PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM
By, Syehha
Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen yang
saling berkaitan. Artinya, kepemimpinan (style of the leader) merupakan
cerminan dari karakter/perilaku pemimpinnya (leader behavior). Perpaduan atau
sintesis antara “leader behavior dengan leader style” merupakan kunci
keberhasilan pengelolaan organisasi; atau dalam skala yang lebih luas adalah
pengelolaan daerah atau wilayah, dan bahkan Negara.
Banyak pakar manajemen yang mengemukakan pendapatnya
tentang kepemimpinan. Dalam hal ini dikemukakan George R. Terry (2006 : 495),
sebagai berikut: “Kepemimpinan adalah kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi
orang orang agar mau bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok secara
sukarela.”
Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
dalam kepemimpinan ada keterkaitan antara pemimpin dengan berbagai kegiatan
yang dihasilkan oleh pemimpin tersebut. Pemimpin adalah seseorang yang dapat
mempersatukan orang-orang dan dapat mengarahkannya sedemikian rupa untuk mencapai
tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin,
maka ia harus mempunyai kemampuan untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.
Kepemimpinan menurut Halpin Winer yang dikutip oleh Dadi
Permadi (2000 : 35) bahwa : “Kepemimpinan yang menekankan dua dimensi perilaku
pimpinan apa yang dia istilahkan “initiating structure” (memprakarsai struktur)
dan “consideration” (pertimbangan). Memprakarsai struktur adalah perilaku
pemimpin dalam menentukan hubungan kerja dengan bawahannya dan juga usahanya
dalam membentuk pola-pola organisasi, saluran komunikasi dan prosedur kerja
yang jelas. Sedangkan pertimbangan adalah perilaku pemimpin dalam menunjukkan
persahabatan dan respek dalam hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya
dalam suatu kerja.”
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:
bahwa kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi aktivitas
seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.”
Dari defenisi kepemimpinan itu dapat disimpulkan bahwa
proses kepemimpinan adalah fungsi pemimpin, pengikut dan variabel situasional
lainnya. Perlu diperhatikan bahwa defenisi tersebut tidak menyebutkan
suatu jenis organisasi tertentu. Dalam situasi apa pun
dimana seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka
sedang berlangsung kepemimpinan dari waktu ke waktu, apakah aktivitasnya
dipusatkan dalam dunia usaha, pendidikan, rumah sakit, organisasi politik atau
keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.
Sedangkan George R Terry (2006 : 124), mengemukakan 8
(delapan) ciri mengenai kepemimpinan dari pemimpin yaitu :
(1) Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik;
(2) Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka
jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan
diri yang cukup besar;
(3) Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara
manusia;
(4) Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk
menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri sendiri;
(5) Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam
berkomunikasi dan atau bernegosiasi;
(6) Kemamapuan atau kecakapan dalam mengajar,
menjelaskan, dan mengembangkan bawahan;
(7) Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar
dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan bawahannya, suka menolong, senang jika
bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul;
(8) Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis,
merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mangambil keputusan dan mampu
menyusun konsep.
Kemudian, kepemimpinan yang berhasil di abad globalisasi
menurut Dave Ulrich adalah: “Merupakan perkalian antara kredibilitas dan
kapabilitas.” Kredibilitas adalah ciri-ciri yang ada pada seorang pemimpin
seperti kompetensi-kompetensi, sifatsifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan
yang bisa dipercaya baik oleh bawahan maupun oleh lingkungannya.
Sedangkan kapabilitas adalah kamampuan pemimpin dalam
menata visi, misi, dan strategi serta dalam mengembangkan sumber-sumber daya
manusia untuk kepentingan memajukan organisasi dan atau wilayah
kepemimpinannya.” Kredibilitas pribadi yang ditampilkan
pemimpin yang menunjukkan kompetensi seperti mempunyai kekuatan keahlian
(expert power) disamping adanya sifat-sifat, nilai-nilai dan
kebiasaan-kebiasaan yang positif (moral character) bila dikalikan dengan
kemampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi organisasi/ wilayah
yang jelas akan merupakan suatu kekuatan dalam menjalankan roda
organisasi/wilayah dalam rangka mencapai tujuannya.
Kepemimpinan Dalam Islam
Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan
hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang
hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang
oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila tak seorang pun faqih
yang memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.”
Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang
menjadi contoh dan suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia
(rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad
Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS.
al-Ahzab [33]: 21).
Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal
pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan
dalam sabda Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut :
“Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin
keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya,
wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan
ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa
kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits).
Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan
kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF):
(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;
(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan
bernegosiasi;
(3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan
tugasnya;
(4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi,
misi, strategi dan mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi
Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok
tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia melayani dan bukan dilayani,
serta menolong orang lain untuk maju.
Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada
beberapa ciri penting yang menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu :
Pertama, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang
dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah;
Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat
tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga
dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang lebih luas;
Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin
terikat dengan peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang
teguh pada perintah syariah.
Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada
adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau
orang-orang yang tak sepaham;
Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan
sebagai amanah dari Allah Swt., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar.
Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah dan
menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau bawahannya.
Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :
“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan
mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya
prinsip-prinsip
dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah;
Keadilan; dan Kebebasan berfikir.
Secara ringkas penulis ingin mengemukakan bahwasanya
pemimpin Islam bukanlah kepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia
mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam. Bermusyawarah dengan
sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuh rasa hormat, membuat
keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasan berfikir,
pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasihati
satu sama lain sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau bawahan merasa
senang mendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama.
Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan hanya kepada pengikut atau bawahannya
semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah tanggung jawabnya kepada Allah
Swt. selaku pengemban amanah kepemimpinan. Kemudian perlu dipahami bahwa
seorang muslim diminta memberikan nasihat bila diperlukan, sebagaimana Hadits
Nabi dari :Tamim bin Aws
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?”
Beliau menjawab: “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya,
Pemimpin umat Islam dan kepada masyarakat kamu.”
Nah, kepada para pemimpin, mulai dari skala yang lebih
kecil, sampai pada tingkat mondial, penulis hanya ingin mengingatkan, semoga
tulisan ini bisa dipahami, dijadikan nasihat dan sekaligus dapat dilaksanakan
dengan baik
Konsep Kepemimpinan Dalam Islam
Pengertian Kepemimpinan secara Umum
Kepemimpinan (leadership) adalah kegiatan manusia dalam
kehidupan. Secara etimologi, kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berasal dari kata dasar “pimpin” yang jika mendapat awalan “me” menjadi
“memimpin” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan
lain yang sama pengertiannya adalah mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih
dalam arti mendidik dan mengajari supaya dapat mengerjakan sendiri. Adapun
pemimpin berarti orang yang memimpin atau mengetuai atau mengepalai. Sedang
kepemimpinan menunjukkan pada semua perihal dalam memimpin, termasuk
kegiatannya.
Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara
pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai
hasil dari interaksi otomatis di antara pemimpin dan individu-individu yang
dipimpin (ada relasi inter-personal). Kepemimpinan ini bisa berfungsi atas
dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakkan orang
lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan tertentu. Dengan
demikian, pemimpin tersebut ada apabila terdapat satu kelompok atau satu
organisasi.
Sebenarnya
kepemimpinan merupakan cabang dari ilmu administrasi, khususnya ilmu
administrasi negara. Ilmu administrasi adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu
sosial, dan merupakan salah satu perkembangan dari filsafat. Sedang inti dari
administrasi adalah manajemen. Dalam kaitannya dengan administrasi dan
manajemen, pemimpinlah yang menggerakkan semua sumber-sumber manusia, sumber
daya alam, sarana, dana dan waktu secara efektif-efisien serta terpadu dalam
proses manajemen dalam suatu kelompok atau organisasi.. Keberhasilan suatu
organisasi atau kelompok dalam mencapai tujuan yang ingin diraih, bergantung
pada kepemimpinan seorang pemimpin. Jadi kepemimpian menduduki fungsi kardinal
dan sentral dalam organisasi, manajemen maupun administrasi.
Konsep Kepemimpinan dalam Islam
Istilah Kepemimpinan dalam Islam ada beberapa bentuk,
yaitu khilafah, imamah, imarah, wilayah, sultan, mulk dan ri’asah. Setiap
istilah ini mengandung arti kepemimpinan secara umum. Namun istilah yang sering
digunakan dalam konteks kepemimpinan pemerintahan dan kenegaraan, yaitu
Khilafah, imamah dan imarah.Oleh karena itu, pembahasan kepemimpinan dalam
Islam akan diwakili oleh ketiga istilah ini.
Khilafah
Kata khilafah berasal dari kata khalafa-yakhlifu-khalfun
yang berarti al-‘aud atau al-balad yakni mengganti, yang pada mulanya berarti
belakang. Adapun pelakunya yaitu orang yang mengganti disebut khalifah dengan bentuk jamak khulafa’ yang berarti
wakil, pengganti dan penguasa.
Kata khalifah sering diartikan sebagai pengganti, karena
orang yang menggantikan datang sesudah orang yang digantikan dan ia menempati
tempat dan kedudukan orang tersebut. Khalifah juga bisa berarti seseorang yang
diberi wewenang untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan
orang memberi wewenang.Menurut al-Ragib al-Asfahani, arti “menggantikan yang
lain” yang dikandung kata khalifah berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang
digantikan, baik orang yang digantikannya itu bersamanya atau tidak.
Istilah ini di satu pihak, dipahami sebagai kepala negara
dalam pemerintahan dan kerajaan Islam di masa lalu, yang dalam konteks kerajaan
pengertiannya sama dengan kata sultan. Di lain pihak, cukup dikenal pula
pengertiannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang mempunyai dua pengertian.
Pertama, wakil Tuhan yang diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepala negara.
Kedua, fungsi manusia itu sendiri di muka bumi, sebagai ciptaan Tuhan yang
paling sempurna.
Menurut M. Dawam Rahardjo, istilah khalifah dalam
al-Qur’an mempunyai tiga makna. Pertama, Adam yang merupakan simbol manusia
sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa manusia berfungsi sebagai
khalifah dalam kehidupan. Kedua, khalifah berarti pula generasi penerus atau
generasi pengganti; fungsi khalifah diemban secara kolektif oleh suatu
generasi. Ketiga, khalifah adalah kepala negara atau pemerintahan.
Khilafah sebagai turunan dari kata khalifah, menurut Abu
al-A‘laal-Maududi, merupakan teori Islam tentang negara dan pemerintahan.
Adapun menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, khilafah adalah
kepemimpinan. Istilah ini berubah menjadi pemerintahan berdasarkan kedaulatan.
Khilafah ini masih bersifat pribadi, sedangkan pemerintahan adalah kepemimpinan
yang telah melembaga ke dalam suatu sistem kedaulatan.
Menurut Imam Baid{awi al-Mawardi dan Ibnu Khaldun,
khilafah adalah lembaga yang mengganti fungsi pembuat hukum, melaksanakan
undang-undang berdasarkan hukum Islam dan mengurus masalah-masalah agama dan
dunia. Menurut al-Mawardi, khilafah atau imamah berfungsi mengganti peranan
kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia.
Posisi khilafah ini mempunyai implikasi moral untuk
berusaha menciptakan kesejahteraan hidup bersama berdasarkan prinsip persamaan
dan keadilan. Kepemimpinan dan kekuasaan harus tetap diletakkan dalam rangka
menjaga eksistensi manusia yang bersifat sementara.
Menurut Bernard Lewis, istilah ini pertama kali muncul di
Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 Masehi. Dalam prasasti
tersebut, kata khalifah tampaknya menunjuk kepada semacam raja muda atau letnan
yang bertindak sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain.
Sedangkan setelah Islam datang, istilah ini pertama kali digunakan ketika Abu
Bakar yang menjadi khalifah pertama setelah Nabi Muhammad. Dalam pidato
inagurasinya, Abu Bakar menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasulullah yang
berarti pengganti Rasulullah. Menurut Aziz Ahmad, istilah ini sangat erat
kaitannya dengan tugas-tugas kenabian yaitu meneruskan misi-misi kenabian.
Khilafah dalam perspektif politik Sunni didasarkan pada
dua rukun, yaitu konsensus elit politik (ijma') dan pemberian legitimasi
(baiat). Karenanya, setiap pemilihan pemimpin Islam, cara yang digunakan adalah
dengan memilih pemimpin yang ditetapkan oleh elit politik, setelah itu baru
dilegitimasi oleh rakyatnya. Cara demikian menurut Harun nasution, menunjukkan
bahwa khilafah bukan merupakan bentuk kerajaan, tetapi lebih cenderung pada
bentuk republik, yaitu kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun
temurun.
Dalam masalah khilafah, terdapat tiga teori utama, yaitu
pendapat pertama menyatakan bahwa pembentukan khilafah ini wajib hukumnya
berdasarkan syari’ah atau berdasarkan wahyu. Para ahli fiqh Sunni, antara lain
Penganut Ilmu Teology Abu Hasan al-Asy‘ari, berpendapat bahwa khilafah ini
wajib karena wahyu dan ijma’ para sahabat. Pendapat kedua, antara lain
dikemukakan oleh al-Mawardi, mengatakan bahwa mendirikan sebuah khilafah
hukumnya fardu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan ijma’ atau konsensus.
Al-Gazali mengatakan bahwa khilafah ini merupakan wajib syar'i berdasarkan
ijma’. Teori terakhir adalah pendapat kaum Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa
pembentukan khilafah ini memang wajib
berdasarkan pertimbangan akal.
Imamah
Imamah berasal dari akar kata amma-yaummu-ammun yang
berarti ¬al-qasdu yaitu sengaja, al-taqaddum yaitu berada di depan atau
mendahului, juga bisa berarti menjadi imam atau pemimpin (memimpin). Imamah di
sini berarti perihal memimpin. Sedangkan kata imm merupakan bentuk ism fa’il
yang berarti setiap orang yang memimpin suatu kaum menuju jalan yang lurus
ataupun sesat. Bentuk jamak dari kata imam adalah a’immah.
Imam juga berarti
bangunan benang yang diletakkan di atas bangunan, ketika membangun, untuk memelihara
kelurusannya. Kata ini juga berarti orang yang menggiring unta walaupun ia
berada di belakangnya.
Dalam al-Qur’an, kata imam dapat berarti orang yang
memimpin suatu kaum yang berada di jalan lurus, seperti dalam surat al-Furqan
(25) ayat 74 dan al-Baqarah (2) ayat 124. Kata ini juga bisa berarti orang yang
memimpin di jalan kesesatan, seperti yang ditunjukkan dalam surat al-Taubah
ayat 12 dan al-Qasas (28) ayat 41. Namun lepas dari semua arti ini, secara umum
dapat dikatakan bahwa imam adalah seorang yang dapat dijadikan teladan yang di
atas pundaknya terletak tanggung jawab untuk meneruskan misi Nabi SAW. dalam
menjaga agama dan mengelola serta mengatur urusan negara.
Term imamah sering dipergunakan dalam menyebutkan negara
dalam kajian keislaman. Al-Mawardi mengatakan bahwa imam adalah khalifah, raja,
sultan atau kepala negara. Ia memberi pengertian imamah sebagai lembaga yang
dibentuk untuk menggantikan Nabi dalam tugasnya menjaga agama dan mengatur
dunia. Sebagai tokoh perumus konsep imamah, ia menggagas perlunya imamah,
dengan alasan, pertama adalah untuk merealisasi ketertiban dan perselisihan.
Kedua, berdasarkan kepada surat al-Nisa’ (4) ayat 59, dan kata uli al-amr
menurutnya adalah imamah.
Adapun Taqiyuddin al-Nabhani menyamakan imamah dengan khilafah.
Menurutnya, khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di
dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke
segenap penjuru dunia. Adapun al-Taftazani menganggap imamah dan Khilafah
adalah kepemimpinan umum dalam mengurus urusan dunia dan masalah agama.
Menurut Ibnu Khald}un, imamah adalah tanggung jawab umum
yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan
akhirat bagi umat yang merujuk padanya. Oleh karena kemaslahatan akhirat adalah
tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada
syariat. Adapun penamaan sebagai imam untuk menyerupakannya dengan imam salat
adalah dalam hal bahwa keduanya diikuti dan dicontoh.
Pada dasarnya teori imamah lebih banyak berkembang di
lingkungan Syi’ah daripada lingkungan Sunni. Dalam lingkungan Syi’ah, imamah
menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian imam
(‘ismah). Kalangan Syi’ah menganggap imamah adalah kepemimpinan agama dan
politik bagi komunitas muslim setelah wafatnya Nabi, yang jabatan ini dipegang
oleh Ali bin Abi Talib dan keturunannya, dan mereka maksum.
Istilah ini muncul pertama kali dalam pemikiran politik
Islam tentang kenegaraan yaitu setelah Nabi SAW. wafat pada tahun 632 M. Konsep
ini kemudian berkembang menjadi pemimpin dalam salat , dan didalam perjalankan
misinya dengan memperluas lingkupnya berarti pemimpin religio-politik
(religious-political leadership) seluruh komunitas Muslim, dengan tugas yang
diembankan Tuhan kepadanya, yaitu memimpin komunitas tersebut memenuhi
perintah-perintah-Nya.
Menurut Ali Syariati, tidak mungkin ada ummah tanpa imamah. Imamah tampak dalam sikap sempurna pada saat
seseorang dipilih karena mampu menguasai massa dan menjaga mereka dalam
stabilitas dan ketenangan, melindungi mereka dari ancaman, penyakit dan bahaya,
sesuai dengan asas dan peradaban ideologis, sosial dan keyakinan untuk
menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal. Dalam pemikirannya
mengenai imamah dan khilafah, Ali syariati
menganggap khilafah cenderung ke arah
politik dan jabatan, sedangkan imamah cenderung mengarah ke sifat dan agama.
Imrah
Imarah berakar kata dari amara-ya'muru-amrun yang berarti
memerintah, lawan kata dari melarang. Pelakunya disebut AMIR yang berarti pangeran, putra mahkota, raja
(al-malik), kepala atau pemimpin (al-ra’is), penguasa (wali). Selain itu juga
bisa berarti penuntun atau penunjuk orang buta, dan tetangga. Adapun bentuk
jamaknya adalah Umara.
Kata amara muncul berkali-kali dalam al-Qur’an dan
naskah-naskah awal lainnya dalam pengertian “wewenang” dan “perintah”.
Seseorang yang memegang komando atau menduduki suatu jawaban dengan
wewenang tertentu disebut sahib al-amr,
sedangkan pemegang amr tertinggi adalah amir.
Pada masa-masa akhir Abad Pertengahan, kata sifat amiri
sering digunakan dalam pengertian “hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan
atau administrasi”. Sementara itu, di Imperium Turki, bentuk singkat kata ini
adalah miri, dengan terjemahan bahasa Turkinya adalah beylik, menjadi kata yang
umum digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, publik atau
resmi. Kata miri juga digunakan untuk menunjukkan perbendaharaan kekayaan
negara, kantor-kantor perdagangan pemerintah dan barang-barang milik pemerintah
pada umumnya.
Seorang amir adalah seorang yang memerintah, seorang
komandan militer, seorang gubenur provinsi atau –ketika posisi kekuasaan
diperoleh atas dasar keturunan- seorang putra mahkota. Sebutan ini adalah
sebutan yang diinginkan oleh berbagai macam penguasa yang lebih rendah
tingkatannya, yang tampil sebagai gubenur provinsi dan bahkan kota yang
menguasai wilayah tertentu di kota. Sebutan ini pula bagi mereka yang merebut
kedaulatan yang efektif untuk diri mereka sendiri, sambil memberikan pengakuan simbolik
yang murni terhadap kedaulatan khalifah sebagai penguasa tertinggi yang
dibenarkan dalam Islam.
Istilah amir ini
pertama kali muncul pada masa pemerintahan 'Umar bin al-Khattab. 'Umar menyebut
dirinya sebagai amir al-mukminin yang berarti pemimpin kaum yang beriman.
Konsep Kepemimpinan dalam Islam.
Kepemimpinan itu wajib ada, baik secara syar’i ataupun
secara ‘aqli. Adapun secara syar’i misalnya tersirat dari firman Allah tentang
doa orang-orang yang selamat :
واجعلنا للمتقين إماما
“Dan jadikanlah kami sebagai imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa”
[QS Al-Furqan : 74].
Demikian pula
firman Allah
أطيعوا الله و أطيعوا
الرسول و أولي الأمر
منكم
“Taatlah
kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul dan para ulul amri diantara
kalian” [QS An-Nisaa’ : 59]. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang
sangat terkenal : “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian
akan ditanya tentang kepemimpinannya”. Terdapat pula sebuah hadits yang
menyatakan wajibnya menunjuk seorang pemimpin perjalanan diantara tiga orang
yang melakukan suatu perjalanan. Adapun secara ‘aqli, suatu tatanan tanpa
kepemimpinan pasti akan rusak dan porak poranda.
Kriteria Seorang Pemimpin
Karena seorang pemimpin merupakan khalifah (pengganti)
Allah di muka bumi, maka dia harus bisa berfungsi sebagai kepanjangan
tangan-Nya. Allah merupakan Rabb semesta alam, yang berarti dzat yang
men-tarbiyah seluruh alam. Tarbiyah berarti menumbuhkembangkan menuju kepada
kondisi yang lebih baik sekaligus memelihara yang sudah baik. Karena Allah
men-tarbiyah seluruh alam, maka seorang pemimpin harus bisa menjadi wasilah
bagi tarbiyah Allah tersebut terhadap segenap yang ada di bumi. Jadi, seorang
pemimpin harus bisa menjadi murabbiy bagi kehidupan di bumi.
Karena tarbiyah adalah pemeliharaan dan peningkatan, maka
murabbiy (yang men-tarbiyah) harus benar-benar memahami hakikat dari segala
sesuatu yang menjadi obyek tarbiyah (mutarabbiy, yakni alam). Pemahaman
terhadap hakikat alam ini tidak lain adalah ilmu dan hikmah yang berasal dari
Allah. Pemahaman terhadap hakikat alam sebetulnya merupakan pemahaman
(ma’rifat) terhadap Allah, karena Allah tidak bisa dipahami melalui dzat-Nya
dan hanya bisa dipahami melalui ayat-ayat-Nya. Kesimpulannya, seorang pemimpin
haruslah seseorang yang benar-benar mengenal Allah, yang pengenalan itu akan
tercapai apabila dia memahami dengan baik ayat-ayat Allah yang terucap
(Al-Qur’an) dan ayat-ayat-Nya yang tercipta (alam).
Bekal pemahaman (ilmu dan hikmah) bagi seorang pemimpin
merupakan bekal paling esensial yang mesti ada. Bekal ini bersifat soft, yang
karenanya membutuhkan hardware agar bisa
berdaya. Ibn Taimiyyah menyebut hardware ini sebagai al-quwwat, yang bentuknya
bisa beragam sesuai dengan kebutuhan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa seorang
pemimpin harus memiliki dua kriteria: al-‘ilm dan al-quwwat.
Yang dimaksud dengan al-‘ilm (ilmu) tidaklah hanya
terbatas pada al-tsaqafah (wawasan). Wawasan hanyalah sarana menuju ilmu. Ilmu
pada dasarnya adalah rasa takut kepada Allah. Karena itulah Allah
berfirman,”Yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah para ulama”
(QS. Faathir: 28). Ibnu Mas’ud pun mengatakan,”Bukanlah ilmu itu dengan
banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allah”. Namun
bagaimana rasa takut itu bisa muncul ? Tentu saja rasa itu muncul sesudah mengenal-Nya, mengenal
keperkasaan-Nya, mengenal kepedihan siksa-Nya. Jadi ilmu itu tidak lain adalah
ma’rifat kepada Allah. Dengan mengenal Allah, akan muncul integritas pribadi
(al-‘adalat wa al-amanat) pada diri seseorang, yang biasa pula diistilahkan
sebagai taqwa. Dari sini, dua kriteria pemimpin diatas bisa pula dibahasakan
sebagai al-‘adalat wa al-amanat (integritas pribadi) dan al-quwwat.
Selanjutnya, marilah kita tengok bagaimanakah kriteria
para penguasa yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kita
akan mengamati sosok Raja Thalut (QS. Al-Baqarah: 247), Nabi Yusuf (QS. Yusuf:
22), Nabi Dawud dan Sulaiman (Al-Anbiya’: 79, QS Al-Naml: 15).
Raja Thalut:
“Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) atas kalian
dan telah mengkaruniakan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik (basthat fi al-‘ilm
wa al-jism)” (QS. Al-Baqarah: 247).
Nabi Yusuf:
“Dan ketika dia (Yusuf) telah dewasa, Kami memberikan
kepadanya hukm dan ‘ilm” (QS. Yusuf: 22).
Nabi Dawud dan Sulaiman:
“Maka Kami telah memberikan pemahaman tentang hukum (yang
lebih tepat) kepada Sulaiman. Dan kepada keduanya (Dawud dan Sulaiman) telah
Kami berikan hukm dan ‘ilm” (QS. Al-Anbiya’: 79).
“Dan sungguh Kami telah memberikan ‘ilm kepada Dawud dan
Sulaiman” (QS. Al-Naml: 15).
Thalut merupakan seorang raja yang shalih. Allah telah
memberikan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik. Kelebihan ilmu disini merupakan
kriteria pertama (al-‘ilm), sementara kelebihan fisik merupakan kriteria kedua
(al-quwwat). Al-quwwat disini berwujud kekuatan fisik karena wujud itulah yang
paling dibutuhkan saat itu, karena latar yang ada adalah latar perang.
Yusuf, Dawud, dan Sulaiman merupakan para penguasa yang
juga nabi. Masing-masing dari mereka telah dianugerahi hukm dan ‘ilm. Dari sini
kita memahami bahwa bekal mereka ialah kedua hal tersebut. Apakah hukm dan ‘ilm
itu ?
Hukm berarti jelas dalam melihat yang samar-samar dan
bisa melihat segala sesuatu sampai kepada hakikatnya, sehingga bisa memutuskan
untuk meletakkan segala sesuatu pada tempatnya (porsinya). Atas dasar ini,
secara sederhana hukm biasa diartikan sebagai pemutusan perkara (pengadilan,
al-qadha’). Adanya hukm pada diri Dawud, Sulaiman, dan Yusuf merupakan kriteria
al-quwwat, yang berarti bahwa mereka memiliki kepiawaian dalam memutuskan
perkara (perselisihan) secara cemerlang. Al-quwwat pada diri mereka berwujud
dalam bentuk ini karena pada saat itu aspek inilah yang sangat dibutuhkan.
Disamping al-hukm sebagai kriteria kedua (al-quwwat),
ketiga orang tersebut juga memiliki bekal al-‘ilm sebagai kriteria pertama
(al-‘ilm). Jadi, lengkaplah sudah kriteria kepemimpinan pada diri mereka.
Pada dasarnya, kriteria-kriteria penguasa yang
dikemukakan oleh para ulama bermuara pada dua kriteria asasi diatas. Meskipun
demikian, sebagian ulama terkadang menambahkan beberapa kriteria (yang sepintas
lalu berbeda atau jauh dari dua kriteria asasi diatas), dengan argumentasi
mereka masing-masing. Namun, jika kita berusaha memahami hakikat dari
kriteria-kriteria tambahan tersebut, niscaya kita dapati bahwa semua itu pun
tetap bermuara pada dua kriteria asasi diatas
KEPEMIMPINAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Pada hakikatnya setiap manusia adalah seorang pemimpin
dan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Manusia
sebagai pemimpin minimal harus mampu memimpin dirinya sendiri. Dalam lingkungan
organisasi harus ada pemimpin yang secara ideal dipatuhi dan disegani oleh
bawahannya. Kepemimpinan dapat terjadi melalui dua bentuk, yaitu: kepemimpinan
formal (formal leadership) dan kepemimpinan informal (informal leadership).
Kepemimpinan formal terjadi apabila dilingkungan organisasi jabatan otoritas
formal dalam organisasi tersebut diisi oleh orang-orang yang ditunjuk atau
dipilih melalui proses seleksi, sedang kepemimpinan informal terjadi, di mana
kedudukan pemimpin dalam suatu organisasi diisi oleh orang-orang yang muncul
dan berpengaruh terhadap orang lain karena kecakapan khusus atau berbagai
sumber yang dimilikinya dirasakan mampu memecahkan persoalan organisasi serta
memenuhi kebutuhan dari anggota organisasi yang bersangkutan.
Dalam pandangan Islam kepemimpinan tidak jauh berbeda
dengan model kepemimpinan pada umumnya, karena prinsip-prinsip dan
sistem-sistem yang digunakan terdapat beberapa kesamaan. Kepemimpinan dalam Islam
pertama kali dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kepemimpinan Rasulullah tidak
bisa dipisahkan dengan fungsi kehadirannya sebagai pemimpin spiritual dan
masyarakat. Prinsip dasar kepemimpinan beliau adalah keteladanan. Dalam
kepemimpinannya mengutamakan uswatun hasanah pemberian contoh kepada para
sahabatnya yang dipimpin. Rasulullah memang mempunyai kepribadian yang sangat
agung, hal ini seperti yang digambarkan dalam al-Qur'an:
Artinya: “Dan Sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar
berada dalam akhlak yang agung”. (Q. S. al-Qalam: 4)
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa Rasullullah memang
mempunyai kelebihan yaitu berupa akhlak yang mulia, sehingga dalam hal memimpin
dan memberikan teladan memang tidak lagi diragukan. Kepemimpinan Rasullullah
memang tidak dapat ditiru sepenuhnya, namun setidaknya sebagai umat Islam harus
berusaha meneladani kepemimpinan-Nya.
Definisi kepemimpinan menurut Rost adalah sebuah hubungan
yang saling mempengaruhi diantara pemimpin dan pengikut yang menginginkan
perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya. Menurut Danim kepemimpinan
adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh individu untuk mengkoordinasi dan
memberi arah kepada individu atau kelompok lain yang tergabung dalam wadah
tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Yukl kepemimpinan didefinisikan sebagai
proses-proses mempengaruhi, yang mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa
bagi para pengikut, pilihan dari sasaran bagi kelompok atau organisasi,
pengorganisasian dari aktivitas kerja untuk mencapai sasaran tersebut, motivasi
dari para pengikut untuk mencapai sasaran, pemeliharaan hubungan kerjasama dan
teamwork, serta perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada
di luar kelompok atau organisasi.
Dari beberapa teori yang ada Stogdill menghimpun sebelas
definisi kepemimpinan, yaitu kepemimpinan sebagai pusat proses kelompok,
kepribadian yang berakibat, seni menciptakan kesepakatan, kemampuan
mempengaruhi, tindakan perilaku, suatu bentuk bujukan, suatu hubungan
kekuasaan, sarana pencapaian tujuan, hasil interaksi, pemisahan peranan dan
awal struktur.
Definisi tentang kepemimpinan memang sangat umum dan
sulit untuk ditetapkan dalam satu definisi yang dapat mengakomodasikan berbagai
arti yang banyak dan spesifik untuk melayani pengoperasian variabel tersebut.
Dari beberapa pengertian di atas pengertian kepemimpinan sedikitnya mencakup
tiga hal yang saling berhubungan, yaitu adanya pemimpin dan karakteristiknya,
adanya pengikut, serta adanya situasi kelompok tempat pemimpin dan pengikut itu
berinteraksi.
Aktivitas kepemimpinan memang sangat penting dalam suatu
organisasi, di mana pentingnya pemimpin dan kepemimpinan yang baik telah
diuraikan oleh Mohyi sebagai berikut:
a. Sebagai pengatur, pengarah aktivitas organisasi untuk
mencapai tujuan.
b. Penanggung jawab dan pembuat kebijakan-kebijakan
organisasi.
c. Pemersatu dan memotivasi para bawahannya dalam
melaksanakan aktivitas organisasi.
d. Pelopor dalam menjalankan aktivitas manajemen, yaitu
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan serta pengelolaan
sumber daya yang ada.
e. Sebagai pelopor dalam memajukan organisasi dll.
Secara teoritis dalam manajemen, kepemimpinan harus
mempunyai beberapa kriteria, karena kepemimpinan merupakan hal yang paling
mendasar bagi kelangsungan suatu kelompok organisasi untuk meghantarkan,
mencapai tujuan. Menurut Tanthowi kriteria kemampuan yang harus ada pada
seorang pimpinan adalah sebagai berikut:
1) Melihat organisasi secara keseluruhan.
2) Mengambil keputusan.
3) Melaksanakan pendelegasian.
4) Memimpin sekaligus mengabdi.
Pemimpin merupakan pribadi yang memiliki ketrampilan
teknis, khususnya dalam suatu bidang, sehingga mampu mempengaruhi orang lain
untuk bersama-sama melakukan aktivitas, demi pencapaian tujuan organisasi.
Seorang pemimpin yang memiliki born leader dianggap mempunyai sifat unggul yang
dibawa sejak lahir, sifatnya khas dan unik, tidak dimiliki atau tidak dapat
ditiru oleh orang lain. Namun pada masa sekarang dengan berbagai
kegiatan-kegiatan yang serba modern dan kompleks, di mana-mana selalu
dibutuhkan pemimpin.
Pada umumnya seseorang yang diangkat menjadi pemimpin
didasarkan atas kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan
orang-orang yang dipimpinnya, di mana kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya
sifat-sifat yang dimiliki berkaitan dengan kepemimpinannya. Kelebihan sifat ini
merupakan syarat utama menjadi seorang pemimpin yang sukses. Berkaitan dengan
masalah sifat-sifat pemimpin sebagai syarat utama kepemimpinan banyak pakar
yang mengajukan pendapatnya, diantaranya menurut Slikbour menyatakan bahwa
sifat-sifat kepemimpinan itu meliputi 3 hal, yaitu:
a) Kemampuan dalam bidang intelektual.
b) Berkaitan dengan watak.
c) Berhubungan dengan tugas sebagai pemimpin.
Keberhasilan sekolah untuk mencapai tujuannya antara lain
sangat ditentukan oleh kehandalan kepemimpinan kepala sekolah dalam mengelola
sekolahnya. Peranan kepemimpinan dalam suatu organisasi sangat berpengaruh
untuk mewujudkan sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu, keberhasilan suatu
organisasi mencapai tujuannya secara efektif dan efisien sangatlah ditentukan
oleh kehandalan kepemimpinan seorang pemimpin.
Kepemimpinan dalam pandangan Islam merupakan amanah dan
tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota
yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT.
Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat
horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertikal-moral, yakni
tanggung jawab kepada Allah SWT di akhirat. Kepemimpinan sebenarnya bukanlah
sesuatu yang menyenangkan, tetapi merupakan tanggung jawab sekaligus amanah
yang amat berat dan harus diemban sebaik-baiknya. Hal tersebut dijelaskan dalam
Al Qur’an surat Al-Mu’minun:
Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(yang dipikulnya) dan janji mereka dan orang-orang yang memelihara sholatnya,
mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di
dalamnya.
(Q.S. al-Mukminun 8-11)
وَ الَّذينَ هُمْ
لِأَماناتِهِمْ وَ عَهْدِهِمْ راعُونَ َ
(8) Dan orang-orang yang menjaga dengan baik terhadap amanat dan
janjinya.
وَ الَّذينَ هُمْ عَلى
صَلَواتِهِمْ يُحافِظُونَ َ
(9) Dan orang-orang yang memelihara dan menjaga semua waktu
sembahyangnya.
أُولئِكَ هُمُ الْوارِثُونَ َ
(10) Mereka itulah yang akan mewarisi.
ٱلَّذينَ يَرِثُونَ
الْفِرْدَوْسَ هُمْ فيها خالِدُونَ َ
(11) Yang akan mewarisi syurga Firdaus dan di sanalah mereka
mencapai khulud (kekal) selamalamanya.
Selain dalam Al Qur’an Rasulullah SAW juga mengingatkan
dalam Haditsnya agar dapat menjaga amanah kepemimpinan, sebab hal itu akan
dimintai pertanggungjawaban baik di dunia maupun dihadapan Allah SWT. Hal itu dijelaskan
dalam Hadits berikut:
را ع و كلكم
مسئو ل عن ر
عيته كلكم…
Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan
dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya (H. R. Bukhori)
Di samping dalam hadits di atas Rasulullah juga mengingatkan
pada Hadits lain agar umatnya tidak menyia-nyiakan amanah, karena hal tersebut
akan membawa kehancuran. Penjelasan tersebut dijelaskan dalam Hadits beliau:
إذا
اضيعت الأما نة فا
نتظر السا عة قيل
كيف اضاعتها يا رسول
الله قال اذا وسد
الأمر إلى غير أهله
فا نتظر الساعة
Artinya: “Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat
kehancuran. (Waktu itu) ada seorang sahabat yang bertanya, apa (indikasi)
menyia-nyiakan amanah itu ya Rasul? Beliau menjawab: “Apabila suatu perkara
diserahkan orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya”. (H. R.
Bukhori)
Dari penjelasan Al Qur’an surat al-Mukminun 8-11 dan
kedua Hadits di atas dapat diambil suatu benang merah bahwa dalam ajaran Islam
seorang pemimpin harus mempunyai sifat amanah, karena seorang pemimpin akan
diserahi tanggung jawab, jika pemimpin tidak memiliki sifat amanah, tentu yang
terjadi adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak
baik. Oleh karena itu, kepemimpinan sebaiknya tidak dilihat sebagai fasilitas
untuk menguasai, tetapi justru dimaknai sebuah pengorbanan dan amanah yang
harus diemban sebaik-baiknya. Selain bersifat amanah seorang pemimpin harus
mempunyai sifat yang adil.
Hal tersebut ditegaskan oleh Allah dalam firmannya:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat (Q. S. al- Nisa’: 58)
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ
إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ
النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
ۚ إِنَّ اللَّهَ
نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil
dan berbuat kebajikan… (Q. S. al-Nahl: 90)
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa kepemimpinan adalah sebuah amanah yang harus diemban dengan
sebaik-baiknya, dengan penuh tanggung jawab, profesional dan keikhlasan.
Sebagai konsekuensinya pemimpin harus mempunyai sifat amanah, profesional dan
juga memiliki sifat tanggung jawab. Kepemimpinan bukan kesewenang-wenangan
untuk bertindak, tetapi kewenangan melayani untuk mengayomi dan berbuat
seadil-adilnya. Kepemimpinan adalah keteladanan dan kepeloporan dalam bertindak
yang seadil-adilnya. Kepemimpinan semacam ini hanya akan muncul jika dilandasi
dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.