Pertemuan Mpu Baradah dengan Mpu Kuturan
(Menyambut Piodalan Pr. Silayukti Buda Kliwon Pahang Sasih Karo)
Berangkatlah Mpu Baradah menuju Balidwipa. Berjumpalah dirinya dengan sang pendeta yg teramat teguh hatinya. Di pertapaan Silakyuti, senyap hanya suara ombak yang tak pernah diam
Dijemputlah sang adik seperguruan, yang teramat lelah dalam perjalanannya. Mpu Kuturan, sang kakak nan bijaksana memeluk sang adik yang bersahaja. Keduanya duduk berhadapan disuguhi keladi kukus dan teh jahe merah. Sungguh pertemuan yang mengharukan juga membahagiakan hati. Tak sabar Mpu Kuturan ingin mendengar keadaan di Jawadwipa. Tempat yang ditinggalkannya, mungkin selamanya tak akan pernah kembali. Hati tak dapat menahan diri, ingin mendengar kabar disana. Mpu Baradah pun bercerita diselangi tawa canda, menyenangkan hati sang kakak yang tengah direndam rindu. Setelah usai, mulailah bercakap tentang upacara dan upakara. Saling bertukar ilmu, mencerahkan diri tanpa ada perdebatan, sungguh keduanya bersahaja dan tinggi sastra. Mpu Kuturan berkenan padanya menggelar berbagai perkakas upakara yang sedang dibuat, sungguh takjub Mpu Baradah.
Setengah bulan berjalan di padang silayukti.Tibalah waktunya Mpu Baradah menyampaikan amanat. Amanat Prabhu Airlangga yang hendak mangkat dan meminta nasehat tahta bagi kedua puteranya.
"Sungguh suram rasa hatiku karena membawa beban berat ini kakanda Kuturan" Terhentaklah Mpu Kuturan sambil meletakkan kembali sirih gambir jambe yang hendak dikinang.
"Andaikata baginda hamba meminta hak sebagai putra pertama Uddayana dan menggantikannya sebagai rabhiseka prabhu di Bali, lalu diberikan kepada salah satu puteranya disana".
"Baginda hamba teramatlah risau, puteri mahkota, sang Sri Sanggrama Wijaya tak gubris memangku hakwarisnya, lebih menyukai biksuni daripada seorang ratu. Sedangkan kedua puteranya, sang Samarawijaya dan sang Garasakan pastilah akan saling berebut".
"Maka hendaklah Baginda hamba memohon agar diberikan satu di Jawa dan satu di Bali. Begitulah amanat yang hendak hamba sampaikan, semoga berkenan, tiadalah maksud hamba menyinggung perasaan, hamba ikut menanggung rana Baginda yang akan turun tahta".
Lalu terdiamlah Mpu Baradah menunggu jawaban Mpu Kuturan yang tengah menarik napas panjangnya.
"Ingsun kira tidaklah bijaksana, sebab wus titah bathara Balidwipa diperintah Prabu Marakata Uddayana dan sudah ada raja penggantinya kelak. Ingatlah, bahwa kedua putera utama Maharaja Uddayana sudah sama-sama memerintah di Jawa dan di Bali, tak baik bila kelak menimbulkan perang saudara" begitulah jawabannya
Mendengar ucapan bijak Mpu Kuturan, terhentilah percakapan wasiat disitu
Tak santun bila dilanjutkan, dan beranjaklah dirinya mohon pamit diesok pagi kembali ke Jawadwipa.
Lalu terhempaslah sang angin membawa harum bunga kemuning. Meski tetaplah tidak mampu hilangkan rasa risau kedua pandita besar dijamannya. Yang pernah bersama dalam satu perguruan bagai kakak dan adik kandung. Karena hanyalah kakak adik seperguruan dibukit pertapaan Lmahtulis. Berpisahlah Mpu Baradah dipertapaan Silayukti, kembali menghadap Baginda Airlangga di Dhanapura.
Diakhir cerita haru dari amanat yang tak bisa dilaksanakan oleh kedua Mpu raja dijawa dan Bali, Sang Samarawijaya memangku tahta di Panjalu Khadiri, istananya di Dhanapura.
Sedangkan, Sang Garasakan memangku tahta di Jenggala Keling, istananya di Surapura
Lalu di Balidwipa, Sang Anak Wungsu menggantikan Sang Marakata, tak ubahnya laksana mendiang Ibunda Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, selalu sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi dan para dewata.
Silsilah Mpu Bharada.
Tersebutlah di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iakilaki seorang bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.
Beliau yang sulung bernama Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi - tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di Bali.
Adik beliau bernama Mpu Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem.
Yang nomor tiga bernama Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi 1000.
Yang nomor empat, bernama Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem.
Nomor lima bernama Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar tahun Masehi 1000.
Beliau Mpu Kuturan demikian tersohornya di kawasan Bali, dikenal sebagai Pendeta pendamping Maharaja Sri Dharma Udayana Warmadewa, serta dikenal sebagai perancang pertemuan tiga sekte agama Hindu di Bali, yang disatukan di Samuan Tiga , Gianyar. Beliau pula yang merancang keberadaan desa pakraman - desa adat serta Kahyangan Tiga - tiga pura desa di Bali, yang sampai kini diwarisi masyarakat. Demikian banyaknya pura sebagai sthana Bhatara dibangun di Bali semasa beliau menjabat pendeta negara, termasuk Sad Kahyangan serta Kahyangan Jagat dan Dhang Kahyangan di kawasan Bali ini. Nama beliau tercantum di dalam berbagai prasasti dan lontar yang memuat tentang pura, upacara dan upakara atau sesajen serta Asta Kosala - kosali yang memuat tata cara membangun bangunan di Bali. Tercantum dalam lempengan prasasti seperti ini
"Ida sane ngawentenang pawarah - warah silakramaning bwana rwa nista madhya utama. lwirnya ngawangun kahyangan, mahayu palinggih Bhatara - Bhatari ring Bali lwirnya Puseh desa Walyagung Ulunswi Dalem sopana hana tata krama maring Bali, ayun sapara Bhatara lumingga maring Sad Kahyangan, neher sira umike sila krama"
Artinya :
Beliau Mpu Kuturan yang mengadakan aturan tentang tatacara di dunia ini yang berhubungan dengan mikro dan makrokosmos dalam tingkat nista madya utama (sederhana, menengah dan utama), seperti membangun pura kahyangan, menyelenggarakan upacara sthana Bhatara-bhatari di Bali. Seperti Pura Puseh Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata cara di Bali seperti itu berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena beliau yang mengadakan tata aturan tersebut.
Adiknya bernama Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan yoga beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng Jirah - janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali. Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang. Beliau Empu Bahula berputra Iaki bernama Mpu Tantular, yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam soal kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya. Mpu Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum "Bhinneka Tunggal lka" yang menjadi semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata. Keberadaan beliau di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu pada tahun Masehi 1049.
Ida Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata, berputra empat orang semuanya Iaki-laki. Yang sulung bernama Mpu Danghyang Panawasikan. Yang nomor dua bergelar Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra. Yang nomor tiga bernama Mpu Danghyang Smaranatha. Yang terkecil bernama Mpu Danghyang Soma Kapakisan.
Ida Danghyang Panawasikan, bagaikan Sanghyang Jagatpathi wibawa beliau, Ida Danghyang Siddhimantra bagaikan Dewa Brahma wibawa serta kesaktian beliau.
Ida Danghyang Asmaranatha bagaikan Dewa Manobawa yang menjelma, terkenal kebijaksanaan dan kesaktian beliau, serta Danghyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru dari Mahapatih Gajahmada di Majapahit, bagaikan Dewa Wisnu menjelma, pendeta yang pandai dan bijaksana. Ida Danghyang Panawasikan memiliki putri seorang, demikian cantiknya, diperistri oleh Danghyang Nirartha.
Ida Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra, yang sulung bernama Danghyang Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha.
Adik beliau bernama Danghyang Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan dikenal juga dengan sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta menurunkan keluarga besar Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida Patapan.
Danghyang Angsoka sendiri berputra Danghyang Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari, yang kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali.
Ida Danghyang Soma Kapakisan yang berdiam di kawasan kerajaan Majapahit. berputra Ida Kresna Wang Bang Kapakisan, ketika Sri Maharaja Kala Gemet memegang kekuasaan di Majapahit. Ida Kresna Wang Bang Kapakisan mempunyai putra empat orang, semuanya diberi kekuasaan oleh Raja Majapahit, yakni beliau yang sulung menjadi raja di Blambangan, adiknya di Pasuruhan, yang wanita di Sumbawa. dan yang paling bungsu di kawasan Bali. Yang menjadi raja di Bali bernama Dalem Ketut Kresna Kapakisan menurunkan para raja yang bergelar Dalem keturunan Kresna Kepakisan di Bali. Dalem Ketut Kresna Kepakisan datang di Bali, menjadi raja dikawal oleh Arya Kanuruhan, Arya Wangbang - Arya Demung, Arya Kepakisan, Arya Temenggung, Arya Kenceng. Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Manguri, Arya Pangalasan, dan Arya Kutawaringin, Arya Gajah Para serta Arya Getas dan tiga wesya: Si Tan Kober, Si Tan Kawur, Si Tan Mundur. Ida Dalem beristana di Samprangan, didampingi oleh l Gusti Nyuh Aya di Nyuh Aya sebagai mahapatih Dalem. Tatkala itu Ida Dalem memerintahkan para menterinya untuk mengambil tempat masing-masing. Ida Arya Demung Wang Bang asal Kediri di Kertalangu, Arya Kanuruhan di Tangkas, Arya Temenggung di Patemon, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Dalancang di Kapal,
Arya Belog di Kaba-Kaba, Arya Kutawaringin di Klungkung, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti , Arya Sura Wang Bang asal Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana. Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan Demikian dikatakan di Babad Dalem.
Silsilah Mpu Kuturan.
Mpu Kuturan menjadi salah satu tokoh yang berkontribusi dalam menyusun tatanan masyarakat Bali. Pembangunan dari Tri Kahyangan di Bali atau yang lebih dikenal dengan Desa Pakraman menjadi nafas bagi budaya dan agama Hindu di Bali.
Kisah dan Sejarah dari Mpu kuturan
Mengutip Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Mpu Kuturan merupakan sebuah nama yang terkenal di kalangan umat Hindu di Bali. Mpu Kuturan Hadir pada pemerintahan Udayana Warmadewa.
Namanya dikenal lewat sejumlah prasasti yang dikeluarkan oleh raja. Di samping itu, dalam sebuah lontar 'Mpu Kuturan' dikenalkan pula Mpu Kuturan yang berasal dari Majapahit.
Sehingga, ada tiga tokoh Mpu Kuturan, yaitu dua dari jaman Udayana dan satu dari Majapahit. Dari jaman Udayana ada Senapati Kuturan, yaitu pejabat pemerintahan yang berhubungan dengan tata kemasyarakatan.
Satu lagi Mpu Kuturan dari jaman Udayana yaitu merupakan saudara kandung dari Mpu Baradah. Sementara itu, Mpu Kuturan dari jaman Majapahit yaitu seorang yang ahli dalam bidang pembangunan tempat-tempat suci.
Silsilah Keturunan Mpu Kuturan
Mpu Kuturan dikenal luas bersaudara kandung dengan Mpu Baradah yang hidup di zaman pemerintahan Airlangga tahun 1019. Mpu Kuturan mempunyai puteri satu-satunya bernama Dyah Ratna Manggali yang menikah dengan putra Mpu Baradah bernama Mpu Bahula.
Dari perkawinannya, lahir Mpu Tantular yang selanjutnya menurunkan Danghyang Semaranatha dan Danghyang Kepakisan. Masing-masing dari mereka merupakan leluhur pada Brahmanawangsa dan Ksatriya Dalem di Bali.
Jasa-jasa Mpu Kuturan di Bali.
Peran Mpu Kuturan dalam Membangun Peradaban Bali, ada beberapa jasa-jasa Mpu Kuturan, di antaranya :
1. Menyatukan Sekte di Bali.
Sebelum Bali mengenal Tri Kahyangan, Bali memiliki enam sekte besar yang hidup dan berkembang. Ada sekte Sambu, Brahma, Indra, Wisnu, Bayu dan Kala. Akan tetapi, menurut Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari dalam lontar Sad agama, enam sekte agama Hindu di Bali adalah Brahma Waisnawa, Siawa, Bauddha, Kala dan Bayu.
Jika dicermati secara seksama, baik dalam tradisi maupun prasasti dan kesusastraan, ada 13 sekte agama Hindu yang ada atau pernah ada di Bali, yaitu sekte Brahma: Homatraya da Agenisaka, Sekte Waisnawa Danukrtih, Sekte Lingayat: Pemujaan Lingga, Sekte Ganapatha: Pemujaan Gana, Sekte Pasupatha: Pemujaan Pasupati, Sekte Siwa-SIdhanta:Pemujaan Tripurusa, Sekte Tantrayana Pemujaan Durga dan Dewi, Sekte Indra: Pemujaan Akasa dan mohon hujan, Sekte Kala: Mengupacarai Gunung dan Lautan, Sekte Sambhu: Mengupacarai Jagat, Sekte Bayu: Pemujaan terhadap kekuatan, Sekte Saurapatha: Pemujaan Surya, Sekte Bauddha, Pemujaan Wairocanna.
Pada awalnya, sekte-sekte tersebut hidup berdampingan, namun lama kelamaan sering terjadi persaingan. Keributan dan kericuhan pun terjadi di masyarakat dalam memperdebatkan Dewanya hingga tak jarang ada pertengkaran secara fisik.
Raja Airlangga akhirnya mengutus Senapati Kuturan (jabatan mahapatih kerajaan yang secara struktural langsung di bawah raja) untuk mengatasi kekacauan yang ada. Mpu Kuturan pun mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan.
Sehingga disepakatilah keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga yang berisi :
- Paham dijadikan dasar di Bali, yang berarti di dalamnya telah mencakup seluruh paham sekte yang berkembang di Bali saat itu
- Dalam setiap Desa Pakraman (Desa Adat) dibangun Kahyangan Tiga, yaitu Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem
- Dalam setiap rumah tangga didirikan Rong Tiga sebagai tempat memuja Tri Murti.
2. Mendirikan Desa Pakraman.
Dari hasil pesamuan di Samuan Tiga, terbentuk sebuah tatanan kehidupan masyarakat Bali yang baru. Kini tatanan iu dinamakan Desa Pakraman Bali.
Desa ini merupakan tempat Pesamuan Agung yang terletak di desa Bedahulu, Gianyar, kemudian dikenal dengan sebutan Samuan Tiga yang artinya pertemuan segi tiga.
Kini, di tempat ini telah berdiri sebuah pura yang disebut Pura Samuan Tiga atau Pura Samuan Telu. Dari nama itu, ada kesan bahwa paham Trimurti mulai diperkenalkan.
Sejak saat itu, kehidupan masyarakat Bali menjadi tertib, aman, rukun dan damai. Mereka saling hormat menghormati.
3. Mendirikan Beberapa Pura.
Untuk menjaga ketenteraman masyarakat Bali, Mpu Kuturan mendirikan dan menyempurnakan Pura Kahyangan Jagat yang berjumlah delapan buah, yaitu Pura Besakih, Lempuyangan, Andakasa, Goa Lawah, Batukaru, Beratan, Batur dan Uluwatu.
Mpu Kuturan berhasil memperluas dan memperbesar Pura Besakih dan menciptakan Pelinggih Meru dan Gedong. Selain itu, Mpu Kuturan juga mengajarkan pembuatan kahyangan secara spiritual, termasuk pembuatan jenis-jenis pedagingan.
Mpu Kuturan menciptakan konsep Tri Hita Karana, yang artinya tiga penyebab kebahagiaan, yaitu :
- Parahyangan, hubungan manusia dengan Tuhan
- Palemahan, hubungan manusia dengan alam dan lingkungan di sekitarnya
- Pawongan, hubungan manusia dengan sesama manusia.
- Pembangunan Tri Kahyangan oleh Mpu Kuturan Bertujuan Untuk Apa ?
Kahyangan Tiga terdiri dari dua kata, kahyangan dan tiga. Tri Kahyangan adalah tiga buah tempat suci yang terdiri dari :
- Pura Desa, tempat pemujaan Dewa Brahma dan fungsinya sebagai alam semesta
- Pura Puseh, tempat pemujaan Dewa Wisnu dengan fungsinya sebagai pemelihara
- Pura Dalem, tempat memuja Dewa Siwa dalam wujud Dewi Durga dengan fungsinya sebagai pemralina alam semesta.
Terbentuknya Tri Kahyangan berawal ketika pada masa sebelum pemerintahan raja suami-istri Udayana dan Gunapriya Dharmapatni tahun 989-1011 M di Bali. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, saat itu, berkembang aliran-aliran agama yang menimbulkan perbedaan kepercayaan. Sehingga pertentangan yang ditimbulkan membawa pengaruh buruk terhadap jalannya roda pemerintahan kerajaan dan juga kehidupan masyarakat.
Mpu Kuturan pun mengadakan pertemuan para tokoh-tokoh agama di Bali. Pertemuan yang diselenggarakan di Desa Bedahulu Kabupaten Gianyar itu tercetus sebuah keputusan bahwa dibangun Kahyangan Tiga yang berfungsi untuk memuja Tri Murthi, yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa yang merupakan manifestasi Hyang Widhi Wasa.
Sehingga, tujuan dari pembangunan dari Tri Kahyangan adalah agar tak lagi terjadi pertentangan dan perbedaan pendapat. Berkat pendekatan, pemikiran dan usaha yang dilakukan Mpu Kuturan, sekte-sekte dalam masyarakat Bali itu berhasil lebur dan menyatu.
Pura Desa biasanya dibangun di tengah-tengah salah satu sudut Caturpata atau perempatan agung. Pada sudut lainnya, terdapat bale wantilan atau balai desa, dan pasar dengan Pura Melanting.
Sementara itu, Pura Puseh dibangun pada bagian arah selatan dari desa yang mengarah ke pantai, sebab itu, Pura Puseh sering disebut Pura Segara di Bali Utara. Terakhir, Pura Dalem dibangun mengarah ke barat daya dari desa, karena arah barat daya adalah arah mata angin yang dikuasai oleh Dewa Rudra, yaitu aspek Siwa yang berfungsi mempralina segala hidup.
Mpu Bharada Mengatasi Pagebluk
(Membagi Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kediri)
Orang Jawa dan Bali, Mpu Bharada adalah tokoh yang diyakini hidup dan berperan penting di masa pemerintahan Maharaja Airlangga, sekitar paro I abad XI Masehi. Isi lakon Calon Arang menjadi penyumbang penting memori orang Jawa dan Bali terhadap sosok Mpu Bharada yang sering pula disebut memakai nama Mpu Baradah.
Dalam Legenda
Calon Arang sendiri merupakan kisah legenda yang mendapatkan judulnya dari nama salah satu tokoh utamanya. Calon Arang adalah seorang janda dari Desa Girah atau Jirah, konon di sekitar Kediri saat ini. Calon Arang adalah pemimpin suatu sekte agama sekaligus orang berkemampuan linuwih dalam hal melakukan teluh. Karena marah tak ada orang yang melamar putri tunggalnya, ia lantas menyebar teluh yang mampu menimbulkan wabah penyakit mematikan di seantero negeri yang diperintah Maharaja Airlangga. Pageblug itu baru terjinakkan setelah Mpu Bharada dimintai turun tangan oleh Maharaja Airlangga. Untuk menuntaskan titah Airlangga itu, Mpu Bharada menyuruh seorang murid terpercayanya untuk melamar dan menikahi putri Calon Arang, lalu mengambil kitab ilmu rahasia mertuanya. Ini menjadi kunci kemenangan Mpu Bharada ketika akhirnya beradu kanuragan dengan Calon Arang.
Kisah Calon Arang mula-mula tertuliskan dalam format kidung, format penulisan sastra khas Jawa yang terutama muncul dan berkembang di masa pertengahan dan surutnya Majapahit. Kisah tersebut terbilang sangat populer di Bali sebagai cerita tutur maupun pentas pertunjukan. Dalam khazanah tari Bali, tokoh Calon Arang dimunculkan sebagai sosok Rangda yang bertarung melawan Barong.
Isi kisah Calon Arang sampai kepada orang Indonesia di zaman modern antara lain berkat kerja penerjemahan oleh Raden Ngabehi Poerbatjaraka. Penerjemahan tersebut pertama-tama dilakukan dari naskah lontar yang ditemukan di Bali yang lantas dialihaksarakan ke huruf alfabet Latin dan dialihbahasakan ke bahasa Belanda. Poerbatjaraka melakukan hal tersebut pada 1926.
Baik tokoh Calon Arang maupun Mpu Bharada muncul dalam sejumlah produk budaya populer modern. Dalam hal ini di antaranya bisa disebut dua buah novel, yakni Cerita Calon Arang yang terbit perdana pada 1957 dan merupakan hasil gubahan maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, serta Janda dari Jirah yang terbit pada 2007 karya novelis asal Bali, Cok Sawitri. Lalu ada juga film Ratu Sakti Calon Arang yang beredar pada 1985 dan dibintangi oleh Ratu Film Horor Indonesia, Suzanna. Di film hasil penyutradaraan Sisworo Gautama tersebut, tokoh Mpu Bharada diperankan oleh Amoroso Katamsi.
Dalam Catatan Historis
Tokoh Mpu Bharada nyatanya tidak sekadar sosok dalam legenda. Eksistensinya disokong pula sumber-sumber sejarah tertulis dari zaman Tumapel-Singhasari dan Majapahit. Namun, catatan historis lebih menyoroti peran Mpu Bharadaa sebagai pelaksana pembelahan Kemaharajaan Medang Kahuripan di akhir masa pemerintahan Maharaja Airlangga menjadi Jenggala dan Panjalu alias Kadiri. Pemaparan tentang peran Mpu Bharada tersebut cenderung hiperbolis.
Prasasti Wurare yang dikeluarkan Maharaja Kertanegara dari Tumapel-Singhasari pada 1289 M adalah satu catatan sejarah yang menyebut tentang Mpu Bharada. Di sana, Mpu Bharada disebut sebagai tokoh begawan sakti yang melakukan pembagian Jawa menjadi dua kerajaan: Janggala dan Panjalu. Pembagiannya sendiri disebutkan melalui cara magis. Konon suatu kendi bermuatan air suci dikucurkannya dari ketingian langit dan lalu memunculkan aliran sungai pemisah.
Kisah tentang Mpu Bharada termuat pula dalam kakawin Desawarnana/Nagarakretagama yang merupakan karya pada pertengahan zaman Majapahit. Dalam kitab perpaduan antara travelog dan kronik yang penulisannya dirampungkan Mpu Prapanca pada 1365 tersebut, secuplik kisah tentang Mpu Bharada hadir di pupuh 68. Isi kisahnya terbilang masih senafas dengan apa yang disebutkan oleh Prasasti Wurare, bahkan memberikan gambaran cerita yang lebih kaya. Tak cuma soal pembagian dua Jawa menjadi Janggala dan Kadiri. Turut diceritakan bahwa pembagian itu dilakukan Maharaja Airlangga sebagai cara pewarisan kekuasaan untuk dua putranya. Penuangan air suci dari ketinggian angkasa untuk menciptakan perbatasan gaib diceritakan tak benar-benar tuntas karena jubahMpu Bharada tersangkut kepada pucuk sebuah pohon asam. Namun sekalipun tak tuntas, para penguasa Wangsa Rajasa disebut oleh Mpu Prapanca merasa perlu membangun suatu candi yang diyakini bisa melemahkan tuah pembelahan wilayah oleh Mpu Bharadha jauh di masa silam.
Melihat cukup banyaknya sumber tentangnya, Mpu Bharada terbilang cukup bisa diyakini sebagai tokoh historis. Namun, kesejarahan tentang tokoh yang dicatat dalam Nagarakretagama bertempat tinggah di Lemah Citra dan dihormati penduduk sekitarnya tersebut tentulah harus dengan diikuti dengan menafsir ulang atau bahkan menyisihkan deskripsi magis tentangnya, antara lain perihal kemampuan terbang serta menyeberangi lautan sembari menapak tenang.
Sumber Referensi :
- Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
- Rahayuningsih, Restu Ambar. 350 Prasasti tentang Indonesia. Sleman: Divisi Riset Museum Ullen Sentalu, 2016.
- Ras, J.J., Masyarakat dan Kesusastraan Jawa . Jakarta: Yayasan Pustakan Obor Indonesia, 2014
- Rifai, Mien Ahmad. Desawarnana: Saduran Kakawin Nagarakertagama untuk Bacaan Remaja. Depok: Komunitas Bambu, 2017
- Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan, Cetakan II 1985.
Imajiner Nuswantoro