Kitab Salokantara & Buku Salokantara Huruf Jawa
Kitab Salokantara berisi tentang seluruh hal-ihwal yang mengatur pola relasi kehidupan masyarakat Nusantara di bawah kesultanan Demak.
Serat Salokantara. Berisi tentang puisi Jawa yang ditulis oleh Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara IV menggunakan bahasa dan aksara Jawa.
Teks Serat Salokantara
Teks Serat Salokantara ini berisi uraian tentang kraton Yogyakarta, termasuk di dalamnya tentang riwayat tata bangunan kraton berikut makna masing-masing bagiannya, mitos dua buah pohon beringin yang terdapat di alun-alun utara dan Pohon-pohon beringin di bagian tempat yang lain, serta bentuk bangsal yang mempunyai makna sendiri-sendiri. Naskah dilengkapi dengan delapan buah gambar sebagai ilustrasi regol, bangsal, pohon, dll. Pigeaud memperoleh naskah ini dari Bale Poestaka pada tahun 1931. Pada koleksi FSUI terdapat empat eksemplar naskah ini (B 29a-d), yaitu ketikan asli (a) dengan tiga tembusan karbon (b-d). Hanya ketikan asli (a) yang dimikrofilm. Data penulisan Serat Salokapatra sedikit membingungkan. Menurut mukadimah (h.l), teks ditulis oleh R. Dartapramuja, berdasarkan catatan-catatan prosa yang disusun oleh seorang Bupati Wadana Taman di Kraton Yogya. Tahun penulisan rupanya ditandai dalam kolofon penutup, berbunyi Kamis Legi, 6 Jumadilakhir pada tahun Warga Ngemat Bujangga Ji. Namun, watak untuk kata warga dan ngemat kurang jelas; kalau diartikan bangsa dan suka, hasilnya tahun 1874 (1943), yang tidak mungkin karena Pigeaud sudah memilikinya dari tahun 1931. Pada salinan lainnya (milik Drs. Sukiyat, Sumbersari VIII, Moyudan, Pos Godean, Yogyakarta; fotokopinya pada Dr. Behrend), terdapat catatan yang menyatakan bahwa teks ditulis oleh M.Ng. Wignyawigena, pada tahun 1936. Tahun 1936 pun tidak mungkinanthimelihat tahun aksesi di Panti Boedaja. Di antara dua data ini, kami cenderung menganggap keterangan dari Dr. Pigeaud lebih kuat dibandingkan data Drs. Sukiyat, yang melaporkannya pada tahun 1984, 53 tahun setelah Pigeaud. Adapun tentang tahun penulisan, untuk sementara cukup tepat kalau dinyatakan bahwa naskah ditulis sekitar awal abad ke-20. Daftar pupuh :
(1) dhandhanggula;
(2) kinanthi;
(3) sinom;
(4) megatruh;
(5) pucung;
(6) asmarandana;
(7) pangkur;
(8) durma;
(9) mijil;
(10) gambuh;
(11) kinanthi;
(12) asmarandana;
(13) sinom;
(14) dhandhanggula;
(15) pucung;
(16) megatruh;
(17) pangkur;
(18) kinanthi.
Kitab Salokantara, Aturan Hukum dan Ketatanegaraan Warisan Kesultanan Demak
Eaden Patah menjadi penguasa Kerajaan Demak pertama. Ia menjadi penanda awal mula kesultanan Islam berkuasa di Pulau Jawa usai Majapahit yang menjadi kerajaan Hindu-Buddha mulai kehilangan taringnya alias meredup. Semasa menjabat sebagai raja, Raden Patah menyandang gelar Senapati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, Sultan Syah Alam Akbar berdasarkan referensi Serat Pranitiradya, atau Sultan Surya Alam, berdasarkan Hikayat Banjar. Selain dikenal sebagai raja besar, Raden Patah sangat peduli dengan perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Sebagai bukti, Raden Patah meresmikan pembangunan Masjid Agung Demak yang diprakarsai Walisanga tersebut pada tahun 1479 M.
Peduli dengan perkembangan agama Islam di tanah Jawa, Raden Patah tetap memiliki toleransi tinggi terhadap rakyat Demak yang memiliki kepercayaan Hindu dan Buddha. Kebijakan ini diterapkan, karena Raden Patah senantiasa mematuhi nasihat gurunya, yakni Sunan Ampel. “Fakta lain menunjukkan toleransinya terhadap agama atau kepercayaan orang lain, Raden Patah tidak memaksakan Kuil Sam Po Kong yang dibangun Laksamana Cheng Ho sebagai masjid,” demikian dikutip dari buku "13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah di Tanah Jawa". Di samping memerhatikan perkembangan agama Islam dan senantiasa menjaga toleransinya terhadap agama (kepercayaan) orang lain, Raden Patah memerhatikan perundang-undangan. Raden Patah memperkenalkan penggunaan Salokantara sebagai Kitab Undang-undang.
Terdapat sumber yang menyebutkan bahwa Kitab Undang-Undang Salokantara tersebut, kemudian disusun oleh Sultan Tranggana. Sayangnya, Salokantara yang memadukan hukum Hindu-Jawa dan hukum Islam itu hilang dan tidak ditemukan sampai sekarang. Selain Kitab Undang-undang Salokantara, Raden Patah juga mewariskan Masjid Agung Demak yang terletak di Kauman, Bintara, Demak, Jawa Tengah. Masjid ini dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para wali Walisanga, yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Bersama para wali, Raden Patah mendirikan Masjid Agung Demak dengan memberi gambar bulus. Gambar ini merupakan candra sengkala memet yang memiliki arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti (1401 Saka).