Handeuleum & Hanjuang Misteri Pohon Budak Angon
(Dalam Uga Wangsit-nya Prabu Siliwangi)
Handeuleum (daun wungu atau Graptophyllum pictum) dan hanjuang (Cordyline fruticosa) adalah dua jenis tanaman yang sering dikaitkan dengan budaya dan pengobatan tradisional di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Sunda. Handeuleum dikenal dengan daunnya yang berwarna ungu, sementara hanjuang memiliki daun berwarna merah atau merah keunguan.
Handeuleum (Daun Wungu) :
- Nama lain : Daun wungu, demung, tulak, karotong, temen, dan lain-lain.
- Manfaat : Secara tradisional, handeuleum digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, seperti wasir, sembelit, dan nyeri. Daunnya juga dipercaya memiliki khasiat untuk menurunkan kolesterol dan mengatasi diare.
- Penggunaan : Daun handeuleum dapat direbus dan airnya diminum, atau digunakan dalam bentuk obat herbal seperti kapsul atau teh celup.
Hanjuang :
- Nama lain: Andong, linjuang, tumjuang, renjuang, dan lain-lain.
- Manfaat: Hanjuang dianggap memiliki kekuatan magis dan dipercaya dapat menangkal gangguan gaib dan wabah penyakit. Selain itu, daun hanjuang juga digunakan sebagai obat tradisional untuk berbagai penyakit, termasuk TBC, asma, diare, dan sakit kepala.
- Penggunaan: Masyarakat Sunda sering menggunakan daun hanjuang sebagai "sawen tulak bala" dengan cara mengikatnya, berdoa, dan meletakkannya di tempat tertentu. Daun hanjuang juga digunakan sebagai penghias pekarangan atau taman.
Perbedaan dan Persamaan :
- Perbedaan.
Handeuleum dan hanjuang adalah dua jenis tanaman yang berbeda, meskipun keduanya memiliki manfaat kesehatan dan digunakan dalam pengobatan tradisional.
- Persamaan.
Keduanya sama-sama memiliki daun yang berwarna mencolok, dan dipercaya memiliki khasiat obat serta kemampuan untuk menolak energi negatif atau gangguan gaib.
Mitos dan Kepercayaan :
- Mitos Hanjuang.
Terdapat mitos tentang hanjuang, terutama hanjuang bodas (putih), yang dianggap memiliki tuah atau kekuatan gaib. Misalnya, dipercaya bahwa akar hanjuang dapat membuat pemakainya kebal senjata, batangnya dapat digunakan sebagai tongkat untuk berjalan di tempat gelap, dan buahnya dapat membuat ucapan menjadi kenyataan.
- Hanjuang di Makam.
Hanjuang juga sering ditanam di pemakaman atau makam sebagai simbol kasih sayang dan harapan agar arwah yang meninggal diterima oleh Tuhan.
Kesimpulan :
Handeuleum dan hanjuang adalah tanaman yang memiliki nilai budaya dan pengobatan yang penting dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan masyarakat Sunda. Keduanya memiliki manfaat kesehatan yang diakui dan dipercaya memiliki kekuatan magis dalam menangkal energi negatif atau gangguan gaib.
Hubungan Budak Angon, Handeuleum dan Hanjuang.
Apa istimewanya Tanaman Handeuleum dan Hanjuang, sampai-sampai Prabu Siliwangi menyebutkannya dalam Bait-bait kisahnya ?
Apakah ini berkaitan erat dengan Budak Angon atau Sang Pemuda Penggembala ?
Sebelum kita menggali lebih dalam rahasia dibalik Tanaman Handeuleum dan Hanjuang, mari kita simak dulu kisah yang diceritakan oleh Prabu Siliwangi, berikut ini :
“Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!”
Artinya :
”Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari Budak Angon, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi Budak Angon sudah tidak ada, sudah pergi bersama Budak Janggotan, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!”
Jika kita cermati kisah diatas, Prabu Siliwangi menyebutkan bahwa pohon handeuleum dan hanjuang tumbuh lebat dan rimbun di rumah Budak Angon. Sehingga banyak pertanyaan yang dialamatkan pada kedua pohon ini. Yaitu apa keistimewaan kedua pohon ini, sampai-sampai Prabu Siliwangi menyebutkannya dalam bait kisahnya.
Kita mulai dari pertanyaan, “apakah hanya pohon handeuleum dan hanjuang saja yang ada di rumah Budak Angon ?”. Nampaknya Prabu Siliwangi tidak menyebutkannya lebih jauh, melainkan beliau hanya menyebutkan apa yang mungkin lebih mudah dilihat dan dikenali orang, apabila ada yang ingin mencari rumahnya.
Jika kita search mbah google, kita akan mendapati ciri yang paling mencolok dari pohon handauleum adalah daunnya yang berwarna ungu. Begitupula dengan pohon hanjuang memiliki daunnya berwarna merah.
Bisa kita bayangkan, ditengah-tengah tumbuhan yang rata-rata berdaun hijau, ada tanaman yang berdaun merah dan ungu. Tentu akan menjadi bahan pertanyaan bagi semua orang. Apalagi jika beliau sengaja memperbanyak tanaman ini sehingga tampak rimbun dan banyak.
Sehingga pertanyaannya menjadi, kira-kira mengapa Sang Penggembala sengaja memperbanyak tanaman ini ?
Apakah karena ada maksud tertentu, misal agar menjadi bahan pertanyaan orang-orang. Ataukah ada maksud lainnya ?
Misal untuk obat.
Pohon Keramat Budak Angon
Tentang akhir zaman ke tujuh ini (Rupanta-Ra). Tidak untuk membuat kepanikan, melainkan untuk membantu dalam upaya persiapan diri. Karena tak ada waktunya lagi bagi kita untuk bersantai-santai dan akhirnya lupa diri.
Dan pembahasan kita kali ini hanya mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Prabu Siliwangi dalam Uga Wangsit-nya. Mungkin dengannya nanti bisa membantu siapapun yang memiliki rasa penasaran selama ini, khususnya tentang siapakah sosok Budak Angon alias Pemuda Gembala itu.
Berikut ini petikan kalimat dari Uga Wangsit Prabu Siliwangi-nya :
“…. Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.”
Artinya :
Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar ? memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.
Catatan :
Hal ini sudah mulai terjadi dan akan lebih parah di masa yang akan datang.
Tanda-tandanya (tanda alam).
“Tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!”
Artinya :
“Tapi nanti, setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh Bumi. Orang Sunda dipanggil-panggil, orang Sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri Ratu Adil, Ratu Adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, carilah Anak Gembala. Segeralah pergi. Tapi ingat, jangan menoleh ke belakang!
Catatan :
Hal ini memang belum terjadi, masih menunggu waktunya, dan mungkin tidak akan lama lagi karena tanda-tanda alamnya sudah kian terlihat. Contohnya semakin banyaknya terjadi gempa bumi dan erupsi gunung akhir-akhir ini.
Demikianlah keterangan dari sang Raja Pajajaran pada ratusan tahun silam. Kemudian bagaimana kronologi kejadiannya secara urut ?
“Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.”
Artinya :
Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti, saat munculnya Budak Angon! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar ? memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.
“Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné !”
Artinya :
Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari Budak Angon, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi Budak Angon sudah tidak ada, sudah pergi bersama Budak Janggotan, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!
“Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul.”
Artinya :
Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati.
Catatan :
Ketiga bait kalimat di atas adalah yang ditunggu-tunggu selama ini, tidak hanya oleh kita sekarang, tetapi juga para leluhur yang sudah moksa. Sebagiannya telah dimulai dan akan terus berlanjut tanpa ada yang bisa mencegahnya. Terus seperti itu sampai Sang Budak Angon muncul dan segera menegakkan keadilan dan kebenaran yang telah lama menghilang. Beliau pun akan memimpin dunia agar menuju pada kebijaksanaan.
Demikianlah apa yang perlu kita renungkan bersama, dan jadikan sebagai acuan dalam melakukan berbagai aktifitas kedepan. Terlebih apa yang terjadi kini, berbagai fenomena alam dan politik dunia, kian menunjukkan pertanda bahwa apa yang telah disampaikan oleh sang Prabu Siliwangi telah semakin dekat. Dan ada satu hal yang menarik untuk kita perdalam bahasannya. Yaitu mengenai dimanakah tempat tinggal dari Sang Budak Angon itu? Apa yang menjadi ciri khas dari kediamannya?
Jawabannya terletak pada kalimat : “….. yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang…..”
Jadi pada kalimat di atas setidaknya terdapat 3 buah pertanda khusus mengenai dimanakah keberadaan rumah sosok misterius tersebut yaitu :
1. Rumahnya di ujung sungai
Ini bermakna bawah posisi rumahnya terletak didekat muara sungai yang terus mengalir, tidak pernah kering dan banyak jenis ikannya. Bahkan diapit oleh beberapa sungai kecil lain yang tetap mengalir meskipun di musim kemarau. Ini jelas menunjukkan bahwa Sang Budak Angon tinggal di wilayah pedesaan, alias jauh dari kota besar apalagi pusat negara.
2. Pintunya setinggi batu
Ini bermakna bahwa Sang Budak Angon hidup sederhana dengan bentuk rumah yang tidak sampai bertingkat atau megah alias sama dengan masyarakat umum (menengah kebawah). Ia bukan pula seorang yang terkenal atau pejabat tinggi, alias sama dengan rakyat jelata meskipun sebenarnya masih berdarah bangsawan.
3. Rimbun oleh pohon Handeuleum dan Hanjuang
Ini bermakna bahwa di halaman rumahnya terdapat banyak pohon atau lebih tepatnya tanaman Handeuleum dan Hanjuang. Hal ini memang sengaja ditanam, karena kecintaannya pada tumbuhan.
Untuk lebih jelasnya tentang apa alasan kedua tanaman itu (Handeuleum dan Hanjuang) yang menjadi sorotan dari Prabu Siliwangi hingga perlu disebutkan secara jelas dalam Uga Wangsit-nya, maka ikuti uraian berikut ini :
- Pohon Handeuleum dan Hanjuang termasuk dalam keluarga tumbuhan perdu. Adapun ciri yang paling mencolok dari pohon Handauleum adalah daunnya yang berwarna ungu, sementara pohon Hanjuang memiliki daun yang berwarna merah. Jadi bisa kita bayangkan, ditengah-tengah tumbuhan yang rata-rata berdaun hijau, ada tanaman yang berdaun merah dan ungu. Tentu akan menjadi bahan pertanyaan bagi semua orang. Apalagi jika beliau sengaja memperbanyak tanaman ini sehingga tampak rimbun dan banyak di sekitar rumahnya.
Sehingga pertanyaannya kini adalah kira-kira mengapa Sang Budak Angon alias Pemuda Gembala sengaja memperbanyak tanaman ini ?
Apakah cuma karena tanaman hias atau memang ada maksud tertentu ?
Untuk menjawabnya, maka ada yang sudah meneliti lebih lanjut tentang tanaman Handeuleum (daun ungu) dan menemukan bahwa khasiat daunnya sebagai anti-hemorrhoid. Hal ini dibuktikan oleh Prof. Sardjono Oerip Santoso dari Farmakologi FK-UI. Sebanyak 9-10 gram daun ungu segar kemudian direbus dalam 2 gelas air (600 cc) sampai menjadi 1 gelas rebusan dan diminum tiap hari 1 kali. Lima hari kemudian, efek yang ditimbulkan oleh gejala hemorrhoid seperti nyeri, pendarahan, dan panas hilang tak berbekas.
Foto : Pohon Handeuleum alias daun ungu
Dr. JM Sugiarto juga memberikan bukti, dengan mengkonsumsi 1 gelas rebusan daun ungu selama dua bulan berturut-turut ternyata bisa membebaskan penderita dari gangguan wasir. Berkat daun ungu, pengidap ambeien tak perlu lagi mengkonsumsi obat-obatan jenis phlebodinamic seperti radium dan daflon. Obat itu lazim diresepkan dokter untuk melancarkan sirkulasi darah di daerah anus serta menghilangkan bengkak, tonjolan, dan pendarahan.
Selain itu, kemampuan efek analgesik dan anti inflamasi fraksi alkaloid dari ekstrak etanol daun ungu ampuh menurunkan nilai ambang nyeri pada dosis 3 mg/kg bobot tubuh. Itu setara dengan pemberian aspirin dengan dosis 125 mg/kg bobot tubuh. Hal ini berkat kemampuan alkaloid daun wungu dalam menghambat pembentukan prostaglandin. Dan daun ungu ternyata mengandung lebih banyak manfaat. Kanker juga bisa sembuh dengan rutin mengkonsomsi daun ungu tersebut.
Selanjutnya, Bagaimana dengan tanaman Hanjuang alias Andong. Pastinya juga bukan tanaman hias biasa, sama seperti Handeuleum ?
Jawabannya ternyata memang tanaman Hanjuang ini mampu melancarkan buang air kecil (menyeimbangkan elektrolit dalam tubuh), yang tentu juga berkaitan dengan penyakit batu ginjal dan sejenisnya. Tak hanya itu, kandungan kimia yang terkandung didalam daunnya adalah tanin, saponin, flavonoid, polifenol, steroida, calsium oksalat, dan zat besi (Dalimartha, 2006).
Dan menariknya adalah, hampir semua penelitian di atas, bermula dari “pengakuan” masyarakat yang menggunakannya secara tradisional. Dan terbukti secara praktis memiliki khasiat tertentu, sebagai contoh adalah menurut pengalaman yang diperoleh dari masyarakat desa Munte/Munthe, kabupaten Karo, Sumatera Utara bahwa daun Hanjuang/Andong dapat digunakan sebagai obat sakit pinggang dan memperlancar buang air kecil. Penggunaan secara tradisional menurut penduduk setempat yaitu dengan merebus daun segarnya sebanyak 15-30 gram lalu diminum airnya. (Dalimartha, 2006).
Foto : Pohon Hanjuang alias Andong
Sungguh, kedua tanaman ini (Handeuleum dan Hanjuang) tidak hanya sebatas tanaman hias, namun berkhasiat obat. Bahkan relatif mudah dalam perawatannya, tidak seperti tanaman hias atau tanaman obat tertentu. Sebagai contoh tanaman Hanjuang, untuk “menggandakannya” cukup dengan memotong-motong batang atau tangkainya, kemudian menancapkannya ke dalam tanah. Dengan cara ini kita bisa memiliki puluhan tanaman Hanjuang baru dengan cara yang mudah dan cepat hanya dari asalnya satu pohon. Sementara untuk tanam Handeuleum bahkan cukup menancapkan bagian pucuk daunnya saja ke dalam tanah dan rutin disirami agar tak sampai kering. Tanaman ini akan cepat tumbuh subur, khususnya di musim hujan.
Dan ketiga ciri khusus yang disebutkan dalam Uga Wangsit Prabu Siliwangi di atas adalah patokan utama yang bisa dijadikan sebaga acuan. Ketiganya harus dimiliki oleh sosok yang disebut Budak Angon alias Pemuda Gembala sebelum kemunculannya. Siapapun yang tidak memiliki satu dari ketiganya, jelas bukanlah tokoh yang dimaksudkan. Seberapapun ia mengaku-aku, baik dengan berbagai argumen-alibi-logikanya atau kemampuan/kesaktiannya, maka dia tetaplah bukan. Alias hanya seorang penipu atau bahkan tertipu oleh kegelapan yang memang bertujuan untuk menyesatkannya dan dengan konyolnya terus menyebarkan kebodohannya itu. Bahkan lebih konyolnya lagi ada pula yang mau percaya dengan kebodohan itu lalu ikut menyebarluaskannya. Padahal yang namanya Sang Pemuda Gembala takkan pernah atau lebih tepatnya tak perlu mengaku-aku lagi. Beliau sudah ditunjuk langsung “dari Langit” dan menjadi sosok uang terpilih dari semua Manusia.
Rahayu
Imajiner Nuswantoro