KI AGENG BRONDONG
PANGERAN LANANG DANGIRAN
SUNAN BOTO PUTIH
A. Pangeran Lanang Dangiran Kiyahi Ageng Brondong. Kang
Sumare Ing Pesarehan Sentono Boto Putih Surabaya
Bersumber dari
Rodovid tentang Silsilah keluarga yang berkaitan dengan Trah Botoputih, dengan
pancer leluhur Ki Ageng Brondong, untuk itu disini kami sajikan sedikit cerita
Ki Ageng Brondong, nama gelar lainnya adalah Pangeran Lanang Dangiran di Ampel
Surabaya. Konon dituturkan bahwasanya Pangeran Kedawung atau disebut juga Sunan
Tawangalun adalah nama gelar saat menjadi Raja di Blambangan ( sekarang wilayah
Banyuwangi-Jawa Timur), berputra sebanyak 5 (lima) anak diantaranya Pangeran
Lanang Dangiran atau dikenal dengan nama Kyai Brondong. Dalam usia 18 tahun
beliau melakukan bertapa, dengan menghanyutkan diri diatas sebuah papan kayu
dan sebuah bronjong (alat penangkap ikan terbuat dari anyaman bambu ) di
sungai. Dalam bertapanya tersebut dihanyutkan sampai dipantai utara Jawa.
Gelombang dan arus air laut mengehempaskannya, dan akhirnya terdampar ditepi pantai
dekat Sedayu Lamongan dalam keadaan tidak sadar. Keadaan seluruh badannya
dilekati oleh berbagai binatang laut seperti kerang, remis dlsb. Sehingga
terlihat kulit tubuhnya seperti diselimuti butiran jagung bakar (bhs jawa =
brondong ). Pangeran Lanang Dangiran saat terdampar tersebut ditemukan oleh
Kyai Kendil Wesi, dan dirawatnya dan dibawa pulang, sampai sehat seperti sedia
kala. Selang beberapa waktu lamanya, Kyai Kendil Wesi mengetahui asal-usul
Pangeran Lanang Dangiran, yang tidak lain masih satu keturunan dengan Kyai
Kendil Wesi, yaitu keturnan dari raja-raja Blambangan, yang mana Kyai Kendil
Wesi dari Trah Menak Soemende. Didalam asuhan Kyai kendil Wesi terhadap
Pangeran Lanang Dangiran dianggap sebagai anak sendiri, dan ketika dewasa beliau
memeluk/masuk agama Islam, dan sampai menjadi guru agama. Berselang dewasa
Pangeran Lanang Dangiran menikah dengan puteri dari Ki Bimo Tjili, berasal dari
Panembahan di Cirebon. Dan kemudian dikenal Kyai Brondong. Kyai Kendil Wesi
mengetahui bahwa kelak kemudian hari puteranya akan hidupnya mulia, serta
menjadi pemuka agama, maka disarankan agar Pangeran Lanang Dangiran untuk
meluaskan ajaran Agama Islam, ke wilayah Ampel Dento di Surabaya. Akhirnya pada
tahun 1595, Kyai Brondong dengan keluarga menetap di Surabaya, tepatnya
diseberang Timur Sungai/kali Pegirikan, dekat Ampel disebut padukuhan
Botoputih. Disinilah di awal penyembar Agama Islam tepatnya di Ampel Surabaya.
Pada waktu itu Kadipaten Surabaya masih merdeka, tidak dibawah kekuasaan
Mataram, dan saat itu yang memegang kekuasaan adalah Pangeran Pekik.
Dalam perjalanan sejaran Surabaya pada tahun 1625, akhirnya dikuasai / dalakekuasaan Mataram. Pangeran Pekik masih ditetapkan sebagai Adipati di Surabaya dibawah kekuasaan pemerintahan Amangkurat I. Kyai Brondong / Ki Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran wafat pada tahun 1638 dalam usia 70 tahun, dimakamkan di makam Sentono Botoputih Kasepuan Surabaya. Meninggalkan putera sebanyak 7(tujuh)orang, diantaranya putera laki-lakinya adalah : Onggodjoyo dan Honggowongso.
B. Onggodjoyo & Honggowongso.
Setelah Pangeran
Pekik wafat karena dibunuh oleh Amangkurat I, Onggowongso ditetapkan menjadi
Tumenggung di Surabaya, sedangkan Onggodjoyo sebagai Tumenggung di Pasuruan
sebagai penghargaan jasa-jasanya dalam Peperangan Pemberontakan Trunodjoyo. Beliau adalah Nenek moyang (cikal
bakal) pakem Sejarah seperti halnya: trah Boto Putih, trah Kasepuhan Surabaya,
trah Kanoman Surabaya, trah Kasepuhan Sidoarjo, trah Sambongan,trah
Nitidingrat Pasuruan, trah Notodiningrat Bangil Pasuruan, trah Bustaman Semarang,
trah Puspunegoro Gresik, Han Dinasti, trah Tjitrosoma Tuban, trah Batoro
Katong Ponorogo, trah Suryowinoto Gresik. Untuk melestarikan warisan leluhur
beberapa pencinta Genealogy Family Tree sebagai pendahulu telah meninggalkan
hasil karyanya, beliau sebagai pengamat, peneliti, serta penyusun Silsilah /
Asal Silah adalah Raden Adipati Arya Nitidiningrat Bupati Suroboyo, Raden
Ngabei Tjokro Hadiwikromo (Onder Colleteur Kendal), Raden Panji Makmoer (Ketua
Paguyuban Sentono Botoputih Surabaya), Raden Tumenggung Arya Noto Adikusumo
(Zainal Fattah = Bupati Pamekasan), Raden Bagus Yasin / Raden Ngabei
Kromodjoyoadirono (Asisten Wedana Ngebel Ponorogo) dan masih banyak lagi.
Catatan : Jenjang susunan pada Silsilah Keluarga atau Genealogy Diagram dibuat / dimulai dari atas yaitu yang tertua kebawah s/d. keturunan termuda, ini menganut pakem budaya Jawa Kasunanan Surakarta Hadiningrat khususnya dan pada umumnya, atau dikenal dengan nama Trah = Keturunan. Penulisan silsilah dibuat rentang jenjang setiap /sampai ke 10(sepuluh) level / graad). Dibuat berdasarkan petujuk membuat silsilah dalam buku Serat Piagem Sentana (gebookteakte) ngrewat sala-silahing ing Kasunanan Surakarta Adiningrat (Paku Buwana), yaitu dimulai dari :
1.
Pancer
…………… = Trah adalah nama nenek moyang/leluhur yang dijadikan pedoman cikal
bakal.
2.
Urutan
1 = Anak / putera
3.
Urutan
2 = Cucu.
4.
Urutan
3 = Buyut .
5.
Urutan
4 = Canggah
6.
Urutan
5 = Wareng
7.
Urutan
6 = Udeg-udeg
8.
Urutan
7 = Gantung Siwur
9.
Urutan
8 = Gropak senthe
10. Urutan 9 = Debog
bosok
11. Urutan 10 = Galih Asem.
Urutan penulisan dimulai dari Pancer, misal yang dianut pancer laki-laki (patrinial), yang kemudian sampai rentang keturunan kesepuluh (Galih Asem), dan yang kemudian akan menjadi “Pancer” Trah/Keturunan berikutnya. Sedangkan dalam hardcopy penyusun gunakan dalam bentuk simbul-simbul yang nampak pada pembagian kelompok level (dapat dilihat samping kiri & di kiri bawah lembar silsilah). Dapatlah kami sampaikan bahwa silsilah ini (Family Tree) pancer Laki-laki terbentuk dan akan berakhir jika keturunan berstatus perempuan. Artinya dari keturunan seorang Ibu yang semula dari marga A, anak keturunannya akan ikut pada suaminya misal marga B. Hal ini tidak mengubah makna apapun, ini hanyalah ilustrasi susunan keluarga walaupun menganut garis perempuan (matrinial) kesemuanya dibuat menganut petunjuk cara menulis silsilah yang benar.
C. Riwayat Hidup Kiyahi Ageng Brondong Botoputih
Suroboyo.
Konon dituturkan Pangeran Kedawung, disebut juga Sunan Tawangalun adalah raja di Blambangan atau dikatakan juga Bilumbangan. Beliau mempunyai 5 orang anak dan diantaranya ialah pangeran Lanang Dangiran. Diceritakan bahwa Lanang Dangiran pada usia 18 tahun bertapa dilauy dan menghanyutkan dirinya diatas sebuah papan kayu sebuah beronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan atau minum, arus air laut dan gelombang membawa Lanang Dangiran hingga dilaut jawa dan akhirnya suatu taufan dan gelombang besar melemparkan Lanang Dangiran dengan beronjongnya dalam keadaan tidak sadar, disebabkan karena berbulan-bulan tidak makan dan minum, dipantai dekat Sedayu. Seluruh badannya telah dilekati oleh karang, keong serta karang-karang (remis) sehingga badan manusia itu seolah-olah ditempeli dengan bakaran jagung yang disebut dengan bahasa jawa Brondong Badan Pangeran Lanang Dangiran diketemukan oleh seorang kiyahi yang bernama Kiyahi Kendil Wesi. Pangeran Lanang Dangiran dirawat oleh Kiyahi Kendil Wesi serta istrinya dengan penuh kasih sehingga sadar kembali dan akhirnya menjadi sehat seperti sediakala. Pangeran Lanang Dangiran menceritakan asal-usulnya kepada Kiyahi Kendil Wesi. Setelah Kiyahi Kendil Wesi mendapat keterangan tentang asal usulnya Pangeran Lanang Dangiran, maka diceritakan oleh Kiyahi tadi bahwa ia juga asal keturunan dan raja-raja di Blambangan yang bernama Menak Soemandi dimana beliau masih satu keturunan dengan Lanang Dangiran. Lanang Dangiran tinggal dan kumpul dengan Kiyahi Kendil Wesi, dan dianggap sebagai anaknya kiyahi sendiri. Pangeran Lanang Dangiran memeluk agama Islam, karena rajin dan keteguhan imannya serta keluhuran budinya serta kesucian hatinya, maka tidak lama pula ia dapat tampil kemuka sebagai guru Agama Islam, Pangeran Lanang Dangiran berisitrikan putrid dan Ki Bimotjili dan Panembahan di Cirebon yang asal usulnya dituliskan sebagai berikut : Pangeran Kebumen Bupati Semarang, berisitrikan putrid dan Sultan Bojong, bernama Prabu Widjaja (Djoko Tingkir). Ki Bomotjili adalah salah satu seorang putra dan Pangeran Kebumen tersebut diatas, seorang putri dan Ki Bimotjilimi bersuamikan Pangeran Lanang Dangiran alias Kiyahi Brondong (dimakamkan di Boto Putih). Nama Brondong diperoleh karena ia diketemukan oleh Kiyahi Kendil Wesi badannya dilekati dengan Brondong. Kiyahi Kendil Wesi yang waspada dan mengetahui nasib seseorang, mengatakan kepada Lanang Dangiran yang sudah mendapat sebutan Kiyahi Brondong dan masyarakat sekitar tempat Kiyahi Kendil Wesi, supaya pergi ke Ampel Dento Suroboyo, dan meluaskan ajaran Agama Islam, karena di Surabaya Kiyahi Brondong kelak akan mendapat kebahagiaan serta turun temurunnya kelak akan timbul dan tambah menjadi orang-orang yang mulya. Kemudian Kiyahi Brondong dengan istrinya dan beberapa anaknya yang masih kecil pergi ke Surabaya dan pada Tahun 1595 menetap diseberang timur kali Pegiri’an, dekat Ampel ialah Dukuh Boto Putih (Batu Putih) ditempat baru inilah Kiyahi Brondong mendapatkan martabat yang tinggi dan masyarakat, karena keluhuran budinya Kiyahi Brondong (pangeran Lanang Dangiran) wafat pada tahun 1638 dalam usia + 70 tahun dan meninggalkan 7 orang anak, diantaranya 2 orang laki-laki yaitu : Honggodjoyo dan Honggowongso. Bupati Sidoarjo yang pertama adalah keturunan dan Honggodjoyo, Kiyahi Ageng Brondong (Pangeran Lanang Dangiran) dikebumikan ditempat kediamannya sendiri di Botoputih Surabaya makamnya dimulyakan oleh putra-putranya dan selanjutnya dihormati oleh turun-turunnya hingga kini. Semoga arwah beliau diterima Allah Swt, dan Allah Swt juga memberikan kepada seluruh keturunannya Kiyahi Ageng Brondong kemulyaan, kesehatan dan kesejahteraan sebagaimana beliau senantiasa mendoakan cucu cicitnya selama hidupnya. Ada hal penting yang anda ketahui bahwa bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sidoarjo, pejabat Pemerintah Kabupaten Sidoarjo beserta rombongan merupakan agenda rutin berkunjung ke : Pesarean Asri ing Pendem untuk nyekar ke makam Bupati pertama Sidoarjo Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro I wafat tahun 1863 Ke Pesarehan keluarga Tjondronegoro (belakang masjid Djamik / Agung Sidoarjo) nyekar Raden Adipati Aryo Panji Tjondronegoro I wafat tahun 1906 Langsung menuju Pesarehan Boto Putih Surabaya ke makam Raden Tumenggung Adipati Aryo Tjondronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono).
1.
Kelahiran
anak : ♀ 4. Nyai Setro / Astro [Ki Ageng Brondong]
2.
Kelahiran
anak : ♂ 1. Kyai Tumenggung Onggodjoyo I / Kyai Lanang Glangsing (Honggodjoyo /
Gentono) [Ki Ageng Brondong] d. 1690
3.
Kelahiran
anak : ♀ 3. Nyai Danoe Singopoero [Ki Ageng Brondong]
4.
Kelahiran
anak : ♂ Kyai Tumenggung Djangrono I / Kyai Onggowongso (Honggowongso) [Ki Ageng
Brondong] d. Desember 1678
5.
Kelahiran
anak : ♀ 7. Nyai Wongsoito / Nyai Wongsosuto [Ki Ageng Brondong]
6. Kelahiran anak : ♀ 6. Nyai Udju / Nyai Lundu [Ki Ageng Brondong]
7.
Kelahiran
anak : Surabaya, Menurunkan Trah Demang Sutoyudo Peneleh - Suroboyo, ♀ 5. Nyai
Lurah nDalem Wiroguno [Ki Ageng Brondong]
8.
Gelar,
Pangeran Lanang Dangiran / Kyai Ageng Brondong sebagai PANCER = yaitu
Leluhur/nenek moyang Trah Kasepuhan & Kanoman Surabaya / sebagai cikal
bakal / pakem Sejarah Kasepuan – Kanoman Surabaya, atau Level 1 = Putera ke 2
Pangeran Kedawung.
9. perkawinan : ♀ Nyai Ageng Brondong (Ki Bimotjili)
D. Keturunan Ki Ageng Brondong
Ki Ageng Brondong memiliki keturunan Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro I, Bupati Sidoarjo yang pertama, diambil dari silsilah pangeran Lanang Dangiran Kyai Ageng Brondong kang sumare ing pesarehan sentono Botoputih Surabaya. Di buku sejarah sekolah atau sejarah penyebaran Islam di Indonesia, hampir tidak pernah menyinggung sosok Kiai Brondong dan keturunannya. Sampai-sampai tidak satu pun referensi wisata ziarah yang mampir ke Boto Putih. Sesungguhnya kompleks makam Sentono Boto Putih begitu unik. Banyak yang meyakini, Kiai Brondong dan keturunannya yang sebenarnya menyebarkan Islam paling intensif setelah dikenalkan Sunan Ampel dan para wali. Ornamen setiap makam begitu eksotis. Kental sekali dengan suasana pesisiran, perkawinan kultur Arab, Jawa, dan Belanda. Kelambu putih, grafir batu nisan kaligrafi Arab di semua dinding, ukir-ukiran bercat emas, hingga konstruksi makam bergaya indisch kolonial yang kukuh. Cobalah mampir, karena tempat ini jauh dari kesan angker. Ada sejumlah gapura berlanggam abad 15 yang dikenal dengan istilah kori agung. Sementara di dalamnya, setiap makam bersolek, semua berlomba tampil mewah. Setiap makam memiliki cungkup dan berhias menurut selera ahli warisnya karena semua yang dimakamkan adalah raja. Ini adalah kuburan raja-raja Jawa Timur yang dikenal dengan trah Boto Putih, kata Yanto sang juru kunci. Namun katanya, sumbu spiritual dari semua makam ini adalah Kiai Brondong meskipun ornamen makamnya tidak lebih mewah dari makam raja lainnya. Ornamen di kompleks ini berbeda dengan langgam arsitektur di pekuburan raja-raja Jawa di Imogiri yang kental dengan aroma mistik. Kentalnya suasana Islam pesisiran di kompleks ini karena semua orang yang dikuburkan di Boto Putih adalah raja kecil yang begitu berpengaruh dalam melakukan penyebaran Islam setelah Sunan Ampel. Di satu makam berkelambu perak dan dan berukir kaligrafi Arab di bagian utara kompleks makam tertulis Bupati Sidoarjo 1863. Ini adalah makam RTAA Tjokronegoro II, orang mengenalnya Kanjeng Djimat Djokomono. Dalam referensi buku-buku tentang sejarah Sidoarjo, Tjokronegoro II dinilai sebagai bupati paling agamis. Dialah yang merombak Masjid Jamik di depan alun-alun dari sebuah musala yang sederhana menjadi tempat untuk syiar Islam. Melihat banyak pendatang Madura yang telantar, dia menggagas dibangunnya Kampung Magersari sebelah barat pendopo. Di buku Silsilah Pangeran Lanang Dangiran (Ki Ageng Brondong), Bab Asal Usul Keluarga Kasepuhan Kanoman Surabaya 1966 disebutkan, jika Brondong berperan besar dalam penyebaran Islam. Dia penganut sufi Jawa yang diakui para pengikutnya. Sayangnya, tidak ada kitab lengkap yang bisa diselamatkan. Ajaran sufi Kiai Brondong lama-lama menguap hingga akhir zaman kolonial, ajaran itu tidak dikenal lagi. Di buku itu ditulis ulang pemikiran Kiai Brondong dalam sebuah ajaran sufi Jawa Ing wekasan muwuhi kang runtik, dipun sareh pun cetha pratela. Artinya, jika perkataan seseorang keras dan menyakitkan, hendaklah ditanggapi dengan tenang dan dengarkanlah dengan sabar tanpa amarah
E. Riwayat Hidup Kiyahi Ageng Brondong Botoputih Suroboyo.
Riwayat Hidup Kiyahi Ageng Brondong Botoputih Suroboyo.
1. Riwayat versi 1
Konon dituturkan
Pangeran Kedawung, disebut juga Sunan Tawangalun adalah raja di Blambangan atau
dikatakan juga Bilumbangan. Beliau mempunyai 5 orang anak dan diantaranya ialah
pangeran Lanang Dangiran. Diceritakan bahwa Lanang Dangiran pada usia 18 tahun
bertapa dilaut dan menghanyutkan dirinya diatas sebuah papan kayu sebuah
beronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan atau minum, arus air laut dan
gelombang membawa Lanang Dangiran hingga dilaut Jawa dan akhirnya suatu taufan
dan gelombang besar melemparkan Lanang Dangiran dengan beronjongnya dalam
keadaan tidak sadar, disebabkan karena berbulan-bulan tidak makan dan minum,
dipantai dekat Sedayu, Lamongan. Seluruh
badannya telah dilekati oleh karang, keong serta karang-karang (remis) sehingga
badan manusia itu seolah-olah ditempeli dengan bakaran jagung yang disebut
dengan bahasa jawa “Brondong” Badan Pangeran Lanang Dangiran diketemukan oleh
seorang kiyahi yang bernama Kiyahi Kendil Wesi. Pangeran Lanang Dangiran
dirawat oleh Kiyahi Kendil Wesi serta istrinya dengan penuh kasih sehingga
sadar kembali dan akhirnya menjadi sehat seperti sediakala. Pangeran Lanang Dangiran menceritakan asal-usulnya kepada Kiyahi
Kendil Wesi. Setelah Kiyahi Kendil Wesi mendapat keterangan tentang asal
usulnya Pangeran Lanang Dangiran, maka diceritakan oleh Kiyahi tadi bahwa ia
juga asal keturunan dan raja-raja di Blambangan yang bernama Menak Soemandi
dimana beliau masih satu keturunan dengan Lanang Dangiran. Menak Soemandi mempunyai
putra bernama Menak Gandru, Menak Gandru mempunyai putra bernama Menak Werdati,
Menak Werdati mempunyai putra bernama Menak Lumpat alias Sunan Rebut Payung,
Menak Lumpat mempunyai putra bernama Pangeran Kedawung alias Sunan Tawang Alun
dan Pangeran Kedawung ayah dari Pangeran Lanang Dangiran dan leluhurnya adalah
Prabu Brawijaya V alias Kertowijoyo (Bhre Tumapel , Maharaja Majapahit) 1447 -
1478 yang istrinya dari Putri Blambangan.
Lanang Dangiran tinggal dan kumpul dengan Kiyahi Kendil Wesi, dan dianggap
sebagai anaknya kiyahi sendiri. Pangeran Lanang Dangiran memeluk agama Islam,
karena rajin dan keteguhan imannya serta keluhuran budinya serta kesucian
hatinya, maka tidak lama pula ia dapat tampil kemuka sebagai guru Agama Islam,
Pangeran Lanang Dangiran berisitrikan putrid dan Ki Bimotjili dan Panembahan di
Cirebon yang asal usulnya dituliskan sebagai berikut :Pangeran Kebumen Bupati
Semarang, berisitrikan putri dari Sultan Bojong, bernama Prabu Widjaja (Djoko
Tingkir). Ki Bomotjili adalah salah satu seorang putra dan Pangeran Kebumen
tersebut diatas, seorang putri dan Ki Bimo Tjili bersuamikan Pangeran Lanang
Dangiran alias Kiyahi Brondong (dimakamkan di Boto Putih). Nama Brondong diperoleh karena ia diketemukan oleh Kiyahi Kendil
Wesi badannya dilekati dengan Brondong Kiyahi Kendil Wesi yang waspada dan
mengetahui nasib seseorang, mengatakan kepada Lanang Dangiran yang sudah
mendapat sebutan Kiyahi Brondong dan masyarakat sekitar tempat Kiyahi Kendil
Wesi, supaya pergi ke Ampel Dento Suroboyo, dan meluaskan ajaran Agama Islam,
karena di Surabaya Kiyahi Brondong kelak akan mendapat kebahagiaan serta turun
temurunnya kelak akan timbul dan tambah menjadi orang-orang yang mulya. Kemudian Kiyahi Brondong dengan
istrinya dan beberapa anaknya yang masih kecil pergi ke Surabaya dan pada Tahun
1595 menetap diseberang timur kali Pegiri’an, dekat Ampel ialah Dukuh Boto
Putih (Batu Putih) ditempat baru inilah Kiyahi Brondong mendapatkan martabat
yang tinggi dan masyarakat, karena keluhuran budinya Kiyahi Brondong (pangeran
Lanang Dangiran) wafat pada tahun 1638 dalam usia + 70 tahun dan meninggalkan 7
orang anak, diantaranya 2 orang laki-laki yaitu : Honggodjoyodan Honggowongso. Bupati Sidoarjo yang pertama adalah
keturunan dari Honggodjoyo, Kiyahi Ageng Brondong (Pangeran Lanang Dangiran)
dikebumikan ditempat kediamannya sendiri di Botoputih Surabaya makamnya
dimulyakan oleh putra-putranya dan selanjutnya dihormati oleh turun-turunnya
hingga kini. Semoga arwah beliau diterima Allah Swt, dan Allah Swt juga memberikan
kepada seluruh keturunannya Kiyahi Ageng Brondong kemulyaan, kesehatan dan
kesejahteraan sebagaimana beliau senantiasa mendoakan cucu cicitnya selama
hidupnya. Ada hal penting yang anda
ketahui bahwa bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sidoarjo, pejabat
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo beserta rombongan merupakan agenda rutin
berkunjung ke : Pesarean Asri ing Pendem untuk nyekar ke makam Bupati pertama
Sidoarjo Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro I wafat tahun 1863, ke Pesarehan
keluarga Tjondronegoro (belakang masjid Djamik / Agung Sidoarjo) nyekar Raden
Adipati Aryo Panji Tjondronegoro I wafat tahun 1906, langsung menuju Pesarehan
Boto Putih Surabaya ke makam Raden Tumenggung Adipati Ario Tjondronegoro II
(Kanjeng Djimat Djokomono).
2. Riwayat versi 2
Siapakah Ki
Lanang Dangiran .
Kedawung ibu
nagari Blambangan (1598 _1659)
Kedawung
sekarang termasuk daerah Puger , adalah ibu nagari ketiga Lumajang Tigang Juru
/ Majapahit Kedaton Wetan / Blambangan .
Ibu nagari
pertama adalah Lumajang yang mulai dibangun Arya Wiraraja setelah mendapat
tanah segar semangka Majapahit dari R.Wijaya (Prasasti Kudadu 1293. Pada masa
Bhree Wirabhumi dibangun istana yang megah KOTA RENON seluas 6 ha , dan dikelilingi bentang yang
kuat , lebar minimal 2 m ,tinggi minimal 4 m , dikelilingi sungai Bondoyudho.
atau parit lebar 2 m , dalam minimal 2 m. Kemakmuran Blambangan (Blambangan
berasal dari Balumbungan sebutan dari Prapancha dalam Negara Krtagama yang
berarti, negeri banyak lumbung /makmur) yang berada dilereng gunung Semeru
,pada masa pemerintahan Bhree Wirabhumi , telah mengundang decak kagum
Laksamana Cheng Ho , menyebabkan Kaisar dinasty Ming , CH’eng- Tsu menyetujui saran Cheng Ho untuk mengakui kedaulatan
negeri ini , sehingga disebut. Majapahit Kedaton Wetan. Tetapi rupanya Kemakmuran juga mengundang iri dan hasrat untuk menaklukan
Blambangan sehingga harus memindahkan ibu nagarinya ke Panarukan.
Panarukan
sebenarnya kota yang dipersiapkan oleh raja Hayamwuruk untuk mengendalikan
wilayah timur (dalam Negara Kertagama. ,
diceritakan Hayamwuruk , sangat bahagia melihat perkembangan.kota ini ,
sehingga melakukan tari suka cita di Candi Jago). Sehingga kepindahan ke wilayah ini , tidaklah
terlalu mengalami kesulitan . Panarukan berkembang menjadi kota bandar yang
besar. apalagi ketika Majapahit Kedaton
Kulon mulai memindahkan ibu kotanya dari
tepi sungai Brantas ke pedalaman , dan
mengurangi aktivitas di pelabuhan
Surabaya, maka Panarukan menjadi pelabuhan besar satu satunya diselat Madura.
Pada saat itu, Portugis telah menguasi tanah Melayu dan Maluku, sehingga Portugis memerlukan
logistik untuk mendukung kebutuhannya. Sementara pantai utara Jawa dikuasai
Sultan yang beragama Islam yang sangat bermusuhan dengan Portugis. Usaha
Portugis menjalin hubungan dengan Pasundan telah digagalkan oleh Sultan
Fatahilah, maka satu satunya hubungan yang terbuka adalah Blambangan .
Blambangan dapat berhubungan dengan baik karena salah satu putra Blambangan,
adalah Sunan Giri yang amat disegani dan menjadi pemimpin para Wali Sanga,
sehingga Blambangan mampu menjalin hubungan baik dengan Sultan Islam dipantai
Utara, dan juga dengan Portugis yang membutuhkan perbekalan .
Tentang
Panarukan penjelajah Portugis Jonno de Barros, Decada IV, buku I, bab 7
(Portugies), menulis bahwa pada bulan Juli 1528, Don Garcia Henriquez, tampaknya
berlabuh di pelabuhan Peneruca /Panarukan untuk mengisi perbekalan sebelum
melanjutkan perjalanan ke Malaka. Dan nampaknya raja Panarukan mengirim dutanya
pada Gubernur Portugies di Malaka. Prof DR . Moch Yamin malah menafsirkan
tentang berita sebagai adanya perjanjian antara Blambangan dan Portugis dan
menandai sebagai telah runtuhnya Majapahit .
Tentang Peneruca
dikemukakan bahwa sejak tahun 1526 telah dikunjungi 20 buah kapal Portugis
untuk membeli perbekalan. Kerajaan Blambangan dianggap netral karena merupakan
kerajaan Hindu, sedang kerajaan di Jawa adalah kerajaaan Islam, dan Portugis
sedang berperang dengan kerajaan Islam (Negeri Tawon Madu 22)
Sekali lagi ,
kemakmuran mengundang iri dan hasrat kerajaaan lain untuk menaklukan
Blambangan. Sunan Giri mampu mencegah
penyerbuan Sultan Trenggono terhadap Blambangan, tetapi para pelaut Bugis dan
Maluku tidak senang dengan hubungan baik Blambangan dengan Portugis . Keramaian
Pasuruan semakin surut ,apalagi ketika Portugis mulai menemukan Amerika
Sepinya ibu
nagari Blambangan Panarukan serta letusan Gunung Raung yang sangat dahsyat pada tahun 1586 dan 1597 menyebabkan tanah
runtuh di Bondowoso , Situbondo, dengan
korban ribuan jiwa, akhirnya mendorong
pemindahan ibu nagari ke Kedawung , tanah subur di pedalaman tetapi masih dekat
dengan laut ( Samudra Hindia) pada tahun 1598..
Di ibu nagari
yang baru ini muncullah dinasti Tawangalun , yang membawa negeri Blambangan
berjaya kembali sampai tahun 1665.
Dalam masa jaya
di Kedawung , Blambangan mampu menahan serangan Sultan Agung pada tahun 1635
yang mengirim 30000 orang laskar dan menyerang Puger dan Penarukan. Sultan
Agung menawan 5000 orang Blambangan diangkut ke Mataram. Tetapi secara
perlahan dan pasti Blambangan bangkit kembali . Dan pada tahun 1647 Mataram
menggempur lagi Blambangan dibawah pimpinan Tumenggung Wiraguna. Serbuan ini
gagal ketika Tumenggung Wiraguna terbunuh . Gagal menaklukan Blambangan Mataram
melakukan perampokan besar besaran (Nagari Tawon Madu 28 n Perebutan Hegemoni Blambangan). Di balik kepedihan dan
kehancuran ini , sebagian penduduk Blambangan melarikan ke arah barat dan
sebagian lagi mulai membangun pemukiman baru di Bayu , daerah Banyuwangi juga
ke Bali. Mereka yang ketimur kemudian membangun ibu nagari di Bayu , kemudian
Macan Putih , dan Kota Lateng . Sedang yang kearah barat , terwakili dengan
sejarah Ki Lanang Dangiran .
Adalah Prabu
Tawangalun memiliki putra putri 5 orang
. Salah satu putranya Pangeran Lanang
Dangiran yang sejak
kecil menyenangi olah ruh (spiritual),
sangat senang melakukan tapa brata dan pada usia 18 tahun bertapa dilaut
dan menghanyutkan dirinya diatas sebuah papan kayu yang disebut. beronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan
atau minum.
Sang pertapa
muda yang berbulan bulan di ombang ambingkan gelombang karena khusyuknya ,tidak
menyadari seluruh badannya telah dilekati oleh karang, keong serta
karang-karang (remis) .
Arus laut dan gelombang membawa beliau sampai ke
laut Jawa . Ketika laut Jawa dilanda
taufan , maka gelombang besar melemparkan pertapa muda itu ke pantai
Sedayu , Lamongan .
Dipantai Sedayu
beliau ditemukan ,oleh Kyai Kendil Wesi , untuk kemudian dirawat dan
disadarkan sehingga menjadi sehat
seperti sediakala.
Karena
badannya penuh benjolan yang dilekati remis, seperti jagung terbakar maka beliau mendapat
julukan “Brondong”
Pangeran Lanang
Dangiran /Brondong kemudian menceritakan asal-usulnya kepada Kiyahi Kendil Wesi
bahwa beliau adalah putra Sunan
Tawangalun /Menak Kedawung raja Blambangan.
.Betapa
bahagianya Kyai Kendil Wesi karena dia dapat menolong saudaranya sendiri
karena Kyai Kendil Wesi juga berasal
dari keturunan raja-raja Blambangan dari garis Menak Soemandi.
Menak Soemandi
mempunyai putra bernama Menak Gandru, Menak Gandru mempunyai putra bernama
Menak Werdati, Menak Werdati mempunyai putra bernama Menak Lumpat alias Sunan
Rebut Payung, Menak Lumpat mempunyai putra bernama Pangeran Kedawung alias
Sunan Tawang Alun / Pangeran Kedawung ayah dari Pangeran Lanang Dangiran.
Sehingga pangeran Lanang Dangiran meiliki leluhur yang sama . Apalagi kalau hal
itu ditelusuri sampai raja raja di Majapahit.
Kareana itu
Lanang Dangiran /Brondong kemudian dijadikan putra Kyai
Kendil Wesi.
Kyai Kendil.Wesi
kemudian mengajarkan Islam. Pangeran Lanang Dangiran/ Brondong sebagai anak
asuh Kyai Kendil Wesi , menjadi santri yang tekun , mengaji dan menjalankan
syariat Islam sehingga pengetahuan
agamanya sangat luas . Sebagai
santri yang luas pengetahuan agamanya ,
keteguhan imannya , keluhuran budinya serta kesucian hatinya, dia menjadi ulama besar yang sangat dihormati dan terkenal .
Maka tidak salah
beliau mendapat perhatian KI Bimotjili dan kemudian menjodohkan dengan
putrinya.
Ki Bimotjili
adalah salah putra Pangeran Kebumen , Bupati Semarang yang adalah menantu Hadiwijaya
(Djoko Tingkir) pendiri Mataram yang diangkat dan disyahkan oleh Sunan
Giri putra Blambangan.
Setelah diambil
mantu oleh Kyai Bimotjili , Ki Lanang Dangiran memohon izin untuk memperdalam
ilmunya berguru kepada Sunan Giri (
Sunan Giri Prapen ) yang memiliki darah Blambangan . Sebagai keluarga besar
Blambangan , Ki Lanang Dangiran disambut gembira oleh Sunan Giri Prapen .
Beliau ditempatkan di timur sungai Pegirian , dukuh Boto Putih dekat Ampel,
yang saat itu telah berkembang sebagai pusat pendidikan Islam , yang dibangun
sejak masa Sunan Ampel . Ki Lanang Dangiran dengan cepat dapat menguasai ilmu
ilmu yang diajarkan,sehingga beliau sangat dihormati dan dimuliakan sehingga
dipercaya menjadi ulama ditempat tersebut .
Sebagai ulama ,
beliau mempersiapkan putra putrinya menjadi panutan .
Beliau memiliki 5 putri dan 2 orang putra yang bernama Honggodjoyo dan Honggowongso . Maka tidak heran apabila Honggodjoyo dan Honggowongso menjadi anak muda yang memiliki character pemimpin.
a. Masa kebesaran Wong Blambangan
Karena itu tidak
mengherankan ketika patih Surabaya , Pangeran Pekik mangkat putra Ki Lanang Dangiran Honggowongso ditetapkan menjadi Bupati di Surabaya ke 11 dengan gelar Djangrono 1
Th.1670-1678, oleh Sunan Amangkurat
(Mataram-Kartosuro), sedangkan adiknya
Honggodjoyo diangkat sebagai bupati
di Pasuruan.(1678_1686).
Jika di daerah barat , wong Blambangan mendapat kedudukan yang terhormat sebagai Patih dan bupati , demikian pula yang pergi ke arah timur .Sunan Tawangalun 2 ( 1655 _1690), juga berhasil membawa kerajaan Blambangan mencapai kejayaan . Beliau membangun istana di Macan Putih . Selain menggiatkan pertanian , beliau membangun pelabuhan besar Ulu Pampang /Muncar yang sangat ramai. Export Blambangan meliputi sarang burung, beras, dan hasil hutan. Pelabuhan Ulupampang setiap tahun mengexport sarang burung seharga empat ribu found sterling, 1 ton bahan lilin, dan 600 ton beras, dan hasil hutan lainnya. Ulupampang dipenuhi perahu besar milik kerajaan, perahu besar bangsa China, dan Bugis. Selain perahu tersebut, pelabuhan Ulupampang , setiap setengah tahun disinggahi kapal Inggris yang berlayar ke Australia untuk membeli perbekalan . Tercatat yang mengunjungi Ulupampang adalah Francis Drake , dengan membawa kapal The Paca berbobot 70 ton, dan The Swan berbobot 50 ton.Juga Thomas Candish telah tinggal selama dua minggu di Ulupampang , dengan membawa kapal “Pretty” dan” Wilhems (24.61)
b. R.Ajeng Kartini berdarah Kyai Lanang Dangiran
Kiprah keturunan
Ki Lanang Dangiran , di daerah barat , kita ketahui banyak menduduki jabatan
penting. Dari darah Honggodjoyo,
lahir mas Tumenggung Tjondronegoro
kemudian diangkat menjadi Bupati Sidoarjo Bila ditelusuri lebih jauh maka dari keturunan Tumenggung
Tjondronegoro cucu Ki Lanang Dangiran
kita dapati :
1) Kiai Tumenggung
Tjokronegoro, Bupati Kesepuhan Surabaya. 1763 – 1783.
2) Kiai Tumenggung Djojonegoro, Bupati
Probolinggo.
3) Kiai Tumenggung Tjondronegoro, Bupati Lamongan 1808 – 1812 kemudian pindah ke Pati 1812 – 1830.Dari darah beliau lahirlah Raden Ajeng Kartini ).
Dengan demikian
dari darah R. Ajeng Kartini mengalir
darah Ki Lanang Dangiran , putra Sunan Tawangalun , raja Blambangan
Kiyahi Brondong
(pangeran Lanang Dangiran) wafat pada tahun 1638 dalam usia + 70 tahun dan dikebumikan di Botoputih Surabaya
PANGERAN LANANG DANGIRAN TOKOH ISLAMISASI DI SURABAYA
Penyebaran Islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, tapi juga yang paling tidak jelas. Para pedagang muslim sudah ada disebagian wilayah Indonesia selama beberapa abad sebelum Islam menjadi agama yang mapan dalam masyarakat-masyarakat lokal. Selain melalui perdagangan, Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh-oleh guru-guru agama, kyai-kyai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu calon ulama, guru agama dan kyai mendapat pendidikan agama.
Terdapat beberapa tokoh yang menyebarkan Islam di berbagai daerah, salah satunya adalah Pangeran Lanang Dangiran. R. P. A. Makmoer dalam bukunya yang bejudul Silsilah Pangeran Lanang Dangiran, menyebutkan bahwa Pangeran Lanang Dangiran adalah putra dari Pangeran Kedawung atau biasa disebut Sunan Tawangalun yang merupakan raja di Blambangan. Pada usia 18 tahun, Pangeran Lanang Dangiran bertapa dengan menghanyutkan dirinya diatas sebuah papan kayu dan bronjong (alat penangkap ikan). Ada pendapat versi bahwa pada waktu itu terdapat badai yang menyebabkan papan kayu beliau terbawa arus hingga berada di pantai wilayah Gresik, kemudian beliau ditemukan dan dirawat oleh Kyai Kendil Wesi beserta istrinya dengan penuh kasih sayang sehingga sadar kembali dan menjadi sehat seperti sediakala. Setelah Kyai Kendil Wesi memperoleh keterangan tentang asal-usulnya Pangeran Lanang Dangiran. Maka Kyai itu menceritakan bahwa ia juga asal keturunan dari Raja-raja di Blambangan yang bernama Menak Soemandi dan karenanya ia masih satu keturunan dengan Lanang Dangiran, dan ia tinggal menetap bersama dengan Kyai Kendil Wesi dan dianggap sebagai anaknya sendiri. kemudian ia memeluk Agama Islam dan karena rajinnya dan keteguhan imannya serta keluhuran budi dan kesucian hatinya. Maka tidak lama ia dapat juga tampil kemuka sebagai ulama Islam dan penduduk sekitar memanggilnya dengan nama Ki Ageng Brondong. Kemudian beliau menikah dengan seorang putri Ki Bimotjili dari Penambahan di Cirebon. Pada tahun 1595 Masehi, beliau pergi ke Surabaya bersama dengan istri dan anaknya. Di Surabaya beliau tinggal di daerah Pegirian, lebih tepatnya di Dukuh Boto Putih. Sehingga beliau disebut dengan Sunan Boto Putih. Beliau menyebarkan Islam di wilayah utara Surabaya.
Bahwa Pangeran Lanang Dangiran wafat pada tahun 1638 dan meninggalkan tujuh orang anak, diantaranya adalah Honggodjojo dan Honggowongso. Beliau dimakamkan di Pesarean Agung Sentono Boto Putih yang berada di jalan Pegirian. Meskipun beliau berjasa dalam penyebaran Islam di Surabaya, namun namanya tidak begitu dikenal seperti Sunan Ampel dan Pesarean Sunan Boto Putih ini menjadi cagar budaya di daerah Surabaya.
KISAH SUNAN BOTO PUTIH SEBARKAN ISLAM DI SURABAYA
Sunan Ampel memang berjasa atas penyebaran agama Islam di Surabaya. Tapi selain Sunan Ampel, ada juga nama Pangeran Lanang Dangiran atau yang lebih dikenal dengan Sunan Boto Putih.
Kisah tentang Sunan Boto Putih memang tak banyak diungkap dalam sejarah perkembangan Islam di Pulau Jawa. Pamornya pun tak seperti wali songo utamanya Sunan Ampel, yang begitu melekat bagi warga Surabaya.
Makam Sunan Boto Putih sendiri berada di kompleks makam Sentono Agung Boto Putih di Jalan Pegirian. Kompleks makam tersebut merupakan kompleks makam sunan dan para bangsawan (adipati) di Surabaya. Ini terlihat jelas dari arsitektur bangunan gapura makam dengan gaya ornamen keraton.
Meski demikian, gerbang kompleks makam tidak digembok sehingga para pengunjung bisa dengan leluasa memasuki area makam untuk berdoa.
Sunan Boto Putih berperan menyebarkan syiar Islam di Surabaya pada abad ke-15. Beliau adalah pangeran dari kerajaan Blambangan.
Beliau adalah Putra Pangeran Kedawung. Namun memilih meninggalkan kerajaan dan melarung ke laut. Selama berbulan-bulan beliau terombang ambing di laut hingga terhempas ombak di Laut Jawa. Saat di Gresik beliau ditemukan oleh Kiai Resi Kendil Wesi.
Kepandaian Sunan Boto Putih mendalami agama Islam dan menyebarkannya di kalangan Gresik dilihat oleh Kiai Kendil Wesi. Beliau akhirnya diminta menyebarkan Islam di Surabaya dan menetap di kawasan Pegirian, tepatnya di Dukuh Boto Putih. Hingga julukan Sunan Boto Putih melekat padanya.
Wilayah yang dijadikan persebaran Islam oleh Sunan Boto Putih mulai Pegirian hingga Kapasan serta ujung Utara Surabaya. Banyak warga yang datang berguru dan mengaji pada Sunan Boto Putih. Beliau akhirnya wafat di tahun 1638 dan dimakamkan di sini.
Area makam Sunan Boto Putih ini, kata Joko, memang banyak didatangi para peziarah. Yang datang bisa dari dalam Surabaya hingga luar pulau.
Hari-hari biasa memang banyak, tapi kalau bulan-bulan baik dalam kalender Islam seperti Maulid sekarang ini bisa lebih banyak lagi yang datang.
Kompleks makam Sentono Agung Boto Putih ini memiliki luas sekitar 4.000 meter persegi dan terbagi menjadi dua area besar. Yang pertama adalah makam Pangeran Lanang Dangiran, kedua adalah makam Al Habib Syekh Bin Ahmad Bin Abdullah Bafaqih.
MENGENAL SUNAN BOTO PUTIH PENYEBAR ISLAM DI SURABAYA
Selain Sunan Ampel, Pangeran Lanang Dangiran atau yang sering disapa Sunan Botoputih juga memiliki peran penting dalam menyebarkan agama Islam di Surabaya.
Salah satu tokoh di kompleks makam Botoputih, Sunan Botoputih merupakan pangeran dari kerajaan Blambangan dan putra dari Pangeran Kedawung yang berperan menyebarkan Islam di Surabaya pada abad ke-15.
Beliau meninggalkan kerajaan dan melaut selama berbulan-bulan diatas sebuah beronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan atau minum, sampai terbawa ombak di Laut Jawa dan ditemukan di pantai dekat Sedayu oleh Kyai Kendil Wesi.
Saat ditemukan, seluruh badannya telah dilekati oleh karang, keong serta karang-karang (remis), sehingga badannya seolah-olah ditempeli dengan bakaran jagung, yang dalam bahasa Jawa disebut Brondong, dan dari sanalah beliau mendapat julukan Kyai Ageng Brondong.
Setelah itu, Pangeran Lanang Dangiran dirawat oleh Kyai Kendil Wesi serta istrinya hingga sadar kembali dan menjadi sehat seperti sedia kala.
Pandainya Sunan Botoputih dalam mendalami dan menyebarkan agama Islam dilihat oleh Kyai Kendil Wesi. Akhirnya beliau diminta pergi ke Ampel Dento Suroboyo, dan meluaskan ajaran Agama Islam dengan menetap di kawasan Pegirian, tepatnya di Dukuh Boto Putih. Hingga julukan Sunan Botoputih melekat padanya.
Wilayah yang dijadikan persebaran Islam oleh Sunan Botoputih mulai Pegirian hingga Kapasan serta ujung Utara Surabaya. Banyak warga yang datang berguru dan mengaji pada Sunan Botoputih,” kata imam Langgar Waqaf Sentono Botoputih ini.
Sunan Botoputih akhirnya wafat pada tahun 1638 dan dimakamkan di Jalan Pegirian Surabaya, tak jauh dari makam Sunan Ampel.
Makam Sunan Botoputih ini bersebelahan dengan makam Maulana Mohammad Syaifuddin (Sultan Banten ke XVII-terakhir) yang wafat pada 3 Rajab 1318 H/11 November 1899.
Setiap harinya selalu ada peziarah yang datang. Kebanyakan yang datang usai dari Sunan Ampel.
Terutama kalau malam Jumat Legi selalu ramai. Biasanya peziarah setelah dari Sunan Ampel selalu kesini.
KISAH ORANG-ORANG SUFI DARI SURABAYA (Kiai Brondong Tak Berjejak)
Di buku sejarah sekolah atau sejarah penyebaran Islam di Indonesia, hampir tidak pernah menyinggung sosok Kiai Brondong dan keturunannya. Sampai-sampai tidak satu pun referensi wisata ziarah yang mampir ke Boto Putih. Sesungguhnya kompleks makam Sentono Boto Putih begitu unik. Banyak yang meyakini, Kiai Brondong dan keturunannya yang sebenarnya menyebarkan Islam paling intensif setelah dikenalkan Sunan Ampel dan para wali. Ornamen setiap makam begitu eksotis. Kental sekali dengan suasana pesisiran, perkawinan kultur Arab, Jawa, dan Belanda. Kelambu putih, grafir batu nisan kaligrafi Arab di semua dinding, ukir-ukiran bercat emas, hingga konstruksi makam bergaya indisch kolonial yang kukuh. Cobalah mampir, karena tempat ini jauh dari kesan angker. Ada sejumlah gapura berlanggam abad 15 yang dikenal dengan istilah kori agung. Sementara di dalamnya, setiap makam bersolek, semua berlomba tampil mewah. Setiap makam memiliki cungkup dan berhias menurut selera ahli warisnya karena semua yang dimakamkan adalah raja. “Ini adalah kuburan raja-raja Jawa Timur yang dikenal dengan trah Boto Putih. Ada sumber versi sumbu spiritual dari semua makam ini adalah Kiai Brondong meskipun ornamen makamnya tidak lebih mewah dari makam raja lainnya. Ornamen di kompleks ini berbeda dengan langgam arsitektur di pekuburan raja-raja Jawa di Imogiri yang kental dengan aroma mistik. Kentalnya suasana Islam pesisiran di kompleks ini karena semua orang yang dikuburkan di Boto Putih adalah raja kecil yang begitu berpengaruh dalam melakukan penyebaran Islam setelah Sunan Ampel. Di satu makam berkelambu perak dan dan berukir kaligrafi Arab di bagian utara kompleks makam tertulis Bupati Sidoarjo 1863. Ini adalah makam RTAA Tjokronegoro II, orang mengenalnya Kanjeng Djimat Djokomono. Dalam referensi buku-buku tentang sejarah Sidoarjo, Tjokronegoro II dinilai sebagai bupati paling agamis. Dialah yang merombak Masjid Jamik di depan alun-alun dari sebuah musala yang sederhana menjadi tempat untuk syiar Islam. Melihat banyak pendatang Madura yang telantar, dia menggagas dibangunnya Kampung Magersari sebelah barat pendopo. Di buku Silsilah Pangeran Lanang Dangiran (Ki Ageng Brondong), Bab Asal Usul Keluarga Kasepuhan Kanoman Surabaya 1966 disebutkan, jika Brondong berperan besar dalam penyebaran Islam. Dia penganut sufi Jawa yang diakui para pengikutnya. Sayangnya, tidak ada kitab lengkap yang bisa diselamatkan. Ajaran sufi Kiai Brondong lama-lama menguap hingga akhir zaman kolonial, ajaran itu tidak dikenal lagi. Di buku itu ditulis ulang pemikiran Kiai Brondong dalam sebuah ajaran sufi Jawa Ing wekasan muwuhi kang runtik, dipun sareh pun cetha pratela. Artinya, jika perkataan seseorang keras dan menyakitkan, hendaklah ditanggapi dengan tenang dan dengarkanlah dengan sabar tanpa amarah.
MAKAM BANGSAWAN DI PESAREAN AGUNG SENTONO BOTO PUTIH SURABAYA
Surabaya merupakan salah satu kota yang memiliki beragam peninggalan sejarah serta budaya masa lampau. Ibukota Provinsi Jawa Timur ini sejak dulu menjadi daerah penting dalam pemerintahan, baik pada masa kerajaan hingga zaman penjajahan.
Di salah satu sudut Kota Surabaya terdapat sebuah area pemakaman bersejarah. Pemakaman ini sudah berusia ratusan tahun, jauh sebelum masa kolonial Belanda. Area ini dikhususkan untuk menguburkan orang-orang penting pada masa itu dan para keturunannya.
Dengan kata lain, area ini merupakan pemakaman para adipati atau bangsawan yang memerintah Surabaya pada masa lampau. Pemakaman ini bernama Pesarean Agung Sentono Botoputih.
Sejarah Area Makam
Area pemakaman ini diberi nama Sentono Botoputih karena terdapat seorang ulama atau kyai yang dimakamkan di sini. Beliau dikenal sebagai Sunan Botoputih. Namun, memiliki nama asli yaitu Ki Ageng Brondong atau Pangeran Lanang Dangiran.
Pada mulanya, beliau adalah seorang pertapa Hindu yang kemudian menjadi mualaf dan merupakan murid dari Sunan Bonang yang berada di Tuban. Ki Ageng Brondong masih memiliki hubungan darah dengan Raja Blambangan yakni Pangeran Kedawung yang masih ada silsilah dari Kerajaan Majapahit.
Di komplek ini juga disemayamkan berbagai orang penting dan keturunan darah biru yang pernah memerintah Surabaya. Salah satunya adalah Raden Adipati Ario Tjokronegoro IV, Bupati Surabaya yang menjabat tahun 1863-1901.
Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih, ulama besar yang berjasa dalam syiar agama Islam di Kota Surabaya, juga dimakamkan di sini. Selain itu juga, terdapat beberapa makam para raja yang berasal dari wilayah lain seperti Pengeran Soerja Atmaja yang merupakan Sultan Banten XVII dan raja terakhir.
Di sini juga dimakamkan salah satu orang terkemuka, yakni almarhumah istri dari Irjen Pol Purn Handiatmoko, mantan Kapolda Jawa Timur, yakni Yaniek Supriyanti.
Lokasi pemakaman ini cukup dekat dengan komplek makam Sunan Ampel yang juga bertugas menyebarkan ajaran Islam di Surabaya. Alamat lengkapnya berada di Jalan Pegirian No.176, Kel. Simolawang, Kec. Simokerto, Kota Surabaya.
Untuk menuju Pesarean Agung Sentono Botoputih ini cukup mudah. Dari arah Jalan Nyamplungan, yang termasuk area pemakaman Sunan Ampel, cukup menyeberang jalan melewati Kali Pegirian yang tidak terlalu besar. Lokasi makam berada di kiri jalan dan terlihat jelas dari papan penandanya. Di komplek pemakaman ini terdapat masjid besar sehingga mudah ditemukan.
Biasanya, setelah mengunjungi pemakaman Sunan Ampel, para peziarah akan langsung melanjutkan ziarah ke Pesarean Agung Sentono Botoputih ini. Tentu saja karena lokasinya yang sangat dekat.
Pada peringatan tertentu seperti Haul Agung Sunan Ampel dan perayaan tahun baru Islam, area komplek pemakaman ini cukup ramai dikunjungi. Bahkan, bisa menimbulkan kemacetan.
Disekitar area pemakaman terdapat beragam pedagang yang menjual mulai oleh-oleh khas Ampel seperti Baju Koko, sajadah, tasbih, ornament muslim dan lain sebagainya.
PANGERAN LANANG DANGIRAN CERITA RAKYAT JAWA TIMUR
Dikisahkan pada suatu ketika di daerah Jawa Timur berdiri sebuah kerajaan bernama Balumbang. Raja kerajaan tersebut bernama Pangeran Kedawung. Konon, Pangeran Kedawung disebut-sebut sebagai Sunan Tawangalun. Ia memiliki lima orang anak. Salah satunya bernama Pangeran Lanang Dangiran.
Sejak kecil, Pangeran Lanang Dangiran sering melakukan pertapaan. Lokasi yang ia pilih untuk bertapa adalah tempat-tempat yang angker. Ketika usia Pangeran Lanang Dangiran menginjak delapan belas tahun, ia melakukan tapa yang tergolong sangat berani. Untuk melaksanakan tapanya, Pangeran Lanang Dangiran menghanyutkan diri di laut. Dengan menggunakan sebuah papan kayu dan sebuah beronjong (sejenis alat penangkap ikan), ia terombang-ambing di lautan yang luas dan dalam.
Selama menjalani pertapaan, Pangeran Lanang Dangiran tidak makan dan minum. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan sudah ia terombang-ambing di lautan luas. Tidak disadari, ia telah memasuki wilayah Laut Jawa.
Suatu hari, muncul badai yang sangat dahsyat. Gelombang tinggi dan angin topan mengempaskan tubuh Pangeran Lanang Dangiran. Dalam keadaan tidak sadar, tubuh Pangeran Lanang Dangiran terdampar di sebuah pantai dekat daerah Sedayu (Lamongan). Keadaan Pangeran Lanang Dangiran pun sudah berubah. Tubuhnya kini sudah dilekati dengan kerang, keong, dan karang-karangan (remis). Tubuh Pangeran Lanang Dangiran dapat dikatakan seperti bakaran buliran jagung yang saling menempel yang biasa disebut berondong.
Untunglah ketika itu lewat Kyai Kendhil Wesi yang sedang berjalan-jalan di sekitar pantai. Ia menemukan tubuh Pangeran Lanang Dangiran yang terdampar. Dengan segera, ia menolong Pangeran Lanang Dangiran yang tidak sadarkan diri dengan tubuh bagai bakaran jagung. Kyai Kendhil Wesi membawanya ke pondok.
Hai anak muda, siapakan dirimu? Mengapa kau sampai terdampar di pantai ini?" tanya Kyai Kendhil Wesi.
Namaku adalah Pangeran Lanang Dangiran. Aku adalah putra dari Raja Balumbang yang sedang melakukan tapa di tengah laut menggunakan papan kayu dan beronjong. Namun, tiba-tiba saja datang angin topan dan gelombang besar hingga aku terempas dan tidak sadarkan diri. Terima kasih Kyai telah menyelamatkan nyawaku, jawab Pangeran Lanang Dangiran.
Benarkah kau anak dari Raja Balumbang? Jika benar demikian, berarti kita masih ada hubungan saudara. Aku adalah Kyai Kendhil Wesi. Aku juga masih keturunan dari salah satu Raja Balumbang yang bernama Menakoemadi. Karena kita bersaudara, tinggallah untuk beberapa lama di pondokku," ucap Kyai Kendhil Wesi.
Aku benar-benar sangat bahagia mendengarnya. Aku tidak menyangka dapat bertemu dengan saudaraku di tempat ini. Kalau begitu, baiklah. Aku akan tinggal beberapa lama di pondok Kyai. Sekali lagi, terima kasih atas kebaikan Kyai," ucap Pangeran Lanang Dangiran. "Sudahlah, kau tidak perlu sungkan," balas Kyai Kendhil Wesi.
Untuk beberapa lama Pangeran Lanang Dangiran tinggal bersama Kyai Kendhil Wesi. Kyai Kendhil Wesi sudah menganggap Pangeran Lanang Dangiran sebagai anaknya sendiri. Kemudian, Pangeran Lanang Dangiran memeluk agama Islam.
Pangeran Lanang Dangiran sangat rajin dan tekun dalam mendalami ajaran agama Islam. Ia pun tumbuh menjadi pria yang berbudi pekerti luhur dan memiliki iman yang kuat. Tidak segan-segan Pangeran Lanang Dangiran menurunkan ilmunya kepada orang-orang di sekitarnya. Oleh sebab itu, ia dikenal orang-orang di sekitarnya sebagai guru agama Islam. Ia pun dijuluki sebagai Kyai Ageng Brondong.
Kyai Ageng Brondong menyebarluaskan ajaran agama Islam sampai ke daerah Cirebon. Ketika itu, di Panembahan Cirebon terdapat seorang putri yang cantik jelita. Putri itu bernama Dewi Sekararum.
Suatu hari, Dewi Sekararum mengadakan sayembara yang isinya "Barangsiapa yang berhasil memetik buah delima yang tumbuh di halaman rumahnya, dapat menjadi suaminya."
Sayembara itu banyak dihadiri oleh laki-laki dari berbagai penjuru negeri. Mulai yang usianya muda, tua, bahkan yang sudah beristri turut hadir dalam sayembara itu. Mereka semua ingin mempersunting Dewi Sekararum yang cantik jelita.
Satu demi satu peserta sayembara mencoba memetik buah delima. Namun, setiap tangan dijulurkan, mereka menjerit kesakitan dan tangannya melepuh seperti terkena air panas. Hal ini terjadi pada setiap peserta sayembara hingga tidak ada lagi yang berani memetik buah delima itu.
Kyai Ageng Brondong yang kebetulan berada di tengah-tengah peserta sayembara segera mencoba mengambil buah delima itu. "Wahai saudara-saudara, aku adalah Kyai Ageng Brondong. Aku akan mencoba mengambil buah delima itu. Sebenarnya, buah delima itu dijaga oleh raja jin yang jahat. Tapi dengan izin Allah Yang Mahakuasa, aku akan meminta pertolongan-Nya untuk melumpuhkan jin ini," ucap Kyai Ageng Brondong.
Kemudian, Kyai Ageng Brondong membaca doa-doa dari ayat suci Al-Qur'an. Semua yang hadir ketika itu tampak tertegun melihat Kyai Ageng Brondong yang berusaha menaklukkan jin jahat. Tidak lama kemudian, muncul asal putih yang sangat tebal. Ketika asap itu mulai menghilang, tiba-tiba tampak sosok tubuh yang tinggi besar dengan raut wajah yang menyeramkan tampak tergeletak tidak berdaya di bawah pohon delima.
"Ampun...ampun, aku bertibat untuk tidak mengulangi perbuatan jahatku lagi," rintih mahluk itu.
"Siapa kamu?" tanya Kyai Ageng Brondong. "Aku adalah raja jin penunggu pohon delima itu, Namaku jin Supribar," jawab makhluk itu.
"Mengapa kau mengganggu manusia dan mencelakainya?" tanya Kyai Ageng Brondong. "Aku disuruh Dewi Sekararum."
Akhirnya, Dewi Sekararum mengakui perbuatannya. Ia sengaja melakukan hal itu untuk mencari seorang suami yang sakti. Sesuai dengan sayembara itu, Dewi Sekararum akhirnya dipersunting oleh Kyai Ageng Brondong dan diboyong ke Surabaya. Mereka tinggal di daerah bernama Bataputih. Dari keturunan mereka, lahirnya adipati-adipati di Surabaya.
Pesan moral :
Timbalah ilmu sebanyak-banyaknya dan amalkanlah ilmu itu sebaik-baiknya untuk kebaikan orang yang banyak.