Bathara Katong
(Lembu Kanigoro)
Foto : gapura pintu masuk makam Bathara Katong diambil dari Googling untuk menambah pemanis artikel |
A. Raden Katong (versi 1)
Kemudian lazim
disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur
sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa
Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama
Islam di Ponorogo. Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain
adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang
beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu
Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak
Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan
Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha
di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya
V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi
Istrinya. Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki
Padmosusastro, disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden
Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang
putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya). Walaupun
kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya
dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit.
Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi dari elit
istana yang lain.
1. Pujangga Anom Ketut Suryongalam (ki ageng kutu)
Reyog symbol kritik terhadap majapahit
Sebagaimana
dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam.
Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.Tokoh yang terakhir ini,
kemudian keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung
Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama
Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di
kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat
tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri
dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.
Ki Ageng
Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut
Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu
terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan
dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak).
Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di
sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.
Pada akhirnya,
upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa
selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya
pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene
sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya.
Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba
melakukan investigasi terhadap keadaan
Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo.
Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.
2. Batoto Katong Putra terbaik kerajaan Demak
Ekspansi Islamisasi
Demi kepentingan
ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra
terbaiknya yakni yang kemudian dikenal
luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan
diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.
Raden Katong
akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi
syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan
Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat
Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.
3. Cinta Niken Gandini
yang berakhir kemenangan
Singkat cerita,
terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah
kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki
Ageng Kutu. Kemudian dengan akal
cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama
Niken Gandini, dengan di iming-imingi
akan dijadikan istri.
Kemudian Niken
Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro
Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan
Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah
Wringin-Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat
Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya
Ponorogo.
Tempat
menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di
daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan
moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan
untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
4. Batoro Katong
Sang Manusia Setengah Dewa
Setelah dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan
rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia
setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai
keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi
penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan
Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.
Pada tahun 1486,
hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan.
Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun,
karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat
hutan itu lancar.
Lantas,
bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah
menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong
permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di
tempatnya yakni di Dusun Ngampel.
Oleh Katong,
daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau
diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita
rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan
Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo. Kesenian Reog yang menjadi seni
perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur
pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin
sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain
sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian
mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam. Dalam konteks inilah, keberadaan Islam
sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik.
Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan
pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur
yang diidealkan, penguasa sekaligus
ulama.
5. Ponorogo lahir 11 Agustus 1496
Beliau kemudian
dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo
pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa epasang batu gilang yang
terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada
batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia,
pohon, burung (Garuda) dan gajah yang melambangkan angka 1418 saka atau tahun
1496 M.
Batu gilang itu
berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar
bukti peninggalan benda-benda pubakala tersebut dengan menggunakan referensi
Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai
Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar,
Tahun 1418 saka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah
901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten
Ponorogo.
Foto : gapura pintu masuk makam Bathara Katong diambil dari Googling untuk menambah pemanis artikel |
B. Bathara Katong (versi 2)
Bathara Katong adalah pendiri
Kabupaten Ponorogo dan juga merupakan adipati pertama di Ponorogo. Bathara
Katong merupakan utusan Kesultanan Demak untuk menyebarkan Islam di Ponorogo. Bathara Katong, memiliki nama Asli
Lembu Kanigoro, salah seorang putra Prabu Brawijaya atau Bhre Kertabhumi dari
selirnya yaitu Putri Campa yang beragama Islam. Berdasarkan catatan sejarah
keturunan generasi ke-126 ia yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Bathara
Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak
Kali. Ia adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya dari garwo pangrambe (selir
yang tinggi kedudukannya). Mulai
redupnya kekuasaan Majapahit dan saat kakak tertuanya "Lembu Kenongo"
yang berganti nama menjadi Raden Patah mendirikan Kesultanan Demak Bintoro,
Lembu Kanigoro mengikut jejak kakaknya untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo
di Demak. Prabu Brawijaya pada masa
hidupnya berusaha diislamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk
Prabu Brawijaya dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk
menjadi Istrinya. Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk
diislamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya
konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya
memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan
oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam yang kemudian
dikenal sebagai Ki Ageng Kutu, Ki Ageng Kutu kemudian menciptakan sebuah seni
Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan Reog tidak lain merupakan simbol
kritik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala
harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa
(disimbolkan dengan dadak merak). Upaya
Ki Ageng Kutu untuk memperkuat Basis di Ponorogo (Wengker) dianggap sebagai
ancaman oleh kekuasaan Majapahit dan Kesultanan Demak. Sunan Kalijaga, bersama
muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi
terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling
berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa
paling berpengaruh saat itu. Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan
Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang
kemudian dikenal luas dengan Bathara Katong dengan salah seorang santrinya
bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain. Raden Katong akhirnya sampai di
wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk
pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat
Bathara Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah
penganut Hindu, Buddha, animisme dan dinamisme. Setelah Bathara Katong memasuki
Ponorogo terjadilah pertarungan antara Bathara Katong dengan Ki Ageng Kutu. Di
tengah kondisi yang sama sama kuat, Bathara Katong kehabisan akal untuk
menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Bathara Katong
berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di
iming-imingi akan dijadikan istri. Niken Gandini dimanfaatkan Bathara Katong
untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu.
Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di
sebuah pegunungan di daerah Wringinanom Sambit Ponorogo. Tempat menghilangnya
Ki Ageng Kutu disebut dengan Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Bathara
Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali
di kemudian hari. Hal ini mungkin dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas
meninggalnya Ki Ageng Kutu. Setelah Ki
Ageng Kutu menghilang, Bathara Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan
berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal
ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan
dewa-dewa, dan Batara. Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Bathara
Katong. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang
datang. Namun, karena Bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya
pekerjaan membabat hutan itu lancar. Setelah
hutan selesai dibabat, bangunan-bangunan didirikan sehingga penduduk pun
berdatangan. Setelah istana kadipaten didirikan, Batara Katong kemudian
memboyong permaisurinya, Niken Sulastri ke istana kadipaten, sedang adiknya,
Suromenggolo tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah
yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil
dari sebuah Babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang
berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani.
sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo. Bathara Katong kemudian menjadi Adipati di Ponorogo. Menurut
Handbook of Oriental History hari wisuda Bathara Katong sebagai Adipati
Kadipaten Ponorogo yaitu pada hari Ahad Pon tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418
Saka, bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah.
Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo. Kesenian Reog yang menjadi seni
perlawanan masyarakat Ponorogo mulai dihilangkan dari unsur-unsur
pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantarangin
sebagai sejarah Reog. Para punggawa dan anak cucu Bathara Katong inilah yang
kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.
C. Sejarah Ponorogo Lahir Dari Perang Segitiga Wengker,
Majapahit dan Demak
Ki Ageng Kutu,
Adipati Wengker, adalah keturunan bangsawan Majapahit yang pro pada kekuasaan
Bhre Kertabhumi di Trowulan, Kotaraja Majapahit. Kertabhumi sendiri naik tahta
pada tahun 1474 setelah menggulingkan Suraprabhawa Singhawikramawardhana pamanya. Suraprabhawa kemudian menyingkir ke
wilayah Daha, Kediri menjadi adipati sampai wafat. Dia punya anak bernama
Ranawijaya. Tahun 1478, Ranawijaya membalas dendam pada Kertabhumi. Selain
berhasil mengalahkannya dan merebut mahkota Raja Majapahit, dia juga
menghancurkan Kota Trowulan dan memindahkan ibukota Majapahit ke Daha, Kediri. Ki Ageng Kutu, yang menjadi Adipati
Wengker dan membawahi pasukan Warok benar-benar marah dengan keadaan ini. Dia
bersiap untuk menyerbu dan menggulingkan Ranawijaya sebagai balas dendam. Bagi Ki Ageng Kutu, Ranawijaya tidak
berhak atas tahta Majapahit, dan Majapahit yang sekarang beribu kota di Daha
bukanlah keturunan Wangsa Rajasa. Ki
Ageng Kutu, memaklumatkan perang dengan Ranawijaya, Raja Majapahit di Kediri. Tantangan itu dijawab oleh Ranawijaya
dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur dibawah pimpinan Raden Bathara
Katong, putra selir beliau. Peperangan
terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini disebabkan, banyak para
prajurit Majapahit yang membelot dari kesatuannya dan memperkuat barisan
Wengker karena menganggap Ki Ageng Kutu adalah benar membela Bhre Kertabhumi,
menuntut balas kehancuran Trowulan.
D. Pasukan Majapahit yang dipimpin Raden Bathara Katong
kocar-kacir, kalah.
Raden Bathara
Katong yang merasa malu karena telah gagal menjalankan tugas, tidak mau pulang
ke Daha Kediri, Ibukota Majapahit yang baru. Dia bertekad, bagaimanapun juga,
Wengker harus ditundukkan. Konflik
ini dimanfaatkan oleh Ki Ageng Mirah dari Giriwana. Giriwana atau Wonogiri saat
ini sudah dikuasai pengaruh Islam Demak.
Ki Ageng Mirah adalah salah satu orang penting Demak di wilayah Giriwana.
Dia mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha
mencarinya, dan berhasil menemukan tempat persembunyian Raden Bathara Katong. Demak terus meluaskan kekuasaanya
dengan target menaklukan kawasan kadipaten di bawah Majapahit yang berstatus
quo, yang menolak mengakui Ranawijaya sebagai raja. Salah satunya adalah
Wengker. Satu per satu menaklukan kadipaten yang seperti ini lebih mudah
daripada menyerang langsung ke Daha, Majapahit. Posisi Wengker yang berada di sebelah barat daya dari Kediri juga
dianggap sangat strategis untuk menjadi pertahanan wilayah kekuasaan Demak. Demak sendiri dipimpin oleh Raden
Fatah, putra dari Bhre Kertabhumi dari istri selir putri Champa. Dia pun masih
ada garis saudara dengan Raden Bathara Katong. Raden Fatah berambisi menggulingkan Ranawijaya untuk menjadi Raja
Jawa dari Trah Majapahit dan mendapat pengakuan dari rakyat Jawa sebagai
penerus Bhre Kertabhumi atau Brawijaya V.
Ki Ageng Mirah menawarkan solusi dengan memanfaatkan Bathara Katong untuk
menundukkan Wengker karena dia sudah lama tinggal disana. Bathara Katong masuk
Islam agar mendapat sokongan militer dari Demak. Dia telah malu untuk meminta bantuan militer lagi dari Daha.
Reputasinya sudah hancur di sana. Dia berfikir posisi Majapahit di Kediri sudah
melemah karena kekalahanya, gak mungkin meladeni kekuatan para Ksatria Warok
Wengker. Ki Ageng Mirah juga
berhasil meyakinkan Demak, jika berhasil menguasai Wengker, pengislaman tanah
Jawa akan semakin mudah, kekuasaany juga aman. Atas nasehat Ki Ageng Mirah. Raden Bathara Katong pura-pura
membelot memihak Wengker, berpaling dari pihak Ranawijaya sebagai Raja
Majapahit . Ki Ageng Kutu menerima
sumpah setia Raden Bathara Katong. Bathara Katong lalu mengutarakan niatnya
untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri.
Mengingat status Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit,
lamaran itu diaambut gembira oleh Ki Ageng Kutu Pernikahan ini hanya sekedar taktinya untuk mencari kelemahan
Wengker dan Ki Ageng Kutu. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa
dimanfaatkan untuk tujuan itu. Raden
Bathara Katong menuruti semua rencana yang disusun Ki Ageng Mirah. Dan semua
berjalan lancar. Ni Ken Gendhini
mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan Sura Handaka. (Sura
Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang menjadi tokoh kebanggaan masyarakat
Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok Suromenggolo : Damar Shashangka). Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala
berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak. Raden Bathara Katong berhasil
mengungkap segala seluk-beluk kelemahan Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah
yang diceritakan secara simbolik dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu,
yang bernama Keris Kyai Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian
diserahkan kepada Raden Bathara Katong. Saat
dirasa sudah tepat waktunya, Ki Ageng Mirah mengundang pasukan Demak menyerbu
Wengker. Bathara Katong dan Ki Ageng
Kutu diadu! Demak sebagai pihak ketiga bermain disana dengan pasukanya. Peperangan kembali pecah. Ki Ageng
Kutu yang benar-benar merasa kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga
bagai bantheng ketaton, bagai banteng yang terluka. Pasukan Wengker, maju terus
pantang mundur!
Namun
bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui oleh Raden
Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama Pasukan Warok itu
terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh pasukannya telah siap
untuk mati. Pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan Demak.
Demak akhirnya
berhasil mengalahkan Wengker. Wilayah ini kemudian diberikan pada Bathara
Katong sebagai adipati. Ki Ageng Mirah menjadi pemimpin spiritual di wilayah
selatan. Bathara Katong tetap
menghormati Ranawijaya sebagai seorang Raja Majapahit di Daha, Kediri. Dia
telah telah sukses menjalankan dua misi, sekali dayung dua pulau terlampaui. Pertama dia telah berhasil
menghilangkan kekuatan Ki Ageng Kutu yang menjadi ancaman bagi kelangsungan
tahta Ranawijaya, sepupunya. Sebagai bentuk penghormatan bagi “mantan” rajanya
itu, pusat pemerintahan di Ponorogo diberi nama Kelurahan Ranawijayan
(Ronowijayan).
Kedua, meskipun
sekarang harus masuk Islam dan menjadi bawahan Demak. Namun sekarang dia telah
berhasil menjadi penguasa wilayah Kadipatenya sendiri, mengalahkan musuhnya Ki
Ageng Kutu. Kadipaten Wengker
diubahnya menjadi Kadipaten Ponorogo pada tahun 1496 Masehi. Dan dia resmi
bertahta menjadi seorang Adipati pertamanya. Sedangkan bagi Demak, jatuhnya
Wengker juga berarti hilangnya ancaman, karena Wengker anti Demak dengan
kekuatan prajurit Warok yang menakutkan. Manfaat lainya, Wengker cukup dekat
dengan Daha, Kediri yang menjadi Ibukota baru Majapahit. Raden Fatah masih menyimpan dendam atas kematian Ayahnya Bhre
Kertabhumi yang dibunuh Ranawijaya. Namun para Sunan Wali Songo masih terus
mencegahnya menyerang Demak sebagaimana wasiat Sunan Ampel.