RONGGOLAWE =
Putra Arya Wiraraja / Arya Adikara bupati Songeneb /
Ranggalawe (Sira Ranggalawe, Rangga Lawe) adalah putra dari Banyak Wide yang sebelumnya bernama Ida Bagus Pinatih
Naskah ini menceritakan tokoh yang terkenal dimasanya, Ranggalawe Lawe adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit, namun meninggal sebagai pemberontak pertama dalam sejarah kerajaan ini. Nama besarnya dikenang sebagai pahlawan oleh masyarakat Tuban sampai saat ini.
Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai putra Arya Wiraraja bupati Songeneb (nama lama Sumenep). Ia sendiri bertempat tinggal di Tanjung, yang terletak di Pulau Madura sebelah barat.
Pada tahun 1292 Ranggalawe dikirim ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik (di sebelah barat Tarik, Sidoarjo sekarang) menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Konon, nama Rangga Lawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya karena berkaitan dengan penyediaan 27 ekor kuda dari Sumbawa sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pengikutnya dalam perang melawan Jayakatwang raja Kadiri atau juga mempunyai arti rangga berarti ksatria / pegawai kerajaan dan Lawe merupakan sinonim dari wenang, yang berarti benang, atau dapat juga bermakna kekuasaan atau kemenangan. dan Ranggalawe kemudian diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut.
Penyerangan terhadap ibu kota Kadiri oleh gabungan pasukan Majapahit dan Mongol terjadi pada tahun 1293. Ranggalawe berada dalam pasukan yang menggempur benteng timur kota Kadiri. ia berhasil menewaskan pemimpin benteng tersebut yang bernama Sagara Winotan.
Setelah Kediri runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya dalam perjuangan Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu.
Prasasti Kudadu tahun 1294 yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit pada awal berdirinya, ternyata tidak mencantumkan nama Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja. Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun prasasti Kudadu menyebut dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang tokoh yang berbeda.
Sejarawan Slamet Muljana mengidentifikasi Arya Adikara sebagai nama lain Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah kemudian dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika dirinya diangkat sebagai pejabat Majapahit.
Dalam prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut sama-sama menjabat sebagai pasangguhan, yang keduanya masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara.
Menurut Kidung Ranggolawe pada tahun 1295 ronggolawe memberontak hal ini dilakukannya setelah tuntutan agar pengangkatan Empu Nambi sebagai Patih Amangkubumi Majapahit dianulir. Rudapaksa politik yang menurut Pararaton terjadi itu berakhir tragis. Raja Kertarajasa Jayawardhana menolak tuntutan Ronggolawe tersebut. Pasukan dikirim untuk menyerang Ranggolawe. Akhirnya Ronggolawe diperdayai untuk duel di Sungai Tambak Beras. Dia pun tewas secara mengenaskan oleh Mahisa Anabrang. Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe bukanlah pemberontak, tetapi pahlawan keadilan. Sikapnya memprotes pengangkatan Nambi, karena figur Nambi kurang tepat memangku jabatan setinggi itu. Nambi tidak begitu besar jasanya terhadap Majapahit. Masih banyak orang lain yang lebih tepat seperti Lembu Sora, Dyah Singlar, Arya Adikara, dan tentunya dirinya sendiri. Ronggolawe layak menganggap dirinya pantas memangku jabatan itu. Anak Bupati Sumenep Arya Wiraraja ini besar jasanya terhadap Majapahit. Ayahnya yang melindungi Kertarajasa Jayawardhana ketika melarikan diri dari kejaran Jayakatwang setelah Kerajaan Singsari jatuh (Kertarajasa adalah menantu Kertanegara, Raja Singasari terakhir). Ronggolawe ikut membuka Hutan Tarik yang kelak menjadi Kerajaan Majapahit. Dia juga ikut mengusir pasukan Tartar maupun menumpas pasukan Jayakatwang. Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe adalah korban konspirasi politik tingkat tinggi. Penyusun skenario sekaligus sutradara konspirasi politik itu adalah Mahapati, seorang pembesar yang berambisi menjadi patih amangkubumi. Melalui skenarionya, Lembu Sora, paman Ronggolawe yang membunuh Mahisa Anabrang akhirnya dibunuh oleh pasukan Nambi melalui tipu daya yang canggih. Empu Nambi sendiri mati dengan tragis. Dia diserang pasukan Majapahit pada saat pemerintahan Raja Jayanegara karena bisikan Mahapati bahwa Nambi ngraman. Kidung Sorandaka mencatat, Mahapati menggapai ambisinya dan dilantik menjadi patih amangkubumi tahun 1316. Ranggalawe adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit, namun meninggal sebagai “pemberontak” pertama dalam sejarah kerajaan ini. Nama besarnya dikenang sebagai pahlawan oleh masyarakat Tuban, Jawa Timur, sampai saat ini. Pada tahun 1292 Masehi, Ranggalawe diminta untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik (di sebelah barat Tarik, Sidoarjo sekarang) menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Konon, nama Ranggalawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari wenang, yang berarti “benang”, atau dapat juga bermakna “kekuasaan”. Maksudnya ialah, Ranggalawe diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut. Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya dalam perjuangan Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama di Jawa bagian timur saat itu Pararaton mengisahkan Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut seorang pejabat licik bernama Mahapati. Kisah yang lebih panjang terdapat dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe. Ketidak puasan dengan kedudukan yang diperoleh serta nuansa lingkup intrik politik dalam istana, telah menjadikan peristiwa Rangga Lawe ini menjadi sumber timbulnya pemberontakan dalam dua dasawarsa yang pertama dari sejarah kerajaan yang baru tersebut. Pararaton menyebut pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1295 Masehi, namun dikisahkan sesudah kematian Raden Wijaya. Menurut naskah ini, pemberontakan tersebut bersamaan dengan Jayanagara naik takhta. Sedangkan menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia dan digantikan kedudukannya oleh Jayanagara terjadi pada tahun 1309 Masehi. Akibatnya, sebagian sejarawan berpendapat bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1309 Masehi, bukan 1295 Masehi. Seolah-olah pengarang Pararaton melakukan kesalahan dalam penyebutan angka tahun. Nagarakretagama juga mengisahkan bahwa pada 1295 Masehi Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di istana Daha.Selain itu Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe dengan jelas menceritakan bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya, bukan Jayanagara. Sementara itu, Nagarakretagama sama sekali tidak membahas pemberontakan Ranggalawe. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah ini merupakan sastra pujian sehingga penulisnya, Mpu Prapanca, merasa tidak perlu menceritakan pemberontakan seorang pahlawan yang dianggapnya sebagai aib. Diceritakan dalam Kidung Ranggalawe, suatu hari Ranggalawe menghadap Raden Wijaya di ibukota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Namun Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih. Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana.Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban. Oleh Mahapati yang licik, Nambi diberitahu bahwa Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum Ranggalawe. Sementara itu tentara Majapahit telah dipersiapkan untuk bergerak ke Tuban. Para simpatisan Rangga Lawe yang bergerak ke Tuban, menyeberangi Sungai Tambak Beras. Banyak di antara mereka yang hanyut dibawa arus air; yang tersusul oleh tentara Majapahit, Rangga Lawe sendiri terlibat dalam peperangan melawan tentara Nambi. Rangga Lawe berhasil menusuk kuda Nambi namun Nambi lepas dari tikaman, cepat-cepat lari ke arah Sungai Tambak Beras bergabung dengan pasukan Majapahit. Kidung Ranggalawe Pasukan Majapahit kemudian mengepung tentara Tuban dari tiga jurusan, dari timur barat dan utara. Masing-masing pasukan di bawah pimpinan Mahisa Anabrang, Gagak Sarkara dan Mayang Sekar. Pasukan yang menyerang dari jurusan timur, di bawah pimpinan Mahisa Anabrang, segera terlibat dalam pertempuran. Mahisa Anabrang kehilangan kudanya, tentara Majapahit dipukul mundur. Mahisa Anabrang yang berhasil melepaskan diri dari maut, menghadang Rangga Lawe di tepi Sungai Tambak Beras bersama kuda barunya merendam di dalam air, untuk menyegarkan kembali badannya. Mendadak Ranggalawe, yang mengendarai Nila Ambara, menyambarnya. Kuda Nila Ambara kena tusuk tombak. Rangga Lawe jatuh ke dalam air, namun berhasil memanjat karang padas. Mahisa Anabrang menariknya kembali ke dalam air.Terjadilah Pergumulan antara Mahisa Anabrang dan Rangga Lawe di dalam air. Dalam perkelahian sengit itu, Mahisa Anabrang berhasil mengepit leher Ranggalawe, Rangga Lawe terengah-engah kehabisan tenaga.Dengan mudah Kebo Anabrang mengepitnya lagi di bawah ketiak. Lembu Sora yang menyaksikan pergumulan itu dari dekat, menabuh belas kasihan kepada Ranggalawe. Ia turun ke dalam air untuk menusuk Anabrang dari belakang. Rangga Lawe lepas dari kepitan, namun telah lemas. Rangga Lawe dan Anabrang mati bersama-sama dalam Sungai Tambak Bera. Pembunuhan terhadap rekan sekubu inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Lembu Sora pada tahun 1300 Maseh.
KISAH RANGGA LAWE
Ranggalawe, nama lengkap Raden Rangga Lawe, adalah seorang bangsawan dari Tuban yang berperan penting dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit.
Latar Belakang
Ranggalawe adalah putra dari Arya Wiraraja, seorang adipati di Sumenep, Madura. Arya Wiraraja sendiri adalah tokoh penting yang mendukung Raden Wijaya dalam mendirikan Majapahit setelah jatuhnya Kerajaan Singhasari.
Peran dalam Berdirinya Majapahit
Pada tahun 1292, ketika Raden Wijaya melarikan diri dari Singhasari yang diserang oleh Jayakatwang dari Kediri, ia mendapat perlindungan dari Arya Wiraraja di Madura. Arya Wiraraja kemudian menyarankan agar Raden Wijaya meminta perlindungan kepada Jayakatwang dan diberi izin untuk membuka lahan di Tarik (sekitar Mojokerto sekarang), yang kelak menjadi pusat Kerajaan Majapahit.
Pada tahun 1293, pasukan Mongol dari Dinasti Yuan datang ke Jawa untuk menghukum Kertanegara (raja terakhir Singhasari) yang sebelumnya telah mempermalukan utusan Mongol. Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol untuk menyerang Kediri. Ranggalawe, bersama dengan Nambi dan Lembu Sora, memimpin pasukan Majapahit untuk mengalahkan Jayakatwang. Setelah kemenangan ini, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit dan menjadi raja pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.
Konflik dan Pemberontakan
Setelah berdirinya Majapahit, terjadi perselisihan internal mengenai jabatan dan penghargaan. Ranggalawe merasa tidak puas dengan pengangkatannya sebagai Adipati Tuban, sementara Nambi diangkat menjadi Patih Amangkubhumi (semacam perdana menteri). Ranggalawe merasa posisinya lebih pantas untuk jabatan tersebut karena kontribusinya yang besar dalam peperangan.
Ketidakpuasan ini memuncak menjadi pemberontakan pada tahun 1295. Ranggalawe memberontak melawan Majapahit, namun pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Nambi. Dalam pertempuran di Sungai Tambak Beras, Ranggalawe gugur. Menurut beberapa versi cerita, Lembu Sora, yang sebelumnya sekutu Ranggalawe, akhirnya berkhianat dan turut serta dalam pembunuhan Ranggalawe.
Warisan dan Pengaruh
Kisah Ranggalawe menjadi bagian penting dari babad dan serat (naskah-naskah sejarah) Jawa, seperti "Babad Tanah Jawi" dan "Pararaton." Ia sering digambarkan sebagai simbol kesetiaan dan keberanian, tetapi juga sebagai contoh tragis dari konflik internal dan ambisi pribadi yang mengarah pada kehancuran. Legenda Ranggalawe juga menyoroti dinamika politik dan sosial dalam proses pendirian dan stabilisasi Kerajaan Majapahit.
Ranggalawe tetap dikenang dalam sejarah dan budaya Jawa sebagai salah satu tokoh penting yang berkontribusi pada berdirinya salah satu kerajaan terbesar di Nusantara. Kisahnya mengajarkan tentang pentingnya kesetiaan, keadilan, dan integritas dalam kehidupan bernegara.
Ranggalawe (Sira Ranggalawe; Rangga Lawe)
Ranggalawe (Sira Ranggalawe; Rangga Lawe) adalah putra dari Banyak Wide yang sebelumnya bernama Ida Bagus Pinatih.
Singkat ceritera, Ida Bagus Pinatih sudah semakin besar, dewasa dan sudah mengambil isteri serta memiliki putra yang bernama sama dengan nama ayahandanya. Ida Bagus Pinatih juga bernama Pangeran Anglurah Pinatih atau Sira Kuda Anjampiani. Demikian dulu keadaaannya di kawasan Daha.
Nama Ranggalawe diberikan kepada Ida Bagus Pinatih pada saat di hutan Tarik ketika Raden Wijaya di tempat itu membuat pasraman yang diberikan nama Majapahit atau Wilwatikta karena banyaknya buah maja yang pahit ditemukan di sana sehingga pekerjaan untuk merabas hutan itu dipimpin oleh Ida Bagus Pinatih, putra Ida Sang Bang Banyak Wide atau Arya Wiraraja, maka kepada Ida Bagus Pinatih diberikan gelar sebagai Sira Ranggalawe sebagaimana disebutkan dalam Babad Bali - Manik Angkeran, yang pada tahun Masehi 1292, diceritakan kerajaan Kediri kemudian diserang oleh prajurit Tartar dan prajurit Majapahit yang dipimpin oleh Arya Wiraraja serta putranya Sira Ranggalawe.
Setelah kemenangan kerajaan Majapahit, selanjutnya dalam babad tersebut juga dikisahkan tatkala Raden Wijaya sudah menjadi raja dengan gelar Srimaharaja Kertharajasa Jayawardhana di Majapahit, kemudian Sira Ranggalawe menjabat sebagai Menteri Amanca Negara, memerintah kawasan Tuban.
Ayah Ranggalawe, yaitu Arya Wiraraja tidak diperkenankan lagi untuk berdiam di Madura, diperintahkan untuk bertempat tinggal di Majapahit, sebagai Tabeng Wijang Ida Prabu Kertharajasa yang bergelar Rakriyan Mantri Arya Adikara.
Diceriterakan tatkala Ida sang Prabhu di Majapahit menyelenggarakan pentemuan besar membahas perihal rencana penunjukan Patih Amengkubhumi. Kemudian, saat itu Ida Sang Prabu menunjuk Sira Patih Nambi menjadi Patih Amengkubhumi.
Keputusan itu kemudian didengar oleh Sira Ranggalawe, kemudian beliau menghadap ke Kraton Majapahit, berhatur sembah kepada Ida Sang Natha Kertharajasa, berkenaan dengan keputusan Ida Sang Prabhu, yang sudah diumumkan di seluruh negeri yakni Ki Patih Nambi diangkat menjadi Patih Amengkubhumi, hanyalah satu upaya yang tidak berguna, jelas negeri ini akan menjadi tidak baik, sebab Ki Patih Nambi sudah nyata-nyata pengecut di medan laga.
Yang sebenarnya patut dipertimbangkan soal kesetiannya di medan perang hanyalah Ki Lembu Sora atau diri beliau sendiri Sira Ranggalawe, yang patut diangkat menjabat sebagai Patih Amengkubhumi. Itu sebabnya menjadi kacau pertemuan itu.
Diceriterakan sekarang, karena tidak dipenuhinya keinginan Sira Ranggalawe, maka bermohon diri Sira Ranggalawe pulang menuju Puri Madura, memberitahukan kepada ayahandanya prihal rencananya akan menyerang Majapahit, akan menantang Ki Patih Nambi.
Disebabkan karena tidak bisa lagi dihalangi keinginan anaknya Sira Ranggalawe, maka Arya Wiraraja tiada bisa berkata lagi. Kemudian menjadi riuhlah perang yang terjadi, bala tentara Sira Ranggalawe dihadapi pasukan dari Majapahit. Sira Ranggalawe direbut dan akhirnya terjadilah perang tanding antara Sira Ranggalawe melawan Kebo Anabrang, yang akhirnya keduanya meninggal di medan laga di Sungai Tambak Beras.
Setelah meninggalnya Ranggalawe, kemudian sabda tersebut dibawa oleh utusan kepada ayahnya Ranggalawe yaitu Sang Arya Bang Wiraraja atau Ki Arya Adikara di Puri Tuban, serta semuanya sudah dipermaklumkan tentang sabda Raja Majapahit, serta segala hal yang berkenaan dengan wafatnya Adipati Ranggalawe, dimana jenazahnya sudah berada di Puri Majapahit.
Arya Adikara atau Arya Wiraraja, setelah mendengar atur sang utusan dari Puri Majapahit, segera memberitahukan rakyat beliau, sanak saudara sampai kepada cucunya agar semuanya bersama-sama menghadap ke Puri Majapahit untuk menyelesaikan Palebon atau upacara ngaben putra beliau.
Setelah selesai upacara palebon itu, Adipati Arya Adikara memohon diri dari Puri Majapahit diiringi oleh isteri, menantu serta cucunya, kembali ke Puri Tuban.
Tidak berapa lama, Ida Sang Prabhu kemudian memberikan anugerah berupa sebagian kawasan timur sampai ke pesisir selatan kepada Sang Arya Bang Wiraraja, disebabkan ingat dengan perjanjiannya dahulu.
Sejak saat itu Sira Arya Bang Wiraraja menjabat sebagai penguasa di kawasan yang bernama Lumajang, diiringi oleh cucunya yang bernama Anglurah Pinatih atau juga disebut Sira Arya Bang Kuda Anjampyani pada tahun 1295 Masehi.
Lama kemudian, ketika Ida Arya Bang Adhikara berumur tua, tidak berselang lama beliau menjabat sebagai penguasa di Puri Ksatriyan Lumajang, kemudian beliau wafat menuju Sorgaloka. Kemudian cucu beliau Sira Bang Kuda Anjampyani yang merupakan putra dari Ranggalawe dijadikan pejabat di Majapahit menggantikan kedudukan kakek beliau bergelar Kyayi Agung Pinatih Mantra. Demikianlah disebutkan kisah dan perjuangan Ranggalawe di Majapahit.
RONGGO LAWE VERSI TUBAN
Ranggalawe (lahir: ? - wafat: 1295) adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit, namun meninggal sebagai pemberontak pertama dalam sejarah kerajaan ini. Nama besarnya dikenang sebagai pahlawan oleh masyarakat Tuban, Jawa Timur sampai saat ini.
Peran Awal
Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai putra Arya Wiraraja bupati Songeneb (nama lama Sumenep). Ia sendiri bertempat tinggal di Tanjung, yang terletak di Pulau Madura sebelah barat.
Pada tahun 1292 Ranggalawe dikirim ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik
(di sebelah barat Tarik, Sidoarjo sekarang) menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Konon, nama Ranggalawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari Wenang, yang berarti "benang", atau dapat juga bermakna "kekuasaan". Maksudnya ialah, Ranggalawe diberi
kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut.
Selain itu, Ranggalawe juga menyediakan 27 ekor kuda dari Sumbawa sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pengikutnya dalam perang melawan Jayakatwang raja Kadiri.
Penyerangan terhadap ibu kota Kadiri oleh gabungan pasukan Majapahit dan Mongol terjadi pada tahun 1293. Ranggalawe berada dalam pasukan yang menggempur benteng timur kota Kadiri. ia berhasil menewaskan pemimpin benteng tersebut yang bernama Sagara Winotan.
Jabatan di Majapahit
Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya dalam perjuangan Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu.
Prasasti Kudadu tahun 1294 yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit pada awal berdirinya, ternyata tidak mencantumkan nama Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja. Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun prasasti Kudadu menyebut dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang tokoh yang berbeda.
Sejarawan Slamet Muljana mengidentifikasi Arya Adikara sebagai nama lain Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah kemudian dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika dirinya diangkat sebagai pejabat Majapahit.
Dalam prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut sama-sama menjabat sebagai pasangguhan, yang keduanya masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara.
VERSI TUBAN
Masyarakat Tuban tidak bisa dipisahkan dari legenda Ronggolawe dan Brandal Lokajaya. Legenda itu begitu kental dan menyejarah sehingga sedikit banyak mewarnai pembentukan sistem nilai pribadi dan sosial. Elite politik sering kali memanfaatkan untuk kepentingan dan pencapaian target politiknya.
Legenda Ronggolawe versi masyarakat Tuban berbeda dengan naskah sejarah seperti ditulis kitab Pararaton maupun Kidung Ranggolawe. Menurut Kidung Ranggolawe, tindakan ngraman (berontak) Ronggolawe dilancarkan setelah tuntutannya agar pengangkatan Empu Nambi sebagai Patih Amangkubumi Majapahit dianulir.
Rudapaksa politik yang menurut Pararaton terjadi pada tahun 1295 itu berakhir tragis. Raja Kertarajasa Jayawardhana menolak tuntutan Ronggolawe tersebut. Pasukan dikirim untuk menyerang Ranggolawe. Akhirnya Ronggolawe diperdayai untuk duel di Sungai Tambak Beras. Dia pun tewas secara mengenaskan oleh Mahisa Anabrang.
Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe bukanlah pemberontak, tetapi pahlawan keadilan. Sikapnya memprotes pengangkatan Nambi, karena figur Nambi kurang tepat memangku jabatan setinggi itu.
Nambi tidak begitu besar jasanya terhadap Majapahit. Masih banyak orang lain yang lebih tepat seperti Lembu Sora, Dyah Singlar, Arya Adikara, dan tentunya dirinya sendiri.
Ronggolawe layak menganggap dirinya pantas memangku jabatan itu. Anak Bupati Sumenep Arya Wiraraja ini besar jasanya terhadap Majapahit. Ayahnya yang melindungi Kertarajasa Jayawardhana ketika melarikan diri dari kejaran Jayakatwang setelah Kerajaan Singsari jatuh (Kertarajasa adalah menantu Kertanegara, Raja Singasari terakhir).
Ronggolawe ikut membuka Hutan Tarik yang kelak menjadi Kerajaan Majapahit. Dia juga ikut mengusir pasukan Tartar maupun menumpas pasukan Jayakatwang.
Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe adalah korban konspirasi politik tingkat tinggi. Penyusun skenario sekaligus sutradara konspirasi politik itu adalah Mahapati, seorang pembesar yang berambisi menjadi patih amangkubumi.
Melalui skenarionya, Lembu Sora, paman Ronggolawe yang membunuh Mahisa Anabrang akhirnya dibunuh oleh pasukan Nambi melalui tipu daya yang canggih.
Empu Nambi sendiri mati dengan tragis. Dia diserang pasukan Majapahit pada saat pemerintahan Raja Jayanegara karena bisikan Mahapati bahwa Nambi ngraman. Kidung Sorandaka mencatat, Mahapati menggapai ambisinya dan dilantik menjadi patih amangkubumi tahun 1316.
ADIPATI RANGGA LAWE
Ada sebagian tentara Kediri dan Gelang-Gelang yang ingin mencoba mengembalikan kekuasaan sepeninggal Jayakatwang, namun demikian bersatunya kedua tentara tersebut tidak mampu menandingi bala tentara Majapahit yang ternyata lebih unggul.
Senopati Nambi, Lembu Sora dan Ranggalawe mendampingi kekuatan Raden Wijaya yang diikuti oleh saudara mudanya Dyah Pamasi bangki» menyerang sehingga musuh bertekuk lutut.
Dengan selamat Raden Wijaya telah bertahta di Kerajaan Majapahit tertulis pada tembang Harsawi-jaya “Purneng Kartikamasa panca dasi sukleng catur” dan berganti nama Shri Raja Kertajasa Jayawardhana.
Ternyata semakin tersohor nama Kerajaan Majapahit dan besar wibawanya. Kerajaan menghadap ke utara dikelilingi oleh sungai yang dalam sebagai benteng. Alun-alun terbentang luas daan dihiasi pohon beringin kembar yang rindang semakin menambah kewibawaan Negeri Majapahit.
Pada suatu hari Sang Raja duduk dihadap para prajurit, maksud pertemuan, Sang Raja akan memberikan hadiah kepada para perwira yang telah menunjukkan darma baktinya kepada sang Raja ketika berjuang untuk mendirikan Kerajaan besar Majapahit.
Ki Ranggalawe atau Sang Adikara Muda, ditunjuk menjadi Adipati di Tuban. Ki Lembu Sora bertahta di Istana Kepatihan di Daha, sedang Ki Nambi dinobatkan menjadi Patih Amangkubumi di Majapahit.
Dan masih banyak anugerah yang diberikan oleh Sang Raja yang di terima oleh para pengawal raja sehingga senang hatinya.
Alkisah ada kepingan cerita yang terjadi yang benar-benar membuat gempar, diantara pengawal raja ada yang berani menyombongkan diri, merasa besar pengorbanannya namun sebenarnya hanya omong kosong belaka yaitu Mahapati Dyah Halayuda.
Merasa bahwa pemberian Sang Raja tidak sesuai dengan pengor-bananya maka segera melakukan kelicikan dengan menyebarkan fitnah, Dyah Halayuda segera menuju ke dataran untuk bertemu dengan Adipati Ranggalawe.
Disana Sang Mahapati menyulut api kebencian, bercerita kepada Ranggalawe bahwa pemberian kedudukan sebagai Adipati di Tuban hanya sebagai perisai bila ada musuh dari seberang.
Pemberian kedudukan di Tuban hanya kebohongan belaka, hanya merupakan akal dari Empu Nambi yang ingin selalu dekat dengan Sang Raja.
Begitu meyakinkannya hasutan Sang Mahapati hingga mampu menyayat kalbu sang Ranggalawe. Sang Adipati Ranggalawe murka, kemurkaan Ranggalawe hanya ditujukan kepada Patih Amangkubumi Ki Empu Nambi, segera Sang Adipati ke kota kerajaan Majapahit, menghadap Sang Raja agar Sang Raja bersedia menurunkan kedudukan ki Nambi dan juga bersedia menunjuk sang Adipati menjadi Patih Amangkubumi.
Sikap Ranggalawe yang demikian membuat marah para pembesar Kerajaan, Alkisah ki Mahesa Anabrang prajurit pilihan yang baru pulang dari seberang segera menarik sang Ranggalawe keluar dari Istana Kerajaan. Geger di Majapahit tercatat pada tahun 1295 sang Ranggalawe memberontak terhadap pemerintah Majapahit. Sehingga terjadi peperangan antara prajurit Majapahit dan prajurit dari dataran (Tuban).
Ditepi sungai Tambak Beras Ranggalawe dapat dikalahkan oleh Ki Mahesa Anabrang, panglima perang Majapahit yang baru pulang dari seberang, yang sudah terbiasa melihat banjir darah serta berlayar di lautan darah, segera melihat kepada Ranggalawe yang sudah tak berdaya kemudian memenggal lehernya hingga terputus dari tubuhnya, kemudian kepalanya dibuat bulan-bulanan.
Lembu Sora yang menyaksikan jalannya pertempuran tersebut menganggap bahwa Mahesa Anabrang telah melewati batas aturan peperangan, maka segera mengambil senjata Tombak dan dilemparkan kehadapan Mahesa Anabrang, maksud lemparan tersebut adalah untuk mengingatkan kepada Mahesa Anabrang yang sedang lupa, namun karena Mahesa Anabrang selalu bergeser berdirinya hingga larinya tombak tidak jatuh didepannya namun justru menancap di punggungnya dan Mahesa Anabrang tewas seketika.
Peperangan telah selesai, berita pertempuran sampai ke Istana, hingga membuat Raja sedih sekali. Segera Sang Raja mengharap kedatangan Ki Wiraraja ayah Ki Ranggalawe.
Sebagai pelipur hati yang duka Ki Wiraraja diberi hadiah setengah Bumi Majapahit di sebelah timur. Ki Wiraraja bertahta menjadi Raja yang merdeka dibagian timur menguasai Kerajaan besar Negeri Lamajang.
Imajier Nuswantoro