MUSAFIR
Orang yg bepergian meninggalkan negerinya (selama tiga
hari atau lebih); pengembara
Nama Musafir artinya adalah Pengelana, pengembara yang
diberikan untuk seorang anak Laki-laki.
Nama Musafir berasal dari Arab (Islam), dengan huruf awal M dan terdiri
atas 7 huruf. Kata Musafir memiliki
pengertian, definisi, maksud atau makna Pengelana, pengembara , bisa digunakan
untuk nama bayi (nama anak), nama perusahaan, nama merek produk, nama tempat,
dan lain sebagainya. Kata Musafir yang
bermakna Pengelana, pengembara serta berasal dari Arab (Islam) ini boleh anda
gunakan selama arti Musafir tidak berkonotasi negatif di lingkungan anda.
Kesimpulan Musafir :
Kesimpulan 1 :
Pengertian atau arti nama Musafir adalah Pengelana, pengembara
Kesimpulan 2 :
Salah satu bentuk nama yang memiliki arti Pengelana, pengembara yaitu
adalah nama Musafir
Kesimpulan 3 :
Nama Musafir yang berarti Pengelana, pengembara adalah nama untuk
manusia berjenis kelamin Laki-laki
Kesimpulan 4 :
Nama Musafir asal-muasalnya dari Arab (Islam) yang mempunyai makna
Pengelana, pengembara
Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan atau
kekurangan, dan semoga informasi nama Musafir yang sederhana ini membawa
manfaat bagi kita semua.
Pengertian Musafir
Kata musafir berasal dari kata kerja bahasa Arab safara
yang berarti bepergian. Musafir berarti orang yang melakukan perjalanan. Kata
safarin berarti perjalanan. Seperti tersebut dalam al-Quran:
وَإِنْ
كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ... [البقرة/283]
Dan jika kalian dalam perjalanan, dan tidak menjumpai
seorang penulis, maka hendaklah hendaklah ada jaminan (yang bisa dipegang).
Jarak Safar
Musafir adalah orang yang bepergian atau orang yang dalam
perjalanan. Persoalannya adalah berapa jarak perjalanan dan berapa lama safar
yang kita berhak mendapatkan keringanan seperti dalam shalat dan puasa. Rupanya
jarak perjalanan terdekat untuk disebut musafir adalah 3 mil atau 3 farsakh.
Ini berdasarkan hadist
صحيح
مسلم - (ج 3 / ص 470)
و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ كِلَاهُمَا
عَنْ غُنْدَرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ غُنْدَرٌ
عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ
يَزِيدَ الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ
بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ
الصَّلَاةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ
ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ
شُعْبَةُ الشَّاكُّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
Shahih Muslim (3/470)
Dan menceritakannya kepada kami Bakr bin Abi Syaibah dan
Muhammad bin Basysyar, keduanya dari Ghundar, Abu akr berkata berkata,
“Muhammad bin Ja’far Syu’bah dari Yahya bin Yazid al-Hunaiy, ia berkata, “Saya
bertanya Anas bin Malik tentang meringkas shalat, maka Rasulullah shalalahu
menjawab. “Jika ia keluar sejauh tiga mil atau tiga farsakh, Syu’bah ragu-ragu,
beliau shalat dua rakaat.””
Syu’bah ragu-ragu apakah Anas bin Malik mengatakan tiga
mil ataukah tiga tiga farsakh. Kalaulah kita mengambil tiga mil maka jaraknya
adalah kurang lebih 5,5 kilometer (3 x 1,748 km). Kalau kita menggunakan tiga
farsakh, maka jaraknya adalah 16,5 km (3 x 3 mil = 3 x 3 x 1.748).
Lama Safar
Tidak ada batasan berapa lama bepergian, sehingga orang
bepergian dianggap musafir. Perjalanan sehari atau dua hari dengan jarak
misalnya 5,5 km atau 16,5 km sesuai hadist riwayat Imam Muslim rahimahullah di
atas sudah cukup dianggap safar, atau musafir bagi pelakunya.
Lalu bagaimana bila bepergian lebih sepuluh hari, atau 15
hari. Mari kita perhatikan hadist berikut :
صحيح
البخاري - (ج 13 / ص 195)
حَدَّثَنَا
عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا
عَاصِمٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا يُصَلِّي
رَكْعَتَيْنِ
Shahih al-Bukhari (13/195)
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan, telah mengabarkan
kepada kami ‘Abdullah, telah mengabarkan kepada kami ‘Ashim dari ‘Ikrimah dari
Ibn ‘Abbas radliallahu ‘anhuma, ia berkata, “Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam
menetap di Mekkah selama sembilan belas hari, beliau shalat dua rakaat
(meringkas shalat menjadi 2 rakaat).”
Jadi bila orang bepergian dan menetap dengan niat tidak
akan bermukim disana misalkan 10 hari, ia tetap diangap musafir. Ia memperoleh
hak keringanan dalam beragama seperti keringanan untuk meringkas shalat atau
meninggakan kewajiban puasa Ramadhan.
Musafir, Muqimiin, dan Mustawthin dalam Fiqih
Beberapa hari yang lalu penulis ikut mengawal rombongan
mahasiswa calon beswan DIKTI dari Indonesia yang mengadakan study banding
sekaligus survey keadaan kampus di Malaysia termasuk kampus penulis. Kebetulan
waktu itu hari Jum’at dan acara study tour kampusnya dilaksanakan pagi hari.
Menjelang waktu Jum’atan, kira-kira 30 menit sebelum adzan Jum’at, rombongan
malah pamit untuk melanjutkan perjalanan karena masih harus melawat ke
universitas lain.
Melihat para rombongan berpamitan salah satu senior
penulis bertanya-tanya, “loh yang laki-laki nggak nunggu Jum’atan dulu?”.
Dengan spontan penulis menjawab “kan mereka musafir pak?”. Tidak disangka
senior dengan nada sedikit sewot berkata “lah kita semua kan juga musafir”
(perasaan penulis kata “kita” berarti menunjuk pada kita mahasiswa Indonesia
yang sedang belajar di Malaysia). Yah, penulis menghargai semangat keislaman
dari senior ini, tapi sepertinya ada kesalah pahamn tentang pengertian Musafir
yang perlu diluruskan dalam konteks ini.
Sebelumnya penulis meminta maaf karena mungkin nggak bisa
menghadirkan dalil Qur’an & Hadits seperti penulis handal lainnya. Tapi
yang jelas, tulisan ini bukan tanpa dasar sama sekali. Kalau pembaca berniat
menelaah lebih lanjut, bisa merujuk beberapa kita Fiqih seperti Fathul Mu’in
dan Kifayatul Akhyar.
Ditilik dari domisili seseorang, dalam Fiqih terdapat
tiga istilah yaitu Mustawthin, Muqimin, dan Musafir. Perbedaan status domisili
ini berelasi juga terhadap beberapa hukum ibadah, terutama sholat. Berikut
adalah penjelasannya :
Musafir : adalah orang yang sedang bepergian untuk tujuan
tertentu. Jarak perjalanan yang membuat orang dianggap sebagai musafir adalah
kurang lebih 80 KM, dan lagi selama perjalanan orang tersebut tidak berencana
untuk menetap di daerah tertentu lebih dari 3 hari. Jika musafir berencana
menetap di suatu tempat 3 hari atau lebih, maka statusnya bukan lagi musafir,
dan juga jika perjalanannya tidak lebih dari 80 KM, maka orang tersebut juga
belum bisa disebut sebagai musafir (secara Fiqih). Seorang musafir mempunyai
keistimewaan dalam melaksanakan ibadah, yaitu diperbolehkan Men-jamak sholat
(mengerjakan 2 sholat dalam sekali waktu), diperbolehkan meng-qoshor sholat
(meringkas sholat dari 4 rekaat menjadi 2 rekaat), membatalkan puasa Romadlon,
dan juga meninggalkan sholat Jum’ah (menggantinya dengan sholat dluhur). Yang
perlu digaris bawahi, privilege ini hanya berlaku bagi musafir yang tujuan
perjalanannya bukan untuk ma’shiat. Kalau tujuannya adalah untuk ma’shiat
seperti ngapelin pacar, ya tentu saja privilege ini hilang.
Muqimin : ini yang sering disalah pahami karena
kemiripannya dengan kata dalam bahasa Indonesia “pemukim”. Status Muqimin
adalah untuk orang yang melakukan perjalanan lebih dari + 80 KM namun berencana
menetap di suatu tempat lebih dari 3 hari. Domisili selama lebih dari 3 hari
ini bukan untuk menjadi penduduk tetap dan di kala waktu ada rencana untuk
pulang ke kampung halaman. Contoh yang paling mudah dari orang yang berstatus
muqimin adalah anak kos, santri pondok, dan juga mahasiswa yang sedang belajar
di luar daerah seperti penulis. Orang dengan status muqimin tidak lagi mendapat
privilege seperti musafir dan sayangnya juga tidak mendapat hak untuk
menyempurnakan bilangan Jum’atan seperti penduduk tetap. Maksudnya, muqimin
tersebut tetap harus menjalankan sholat Jum’ah, namun ketika di masjid tertentu
jumlah penduduk yang mengikuti sholat Jum’ah ada 39 orang plus 1 orang muqimin (total
40 orang), sholat Jum’ah di daerah tersebut belum bisa dianggap sah karena 1
orang muqimin tersebut tidak bisa dihitung sebagai ahli Jum’ah.
dan terakhir adalah Mustawthin : penduduk tetap adalah
orang yang menetap di suatu daerah dan tidak akan pulang ke daerah lain karena
memang rumahnya adalah di situ. Atau lebih mudahnya, alamat KTP-nya adalah di
daerah tersebut. Tapi tentu saja ini penentuan mustawthin bukan dilihat dari
KTP tapi dari keinginan orang itu sendiri. Kalau orang tersebut sudah menganggap
daerah tersebut sebagai rumah tempat tinggal tetapnya, maka orang tersebut
sudah bisa disebut sebagai mustawthin di tempat tersebut. Mustawthin tidak
mempunyai privilege seperti musafir, dan tidak seperti muqimin, seorang yang
berstatus mustawthin dapat dihitung sebagai ahli Jum’ah yang menyempurnakan
syarat sahnya digelar sholat Jum’ah.
Kembali kepada kasus rombongan beswan tadi. Jadi menurut
penulis, rombongan tersebut adalah musafir karena melakukan perjalanan jauh
dari Indonesia ke Malaysia, dan penulis yakin tujuan mereka ke Malaysia
bukanlah untuk ma’shiat tapi untuk mendapatkan pengalaman studi banding ke
universitas yang dianggap lebih maju. Sehingga, mereka mempunyai hak untuk
tidak melaksanakan sholat Jum’ah dan menggantinya dengan sholat dluhur. Di lain
pihak, penulis yang sudah berbulan-bulan menetap di perantauan ini tidak
mendapat privilege sebagai musafir, namun juga tidak bisa dianggap sebagai
mustawthin karena tidak menganggap Malaysia sebagai rumah tempat tinggal dan
masih berencana untuk pulang ke rumah di kemudian hari. Dan sekarang pun
penulis sudah mulai kangen ingin pulang
Makna Hakekat
Hakikat ini sudah merupakan bahasa indonesia berasal dari
bahasa arab yang artinya KEBENARAN,KENYATAAN ASAL atau YANG SEBENAR-BENARNYA.
Kebenaran dalam hidup dan kehidupan,inilah yang dicari
dan ini pulalah yang dituju.Hakikat alam,Hakikat diri saling berkaitan dan
mempunyai arti yang sangat dalam.identik dengan pengertian
Jasad,hati,nyawa,rahasia.
Kebenaran bukan terletak pada akal pikir dan hati,tapi
juga pada Rasa,yakni rasa jasmani dan rasa nurani.Pembahasan kemudian
diteruskan siapa yang mencari dan siapa yang dicari.disinilah permainan rasa
yang oleh para Arif Billah menyebutnya dengan istilah “amrun Dzauqi”(urusan
perasaan paling dalam).Lepas itibar,lepas dari Raqom (lukisan) dan Rasam
(gambaran).Lau dengan kerendahan hati mereka berkata kepada dirinya sendiri”MAN
LAM TADZUQ LAM YADRI”(siapa yang tidak merasa tidak akan tahu.MAYAKHRUJU
BAINA-SYAFATAIN ILLA ISYARAT WAL ITIBAR(apa yang keluar dari dua bibir adalah
hanya sekedar isyarat dan itibar)
Makna Marifat
Kata Marifat (biasa ditulis dalam bahasa indonesia
MAKRIFAT)berasal dari kata ARAFA yang artinya mengenal.Bersumber dari hadist
Rasulullah s.a.w:
“MAN ARAFA NAFSAHU FAQAD ARAFA RABBAHU”artinya siapa yang
mengenal dirinya,sesungguhnya dia dapat mengenal Tuhanya.
Diri ini penuh dengan serba
ketergantungan,kekurangan,kelemahan,fana dibanding denga Allah swt.yang
memiliki kekuasan,kebesaran,keperkasaan dan kekekalan serta memiliki seluruh
sifat-sifat kesempurnaan.Tidak ada seorang manusiapun yang sanggup dan mampu
mengenalNya dalam arti hakiki.
Menurut para Arif Billah bahwa seseorang yang
bersungguh-sungguh dijalan Allah,mereka dalah laksana jarum dengan gumpalan
besi berani.Karena getaran magnit itulah bukan kemampuan sijarum dia berlari
mengejar besi berani.Akhirnya sijarum tiada sadarkan diri laksana Musa
alaihis-salam dibukit Thursina.Dalam QS.Al araf ayat 143 yang artinya Musa
jatuh tersungkur tak sadar diri.
Marifat juga merupakan bagian dari syareat,thorekat dan
hakekat.keempat ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.Gugur
salah satunya berarti gugur pula keseluruhanya
Makna Thoreqat
Thoreqat adalah tujuan atau jalan.Persamaan katanya
menurut segi bahasa”Mahzab”yang artinya jalan.Mengetahui adanya jalan,perlu
pula mengetahui cara melintasi jalan agar tujuan tidak kesasar.Tujuan adalah
kebenaran,maka cara untuk melintasi jalan harus dengan benar pula.Untuk ini
harus sudah ada persiapan Bathin,yakni sikap yang benar,sikap hati yang
demikian tidak akan tampil dengan sendirinya,sehingga perlu adanya
latihan-latihan tertentu dengan cara-cara tertentu pula.Sekitar abad ke-2 dan
ke-3 Hijriah lahirlah kelompok-kelompok (umumnya terdiri dari golongan Fuqara
wal masakin)dengan metode latihan berintikan ajaran DZIKRULLAH.sumber pegangan
tidak lepas dari ajaran Rasulullah SAW.Kelompok ini menamakan dirinya dengan
nama THORIQAT yang berpredikat masing-masing sesuai dengan nama ajaran pembawa
ajaran itu.Terdapatlah beberapa nama antara lain:
THORIQAT QODIRIYAH:pembawa ajaran,Syekh Abdul Qadir
Jaelani q.s (qaddasallahu sirrahu)
THORIQAT SYADZILIYAH:pembawa ajaran,Syekh Abu Hasan
As-Syadzili q.s
THORIQAT NAQSYABANDIYAH:pembawa ajaran,Syekh Baha’uddin
An Naqsyabandi q.s
Dan masih banyak lagi nama-nama Thoriqat yang mereka
anggap sejalan dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT:
Artinya:”Jika mereka benar-benar istiqomah(tetap
pendirianya/terus-menerus)diatas Thoriqat (jalan)itu,sesungguhnya akan kami beri
minum mereka dengan air (hikmah)yang berlimpah-limpah.(QS.Al Jin:16)
Banyak ulama yang berpendapat bahwa dari sejumlah
Thoriqat-Thoriqat yang tersebar didunia islam,ada yang MU’TABAR(diakui)dan
GHAIRU MU”TABAR (tidak diakui).
Seseorang yang memasuki Thoriqat,dinamai salik (orang
yang berjalan),sedang cara yang mereka tempuh menurut cara-cara tertentu
dinamakan Suluk
Makna Syareat
Dari segi bahasa artinya:”TATA HUKUM”.
Disadari bahwa
dalam alam semesta ini tidak ada yang terlepas dari apa yang dinamakan HUKUM.termasuk
untuk manusia sebagai mahluk sosial dan sebagai Hamba Allah,perlu diatur dan
ditata sehingga tercipta keteraturan yang menyangkut hubungan antar
manusia,manusia dengan alam,serta manusia dengan maha pencipta.
Dalam ajaran islam melaksanakan aturan dan ketentuan
hukum tanpa memahami dan menghayati apa tujuan hukum,maka pelaksanaanya
tidaklah memiliki nilai yang sempurna. Orang tua-tua biasa menyebutnya Kulit
tanpa Isi.Tujuan hukum adalah kebenaran,atau dalam istilah Kitab Kuning yang
sebenar-benarnya (HAKEKAT). Untuk mencapai tujuan tersebut memerlukan jalan dan
cara.tanpa mengetahui jalannya tentu sulit mencapai tujuan.Hal itu dinamakan
THOREQAT
Batasan Pengertian Musafir
Apa batasan seseorang bisa disebut sebagai musafir, yang
nantinya akan berpengaruh apakah dia boleh menjamak dan mengqashar shalatnya.
1. Bahasa
Secara bahasa, musafir itu adalah ism fa'il (pelaku) dari
safar atau perjalanan. Secara etimologis, kata safar dalam bahasa Arab bermakna
:
قَطْعُ
الْمَسَافَةِ
Perjalanan menempuh suatu jarak
Lawan kata safar adalah hadhar, yaitu berada di suatu
tempat, tidak bepergian menempuh jarak tertentu dengan tujuan tertentu.
2. Istilah
Namun dalam istilah para fuqaha (ahli fiqih) yang
dimaksud dengan safar bukan sekedar seseorang pergi dari satu titik ke titik
yang lain. Namun makna safar dalam istilah para fuqaha adalah :
أَنْ
يَخْرُجَ الإنْسَانُ مِنْ وَطَنِهِ قَاصِدًا
مَكَانًا يَسْتَغْرِقُ الْمَسِيرُ إِلَيْهِ مَسَافَةً مُقَدَّرَةً عِنْدَهُمْ
Seseorang keluar dari negerinya untuk menuju ke satu
tempat tertentu, yang perjalanan itu menempuh jarak tertentu dalam pandangan
mereka (ahli fiqih).
B. Syarat Musafir
Kalau kita cermati definisi yang dibuat oleh para ulama
di atas, maka istilah safar itu menyangkut tiga syarat utama, yaitu : keluar
dari wathan, punya tujuan tertentu, dan ada jarak minimal dari tempat yang
dituju.
1. Keluar Dari Wathan
Kriteria safar yang pertama adalah keluar dari wathan,
atau dari tempat tinggal. Sehingga seseorang tidak disebut sebagai musafir
manakala dia tidak keluar dari wathan atau daerah tempat tinggalnya.
Contohnya adalah seorang yang naik treadmill, salah satu
alat kebugaran. Meski dia melangkahkan kaki menempuh hitungan 100 Km, tidak
dikatakan telah menjadi musafir, mengingat secara fisik dirinya tidak
kemana-mana dan tetap berada di suatu tempat.
Contoh lainnya adalah seseorang yang mengemudikan mobil
dan masuk jalan tol dalam kota Jakarta. Meski alat pengukur jarak pada
spedometer menyebutkan bahwa dia telah menempuh jarak lebih dari 100 km, namun
kalau hanya berputar-putar saja di dalam Kota Jakarta, meski telah beberapa
putaran, lalu pulang ke rumah, tidak disebut musafir.
Contoh lainnya adalah warga Jakarta dan sekitarnya yang
duduk berjam-jam dalam sehari di dalam kendaraan sambil menikmati kemacetan
parah. Meski waktu yang dipakai untuk bermacet-macet itu lebih dari tiga jam,
namun tidak disebut sebagai perjalanan atau safar.
Kenapa?
Karena belum keluar dari wathan atau wilayah tempat
tinggal. Macet itu masih di dalam wilayah tempat tinggal. Sehingga berbagai
fasilitas dan keringanan buat musafir, belum diperoleh manakala seseorang masih
berada di dalam rumahnya sendiri atau berada di daerah tempat tinggalnya.
Karena status seseorang belum dikatakan telah menjadi musafir, manakala dia
belum keluar dari tempat tinggalnya.
Dan demikian juga sebaliknya, semua fasilitas itu tidak
berlaku lagi, manakala seseorang sudah kembali berada di tempat tinggalnya.
Tentang pengertian wathan sebagaimana yang disebutkan
dalam definisi ini, nanti akan kita bahas secara tersendiri.
2. Punya Tujuan Tertentu
Kriteria kedua adalah bahwa perjalanan yang dilakuan
harus punya tujuan tertentu yang pasti secara spesifik dan pasti, bukan sekedar
berjalan tak tentu arah dan tujuan.
Misalnya, orang yang melakukan perburuan hewan atau
mengejar hewan yang lepas, dimana dia tidak tahu mau pergi kemana tujuan
perjalanannya.
Kalau ada orang masuk tol dalam kota Jakarta, lalu memutari
Jakarta dua putaran, maka dia sudah menempuh jarak kurang lebih 90 Km. Namun
orang ini tidak disebut sebagai musafir. Alasannya karena apa yang dilakukannya
itu tidak punya tujuan yang pasti.
Demikian juga dengan pembalap di sirkuit. Meski jarak
yang ditempuhnya ratusan kilmometer, tetapi kalau lokasi hanya berputar-putar
di sirkuit itu saja, juga bukan termasuk musafir. Alasannya, karena tidak ada
tujuannya kecuali hanya berputar-putar belaka.
Maka orang yang menempuh jarak jauh tetapi tidak ada
tujuan tertentu, tidak disebut sebagai musafir.
3. Jarak Tertentu
Kriteria yang ketiga dari sebuah safar adalah adanya
jarak minimal yang harus ditempuh dari wilayah tempat tinggalnya hingga ke
tempat tujuannya. Tidak semua safar membolehkan kita untuk mengqashar shalat.
Hanya safar dengan kriteria tertentu saja yang membolehkan kita mengqasharnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menjama'
shalat dilihat dari segi batas minimal jarak perjalanan.
a. Jumhur Ulama
Jumhur ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah,
Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah umumnya sepakat bahwa minimal berjarak empat
burud. Dasar ketentuan minimal empat burud ini ada banyak, di antaranya adalah
sabda Rasulullah SAW berikut ini :
يَاأَهْلَ
مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا فيِ
أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بَرْدٍ
مِنْ مَكَّةَ إِلىَ عُسْفَان
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila
kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan". (HR. Ad-Daruquthuny)
Selain dalil hadits di atas, dasar dari jarak minimal 4
burud adalah apa yang selalu dilakukan oleh dua ulama besar dari kalangan
shahabat, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma. Mereka berdua
tidak pernah mengqashar shalat kecuali bila perjalanan itu berjarak minimal 4
burud. Dan tidak ada yang menentang hal itu dari para shahabat yang lain.
Dalil lainnya adalah apa yang disebutkan oleh Al-Atsram,
bahwa Abu Abdillah ditanya, "Dalam jarak berapa Anda mengqashar
shalat?". Beliau menjawab,"Empat burud". Ditanya lagi,"Apakah
itu sama dengan jarak perjalanan sehari penuh?". Beliau
menjawab,"Tidak, tapi empat burud atau 16 farsakh, yaitu sejauh perjalanan
dua hari".
Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu
sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4
burud itu sama dengan 88,704 km .
Meski jarak itu bisa ditempuh hanya dengan satu jam naik
pesawat terbang, tetap dianggap telah memenuhi syarat perjalanan. Karena yang
dijadikan dasar bukan lagi hari atau waktu, melainkan jarak tempuh.
Dua Hari Perjalanan.
Dan semua ulama sepakat bahwa meski pun disebut masa
perjalanan dua hari, namun yang dijadikan hitungan sama sekali bukan masa
tempuh. Tetapi yang dijadikan hitungan adalah jarak yang bisa ditempuh di masa
itu selama dua hari perjalanan.
Pertanyannya, kalau memang yang dimaksud dengan jarak
disini bukan waktu tempuh dua hari, lalu mengapa dalilnya malah menyebutkan
waktu dan bukan jarak.
Jawabnya karena di masa Rasulullah SAW dan beberapa tahun
sesudahnya, orang-orang terbiasa menyebutkan jarak antar satu negeri dengan
negeri lainnya dengan hitungan waktu tempuh, bukan dengan skala kilometer atau
mil.
Di masa sekarang ini, kita masih menemukan masyarakat
yang menyebut jarak antar kota dengan hitungan waktu. Salah satunya di Jepang
yang sangat maju teknologi perkereta-apiannya. Disana orang-oran terbiasa
menyebut jarak satu kota dengan kota lainnya dengan hitungan jam. Maksudnya
tentu bukan dengan jalan kaki melainkan dengan naik kereta cepat Sinkansen.
Sedangkan perjalanan dua hari di masa Rasulullah SAW
tentunya dihitung dengan berjalan kaki dengan langkah yang biasanya. Meski pun
naik kuda atau unta, sebenarnya relatif masa tempuhnya kurang lebih sama.
Karena kuda atau unta bila berjalan di padang pasir tentu tidak berlari, sebab
tenaganya akan cepat habis.
Perjalanan antar negeri di masa itu yang dihitung hanya
perjalanan siang saja, sedangkan malam hari tidak dihitung, karena biasanya
malam hari para khafilah yang melintasi padang pasir beristirahat.
Masa tempuh seperti ini kalau dikonversikan dengan jarah
temput sebanding dengan jarak 24 mil. Dan sebanding pula dengan jarak 4 burud,
juga sebanding dengan 16 farsakh. Jarak ini juga sama dengan 48 mil hasyimi. b.
Jarak 3 Hari Perjalanan
Abu Hanifah dan para ulama Kufah mengatakan minimal jarak
safar yang membolehkan qashar itu adalah bila jaraknya minimal sejauh
perjalanan tiga hari, baik perjalanan itu ditempuh dengan menunggang unta atau
berjalan kaki, keduanya relatif sama. Dan tidak disyaratkan perjalanan itu
siang dan malam, tetapi cukup sejak pagi hingga zawal di siang hari.
Safar selama tiga hari ini kira-kira sebanding dengan
safar sejauh 3 marhalah. Karena kebiasaannya seseorang melakukan safar sehari
menempuh satu marhalah.
Dasar dari penggunaan masa waktu tiga hari ini adalah
hadits Nabi SAW, dimana dalam beberapa hadits beliau selalu menyebut perjalanan
dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadits tentang mengusap sepatu,
disana dikatakan bahwa seorang boleh mengusap sepatu selama perjalanan 3 hari.
يَمْسَحُ
المُقِيْمُ كَمَالَ يَوْمِ وَلَيْلَةٍ
وَالمَسَافِرُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيْهَا
Orang yang muqim mengusap sepatu dalam jangka waktu
sehari semalam, sedangkan orang yang safar mengusap sepatu dalam jangka waktu
tiga hari tiga malam. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Demikian juga ketika Rasulullah SAW menyebutkan tentang
larangan wanita bepergian tanpa mahram yang menyertainya, beliau menyebut
perjalanan selama 3 hari.
لاَ
يَحِل لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ
ثَلاَثِ لَيَالٍ إِلاَّ وَمَعَهَا
مَحْرَمٌ
Dari Ibnu Umar radhiyallhuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
bepergian sejauh 3 malam kecuali bersama mahram". (HR. Muslim)
Menurut mazhab Al-Hanafiyah, penyebutan 3 hari perjalanan
itu pasti ada maksudnya, yaitu untuk menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan
yang membolehkan qashar adalah sejauh perjalanan 3 hari.
Kalau kita konversikan jarak perjalanan tiga hari, maka
hitungannya adalah sekitar 135 Km.
c. Beberapa Rute Jalan Berbeda Jarak
Lepas dari perbedaan para fuqaha tentang jarak safar,
muncul kemudian permasalahan baru, yaitu bagaimana bila untuk mencapai tujuan
ternyata ada beberapa jalan yang ukuran jaraknya berbeda.
Manakah yang kita gunakan, apakah menggunakan jarak
terpendek ataukah jarak terjauh?
Dalam hal ini umumnya para ulama mengatakan bahwa yang
digunakan bukan jarak terdekat atau jarak terjauh. Yang digunakan adalah rute
yang dipilih. Maksudnya, bila seseorang berjalan menggunakan rute pertama, yang
jaraknya telah memenuhi batas jarak minimal, maka dia terhitung musafir dan
mendapatkan fasilitas seperti kebolehan berbuka puasa, menqashar shalat dan
sebagainya.
Sebaliknya, bila rute yang dia tempuh ternyata tidak
mencukupi jarak minimal safar, maka dia tidak atau belum lagi berstatus
musafir. Sehingga tidak mendapatkan fasilitas keringan dalam hukum syariah.
Abu Hanifah mengatakan yang digunakan adalah jarak
terjauh. Misalnya ada dua rute, rute pertama membutuhkan waktu 3 hari
perjalanan, sedangkan rute kedua membutuhkan hanya 1 hari perjalanan, maka yang
dianggap adalah yang terjauh. Maka dalam urusan qashar shalat, jarak itu sudah
membolehkan qashar.
Jarak Jakarta - Puncak
Dan apa yang telah dibahas para ulama di masa lalu
nampaknya menjadi solusi di masa sekarang. Di tahun 70-an, sebelum ada jalan
TOL Jakarta Bogor Ciawi (Jagorawi), penduduk Jakarta menghitung bahwa antara
kota Jakarta dan Puncak Pass berjarak 90 km. Tetapi sekarang dengan lewat jalan
tol, jarak itu berubah hanya 70-an km saja.
Demikian juga dengan jarak antara Jakarta dan Bandung.
Kalau di masa lalu jaraknya 180-an km, maka sekarang jaraknya hanya tinggal
120-an km.
Ternyata perbedaan-perbedaan itu terjadi karena ada
perbedaan rute di masa lalu dan di masa sekarang. Dahulu orang kalau mau ke
Puncak harus lewat jalan Bogor Lama, lewat kota Bogor lalu Ciawi. Tetapi
sekarang dari Jakarta ke Puncak sama sekali tidak lewat Bogor atau Ciawi,
tetapi langsung memotong jalur.
Begitu juga dengan rute Jakarta ke Bandung, dahulu harus
lewat Bogor dan Ciawi bahkan lewat Sukabumi. Tetapi sekarang lewat jalan tol
Cikampek ternyata rutenya menjadi jauh lebih singkat.
4. Safar Yang Mubah
Kriteria yang keempat adalah kehalalan safar yang
dilakukan. Halal disini maksudnya adalah bahwa perjalanan itu tujuannya bukan
untuk melakukan maksiat atau kemungkaran yang dilarang Allah SWT.
Perjalanan yang dilakukan dengan tujuan untuk mencuri,
merampok, membunuh nyawa tanpa hak, meminum khamar, berjudi, berpraktek riba,
menjadi dukun, tukang ramal, mengerjakan sihir atau untuk berzina dan
sejenisnya, adalah perjalanan yang tidak dibenarkan, sekaligus juga tidak
memberikan fasilitas dan keringanan bagi pelakukan untuk melakukan shalat
dengan jama' atau qashar.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama,
apakah syarat ini berlaku atau tidak.
a. Safar Yang Tidak Maksiat
Jumhur ulama di antaranya Mazhab Al-Malikiyah,
As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah menyebutkan tidak semua safar membolehkan
keringanan, seperti kebolehan jama' dan qashar shalat. Mereka mensyaratkan
bahwa safar itu minimal hukumnya mubah, bukan safar maksiat atau safar yang
terlarang.
Alasan yang mereka kemukakan Kalau kita pakai pendapat
yang pertama, maka seorang yang melakukan safar dengan tujuan akan menjalani
profesinya sebagai maling atau perampok, tidak mendapat fasilitas dan
keringanan untuk menjama' atau mengqashar shalat.
b. Safar Haji, Umrah dan Jihad
Sementara ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa
keringanan hukum bagi musafir hanya berlaku dalam safar yang tujuannya haji
atau umrah saja. Kalau kita menggunakan pendapat ini, perjalanan untuk bisnis,
tamasya, atau menghadiri undangan pernikahan, bukan perjalanan yang membolehkan
kita untuk menjama' dan mengqashar shalat.
c. Semua Safar Termasuk Yang Maksiat
Dan lawan dari pendapat pertama dan kedua di atas, adalah
pandangan sebagian ulama yang membolehkan safar apa saja, baik halal atau haram
tidak menjadi masalah.
Di antara mazhab yang mengatakan hal ini adalah mazhab
Al-Hanafiyah. Dalam pandangan mereka, ketika Allah SWT memberikan kemudahan
untuk menjama' atau mengqashar shalat buat musafir, dalil yang digunakan adalah
dalil yang umum dan mutlak, tanpa menyebutkan syarat-syarat tertentu, seperti tidak boleh dalam rangka kemaksiatan dan
sebagainya.