri, yaitu mengambil barang orang lain yang bukan menjadi haknya.
Filosofi Piyantun Jawa memaknakan serta dilakoni adat kebiasaan (piyantun Djawi tuwuh dan bijaksana) dengan hikmat nilai-nilai mendasar kehidupan dalam menjunjung tinggi adiluhung pada nilai kejujuran dan kebenaran dalam konsep Pandom Urip (Petunjuk Hidup).
Petunjuk hidup itu mencakup :
1. Angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk).
2. Angger-angger pengucap (hukum berbicara).
3. Angger-angger lakonana (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan).
Yang penting dalam hidup adalah tabiat orang.
Sekalipun ia seorang ulama, priayi, pejabat, beragama, tetapi bertabiat tidak baik, berarti buruk pekertinya.
Dalam hal itu, manusia hidup yang penting bukan tampak lahir dan kata-kata muluk, melainkan isi hati dan perbuatan nyata.
Prinsip mereka nandur pari thukul pari, ngunduh pari.
Becik ketitik ala ketara, artinya menanam padi tumbuh padi, dan menuai padi.
Perbuatan baik akan tampak, buruk pun akan kentara / terpapar. Jujur terhadap hidup, berperilaku dan bertindak sesuai ucapan, serta tidak menyakiti dan merugikan orang lain merupakan sikap konkret hidup mereka.
Prinsip hidup seneng, becik, rukun, seger, dan sehat. Dan, pantangan kami dengki, srei (serakah), panasten (panas hati), dahwen (ingin tahu urusan orang lain), dan kemeren (iri hati).
Kalau untuk urusan kerukunan bisa memahami.
Takaran atau ukuran kesejahteraan itu bersumber pada rasa, bukan persepsi.
Jika sudah merasa sandang, pangan, bahkan papan tercukupi, tidak akan mencari yang lebih (nrimo wohing pandum).
ING SAJRONING URIP SIRA AJA PADA NINDHAKAKE WATAK DRENGKI, SREI, JAHIL, METHAKIL
Pada hakekatnya hidup memang sulit dan penuh misteri setiap insan kamil pasti mengalami ujian dan tantangan hidup serta kehidupan.
Mungkin kita memilih untuk tidak dilahirkan, andai saja belum terlanjur dilahirkan di dunia ini. Bayi yang dilahirkan tentu akan menangis ketika ia mulai menghirup udara di luar rahim ibunya.
Hal itu menandakan ketidak nyamanan si bayi di banding ketika ia masih di dalam rahim ibunya.
Untuk menyiasati hidup agar tidak lebih sulit, berikut saya kutip falsafah orang jawa dalam kehidupan ini.
ING SAJRONING URIP SIRA AJA PADA NINDHAKAKE WATAK :
- DRENGKI
- SREI
- JAHIL
- METHAKIL
Ing sajjroning urip sira aja padha nindakake watak drengki, srei, jahil, lan methakil.
Maksud yang terkandung :
Dalam menapaki kehidupan ini hendaknya kalian jangan melakukan watak drengki, srei, jahil, lan methakil.
1. Yang dimaksud watak drengki adalah sikap tidak semena-mena terhadap orang lain, terutama dalam bentuk sikap dan tutur kata yang mudah menyakiti perasaan orang lain.
2. Srei adalah watak yang menunjukkan rasa iri atau sirik terhadap orang lain.
Watak ini dapat terwujud dalam sikap dan tutur kata yang menunjukkan ketidak senangan terhadap orang lain yang sedang mendapat kebahagiaan atau keberuntungan.
3. Jahil adalah watak atau sifat seseorang yang suka mengganggu ketenangan orang lain entah itu dalam hal perbuatan maupun tutur kata.
4. Methakil ialah watak yang menunjukkan perilaku seseorang yang setiap tingkah geraknya selalu menimbulkan ketidak senangan bahkan menimbulkan kerugian baik moril maupun materiil bagi orang lain.
WATAK KANG ALA
Pada (bait) ke-49, Pupuh ke-4 Pangkur, Serat Wulangreh karya Susuhunan Paku Buwana IV :
Masa mengko mapan arang,
kang katemu ing basa kang basuki.
Ingkang lumrah wong puniku,
drengki srei lan dora.
Iren meren dahwen pinasten kumingsun.
Opene nora prasaja,
jail methakil bakiwit.
Maknanya :
Di jaman sekarang memang jarang, ditemukan orang yang menjaga bahasa agar (dirinya) selamat.
Yang lazim kita temui orang di jaman ini, banyak yang berwatak dengki, usil dan bohong.
Suka iri dan gampang iri, suka nyinyir, temperamen, dan sombong.
Suka bergosip tidak apa adanya,
jahil, banyak tingkah dan pecundang.
Kajian :
Masa (jaman) mengko (sekarang) mapan (memang) arang (jarang), kang (yang) katemu (bertemu) ing (dalam hal) basa (bahasa) kang (yang) basuki (selamat).
Di jaman sekarang memang jarang ditemukan orang yang menjaga bahasa agar (dirinya) selamat.
Ini peringatan untuk generasi muda bahwa menemukan orang yang menjaga perkataannya itu sulit, padahal menjaga ucapan adalah demi keselamatan dirinya sendiri. ada pepatah melayu yang berbunyi, mulutmu harimaumu, apa yang kau katakan bisa menerkamu kelak. Inilah bahaya dari perkataan yang sembarangan.
Nasihat ini walau kedaluwarsa nampaknya masih layak kita pakai.
Lebih-lebih di era demokrasi ini, jaman ketika orang bebas mengatakan apa saja.
Perlu sebuah kedewasaan nalar dan terasahnya akal budi agar dapat selamat di jaman serba bebas ini.
Salah-salah, jika kurang perhitungan dan pertimbangan dapat mendapat celaka.
Ingkang (yang) lumrah (lazim) wong (orang) puniku (sekarang itu), drengki (berwatak dengki) srei (usil) lan (dan) dora (pembohong).
Yang lazim kita temui orang di jaman ini banyak yang berwatak dengki, usil dan bohong.
Drengki adalah watak : suka bila orang lain susah, susah bila orang lain suka.
Srei adalah watak yang suka usil dengan kebaikan orang lain, serba tak suka melihat orang lain bahagia dan berusaha mengganggu. Dora adalah watak suka berbohong.
Iren (iri) meren (gampang iri) dahwen (suka mencampuri, nyinyir) pinasten (temperamental) kumingsun (sombong).
Suka iri dan gampang iri, suka nyinyir, temperamen, dan sombong.
Iren (iri) adalah sifat ingin seperti orang lain, gampang terpesona dengan kebaikan orang lain dan ingin seperti itu. Meren adalah gampang iri.
Dahwen adalah suka mencampuri (biasanya dengan kata-kata atau nyinir).
Pinasten adalah watak gampang marah, temperamental. Kumingsun adalah watak sombong, serba mengedepankan ke-aku-an.
Opene (suka merawat gosip) nora (tak) prasaja (apa adanya), jail (jahil) methakil (banyak tingkah) bakiwit (pecundang).
Suka bergosip tidak apa adanya, jahil, banyak tingkah dan pecundang.
Sifat open sudah kita bahas dalam bait terdahulu, yakni sifat orang yang suka merawat berita yang seharusnya dibuang, yang biasanya tentang aib seseorang. Kalau jaman sekarang adalah perilaku menggosip. Biasanya dalam bergosip suka ditambah-tambahi informasi lain yang tidak benar, atau baru isu saja. Ini namanya tidak prasaja, tidak apa adanya.
Jail (jahil) adalah sifat suka mengganggu orang lain. Methakil adalah banyak tingkah. Biasanya yang sering menjadi personifikasi sifat methakil ini dalah Buta Cakil, raksasa dalam pewayangan yang kalau bertemu ksatria bergaya sok jago, petentang-petenteng, berlagak, tetapi sesungguhnya kemampuannya tak seberapa.
Menurut kamus T. Roorda adalah onderdoen, verliezen. Kata yang mendekati dalam bahasa Indonesia adalah pecundang, orang yang berbakat selalu kalah karena kurang gigih, semangat dalam berkompetisi.
Itulah daftar dari sifat buruk yang perlu kita ketahui. Sekali lagi agar diingat bahwa mengetahui agar memudahkan dalam menghindarinya, bukan malah menirunya.