PRABU ARJUNASASRABAHU
Arjunasasrabahu adalah putra Prabu Kartawirya raja negara Maespati dengan permaisuri Dewi Hengnyawati. Prabu Arjunasasrabahu saat mudanya bernama Arjunawijaya. Ia diceritakan sebagai penjelmaan Batara Wisnu, bila bertiwikrama dapat beralih rupa menjadi Brahalasewu, raksasa sebesar gunung, berkepala seratus, bertangan seribu yang semuanya memegang berbagai macam senjata pusaka. Karena itu ia disebut Arjunasasrabahu yang artinya Arjunawijaya bertangan seribu.
Sebagai titisan Batara Wisnu, Prabu Arjunasasra selain sangat sakti dan dapat bertiwikrama, juga memiliki senjata Cakra. Ia merupakan satu-satunya raja yang dapat menaklukan Prabu Rahwana dari Alengka. Selain ahli dalam tata kenegaraan dan tata pemerintahan, Prabu Arjunasasra juga ahli dalam gelar perang, baik secara pasukan ataupun perorangan. Dalam masa kekuasaannya, Maespati menjadi sebuah negara besar yang membawahi lebih seratus negara jajahan. Ia mempunyai seorang senopati yang sangat terkenal bernama Suwanda/Bambang Sumantri, putra Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar.
Prabu Arjunasasrabahu menikah dengan Dewi Citrawati, putri Prabu Citradarma dari negara Magada. Dari perkawinannya itu ia memperoleh seorang putra bernama Ruryana. Akhir riwayatnya diceritakan, saat berburu di hutan ia bertemu dengan Ramaparasu yang berjanji akan membunuh setiap bangsa kesatria yang berani memasuki hutan larangannya. Dalam mengadu kesaktian dengan Ramaparasu, Prabu Arjunasasrabahu tewas oleh pusaka Bargawastra yang dilepaskan Ramaparasu.
Prabu Arjunawiwaha yang waktu mudanya bernama Arjunawijaya, adalah putra Prabu Kartawirya raja negara Maespati dengan permaisuri Dewi Hagnyawati. Prabu Arjunasasra diyakini sebagai raja penjelmaan Bathara Wisnu, bila bertiwikrama dapat beralih rupa menjadi Brahalasewu, raksasa sebesar bukit, berkepala seratus, bertangan seribu yang semuanya memegang berbagai macam senjata. Karenanya ia termasyhur disebut dengan nama Arjunasasrabahu, artinya, Sang Arjunawijaya yang bertangan seribu.
Sebagai titisan Bathara Wisnu, Prabu Arjunasasra selain sangat sakti dan dapat bertiwikrama, juga memiliki senjata Cakra.
Ia merupakan raja satu-satunya yang dapat menaklukkan Prabu Dasamuka, raja negara Alengka. Selain ahli dalam tata kenegaraan dan tata pemerintahan, Prabu Arjunasasra juga ahli dalam tata gelar perang, baik tata gelar pasukan maupun perorangan. Dalam masa kekuasaannya, Maespati menjadi sebuah negara besar yang membawahi lebih seratus negara jajahan. Ia mempunyai seorang patih yang sangat terkenal bernama Patih Suwanda/Bambang Sumantri, putra Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar.
Prabu Arjunasasra menikah dengan Dewi Citrawati, putri Prabu Citradarma dari negara Magada. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Ruryana. Akhir riwayatnya diceritakan, setelah kematian Dewi Citrawati dan Patih Suwanda, Prabu Arjunasasra pergi mengembara untuk mencari kematian. Ia kemudian bertemu dengan Ramaparasu yang mempunyai maksud sama. Dalam mengadu kesaktian, Prabu Arjunasasra tewas oleh panah Bargawastra yang dilepas Ramaparasu.
Prabu Arjunasasra Titisan Dewa Wisnu
Dalam dunia pewayangan, terdapat sejumlah tokoh yang merupakan titisan Batara Wisnu. Mereka cukup terkenal dan disegani.
Salah satunya Arjunasasrabahu. Ia merupakan raja di Kerajaan Maespati.
Titisan Batara Wisnu satu ini cukup terkenal di dunia pewayangan.
Dia mempunyai senjata cakra dan ajian balasewu.
Dengan ajian tersebut, Prabu Arjunasasra dapat berubah menjadi raksasa dengan seribu tangan dan seratus kepala.
Kekuatan itu pula yang membuatnya menyandang nama Arjunasasrabahu, yang dapat diartikan bertangan seribu.
Dia berhasil mengalahkan Prabu Dasamuka alias Rahwana dari Alengka.
Padahal Rahwana adalah raja yang sangat sakti.
Sebagai raja, ia paham betul tentang ketatanegaraan dan diplomasi negara.
Prabu Arjunasasra juga seorang ahli perang. Tidak heran Maespati membawahi lebih dari seratus negara jajahan lainnya.
Dia mempunyai seorang istri bernama Dewi Citrawati, putri dari Prabu Citradarma dari kerajaan Magada.
Itupun juga berkat jasa dari Raden Sumantri.
Karena jasanyalah Sumantri diangkat menjadi patih kerajaan Maespati yang kemudian terkenal dengan nama Patih Suwanda.
Harjuna Sasrabahu Gugur
Harjuna Sasrabahu Gugur Sebagai Salah Satu Korban Sumpah Ramabargawa.
Harjuna Sasrabhu yang telah kehilangan segala-galanya sudah berbulan-bulan lamanya mencari mati. Ia manantang, membenci dengan siapa saja yang dijumpainya. Ia pikir mungkin tak salah satu yang dijumpainya adalah Wisnu. Ia lupa bahwa Wisnu yang dicarinya lebih dekat dengan pribadinya. WIsnu ada dalam pusat rahsanya. Bukankah telah diajarkan bahwa:
“Lamun yitna kayitnan kang miyatani. Tarlen mung pribadinipun kang katon tinonton kono”.
Artinya: Asal tetap waspada dan ketengan yang sempurna maka yang tampak hanyalah dirinya sendiri. Demikian ajaran Wedha.
Pada suatu saat tiba-tiba Harjuna Sasrabahu dalam perjalanannya terhalang oleh sebuah tubuh yang kekar, tinggi bercawat laksana manusia purba, namun ia memancarkan sinar terangnya.
Maka pikir Harjuna Sasrabahu : “kini aku ketemu Wisnu”.
Sebaliknya Ramabargawa melihat kedatangan Harjuna Sasrabahu yang memancarkan cahaya terang, juga berkata: “Kini aku ketemu yang kucari, Wisnu”.
Setelah kedua-duanya saling berpandangan, maka terjadilah dialog:
– Hai Engkau. Siapakah namamu? Aku adalah Ramaparasu, sudahkah engkau mengenal aku?
– Jawab Harjuna Sasrabahu: “O Engkau, aku telah mendengar namamu. Sungguh tak kuduga dan kusangka aku akan bertemu dengan Engkau, karena Engkau adalah Wisnu yang kucari. Namaku adalah Harjuna Sasrabahu, semula raja di negara Maespati.
Saking gembiranya Ramaparasu tertawa terbahak-bahak katanya:
– Kalau begitu Engkau adalah Wisnu, sekarang lepaskanlah cakramu kepadaku biarkanlah aku mati dan hanya akan mati oleh Wisnu agar supaya aku berada disisimu.
– Harjuna Sasrabahu memotong ucapan Ramaparasu: “Aku adalah Aku, Engkau adalah Engkau. Aku takkan membunuh Engkau, karena Engkau adalah Wisnu yang aku cari.
– Saut Ramabargawa, sambil menantang Harjuna Sasrabahu. “Kalau Engkau tak mau membunuh Aku, Maka akulah yang akan membunuh Engkau.
Ramabargawa dan Harjuna Sasrabahu berhenti berdialog. Kedua-duanya menyiagakan diri untuk melepaskan senjatanya, tetapi Harjuna Sasrabahu menahan senjata cakra dan tidak dilepaskan tali busurnya.
Sebaliknya Ramabargawa dengan sungguh-sungguh melepaskan senjatanya. Bargawastra/kapaknya lepas bersuling membelah angkasa menatap dada Harjuna Sasrabahu belah menjadi dua.
Harjuna Sasrabahu terbunuh rebah ditanah tak bergerak. Kemudian mukswa dengan seluruh raganya ia mencapai Nirwana. Sedang Ramabargawa, sejenak tertegun berdiri tegak dan setelah sampai puncaknya ia berteriak, kalau begitu Aku adalah Wisnu. Wisnu adalah kebenaran. Jadi Aku adalah Kebenaran.
Demikian dialog seorang yang sedang mencari dan bertemu dengan Kebenaran. Seperti halnya Sunan Bonang berdialog dengan Sunan Kali Jaga dan Wujil.
“Mati adalah kebaktian yang paling tepat, dimana tiada lagi dieprhitungkan, O, Wujil, karena orang kembali keasalnya. Jikau kau masih memperhitungkan sesuatu, kau tidak akan menemukan yang kau harapkan. Dan jika kau ingin menemukanNya, maka kau harus merusak badanmu (atau : “nafsu-nafsumu”). Jika engkau telah menemukanNya maka kemauanmu akan manunggal (bersatu) dengan kemauanNya.
Kau akan manunggal dengan DIA ; hanya namanya saja berlainan ; kau akan menjadi satu dalam “rasa” dengan DIA dengan berbeda wujud. Dalam segala hal kau akan manunggal dengan DIA. Sesudah manunggal, dimana kau menyerahkan mati dan hidupmu, kepadaNya, bagimu tidak ada larangan dalam hal pangan dan sandang. Semua kehendakmu menjadi satu dengan kehendakNya. Orang yang telah diampuni, tidak boleh memilih maupun membagi dua (yaitu : membeda-bedakan dalam segala hal), suatu tanda dari manunggalnya kehendak Nya.
Nah, saya kira sekarang menjadi jelas apabila ada orang berkata “Manunggaling Kawula Gusti” persatuan antara manusia dan Tuhan. Dari tamsil tersebut di atas jelas bahwa yang bersatu itu hanyalah kemauannya (cihna tinunggil karsa) atau hanya irada-Nya. Bukan zat-Nya. Tuhan adalah tidak terbatas, sedang manusia adalah terbatas. Tidak mungkin cangkir teh dapat menampung air samudera.
Imajiner Nuswantoro