Serat Kalatidha Aksara Jawa
Raden Ngabehi Rangga Warsita (Jawa : ꦫꦺꦴꦁꦒꦮꦂꦰꦶꦠ, Ronggawarsita[a], 14 Maret 1802–24 Desember 1873) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.
Syair Serat Kalatidha karya Ronggo Warsito terdiri atas 12 bait dari tembang macapat sinom.
꧇꧑꧇
ꦩꦁꦏꦾꦣꦫꦗꦠꦶꦁꦥꦿꦗ
ꦏꦮꦸꦂꦪꦤ꧀ꦮꦸꦱ꧀ꦱꦸꦚꦫꦸꦫꦶ
ꦫꦸꦫꦃꦥꦔꦿꦺꦲꦶꦁꦈꦏꦫ
ꦏꦫꦤꦠꦤ꧀ꦥꦥꦭꦸꦥꦶ꧉
ꦥꦺꦴꦤꦁꦥꦫꦩꦺꦁꦏꦮꦶ
ꦏꦮꦶꦭꦺꦠꦶꦁꦠꦾꦱ꧀ꦩꦭꦠ꧀ꦏꦸꦁ
ꦏꦺꦴꦔꦱ꧀ꦏꦱꦸꦣꦿꦤꦶꦫ
ꦠꦶꦣꦺꦩ꧀ꦠꦤ꧀ꦝꦤꦶꦁꦣꦸꦩꦣꦶ꧉
ꦲꦂꦣꦪꦺꦔꦿꦠ꧀ꦝꦼꦤꦶꦁꦏꦫꦺꦴꦧꦤ꧀ꦫꦸꦧꦺꦣ꧉
1
Mangkya darajating praja
kawuryan wus sunya-ruri
rurah pangrehing ukara
karana tanpa palupi.
Ponang parameng-kawi
kawileting tyas malatkung
kongas kasudranira
tidhem tandhaning dumadi.
Hardayengrat dening karoban rubeda.
Artinya :
Sekarang derajat negara
terlihat telah suram
pelaksanaan undang-undang sudah rusak
karena tanpa teladan.
Kini, Sang Pujangga
hatinya diliputi rasa sedih, prihatin
tampak jelas kehina-dinannya
amat suram tanda-tanda kehidupan.
Akibat kesukaran duniawi, bertubi-tubi kebanjiran bencana.
꧇꧒꧇
ꦫꦠꦸꦤꦺꦫꦠꦸꦈꦠꦩ
ꦥꦠꦶꦲꦺꦥꦠꦶꦃꦭꦶꦤꦸꦮꦶꦃ
ꦥꦿꦤꦪꦏꦠꦾꦱ꧀ꦫꦲꦂꦗ
ꦥꦤꦺꦏꦫꦺꦧꦼꦕꦶꦏ꧀ꦧꦼꦕꦶꦏ꧀
ꦥꦫꦤ꧀ꦝꦺꦤꦺꦠꦤ꧀ꦝꦣꦶ
ꦥꦭꦶꦪꦱꦶꦁꦏꦭꦧꦺꦤ꧀ꦝꦸ
ꦩꦭꦃꦱꦁꦏꦶꦤ꧀ꦄꦤ꧀ꦝꦣꦿ
ꦫꦸꦧꦺꦣꦏꦁꦔꦿꦼꦫꦶꦧꦺꦣꦶ꧉
ꦧꦺꦣꦧꦺꦣꦲꦂꦣꦤꦺꦮꦺꦴꦁꦱꦤꦒꦫ
2
Ratune ratu utama
patihe patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekare becik-becik
parandene tan dadi
paliyasing kalabendu
Malah sangkin andadra
rubeda kang ngreribedi.
Beda-beda hardane wong sanagara.
Artinya :
Raja yang tengah berkuasa adalah raja utama
perdana menterinya pun seorang yang terpilih
para menteri juga bercita-cita menyejahterakan rakyat pegawai aparatnya pun baik-baik,
meski demikian tidak menjadi
penolak atas zaman terkutuk ini,
malahan keadaan semakin menjadi-jadi
berbagai rintangan yang mengganggu.
Berbeda-beda perbuatan angkara orang seluruh negara.
꧇꧓꧇
ꦏꦠꦠꦔꦶꦠꦔꦶꦱꦶꦫ
ꦱꦶꦫꦱꦁꦥꦫꦩꦺꦁꦏꦮꦶ
ꦏꦮꦶꦭꦺꦠꦶꦁꦠꦾꦱ꧀ꦝꦸꦃꦠꦶꦠ
ꦏꦠꦩꦤ꧀ꦆꦁꦉꦃꦮꦶꦫꦔꦶ
ꦣꦼꦤꦶꦁꦈꦥꦪꦱꦤ꧀ꦝꦶ
ꦱꦸꦩꦫꦸꦤꦄꦤꦫꦮꦁ
ꦥꦁꦭꦶꦥꦸꦂꦩꦤꦸꦲꦫ
ꦩꦼꦠ꧀ꦥꦩꦿꦶꦃꦩꦺꦭꦶꦏ꧀ꦥꦏꦺꦴꦭꦶꦃ
꧋ꦠꦼꦩꦃꦱꦸꦃꦲꦆꦁꦏꦂꦱꦠꦤ꧀ꦥꦮꦼꦮꦼꦏ꧉
3
Katatangi tangisira
sira sang parameng kawi
kawileting tyas duhtita
kataman ing reh wirangi
dening upaya sandi
sumaruna anarawang
panglipur manuhara
met pamrih melik pakolih
temah suh-ha ing karsa tanpa weweka.
Artinya :
Daripada menangis sedih, bangkitlah
wahai Sang Pujangga
meski diliputi penuh duka cita
mendapatkan rasa malu
atas berbagai fitnahan orang
mereka yang mendekatimu bergaul,
menghibur, seolah membuat enak hatimu,
padahal bermaksud memperoleh keuntungan,
sehingga merusak cita-cita luhur, karena tanpa kehati-hatianmu.
꧇꧔꧇
ꦣꦱꦂꦏꦫꦺꦴꦧꦤ꧀ꦥꦮꦂꦠ
ꦧꦧꦫꦠꦤ꧀ꦈꦗꦂꦭꦩꦶꦱ꧀
ꦥꦶꦤꦸꦣꦾꦣꦝꦾꦥꦔꦂꦱ
ꦮꦼꦏꦱꦤ꧀ꦩꦭꦃꦏꦮꦸꦫꦶ꧉
ꦪꦺꦤ꧀ꦥꦶꦤꦶꦏꦶꦂꦱꦪꦺꦏ꧀ꦠꦶ
ꦥꦼꦣꦃꦄꦥꦄꦤꦺꦁꦔꦪꦸꦤ꧀
ꦄꦤ꧀ꦝꦺꦣꦺꦂꦏꦭꦸꦥꦸꦠꦤ꧀
ꦱꦶꦤꦶꦫꦩꦤ꧀ꦧꦚꦸꦭꦭꦶ꧉
ꦭꦩꦸꦤ꧀ꦠꦸꦮꦸꦃꦣꦝꦶꦏꦼꦏꦼꦩ꧀ꦧꦔꦶꦁꦧꦺꦏ꧉
4
Dhasar karoban pawarta
babaratan ujar lamis
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri.
Yen pinikir sayekti
pedah apa aneng ngayun
andhedher kaluputan
siniraman banyu lali.
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
Artinya :
Dasarnya terbetik berbagai berita,
kabar angin yang berujar munafik
Sang Pujangga hendak diangkat menjadi pemuka,
akhirnya malahan berada di belakang.
Apabila dipikir-pikir dengan benar
berfaedah apa berada di muka?
Menanam benih-benih kesalahan
disirami oleh air kelupaan.
Apabila tumbuh berkembang menjadi kesukaran.
꧇꧕꧇
ꦈꦗꦫꦶꦁꦥꦤꦶꦠꦶꦱꦱ꧀ꦠꦿ
ꦄꦮꦮꦫꦃꦄꦱꦸꦁꦥꦼꦭꦶꦁ
ꦆꦁꦗꦩꦤ꧀ꦏꦼꦤꦼꦁꦩꦸꦱꦶꦧꦠ꧀
ꦮꦺꦴꦁꦄꦩ꧀ꦧꦼꦏ꧀ꦗꦠ꧀ꦩꦶꦏꦏꦺꦴꦤ꧀ꦠꦶꦠ꧀꧈
ꦩꦁꦏꦺꦴꦤꦺꦴꦪꦺꦤ꧀ꦤꦶꦠꦺꦤꦶ꧉
ꦥꦼꦣꦃꦄꦥꦄꦩꦶꦠꦸꦲꦸ
ꦥꦮꦂꦠꦭꦭꦮꦺꦴꦫ
ꦩꦸꦤ꧀ꦝꦏ꧀ꦄꦔꦿꦺꦴꦫꦺꦴꦤ꧀ꦠꦄꦠꦶ꧉
ꦄꦔꦸꦂꦧꦪꦔꦶꦏꦺꦠꦕꦫꦶꦠꦺꦁꦏꦸꦤ꧉
5
Ujaring Panitisastra
awawarah asung peling
ing jaman keneng musibat
wong ambek jatmika kontit.
Mangkono yen niteni.
Pedah apa amituhu
pawarta lalawora
mundhak angroronta ati.
Angur-baya ngiketa cariteng kuna.
Artinya :
Menurut buku Panitisastra
memberi ajaran dan peringatan
di dalam zaman yang penuh bencana
bahwa orang berjiwa bijak justru kalah dan berada di belakang.
Demikian apabila mau memperhatikan tanda-tanda zaman.
Apakah gunanya kita percaya
pada berita-berita kosong
justru terasa semakin menyakitkan hati.
Lebih baik menulis cerita-cerita kuno.
꧇꧖꧇
ꦏꦼꦤꦶꦏꦶꦤꦂꦪꦣꦂꦱꦤ
ꦥꦭꦶꦩ꧀ꦧꦁꦄꦭꦭꦤ꧀ꦧꦼꦕꦶꦏ꧀꧈
ꦱꦪꦺꦏ꧀ꦠꦶꦄꦏꦺꦃꦏꦼꦮꦭ
ꦭꦭꦏꦺꦴꦤ꧀ꦏꦁꦣꦝꦶꦠꦩ꧀ꦱꦶꦭ꧀
ꦩꦱꦭꦲꦶꦁꦔꦻꦴꦫꦶꦥ꧀
ꦮꦲꦤꦶꦫꦠꦶꦤꦼꦩꦸ
ꦠꦼꦩꦲꦤ꧀ꦄꦤꦫꦶꦩ
ꦩꦸꦥꦸꦱ꧀ꦥꦥꦱ꧀ꦛꦺꦤꦶꦁꦠꦏ꧀ꦝꦶꦂ
ꦥꦸꦭꦸꦃꦥꦸꦭꦸꦃꦄꦁꦭꦏꦺꦴꦤꦶꦏꦌꦭꦺꦴꦏꦤ꧀꧈
6
Keni kinarya darsana
palimbang ala lan becik.
Sayekti akeh kewala
lalakon kang dadi tamsil
masalahing ngaurip
wahanira tinemu
temahan anarima
mupus papasthening takdir
puluh-puluh anglakoni kaelokan.
Artinya :
Hal itu dapat digunakan sebagai teladan
untuk membandingkan hal buruk dan baik.
Tentunya banyak juga
lakuan-lakuan yang menjadi contoh
tentang masalah-masalah hidup
hingga akhirnya ditemukannya,
keadaan tawakal (narima),
menyadari akan ketentuan takdir Tuhan,
bagaimana pula hal ini mengalami keanehan.
꧇꧗꧇
ꦄꦩꦺꦤꦔꦶꦗꦩꦤ꧀ꦌꦣꦤ꧀
ꦄꦼꦮꦸꦃꦄꦪꦆꦁꦥꦩ꧀ꦧꦸꦣꦶ
ꦩꦼꦭꦸꦌꦣꦤ꧀ꦤꦺꦴꦫꦠꦲꦤ꧀
ꦪꦺꦤ꧀ꦠꦤ꧀ꦩꦶꦭꦸꦄꦁꦭꦏꦺꦴꦤꦶ
ꦧꦺꦴꦪꦏꦣꦸꦩꦤ꧀ꦩꦺꦭꦶꦏ꧀
ꦏꦭꦶꦫꦺꦤ꧀ꦮꦏꦱꦤꦶꦥꦸꦤ꧀꧈
ꦣꦶꦭꦭꦃꦏꦼꦂꦱꦄꦭ꧀ꦭꦃ
ꦧꦼꦒ꧀ꦗꦧꦼꦒ꧀ꦗꦤꦶꦁꦏꦁꦭꦭꦶ
ꦭꦸꦮꦶꦃꦧꦼꦒ꧀ꦗꦏꦁꦌꦭꦶꦁꦭꦤ꧀ꦮꦱ꧀ꦥꦣ
7
Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.
Artinya :
Menghadapi zaman edan
keadaan menjadi serba sulit
turut serta edan tidak tahan
apabila tidak turut serta melakukan
tidak mendapatkan bagian
akhirnya menderita kelaparan.
Sudah kehendak Tuhan Allah
betapun bahagianya orang yang lupa
lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada.
꧇꧘꧇
ꦱꦩꦺꦴꦤꦺꦴꦆꦏꦸꦧꦧꦱꦤ꧀
ꦥꦣꦸꦥꦣꦸꦤꦶꦁꦏꦥꦺꦔꦶꦤ꧀
ꦄꦼꦁꦒꦶꦃꦩꦏꦺꦴꦠꦺꦤ꧀ꦩꦤ꧀ꦝꦺꦴꦥ꧀ꦭꦁ
ꦧꦼꦤꦼꦂꦆꦁꦏꦁꦔꦫꦤꦶ
ꦤꦔꦶꦁꦱꦗꦿꦺꦴꦤꦶꦁꦧꦠꦶꦤ꧀
ꦱꦼꦗꦠꦶꦤꦺꦚꦩꦸꦠ꧀ꦚꦩꦸꦠ꧀꧈
ꦮꦶꦱ꧀ꦠꦸꦮꦄꦫꦺꦥ꧀ꦄꦥ
ꦩꦸꦲꦸꦁꦩꦲꦱꦶꦁꦔꦱꦺꦥꦶ
꧋ꦱꦸꦥꦪꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦥꦫꦶꦩꦩꦤꦶꦁꦲꦾꦁꦱꦸꦏ꧀ꦱ꧀ꦩ꧉
8
Samono iku babasan
padu-paduning kapengin
enggih makoten Man Doplang
bener ingkang ngarani
nanging sajroning batin
sejatine nyamut-nyamut.
Wis tuwa arep apa
muhung mahasing ngasepi
supayantuk parimamaning Hyang Suksma.
Artinya :
Demikianlah perumpamaannya
padahal mereka menginginkan,
bukankah demikian Paman Doplang?
Benar juga yang menyangkanya,
namun di dalam batin
sesungguhnya hal itu masih jauh.
Sudah tua mau apalagi,
sebaiknya menjauhkan diri dari keramaian duniawi
supaya mendapatkan anugerah kasih Tuhan Yang Maha Esa.
꧇꧙꧇
ꦧꦺꦣꦭꦤ꧀ꦏꦁꦮꦸꦱ꧀ꦱꦤ꧀ꦠꦺꦴꦱ
ꦏꦶꦤꦫꦶꦭꦤ꧀ꦆꦁꦲꦾꦁꦮꦶꦣꦶ
ꦱꦠꦶꦧꦩꦭꦔꦤꦺꦪ
ꦠꦤ꧀ꦱꦸꦱꦃꦔꦸꦥꦪꦏꦱꦶꦭ꧀
ꦱꦏꦶꦁꦩꦔꦸꦤꦃꦥꦿꦥ꧀ꦠꦶ
ꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦥꦫꦶꦁꦥꦶꦠꦸꦭꦸꦁ
ꦩꦂꦒꦱꦩꦤꦶꦁꦠꦶꦠꦃ
ꦫꦸꦥꦱꦧꦫꦁꦥꦶꦏꦺꦴꦭꦶꦃ
ꦥꦫꦤ꧀ꦝꦺꦤꦺꦩꦱꦶꦃꦠꦧꦺꦫꦶꦆꦏ꦳꧀ꦠꦶꦪꦂ꧉
9
Beda lan kang wus santosa
kinarilan ing Hyang Widhi
satiba malanganeya
tan susah ngupaya kasil
saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
marga samaning titah
rupa sabarang pikolih
parandene masih taberi ikhtiyar.
Artinya :
Berbeda bagi mereka yang telah teguh sentosa jiwanya dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa
betapapun tingkah laku perbuatannya
tidak susah untuk mendapatkan penghasilan
oleh karena dari datangnya pertolongan Tuhan
Tuhan senantiasa memberi petunjuk dan pertolongan
jalannya melalui sesama makhluk
berupa segala sesuatu yang bermanfaat.
Meskipun demikian, dia masih tetap tekun rajin berusaha.
꧇꧑꧐꧇
ꦱꦏꦣꦫꦺꦭꦶꦤꦏꦺꦴꦤꦤ꧀
ꦩꦸꦁꦠꦸꦩꦶꦤ꧀ꦝꦏ꧀ꦩꦫꦄꦠꦶ
ꦄꦁꦒꦺꦂꦠꦤ꧀ꦝꦣꦶꦥꦿꦏꦫ
ꦏꦫꦤꦮꦶꦫꦪꦠ꧀ꦩꦸꦤꦶ
ꦆꦏ꦳꧀ꦠꦶꦪꦂꦆꦏꦸꦪꦼꦏ꧀ꦠꦶ
ꦥꦩꦶꦭꦶꦲꦺꦉꦃꦫꦲꦪꦸ
ꦱꦶꦤꦩ꧀ꦧꦶꦧꦸꦣꦶꦣꦪ
ꦏꦤ꧀ꦛꦶꦄꦮꦱ꧀ꦭꦮꦤ꧀ꦌꦭꦶꦁ
꧋ꦏꦁꦏꦌꦱ꧀ꦛꦶꦄꦤ꧀ꦠꦸꦏꦥꦂꦩꦤꦶꦁꦱꦸꦏ꧀ꦱ꧀ꦩ꧉
10
Sakadare linakonan
mung tumindak mara ati
angger tan dadi prakara
karana wirayat muni
ikhtiyar iku yekti
pamilihe reh rahayu
sinambi budi daya
kanthi awas lawan eling
kang kaesthi antuka parmaning Suksma.
Artinya :
Sekadar menjalani hidup
hanya semata bertindak mengenakkan hati
asalkan tidak menjadi suatu masalah
dengan memperhatikan petuah orang tua
bahwa ikhtiar itu sesungguhnya
memilih jalan agar selamat
sambil terus berusaha
disertai dengan awas dan sadar
yang bertujuan agar mendapatkan kasih anugerah Tuhan.
꧇꧑꧑꧇
ꦪꦄꦭ꧀ꦭꦃꦪꦫꦱꦸꦭꦸꦭ꧀ꦭꦃ
ꦏꦁꦱꦶꦥꦠ꧀ꦩꦸꦫꦃꦭꦤ꧀ꦄꦱꦶꦃ
ꦩꦸꦒꦶꦩꦸꦒꦶꦄꦥꦫꦶꦔ
ꦥꦶꦠꦸꦭꦸꦁꦆꦁꦏꦁꦤꦂꦠꦤꦶ
ꦆꦁꦄꦭꦩ꧀ꦄꦮꦭ꧀ꦄꦏ꦳ꦶꦂ
ꦣꦸꦩꦸꦤꦸꦁꦆꦁꦒꦼꦱꦁꦈꦭꦸꦤ꧀
ꦩꦁꦏꦾꦱꦩ꧀ꦥꦸꦤ꧀ꦄꦮꦿꦺꦣ
ꦆꦁꦮꦼꦏꦱꦤ꧀ꦏꦣꦶꦥꦸꦤ꧀ꦝꦶ
ꦩꦶꦭꦩꦸꦒꦶꦮꦺꦴꦤ꧀ꦠꦺꦤꦥꦶꦠꦸꦭꦸꦁꦠꦸꦮꦤ꧀
11
Ya Allah ya Rasulullah
kang sipat murah lan asih
mugi-mugi aparinga
pitulung ingkang nartani
ing alam awal akhir
dumunung ing gesang ulun
mangkya sampun awredha
ing wekasan kadi pundi
mila mugi wontena pitulung Tuwan.
Artinya :
Ya Allah, ya Rasulullah
yang bersifat pemurah dan pengasih
semoga berkenan melimpahkan
pertolongan yang menyelamatkan
di dunia hingga ke akhirat
tempat hidup hamba
padahal sekarang (hamba) sudah tua
pada akhirnya nanti bagaimana (terserah),
maka semoga ada pertolongan Tuhan.
꧇꧑꧒꧇
ꦱꦒꦺꦣꦱꦧꦂꦱꦤ꧀ꦠꦺꦴꦱ
ꦩꦠꦶꦱꦗꦿꦺꦴꦤꦶꦁꦔꦻꦴꦫꦶꦥ꧀ꦏꦭꦶꦱ꧀
ꦆꦁꦉꦃꦲꦸꦫꦸꦲꦫ
ꦩꦸꦂꦏꦄꦁꦏꦫꦱꦸꦩꦶꦁꦏꦶꦂ
ꦠꦂꦭꦺꦤ꧀ꦩꦼꦭꦺꦁꦩꦼꦭꦠ꧀ꦱꦶꦃ
ꦱꦤꦶꦠꦾꦱꦺꦁꦠꦾꦱ꧀ꦩꦩꦠꦸꦃ
ꦧꦣꦫꦶꦁꦱꦥꦸꦣꦺꦤ꧀ꦝ
ꦄꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦮꦗꦂꦱꦮꦠꦮꦶꦱ꧀
ꦧꦺꦴꦫꦺꦴꦁꦄꦁꦒꦱꦸꦮꦂꦒꦩꦼꦱꦶꦩꦂꦠꦪ꧉
12
Sageda sabar santosa
mati sajroning ngaurip kalis
ing reh huru-hara
murka angkara sumingkir
tarlen meleng melatsih
sanityaseng tyas mamatuh
badharing sapudhendha
antuk wajar sawatawis
borong angga suwarga mesi martaya.
Artinya :
Sekadar menjalani hidup
hanya semata bertindak mengenakkan hati
asalkan tidak menjadi suatu masalah
dengan memperhatikan petuah orang tua
bahwa ikhtiar itu sesungguhnya
memilih jalan agar selamat
sambil terus berusaha
disertai dengan awas dan sadar
yang bertujuan agar mendapatkan kasih anugerah Tuhan.
Ranggawarsita
(Dikutip dari Wikipedia Indonesia)
Raden Ngabehi Rangga Warsita (Ronggo Warsito) bernama asli Bagus Burhan.
Dia adalah pujangga besar yang hidup di Kasunanan Surakarta.
Raden Ngabehi Rangga Warsita (bahasa Jawa : ꦫꦺꦴꦁꦒꦮꦂꦰꦶꦠ, translit. Ronggawarsita[a], 14 Maret 1802–24 Desember 1873) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.
Raden Ngabehi Rangga Warsita
Nama asalꦫꦢꦺꦤ꧀ꦔꦧꦺꦲꦶꦫꦺꦴꦁꦒꦮꦂꦰꦶꦠ [radɛn ŋabɛhi rɔŋgɔ warsitɔ]
Lahir Bagoes Boerhan
14 Maret 1802
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Hindia BelandaMeninggal24 Desember 1873 (umur 71)
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Hindia Belanda
Sebab meninggal Misterius
Makam Palar, Trucuk, Klaten
Koordinat : 7.707535°S 110.6797339°E
Tempat tinggal Surakarta
Pekerjaan Pujangga
Tahun aktif1845-1873
Asal-Usul
Nama aslinya adalah Bagus Burhan. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara (juga disebut Mas Ngabehi Ranggawarsita. Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura II, pujangga utama Kasunanan Surakarta.
Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya, abdi dari ayahnya.
Masa muda
Sewaktu muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.
Ketika pulang ke Surakarta, Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana V (1820–1823), karier Burhan tersendat-sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burhan dinaikkan.
Pada tanggal 9 November 1821 Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.
Karier sebagai pujangga
Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845.
Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.
Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.
Kehidupan pribadi
Kematian
Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979). Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton Kasunanan Surakarta yang berpendapat kalau Ranggawarsita adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri.
Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Gus Dur pada masa mereka menjabat.
ꦄꦩꦺꦤꦔꦶꦗ꦳ꦩꦤ꧀ꦌꦣꦤ꧀
ꦌꦮꦸꦲꦪꦆꦁꦥꦩ꧀ꦧꦸꦣꦶ꧈
ꦩꦺꦭꦸꦔꦺꦣꦤ꧀ꦤꦺꦴꦫꦠꦲꦤ꧀
ꦪꦺꦤ꧀ꦠꦤ꧀ꦩꦺꦭꦸꦄꦁꦭꦏꦺꦴꦤꦶ꧈
ꦧꦺꦴꦪꦏꦼꦣꦸꦩꦤ꧀ꦩꦺꦭꦶꦏ꧀ꦏꦭꦶꦫꦺꦤ꧀ꦮꦼꦏꦱꦤꦶꦥꦸꦤ꧀
꧋ꦤ꧀ꦝꦶꦭꦭꦃꦏꦼꦂꦱꦄꦭ꧀ꦭꦃ꧈ꦧꦼꦒ꧀ꦗꦧꦼꦒ꧀ꦗꦤꦶꦁꦏꦁꦭꦭꦶ꧈
꧋ꦭꦸꦮꦶꦃꦧꦼꦒ꧀ꦗꦏꦁꦌꦭꦶꦁꦏ꧀ꦭꦮꦤ꧀ꦮꦱ꧀ꦥꦣ꧉
amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik, kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.
Terjemahannya sebagai berikut :
menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak,ikut gila tidak akan tahan,tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian,kelaparan pada akhirnya,namun telah menjadi kehendak Allah,sebahagia-bahagianya orang yang lalai,akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Karya sastra
Karya sastra tulisan Ranggawarsita antara lain :
- Bambang Dwihastha: cariyos Ringgit Purwa
- Bausastra Kawi atau Kamus Kawi - - Jawa, beserta C.F. Winter sr.
- Sajarah Pandhawa lan Korawa : miturut Mahabharata, beserta C.F. Winter sr.
- Sapta dharma
- Serat Aji Pamasa
- Serat Candrarini
- Serat Cemporet
- Serat Jaka Lodang
- Serat Jayengbaya
- Serat Kalatidha
- Serat Panitisastra
- Serat Pandji Jayeng Tilam
- Serat Paramasastra
- Serat Paramayoga
- Serat Pawarsakan
- Serat Pustaka Raja
- Suluk Saloka Jiwa
- Serat Wedaraga
- Serat Witaradya
- Sri Kresna Barata
- Wirid Hidayat Jati
- Wirid Ma'lumat Jati
- Serat Sabda Jati
Ramalan tentang kemerdekaan Indonesia
Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu, Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma.
Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.
Pengalaman pribadi Presiden Soekarno pada masa penjajahan adalah ketika berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam penderitaan, karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita tentang datangnya kemerdekaan di kemudian hari.
Imajier Nuswantoro