Prabu Siliwangi
(Sri Baduga / Prabu Wangi)
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis :
“ Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira “.
Terjemahan bahasa Indonesia :
Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
Masa muda.
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang.
Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja) :
“Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat.
Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”.
Perang Bubat.
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya (“silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang).
Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah “seuweu” Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat ? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Keterangan lain tentang perang bubat.
Keterangan tetang bubat yang dimuat harian Suara Merdeka adalah sebagai berikut :
“Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rombongan Kerajaan Sunda ini di gempur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda yang ikut rombongan punah. Akibat perang Bubat inipula, maka hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang“.
Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan rujukan, Guguritan Sunda, yang Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. disimpan di Universitas Ohio).
Prabu Siliwangi Pangkal Silsilah Kebangsawanan.
Siliwangi Sebagai Pangkal Silsilah Kebangsawanan
Bila kita memperhatikan rangkaian silsilah raja-raja dalam berbagai babad yang kemudian mengarah kepada hubungan kekerabatan para bupati dan para santana setempat,dapatlah disimpulkan bahwa silsilah di atas (sebelum) tokoh Prabu Siliwangi amat kabur dan sangat bervariasi sehingga sulit bahkan mustahil dikompromikan antara naskah yang satu dengan naskah yang lainnya.
Hal ini mudah difahami karena masa sebelum 'Siliwangi' merupakan periode sejarah yang tidak lagi terjangkau oleh pengamatan mereka. Di samping itu penulisan babad sejak abad ke-18 pada umumnya telah dipengaruhi oleh gaya cerita Panji dan lakon wayang. Akibatnya segi-segi sejarah sering terabaikan karena warna kisah dititik beratkan kepada segi petualangan pemegang peran utama,dan dengan sendirinya juga dibumbui dengan keadaan menurut jaman penulisnya.
Dalam Babad Pajajaran (Abad XIX) misalnya tiap perang yang dikisahkan hanya dipenuhi oleh suara senapan,meriam dan asap mesiu. Senjata tajam'sudah tidak terpakai sama sekali',pada hal yang dikisahkan adalah tokoh 'Guru Gantangan' yang mampu terbang ke langit dan masuk ke dasar bumi.
Namun yang terpenting dari penyebab 'kekisruhan' semacam itu ialah terputusnya hubungan antara para pujangga tersebut dengan karya-karya tulis para pujangga jaman 'Pajajaran' Dalam keadaan seperti itu naskah 'Carita Parahiangan' umpamanya merupakan barang'asing'di tengah-tengah para ahli warisnya. Huruf dan Bahasa Sunda kuno menghilang dari percaturan budaya manusia Sunda dan sebagai mana kita alami,kita baru mengenalnya kembali setelah dari para cendikiawan Belanda.
Sebutan 'Siliwangi' logikanya baru akan muncul setelah peristiwa tersebut. Itulah masalah sehubungan dengan catatan perjalanan 'Tohaan Bujangga Manik'.
Hal pertama yang kita lihat ialah : Bujangga Manik baru menyusun naskahnya beberapa waktu setelah ia tiba kembali dari perjalannya di 'Pakuan' karena ia pun mengisahkan pula bagai mana dirinya dielu-elukan oleh ibunya pada saat tiba dirumah. Hal kedua yang juga menarik perhatian ialah isi surat Dr.Noorduyn kepada penulis yang memberitakan bahwa dalam bagian akhir naskahnya terdapat kisah 'Perjalanan Bujangga Manik ke Surga'. Jadi ada indikasi bahwa 'Bujangga Manik' menyusun naskahnya lebih kemudian dari masa perjalanan yang telah dilakukannya. Namun berapa lama ?
Seandainya naskah ini ditulis setelah tahun 1482 atau setelah sebutan Siliwangi untuk 'Sribaduga Maharaja 'populer', maka keterangannya tidak bertentangan dengan kesimpulan 'Wangsakerta' karena dapat saja ia menyisipkan nama 'Silih Wangi' dalam naskahnya. Dalam hal ini dapat dimaklumi bahwa 'Sri Baduga Maharaja' dilahirkan di 'Ibukota Kawali', pernah tinggal dan menjadi penguasa di kerajaan 'Sindangkasih' karena perkawinnnya dengan 'Ambetkasih' lalu menikah dengan 'Subanglarang' puteri Ki Gedeng Tapa raja Singapura. Kepindahannya ke Pakuan baru terjadi setelah pernikahannya dengan 'Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal (kakak seayah Dewa Niskala) raja Sunda di Pakuan. Jadi, mungkin saja ia memiliki 'sasakala' di wilayah timur.
Namun seandainya nama 'Silih Wangi' itu telah dicatat oleh 'Bujangga Manik' sebelum 'Sri Baduga' dinobatkan muncul persoalan berikut :
Pertama,
Ada kemungkinan namav'Siliwangi' itu telah dipopulerkan untuk 'Sri Baduga' (nama kecilnya: Pamanah Rasa alias 'Jayadewata') sebelum ia menjadi Susuhunan Pajajaran karena posisinya sudah jelas menjadi putra mahkota Galuh dan Pajajaran (atas nama isterinya) karena Amuk Murugul putera sulung Susuktunggal yang menjadi ratu Japura tidak ditetapkan sebagai penerus tahta. Dalam hal ini keterangan 'Bujangga Manik' masih sejalan dengan keterangan ' Wangsakerta ' .
Kedua,
Seandainya hal yang pertama itu tidak terjadi, maka tokoh ' Silih Wangi ' yang disebut oleh 'Bujangga Manik' jelas berlainan dengan tokoh 'Siliwangi' yang dimaksudkan oleh 'Wangsakerta'.
Bila demikian halnya, tokoh Siliwangi yang manakah yang dianggap leluhur oleh para santana di 'Jawa Barat' seperti yang terlihat dalam silsilah berbagai naskah babad ? Dalam hal ini ada dua macam ukuran yang dapat kita terapkan.
Pertama,semua penulis babad sepakat bahwa 'Prabu Siliwangi' bertahta dipakuan Pajajaran. Sebelum 'Sri Baduga Maharaja' penguasa Jawa Barat yang bertahta di Pakuan adalah Prabu Citraganda(1303-1311) atau Sang Lumahing Tanjung dalam Carita Parahiyangan. Antara tokoh ini dengan 'Sri Baduga Maharaja' terdapat 6 orang penguasa 'Jawa Barat' yang semuanya berkedudukan di Kawali (artinya: Galuh).
Kedua, di Antara sekian banyak para isteri Siliwangi ada beberapa nama yang selalu tercantum dalam berbagai 'carita' atau 'babad',di antaranya: Ambetkasih, Subanglarang, Rajamantri dan Kentring Manik Mayang Sunda'. Mereka itu justru para istri 'Sri Baduga Maharaja' Kecuali Rajamantri (dari Sumedang) yang nama aslinya 'Ratnasih' ketiga wanita lainnya adalah cucu 'Wastu Kancana'. Dari 'Mayang sari' (puteri sulung Bunisora),Wastu Kancana mempunyai empat orang putera, yaitu : Ningrat Kancana alias 'Dewa Niskala (ayah Sri Baduga), Ki Gedeng Surawijaya, Ki Gedeng Sindangkasih (ayah Ambetkasih) dan Ki Gedeng Tapa (ayah Subanglarang). Dari Ratna Sarkati (puteri Lampung), Wastu kancana Berputra 'Susuktunggal (ayah Kantring manik Mayang Sunda).
Dua ukuran itulah yang dapat kita gunakan. Seandainya 'Silihwangi' dari Bujangga Manik itu bukan tokoh 'Sri Baduga, dan seandainya sebutan itu berarti 'pengganti Prabu Wangi', maka hanya tokoh 'Wastu Kancana' yang memiliki peluang dinamai demikian karena ialah putera dan penerus kekuasaan 'Prabu Siliwangi' (dalam hal ini, 1911, C.M. Pelyte pun telah menduga bahwa 'Prabu Siliwangi' adalah tokoh 'Maharaja yang gugur di Bubat).
Penggunaan dua ukuran di atas sebenarnya telah lama diterapkan oleh para peneliti sejarah Jawa Barat. Umpamanya dalam ' Carita Ratu Pakuan' tidak sepatah pun kata 'Siliwangi'. Keyakinan bahwa yang dimaksud dengan 'Ratu Pakuan' itu adalah 'Prabu Siliwangi' justru karena melihat nama isteri-isterinya yang dikisahkan di sana. Begitu pula halnya dengan 'Kitab Waruga Jagat 'dan 'Pacakaki Masalah Karuhun Kabeh' hanya menyebut 'Ratu Sunda'. Namun dari nama isteri atau puteranya yang dikisahkan di sana dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimakdud dengan 'Ratu Sunda' itu adalah 'Prabu Siliwangi'. Demikian pula sesungguhnya dengan naskah-naskah 'Wangsakerta'. Ia mengemukakan bahwa: Ambetkasih, Subanglarang, Rajamantri dan Kentring manik Mayang Sunda itu adalah isteri-isteri 'Sri Baduga Maharaja'yang untuk memuaskan hati para mahakawi Sunda, kadang-kadang ditambahinya dengan komentar'(yang menurut orang Sunda disebut Prabu Siliwangi).
Dengan demikian,lepas dari kemungkinan adanya seorang atau pun dua orang tokoh 'Siliwangi', maka 'prabu Siliwangi' suami keempat orang wanita itulah yang biasa dikisahkan dalam pantun atau babad dan dianggap leluhur oleh para santana di Jawa Barat.
Koleksi artikel Imajiner Nuswantoro