MAJAPAHIT SELAYANG PANDANG
Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden
Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan
kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya
yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena
dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga saudara tiri
Arya Damar.
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati,
seorang muslim dari Campa. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara
lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara
Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan
Mataram.
Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya
adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya
adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan
Menak Jingga bupati Blambangan.
Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad
dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang
sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan
hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya.
Naskah serat
ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
1. Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
2. Prabu Brakumara
3. Prabu Brawijaya I
4. Ratu Ayu Kencanawungu
5. Prabu Brawijaya II
6. Prabu Brawijaya III
7. Prabu Brawijaya IV
8. dan terakhir, Prabu Brawijaya V
Sering terjadi kesalah pahaman dgn menganggap Brawijaya
(bhre Kerthabumi) sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton Trowulan, dan
memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha.
Asal usul nama
Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak
pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan
Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang
naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra
adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan
gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra
i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga
disebut Bhatara Wijaya.
Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada
tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota
kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena
yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.
Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis
untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara.Tokoh Bhatara Wijaya ini
kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu
tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan
Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain,
saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha
runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui
dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara
Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya
merupakan raja Daha yang terakhir.
Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat
dalam ingatan masyarakat Jawa sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang
namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit
identik dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun
"ditempatkan" sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan
masyarakat Jawa berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun
dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui
masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis
naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan
Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha.
Bhre Kertabhumi dalam Pararaton
Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang
berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan
naskah tersebut tertulis:
Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja
pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari
istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre
Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal
dalam istana tahun Saka 1400.
Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu.Tidak
jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre
Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang
meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah
raja sebelumnya.
Teori yang cukup populer menyebut Bhre Kertabhumi sebagai
tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan
dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang
menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi
ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya
adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun
Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh
Brawijaya pun dianggap identik dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi.
Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan
pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.
Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina
Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di
Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya
Kerajaan Pajang.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi.
Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra
Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang
Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.
Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.
Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak
Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa
berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa.
Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar
adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang
Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat
Raden
Patah.
Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre
Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir
berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad
dan serat.
Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan
Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini
kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada
tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun
pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai
bupati baru.
Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha
Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut
berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar
sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah
menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina.
Teori keruntuhan Majapahit
Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di
Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan
dalam berbagai versi, antara lain:
Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden
Patah dari Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk Islam melalui Sunan
Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Pulau Bali.
Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat ini uraiannya
terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer dalam masyarakat
Jawa.
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh
Raden Patah. Setelah itu Majapahit menjadi bawahan Kesultanan Demak. Teori ini
muncul berdasarkan ditemukannya kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang.
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul
berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah terjadi peperangan
antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh
anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan
secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja terakhir Majapahit atau
bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan
istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi) adalah Bhre Pandansalas, ataukah
anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut Bhre Pandansalas sebagai raja
terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali
untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati
dibunuh oleh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun 1478.
Pemakaian nama Brawijaya
Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat
terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer,
terutama di daerah Jawa Timur.
Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur
menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan
menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya.
Juga terdapat Stadion Brawijaya dan Museum Brawijaya di kota yang sama. Di
samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi
daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.
Babad Tanah Jawi, merupakan karya sastra sejarah dalam
berbentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan
zaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal
yang terjadi di tanah Jawa.
Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan
Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga
nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah
Jawa hingga Mataram Islam.
Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat
tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan
Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18.
Buku ini telah dipakai sebagai salah satu babon rekonstruksi
sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan,
para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.
Banyak versi
Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.
Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau
disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok.
Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono
III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788.
Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II
dengan naskah tertua bertarikh 1722.
Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa
Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya
menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit
keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli
sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di
Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600
sampai zaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun
1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era
itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat
campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.
Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah
Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh
Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja.
Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.
Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II
mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya.
Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.
SERAT BABAT TANAH JAWI (Versi PAkubowono VI)
Munggeng sarkara ring
ukara nis,
sasmita tan sumukeng pustaka,
kang tyas rujit karejete,
lir antaka kawantu ,
Murwisesaning Yyang kaeksi,
kang nitah amamatah,
ing boga sawegung,
kang amurwa sifat purba,
kang ambagi sagala isining bumi
nimpuni paripudya.
Kang asih mring rahsanya ngasihi,
mangka manggala para dinuta,
diperig rat wuryaning rate,
respatikang rinasul,
warana ris nayakeng bumi,
kuneng awit kawangwang,
wawangson winangun,
rawining rat nusa Jawa,
kinarsakken dinawa supaya dadi,
manfangat winasiyat.
Mangka pangenget amemengeti,
wajib sajarahing tanah Arab,
tuhu ing Jawa tan pae,
pamilanging luluwur,
pan ingunikalimosadi,
pusaka pinustaka,
ing karsa sang prabu,
Pakubuwana kaping pat,
pinrih aja parbatan wit carita di,
ayya nanggung rekasa.
Rikang nalika mreteng palupi,
limalas Ngakhad Rabiyulawal,
kanem mangsa lifwarsane,
Von wuku Julungarum,
margeng nata kaswareng dasih,
pareng ingkang sengkala,
mugya Hyang Aruhur,
marma martana nugraha,
mawantua safangat si murteng bumi,
mring sang kretarteng praja.
Purwaning wasita kang tinati,
sajarahing nata kina-kina,
ing nusya ]awa babade,
dhihin ingkang luluhur,
Nabi Adam putra Esis,
Esis putra Nurcahya,
Nurcahya asunu,
iya mangaran Nurrasa,
sang Nurrasa ya aputra sanghyang,
Wening aputra sanghyang Tunggal.
Santo saa ri ward ay a dining,
muktamate carita punika,
winangun lawan’kususe,
tinurut urutipun,
malar dadya tepa palupi,
rikang karsa amarna,
nenggih jeng Sinuhun,
Pakubuwana ping sapta,
angluluri anggiting rama narpati,
piririhsapangatira.
Tumeraha trus ing wuri-wuri,
warananing murweng kawiryawan,
wahyaning wahyu wiyose,
mawantua rahayu ..,
yuwanane dennya ngayomi,
ring wadya sadayanya,
kasub sabiyantu,
aywa na sangsayanira,
amanggiha suka arja ,
dining dana narendra.
Nihari nalika marteng palupi,
Ttimpak Wage ping gangsal ing Rajab,
lumaksaneng taun Ehe,
Sancaya mangsa catur,
Mandhasiya den-sengkalani,
dadirasa sabdendra,
muga Hyang kang ruhur,
marma martana nugraha,
inistura ing rahmat sang murbeng bumi.
Nanging ta ingkang wayah ing benjing,
kangjeng Panembahan Purbaya,
punika kang madeg rajeng,
umadegipun ratu,
Ngadipala puranireki,
langkung sangsanira,
rikang purwanipun,
wesana luhur kalintang,
anglangkungi ing sama-samaning aji,
umadeg adilira.
………….
sawingking tuwan besuk,
ingkang pasthi umadeg aji,
inggih wayah paduka,
p a nje nenganipun,
ngadhaton ing Adipala,
kilen lepen Semanggi pecane benjing,
sangsaya karatonnya.
Nanging purwane kewala benjing,
sangsayane ingkang panjenengan,
way ah paduka ing tembe,
dining wesananipun,
apan madeg nata dibya di,
netepi adil ing Hyang,
tuhuning pinunjul,
ing sasama-sama nata,
tanah sabrang tan ana kang nyanyameni,
jenenge wayah tuwan.
BABAD TANAH JAWA (VERSI DEMAK)
Babad adalah cerita rekaan (fiksi) yang didasarkan pada
peristiwa sejarah, dimana penulisannya biasanya dalam bentuk macapat
(tembang/puisi/syair). Salah satu babad yang sangat terkenal adalah Babad tanah
jawa, dimana babad ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal
yang terjadi di tanah Jawa.
Meskipun syarat dengan peristiwa sejarah, sifatnya yang
fiksi menempatkan babad sebagai referensi sejarah-imajinatif. Babad memiliki
sifat religio-magis dan pekat dengan imajinasi. Sifat itu membuat ahli sejarah
berada dalam ragu untuk memakai babad sebagai sumber sejarah yang sahih, dan
penggunaannya dalam menggali sejarah menuai pro dan kontra. S. Margana dalam
buku Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial (2004) mengungkapkan babad
merupakan problematik dalam historiografi modern. Para sejarawan kerap memahami
babad sebagai tulisan atau sumber sejarah dalam tendensi subjektif. Para
sejarawan yang menolak peran babad sebagai sumber sejarah memiliki argumen
bahwa babad rentan dengan bias dalam menggambarkan fakta-fakta sejarah. Babad
cenderung menjadi percampuran dari fakta dan mitologi. Para sejarawan yang
akomodatif justru menerapkan metode dan metodologi tertentu untuk menjadikan
babad sebagai sumber informasi mumpuni ketimbang sumber-sumber kolonial.
Terlepas dari pro-kontra tersebut, babad Tanah Jawi
merupakan jejak besar dalam membaca (sejarah) Jawa, salah satu diantaranya
adalah sejarah Kesultanan Demak Bintoro. Di salah satu bab dalam babad tanah
jawa secara singkat diceritakan sejarah berdirinya Kesultanan demak, bagamana
perjalannya, dan bagamaimana kerajaan islam pertama di jawa ini berakhir.
Berikut ini adalah terjemahan bebas dari salah satu bab
dalam babad tanah jawa yang berisikan kisah kesultanan demak bintoro. Babad
tanah jawa yang diambil di sini adalah Babad tanah jawa yang digubah oleh L.
VAN RIJCKEVORSEL -Directeur Normaalschool Muntilan dibantu oleh R.D.S.
HADIWIDJANA Guru Kweekschool Muntilan yang diterbitkan pada tahun 1925.
Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang +/- tahun 1500 - 1582
Dimulai di tanah jawa ada agama islam pada tahun antara
1400-1425.
Ditahhun 1292 di tanah Perlak di pulau Sumatra sudah ada
orang islam; pada tahun 1300 ada orang islam tiggal di Samudra Pasai. Di
penghujung abad ke 14 di Malaka juga sudah ada orang islam. Orang Islam
tersebut berasal dari Gujarat. Dari malaka itu, agama Islam tersebar ke Tanah
Jawa, Tanah China, Indhiya Buri dan Indhiya Ngarep. Yang menyebarkan islam di
Jawa pertama kali adalah Pedagang Jawa dari Tuban dan Gresik, yang sering
berdagang di Malaka, mereka belajar agama islam, sehingga islam terkadang agak
dipaksa. Para pedagang jawa tadi pulang ke Jawa Timur, pedagang Indhu dan
Persia juga ada yang ikut masuk ke sana dan ikut menyebarkan agama islam kepada
Masyarakat. Yang terkenal adalah Maulana Malik Ibrahim (Berkebangsaan Persia),
meninggal di Gresik pada tahun 1419. Hingga sekarang makamnya masih ada.
Setelah kekuasaan kerajaan Majapahit semakin lama semakin
surut, para bupati di pesisir merasa makin besar kekuasaannya. Berani melakukan
tindakan sekehendaknya. Para bupati tersebut sepertinya telah memeluk islam
sejak memasuki abad 16 (tahun 1500 - 1525). Oleh sebab itu kerap terjadi
peperangan dengan para raja agama indhu yang berada di jawa bagian tengah.
Menurut Cerita: Sang Prabu Kertawijaya Majapahit itu telah
menikah dengan Putri dari Cempa (Tanah Indhiya Buri). Putri Tersebut adalah
bibinya Raden Rahmat atau yang dikenal dengan Sunan Ampel (dekat Surabaya).
Sunan Ampel punya anak laki-laki satu yang bernama Sunan Bonang, dan Satu anak
perempuan bernama Nyai Gedhe Malaka. Nyai Ghede Malaka itu mertua Raden Patah
atau Panembahan Jimbun, yaitu yang disebut Sultan Demak Pertama.
Sunan Ngampel dan Sunan Bonang itu termasuk para wali. Para
wali itu yang terkenal : Sunan Giri (sebelah selatan Gresik), ada di sana yasa
kedhaton dan Masjid; Ki Pandan Arang (di Semarang) dan Sunan Kali Jaga (di
Demak). Pada tahun 1458 di Demak sudah ada Masjid bagus.
Di antara para bupati di pesisir, Pati Unus itu yang paling
berkuat. Pati Unus juga disebut Pangeran Sabrang Lor. Dia putra Raden Patah
atau Panembahan Jimbun. Tahun 1511 Pati Unus menguasai Jepara, pada tahun 1513
menyerang Malaka. Persiapan yang dilakukan dalam rangka penyerangan tersebut
membutuhkan waktu tujuh tahun. Dan bisa mengumpulkan kapal hingga sembilan
puluh dan 12 ribu prajurit, juga meriam yang sangat banyak. Akan tetapi
perlawanan Portugis sangat sengit, hingga Pati Unus dipaksa mundur pulang tanpa
hasil.
Pati Unus pada tahun 1518 juga mengalahkan Majapahit, tapi
majapahit waktu itu memang tidak sebesar dulu. Kotanya tidak dirusak, hanya
pusaka kerajaan dibawa ke Demak serta Pati Unus mengaku menanti Ratu Majapahit.
Pada tahun 1521 Pati Unus meninggal masih muda dan tidak
meninggalkan anak. Yang menggantikannya adalah adik yang tinggal satu yaitu
Raden Trenggana, karena adiknya yang satu: Pangeran Sekar Seda Lepen, telah
dibunuh oleh anaknya Raden Trenggana yang dijuluki Pangeran Mukmin.
Semasa pemerintahan Sultan Trenggana (Tahun 1521 - 1550)
Kerajaan Demak sangat berkuasa sekali, Menguasai tanah Jawa Barat, kota-kota di
pesisir utara dan juga merebut jajahan majapahit, serta kerajaan Supit Urang
(Tumapel) juga menjadi diperintah oleh Demak. Sementara Blambangan itu milik
Bali.
Pelabuhan milik Demak banyak yang ramai,seperti Jepara,
Tuban, Gresik, dan Jaratan. Gresik dan Jaratan yang paling ramai, orang yang
tinggal di sana ada 23 ribu.
Pada tahun 1546 Sunan Gunung Jati dengan Sultan Trenggana
ingin menyerang Pasuruhan. Kota Pasuruhan Lalu dikepung oleh bala tentara, akan
tetapi belum sempat menyerang, pengepungan dibatalkan, karena Sultan Trengganan
meninggal dicelakai oleh salah seorang saudara santana.
Anak Sultan Trenggana banyak, Anak-anaknya menikah dengan
bangsawan - bangsawan besar. Ada yang menikah dengan bupati di Pajang yang
bernama Adiwijaya, yaitu Mas Karebet, Ki Jaka Tingkir atau Panji Mas.
Anak Sultan Trenggana ada dua: Pangeran Mukmin atau Sunan
Prawata, dan Pangeran Timur yang nantinya menjadi adipati di Madura. Sunan
Prawata itu yang membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen.
Anak Pangeran Sekar Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang
ingin balas dendam kematian bapaknya. Sejak usaha membunuh Pangeran Mukmin
beserta istri, kemudian anak menantu Sultan Trenggana tidak berhasil, justru
Arya Panangsang diperangi kalah dan mati.
Adiwijawa kemudian menguasai Tanah Jawa: membawa pusaka
kerajaan ke Pajan dan kemudian diangkat Sultan oleh Sunan Giri. Ketika
Adiwijaya menjadi raja di Pajang, Blambangan dan Panarukan dimiliki Raja Agama
Syiwah di Blambangan, yang juga memerintah Bali dan Sumbawa (tahun 1575)
Jajahan-jajahan di pajang diperintah oleh pangeran (adipati)
yaitu : Surabaya, Tuban, Pati, Demak, Pemalang (Tegal), Purbaya (Madiyun),
Blitar (Kedhiri), Selarong (Banyumas), Krapyak (Kedhu bagian selatan barat,
sebelah barat Bengawan Solo.
Ada di Tanah Pasundhan kerajaan Pajang hampir tidak punya
kekuasaan, karena pada tahun +/- 1568 tanah Banten dimerdekakan oleh Hasanuddin
mejadi tanah kesultanan.
BABAD TANAH JAWI ( Versi Hoesein Djajaningrat)
Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi! Menurut ahli
sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu
dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik
Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian
diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang
diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722. Perbedaan
keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal
bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram
secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara
kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar. Babad Tanah Jawi telah
menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf.
Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya
cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai jaman Kartasura di abad 18. Demikian
juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang.
Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai
data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng. Selain
Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia
menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan
karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak
beredar hingga kini. Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia
II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk
aslinya. Asli beneran karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa