Serat Makutha Raja
Serat Makutha Raja adalah karya sastra Jawa yang berisi pedoman bagi seorang pemimpin, khususnya seorang raja, dalam menjalankan pemerintahan berdasarkan ajaran Islam. Karya ini ditulis oleh Pangeran Buminata dari Yogyakarta pada tahun 1937 Masehi. Serat ini tidak hanya memuat ajaran Islam, tetapi juga nilai-nilai luhur dari falsafah Jawa kuno tentang kepemimpinan, keadilan, dan kesejahteraan.
Berikut adalah beberapa hal-hal penting yang terkandung dalam Serat Makutha Raja :
1. Pedoman Kepemimpinan Berdasarkan Islam.
Serat ini memberikan arahan bagaimana seorang raja seharusnya memimpin dengan berlandaskan nilai-nilai Islam, seperti keadilan, kebijaksanaan, dan kesejahteraan rakyat.
2. Refleksi Falsafah Jawa Kuno.
Selain ajaran Islam, serat ini juga memuat nilai-nilai luhur dari budaya Jawa kuno, seperti tentang kisah orang Jawa sebelum dan sesudah mengenal Islam serta bagaimana Islam menjadi pedoman dalam kehidupan.
Kiat-Kiat Menjadi Raja :
Serat ini dipercaya sebagai satu-satunya karya sastra Mataram yang berisi petunjuk khusus tentang bagaimana menjadi seorang raja yang baik dan bijaksana.
Pentingnya Pembelajaran Seumur Hidup :
Serat Makutha Raja dianggap sebagai karya sastra yang sakral, khususnya bagi keluarga kerajaan, dan generasi penerus tahta diwajibkan untuk mempelajarinya sepanjang hidup mereka.
Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari :
- Serat ini tidak hanya ditujukan untuk raja, tetapi juga mengajarkan keteladanan dan kepemimpinan yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbagai lapisan masyarakat Jawa.
- Secara keseluruhan, Serat Makutha Raja adalah karya sastra yang kaya akan nilai-nilai luhur, menggabungkan ajaran Islam dan falsafah Jawa kuno, serta memberikan pedoman yang komprehensif bagi seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan sehari-hari.
Para cendekiawan pada zaman dahulu menyadari bahwa seorang pemimpin, mulai dari tataran yang terendah sampai yang tertinggi, harus memiliki kemampuan memimpin yang baik. Di antara para cendekiawan pada waktu itu yang memperhatikan masalah kepemimpinan ini ialah Pangeran Buminata dari Keraton Yogyakarta. Ia berhasil membuat kitab yang diberi judul Serat Makutha Raja, untuk memberi tuntunan kepada para pemimpin, terutama raja agar dapat menjadi pemimpin yang baik dan disenangi oleh rakyatnya.
Isi Serat
Secara ringkas Serat Makutha Raja berisi tentang bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin/raja. Dalam serat ini seseorang yang sedang memegang kendali kepemimpinan diibaratkan sebagai orang yang sedang mengendalikan kuda. Kuda, walau pun hanya seekor binatang, ternyata harus didekati dengan cara-cara tertentu agar dapat dengan mudah dinaiki dan dikendalikan.
Karena kekhasan sifat yang dimiliki oleh seekor kuda ini, maka Pangeran Buminata mengibaratkannya lagi dengan seorang gadis. Sulitnya membuka tali kekang kuda adalah sama dengan sulitnya mendekati seorang gadis. Untuk mendekati seorang gadis, tentunya diperlukan budi yang halus, kata-kata yang manis dan lembut agar mau menerima dengan senang hati. Apabila pendekatan dilakukan dengan cara yang kasar dan tergesa-gesa, maka kemungkinan besar si gadis akan menolak.
Apabila hal ini diterapkan untuk menaklukkan seekor kuda, maka seseorang harus menggunakan akalnya dan harus memerhatikan saat yang tepat untuk mendekati kuda itu. Ia pun sebaiknya menguasai hal ikhwal tentang piranti tali kekang yang digunakan sebagai sarana menaklukkan kuda. Dalam konteks ini, pengertian memahami tali kekang kuda bukanlah tali kekang yang sebenarnya, melainkan memahami segala permasalahan kuda, termasuk faktor dalam atau faktor kejiwaan dari kuda itu.
Sebagai ilustrasi yang lebih konkret, dalam Serat Makutha Raja juga dikemukakan cara-cara mengatasi kebinalan seekor kuda secara bijaksana yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Syekh Janah Katib. Pangeran Mangkubumi menggunakan cara yang disebut anyana mandra. Dengan cara ini si penunggang kuda selain harus waspada dan berhati-hati, juga dituntut untuk bersikap luwes. Luwes dalam pengertian ini ialah menuruti kehendak kuda. Jika kuda meronta, si penunggang kuda hendaknya bersikap bijaksana sehingga kuda tunduk secara perlahan-lahan dan mengikuti segala perintah si penunggang. Sedangkan, Syekh Janah Katib menggunakan cara yang disebut anyana sanga. Cara yang digunakan oleh Syekh Janah Katib ini lebih mengarah ke jalan makrifat.
Dalam Serat Makutha Raja juga dikisahkan cerita tentang Mas Ketib Anom yang menerapkan ajaran “mengendalikan kuda secara arif, luwes, dan lemah lembut” untuk memecahkan masalah kerajaan. Waktu itu, pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana terjadi suatu peristiwa yang berkaitan dengan Kyai Cebolek atau Kyai Haji Ahmat Muntamangkin. Kyai Cebolek dianggap telah salah menafsirkan inti dari cerita “Bimasuci” yang mengakibatkan keresahan di kalangan ulama kerajaan. Mereka (para ulama) kemudian melaporkan hal ini kepada Raden Demang Urawan (seorang punggawa keraton). Dan, sebagai seorang bawahan Raden Demang Urawan lalu meneruskan laporan itu kepada raja.
Menanggapi laporan itu, raja memutuskan bahwa Kyai Cebolek tidak bersalah. Ia hanya dianggap salah menafsirkan makna tamsil dalam cerita “Bimasuci”. Keputusan raja yang menganggap Kyai Cebolek tidak bersalah itu mendapat sanggahan dari seorang ulama Kudus, yakni Mas Ketib Anom. Sanggahan ulama itu sempat sejenak menggegerkan istana. Namun, Mas Ketib Anom menegaskan bahwa keberaniannya menyanggah keputusan raja adalah semata dilakukan demi kewibawaan raja sendiri.
Sebagai jalan keluar mengatasi permasalahan ini, Mas Ketib Anom mengusulkan agar Kyai Cebolek atau Kyai Haji Ahmat Muntamangkin tidak dihukum secara fisik, melainkan diberi kesempatan untuk mengubah sikapnya. Menurut Mas Ketib Anom, hukuman fisik tidak ada gunanya, baik bagi yang bersangkutan mau pun bagi khalayak umum. Sebagai contoh, dikemukakan pemberian hukuman kepada Syeh Siti Jenar (hukuman pancung), Pangeran Panggung di Pajang (bakar), dan Kyai Amongraga (dibuang ke laut). Semuanya itu ternyata tidak bermanfaat karena yang dihukum hanya fisik, sedangkan ideologi yang dianut tetap lestari. Tampak di sini bahwa Mas Ketib Anom dengan bijaksana telah menerapkan ajaran “mengendalikan kuda secara arif, luwes dan lemah lembut”.
Kepustakaan
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Imajiner Nuswantoro