Kisah Prabu Batara Dewa Amral (Pandu Swarga)
Kisah
kali ini menceritakan Prabu Yudhistira bertriwikrama menjadi raksasa untuk
menyelamatkan adik-adiknya di kawah Candradimuka/neraka. Kisah ini juga
mengisahkan derita orang tua para Pandawa, Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim
di neraka. Kisah diakhiri dengan permintaan triwikrama untuk mengentas Pandu
dan Madrim dari neraka diterima dewata. Kisah ini merupakan penggabungan dua
lakon, yaitu Dewa Amral dan Pandu Swarga
Malam
Sukra Umanis, Prabu Yudhistira dan keempat Pandawa melihat pemandangan serba
indah bagaikan surga. Di tengah
pemandangan serba indah itu, mereka terlihat bahagia dan bersuka ria. Namun
tiba-tiba pemandangan indah itu berubah mengerikan bagai neraka. Api menjilat
dan membakar tubuh-tubuh manusia. Bau anyir darah tercium sehingga satu yojana.
Di sisi lain neraka, udara dingin berbau busuk menyeruak membuat kulit dan
daging melepuh. Di dasar neraka itu, para Pandawa melihat orang tua mereka,
Pandu Dewanata dan Dewi Madrim disiksa dengan berbagai siksaan pedih. Mereka
ditusuk perutnya dengan jarum besi sebesar tombak hingga isi perut mereka
terburai lalu begitu tersungkur, punggung mereka disetrika dengan batu sepanas
matahari dan disemprot air yang sangat dingin sedingin es berbau busuk sampai
melepuh. Lalu di saat bersamaan, para Pandawa kecuali Prabu Yudhistira
tiba-tiba diseret sesuatu dan ketika Prabu Yudhistira menghampiri, tiba-tiba
pemandangan menjadi gelap dan menyesakkan dada. Di tengah kegelapan, Prabu
Yudhistira melihat jutaan pasang mata mengerikan menatapnya dengan raut yang
menghina dan melihat adik-adiknya berada dalam gentong besar dan hendak
dicampakkan ke neraka. “Hentikan.... tolong Hentikan! Jangan ! Jangan!” teriak
Prabu Yudhistira memecah keheningan malam. Prabu Yudhistira terbangun dari
mimpinya. Keringat bercucuran dari wajahnya. Dewi Drupadi ikut terbangun
kemudian menenangkan suaminya yang baru saja bermimpi buruk itu. “kanda, apa
yang mengganggumu?” tanya Dewi Drupadi. Balas Yudhistira “tidak dinda. Aku
hanya bermimpi buruk soal nasib kanjeng ayahanda dan ibu Madrim.” “kanda, mari
kita ke sanggar. Kita berdoa agar kanjeng ayahanda dan ibu Madrim ditempatkan
di tempat terbaik di sisi-Nya”
Di
kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru dan Batari Durga kedatangan putra
bungsu mereka, Dewasrani dari istana Nusarukmi di Kahyangan Dandangmangore. Dia
datang berkeluh kesah “Kanjeng romo! Kanjeng ibu, aku sudah tak tahan lagi.
Namaku disamai oleh Puntadewa dan ayahnya, Pandu Dewanata. Kalau Pandu sudah
kanjeng romo beri hukuman, aku tidak puas. Aku juga ingin kanjeng romo
menghukum Puntadewa. Di dunia ini tak boleh ada nama serba “dewa” kecuali para
dewa itu sendiri. Kalo tidak dituruti, aku lebih baik mati mencebur ke
Candradimuka“ sifat keibuan Batari Durga muncul.
Pernintaan konyol Dewasrani
Dia kasihan pada Dewasrani dan membujuk sang
suami agar menuruti keinginan putra bungsunya itu. “suamiku, tolong turutilah
keinginan putra bungsumu.” Batara Guru tidak tahan dengan ratapan Dewasrani.
Akhirnya dia memutuskan “baiklah, baiklah... aku memutuskan raja Amarta itu
harus dibawa ke neraka mau atau tidak mau. Kakang Narada aku tugaskan kau ke
Amarta sekarang. Jemput Puntadewa Yudhistira kemari lalu buang dia ke neraka.”
Batara Narada menjadi heran mendengarnya “welah dalah, adhi Guru. Ini tak masuk
akal sama sekali. Apa salah pembarep Pandawa itu? kalo sekadar nama disamai,
itu wajar. Lagipula yang bernama “dewa” bukan hanya dia. Ada adiknya, Raden
Sadewa atau sepupunya, Prabu Baladewa. Kenapa harus dia yang dihukum?
permintaan putra adhi Guru yang seorang dewa kenakalan dan dewa kejahilan
terlalu kekanak-kanakan.” Batara Guru marah dan memaki sang tangan kanan
“POKOKE RA PEDULI BLAS! Pokoke bawa si Puntadewa Yudhistira. Sekarang aku beri
pilihan, ikuti perintahku atau kau kudepak dari kahyangan? kakang Narada
sekarang keputusanmu.” “ adhi Guru, perintah memang perintah. Aku cuma
mengingatkan saja. Adhi Guru, segala perbuatan ada karmapalanya, bahakan
berlaku untuk kita para dewa.” Batara Narada segera turun ke marcapada menuju
Amarta.
Perasaan
tidak enak menyelubungi sanubari. Di kerajaan Dwarawati, laut nampak tak
bersahabat seperti biasanya hari itu. Angin bertiup sangat kencang bagai badai.
Gelombang pasang menghantam tembok pulau Dwaraka hingga membanjiri sebagian
kotaraja. Prabu Kresna melihat gelagat awan di angkasa. Nampak tak biasa dan
berputar-putar. Tiba-tiba salah satu pusaka di ruang pusaka bercahaya terang.
Ketika di dekati rupanya pusaka Kaca Lopian memunculkan gambaran. Gambaran itu
mirip sekali dengan mimpi Prabu Yudhistira yang mengerikan beberapa malam lalu.
“jadi ini jawabannya, yang membuat aku tidak enak hati beberapa hari terakhir.
Aku harus ke Amarta sekarang.” Prabu Kresna segera menaiki kereta Jaladara dan
segera memecut pantas menuju Amarta.
Di
kerajaan Amarta, Prabu Yudhistira sedang dihadap keempat adiknya, yaitu, Arya
Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Perasaan tidak enak
terus menggelayuti pikiran dan hatinya. Mimpinya yang beberapa hari itu selalu
berulang dan membuatnya tersiksa. Ketika mereka membahas masalah negara,
tiba-tiba batara Narada turun dari angkasa. Para Pandawa segera menghaturkan
sembah. Batara Narada datang untuk menyampaikan perintah dari Batara Guru yaitu
Prabu Yudhistira harus membuang nama Puntadewa didepan gelar Yudhistira dan
harus ikut Batara Narada untuk disiksa di neraka. Prabu Yudhistira terkejut
lalu berkata “Puntadewa adalah nama lahirku. Yang memberiku nama itu
ayahandaku, Pandu Dewanata. Sekarang ayahanda sudah meninggal, aku tak bisa
membuang namaku begitu saja. Bawalah aku saja ke neraka menemani ayahanda dan
ibunda Madrim. Masalah negara biar-adik-adikku yang mengurus.” “kakang Punta,
jangan pergi ke neraka. Siapa yang akan memerintah negara?” Arya Wrekodara
berusaha menahan kakaknya itu. dirinya kemudian berkata dengan tegas “pukulun
Narada, aku bersedia menjadi ganti kakang asal kakang prabu jangan masuk
neraka.” Lalu dari belakang Raden Arjuna dan si kembar juga menyatakan hal yang
sama “aku juga bersedia. ” “kami juga, buat apa kami hidup tanpa kakang. kakang
sudah menjadi pengganti ayahanda sejak kecil. ” batara Narada menjadi
serbasalah. Dengan berat hati, seluruh Pandawa dibawa oleh Batara Narada
kecuali Prabu Yudhistira. Dia dibebaskan sementara Arya Wrekodara, Raden
Arjuna, Raden Nakula dan Raden Sadewa dimasukkan ke dalam gentong ajaib lalu
oleh Batara Narada dibawa terbang ke kahyangan.
Hati
prabu Yudhistira serasa diiris sembilu. Mata sembab dan dada sesak seakan ingin
meluapkan segala yang ada. prabu Yudhistira hanya mampu terduduk dengan
tertunduk. Lalu, datanglah Dewi Kunthi dan bertanya “Punta, dimana
adik-adikmu?” Prabu Yudhistira menceritakan segalanya siapa tahu mendapatkan
solusi. Namun bukan solusi yang didapat namun hal lain yang jauh lebih
menyakitkan. Dewi Kunthi bersedih hati. Perasaan ibu mana yang tak terluka
mendengar putranya pergi dibawa orang dan saudaranya tak mampu membela. Dewi
Kunthi menjadi marah pada Yudhistira karena tak mampu melindungi adik-adiknya
dari arogansi para dewa. Tak pernah dia melihat sang ibu menjadi semurka itu.
Dengan berlinang air mata, Prabu Yudhistira berlari keluar keraton. Segala
emosi yang menyelimutinya membuat kepala dan dadanya terasa berat. Tangan sang
raja berdarah putih itu tanpa sengaja menyentuh dadanya yang sesak itu dan
mengenai Kalung Robyong Mustikawarih.
Triwikrama Dewa Amral
Tiba-tiba,
jantung Prabu Yudhistira tersentak keras, nafasnya terengah-engah juga
pandangannya mulai kabur dan kosong. Bola matanya berputar-putar lalu memutih.
Prabu Yudhistira hilang kesadaran, lalu dia berteriak keras. Suara teriakan itu
tiba-tiba berubah berat menjadi erangan yang bergemuruh di angkasa dan secara
ajaib, tubuhnya berubah menjadi semakin besar dan menakutkan. Prabu Yudhistira
triwikrama menjadi raksasa mengerikan berkulit putih maha besar jauh lebih
besar dari gunung Mahameru bahkan besarnya dua kali lipat triwikrama Batara
Wisnu. Tangannya masing masing membawa kitab Jamus Kalimahusada, panah tajam,
tombak, dan tangan satunya dalam posisi mudra. Rambut gimbalnya jauh lebih
tajam dari segala pisau, keris, dan belati. Segala rasa takut, duka, luka,
murka, dan kecewa menggulung akal sehatnya membangkitkan energi mahadahsyat.
Duka kehilangan orang-orang terkasih tumpah menjadi kemurkaan yang mengerikan “HUWOOOO.......
KALIAN PARA DEWA DENGARKAN INI. AKU BUKAN LAGI PUNTADEWA YUDHISTIRA YANG
PENYABAR. AKU PRABU BATARA DEWA AMRAL. KEMBALIKAN ADIK-ADIKKU ATAU KU
OBRAK-ABRIK SELURUH KAHYANGAN PARA DEWA! HUOOOOOOO!!!!!!”
Prabu
Kresna terus memecut kereta Jaladara. Ketika hampir melewati tapal batas negara
di desa Karang Tumaritis, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang berubah
menjadi erangan yang menggelegar. Suara itu datang dari luar kotaraja
Indraprastha. Prabu Kresna menghentikan laju kereta. Prabu Kresna tiba-tiba
merasa mual dan membayangkan aroma kematian karena ada hawa mengerikan yang
tercipta dari ketakutan, duka, murka, dan kecewa yang sangat kuat. Di tengah
lamunannya, Ki Lurah Semar mengejutkannya. Dia melihat Prabu Kresna tiba-tiba
bersandar di bawah pohon. “Welah dalah Mbelegedug.... ada apa, ndara Prabu
Kresna? Tiba-tiba menyandarkan diri?” “Ki Lurah, aku merasakan hawa mengerikan
dari Amarta. Aku takut terjadi sesuatu pada para Pandawa.” “aku juga merasakan
hal yang sama. Aku khawatir bila hawa mengerikan ini berkaitan dengan
kahyangan. Semalam aku mendapat pesan gaib dari ayahku, Batara Padawenang.
Katanya para Pandawa akan dihukum di neraka karena ulah Dewasrani.” Seketika
Prabu Kresna berubah raut mukanya, kecut seperti menyimpan kedukaan. Batara
Wisnu dalam dirinya seakan berbisik untuk berubah wujud menjadi Maha
Brahalasewu. Tangan sang prabu Kresna menyentuh Panah Aji Kesawa dan seketika
Prabu Kresna triwikrama menjadi raksasa besar berkulit hitam legam bertangan
banyak. Tanpa banyak bicara, Maha Brahalasewu segera menuju kahyangan.
Sementara Ki Lurah Semar memanggil anak-anaknya untuk menemui Raden Gatotkaca.
“Gareng! Petruk! Bagong! sekarang aku mau nyusul Pandawa ke Jonggring Saloka.
Kalian ke Pringgondani, panggil ndara Gatotkaca untuk menjaga Amarta.”
“asiquuee, akhirnya jalan-jalan “seloroh bagong. Gareng menimpalinya “Ngawur
kamu, Gong. Bapak nyuruh jaga negara dibilang jalan-jalan” Petruk kemudian
menengahi “sudah-sudah, kang Gareng. Yuk jalan. Gausah kayak emak-emak ghibah.”
Mereka bertiga pun berangkat.
Sementara
itu, Batara Narada dan keempat Pandawa telah tiba di Jonggring Saloka. Batara
Guru bertanya “ kok malah mereka berempat? Puntadewa Yudhistira kemana? “
dengan santainya, Arya Wrekodara berkata “Maaf pukulun, nyawa kakak kami jauh
lebih berharga untuk dikorbankan demi permintaanmu yang tak masuk akal itu.
Kami saja yang turun sebagai ganti korban,” batara Guru bertanya pada Dewasrani
apakah nyawa keempat Pandawa itu cukup untuk menebus kesalahan Prabu
Yudhistira. Dewasrani berpikir inilah kesempatan untuk menyebarkan kenakalannya
diantara manusia. Dengan lenyapnya empat Pandawa, segala sifat nakal dan
arogannya akan menyebar di muka bumi lebih mudah. Masalah Prabu Yudhistira bisa
dikesampingkan dan bisa dia habisi kapan saja. Lalu dia berkata “ayahanda,
keempat Pandawa sudah cukup bagiku” batara Guru kemudian memanggil Batara
Yamadipati untuk menggiring keempat Pandawa ke Kawah Candradimuka di dasar
neraka.
Sesampainya
disana, Raden Arjuna berkata “Pukulun Yamadipati, sudah sampai disini saja
tugasmu. Biar kami sendiri yang terjun ke dasar.” Batara Yamadipati
mempersilakan. Begitu tubuh keempat Pandawa menyentuh lahar kawah yang mendidih
itu, terjadi keajaiban. Neraka kawah Candradimuka yang panas tak terkira
tiba-tiba berubah menjadi sejuk. Lahar yang tadinya bergejolak mendadak
berhenti dan berubah menjadi sedingin air pegunungan. Para Kingkara mendadak
keluar dari neraka dan heran kenapa suasana neraka berubah sejuk. Di dasar
neraka, empat Pandawa melihat dua orang yang familiar. Mereka tak lain adalah
Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim yang sudah berbadan ruhani. Keempat
Pandawa menangis terharu terutama Nakula dan Sadewa lalu memeluk kedua orang
tuanya itu. Arya Wrekodara dan Raden Arjuna memluk Pandu Dewanata sedangkan
Nakula dan Sadewa memeluk sang ibu, Dewi Madrim. “anak-anakku, bagaimana kabar
kalian? Ibu Kunthi bagaimana?” tanya Prabu Pandu Dewanata memecah keharuan
“Arya Wrekodara menjawab dengan bahasa polosnya “syukur pada Ida Sanghyang
Widhi, kami baik-baik saja. Kanjeng ibu Kunthi sehat.” Dewi Madrim bertanya
“anak-anakku, bagaimana dengan kabar di Marcapada?” Raden Nakula berkata “di
Marcapada baik-baik saja. Hastinapura tetap damai sentosa di perintah kanda
Prabu Duryudana. Untuk mengurangi ketegangan kami dan kakang para Kurawa, Kami
berlima telah berjaya mendirikan Kerajaan Amarta. Mandiri dan merdeka dari
Hastinapura” Kedua orang tua Pandawa itu menangis haru mendengar keberhasilan
para putra mereka. Raden Sadewa kemudian bertanya, “Ayahanda! Kanjeng ibu! Saat
kami mencebur ke kawah neraka ini aneh rasanya. Kok tidak terasa panas sama
sekali bahkan udaranya terasa sangat sejuk?” Prabu Pandu Dewanata menjelaskan
bahwa neraka Candradimuka ini akan terasa sejuk bila yang diceburkan ke
dalamnya adalah orang berhati baik dan tulus. Arya Wrekodara dan ketiga adiknya
bersyukur karena mereka bukan digolongkan orang yang berhati jahat. Tiba-tiba
mereka dikejutkan dengan suara keras yang amat memekakkan telinga dari luar
Candradimuka.
Suara
keras itu terdengar dari Lawang Selomatangkep. Datang sesosok raksasa putih
tinggi besar bertangan enam bernama Prabu Batara Dewa Amral mengamuk dan
menghancurkan pos jaga Batara Cingkarbala dan Balaupata. Lawang Selomatangkep
juga dibuka paksa sampai berderit keras. Para dewa, para bidadara dan bidadari,
berlarian kesana-kemari karena panik. Begitu memasuki kahyangan, para dewa
menyerang raksasa itu namun segala serangan itu tak sat pun mempan malah
berbalik pada mereka sendiri. Suara erangan dan teriakannya menggoncang
kahyangan dan gunung Mahameru. Lalu dia tendang segala benda dibawah kakinya
dan mencabuti segala pepohonan, bangunan, bebatuan besar, dan tanah cadas lalu
dilemparkannya ke segala arah. Kahyangan Jonggring Saloka rusak berat
dibuatnya. Taman Karang Kaendran berubah tertutup tanah dan batu, hampir tak
bersisa. Takhta Madeprawaka bergeser dari tempatnya. Balai Marakata dan Balai
Marcukunda terlempar dan hampir rubuh. Gunung Mahameru longsor dan memuntahkan
awan panas yang menyesakkan. Para bidadara dan bidadari yang dipimpin Batara
Indra beramai-ramai turun ke Marcapada menyelamatkan diri. Para dewa yang masih
bertahan seketika ciut nyali bahkan pingsan karena hawa membunuh yang
dipancarkan Dewa Amral sangat kuat dan begitu mengerikan, bahkan Batara Guru
dan Batari Durga ikut merasa mual karenanya “HUWOOOOO AKAN KU HANCURKAN SELURUH
KAHYANGAN DEWAAAA...!!!” Dewa Amral kemudian terjun ke Kawah Candradimuka di
dasar neraka.
Sesampainya di dasar dia melihat keempat
adiknya bersama sepasang pria dan wanita. Dewa Amral datang lalu bersimpuh di
hadapan mereka. Mata sang raksasa sembab karena tahu yang dihadapannya itu
Prabu Pandu dan Dewi Madrim, ayah dan ibunya yang telah lama meninggalkan
mereka. Prabu Pandu Dewanata memeluk Dewa Amral “walau kau berubah wujud
seperti ini. Aku mampu mengenalimu putraku, Puntadewa.” “AYAHANDA ! KANJENG
IBU! TUGAS KAMI BERLIMA DI DUNIA MASIH BANYAK. AKU AKAN MEMBAWA MEREKA KELUAR
DARI NERAKA INI!. AKU JUGA AKAN MENGENTAS KALIAN DARI NERAKA DAN KU BAWA KE
SWARGA MANILOKA.” “putraku, kami tidak sengsara selama tinggal di neraka karena
amal-amal baik kalian dalam membela kebenaran dan keadilan . Sebalikanya
walaupun kami tinggal di Swarga Maniloka, kami akan merasa tersiksa bagai di neraka
jika kalian berbuat jahat di Marcapada. Apapun keputusanmu, kami akan bahagia
bila itu untuk kebaikan semua” Dewa Amral mengangkat keempat adiknya keluar
dari neraka dan segera meminta keadilan pada Batara Guru agar kedua orangtuanya
dimasukkan ke Swarga Maniloka. Kemudian sampailah mereka di depan takhta
Madeprawaka. Batara Guru dan Batara Narada datang lalu bertanya “Dewa Amral,
perihal nama “dewa” kau sudah tahu aku melakukan itu karena ulah Dewasrani,
putraku. Tolong maafkan lah dia.” “BATARA GURU, PERIHAL NAMA “DEWA” DAN
DEWASRANI BISA AKU LUPAKAN. TAPI SEKARANG SAATNYA KEADILAN. DALAM MIMPI, AKU
MENYAKSIKAN SENDIRI AYAH DAN IBUKU HIDUP DI NERAKA, DISIKSA. DOSA-DOSA AYAHANDA
DAN KANJENG IBU SUDAH LEBUR SETIMPAL DENGAN AZAB YANG DITERIMA. AKU KESINI
MINTA KEADILAN AYAHANDA DAN KANJENG IBU MASUK SURGAAAAA......!!!” Batara Guru
diam seribu bahasa tidak memberikan jawaban. Dewa Amral tak sabar lagi lalu
mengamuk berniat menghancurkan seluruh kahyangan. Batara Guru marah kemudian
menembakkan sinar trinetra namun meleset. Karena lengah, Batara Guru berhasil
digenggam Dewa Amral. Batara Narada menjadi ketar-ketir. Kahyangan kacau dan
kini Batara Guru tertangkap Dewa Amral. Lalu datanglah Maha Brahalasewu untuk
meredam amarah Dewa Amral. Dewa Amral menjadi semakin marah dan terus
menggenggam Batara Guru dengan kuatnya. Tiba-tiba tangannya ditampik dan Batara
Guru terbebas dari cengkraman. Ketika menoleh rupanya Maha Brahalasewu sudah
ada di depannya. Dewa Amral balas menyerang Maha Brahalasewu. Dewa Amral lalu
membawa Maha Brahalasewu ke tengah lapangan Repat Kepanasan.
Dewa Amral melawab Maha Brahalasewu
Kedua
triwikrama itu bertarung tanpa henti. Seluruh kahyangan berguncang hebat.
Keduanya bagaikan Batara Wisnu dan Batara Dharma yang sedang berperang tanding.
Kerusakan di alam kahyangan membuat bumi gonjang-ganjing, langit kolap kalip,
hawa panas dan dingin bercampur menciptakan topan badai dahsyat.
Batara
Narada khawatir kalau kahyangan benar-benar hancur. Batara Narada tiba-tiba
mendapat pesan gaib dari Batara Padawenang di Alang-alang Kumitir “Narada, cari
jago agar kedua triwikrama itu tenang. Jago itu sekarang ada di Amarta. Dia
adalah perempuan dengan rambut berhiaskan jepit bunga teratai.” Batara Narada
merasa ini kesempatan untuk menghentikan Dewa Amral dan meredakan amarah Maha
Brahalasewu. Lalu dia kembali turun ke Marcapada. Di tengah perjalanan dia
bertemu Ki lurah Semar “adhi narada, ada apa kembali turun ke Marcapada?”
“kakang Semar, batara Padawenang memberiku pesan wangsit untuk menjemput jago
kahyangan yang bisa menenangkan kedua triwikrama. Jago itu seorang perempuan
dengan rambut berhiaskan jepit bunga teratai.” “adhi Narada, jago yang dimaksud
itu Gusti Permaisuri Drupadi, istri gusti Prabu Yudhistira. Mari ikut aku.”
Di
Keraton Indraprastha, Dewi Drupadi menerima kedatangan keponakannya, Raden Gatotkaca dari Pringgondani dan tiga
punakawan Gareng, Petruk, dan Bagong. Tak lama kemudian Batara Narada dan Ki
Lurah Semar turun dari angkasa. Batara Narada kemudian bercerita “Drupadi,
cucuku. Kedatanganku bersama kakang Semar kemari untuk menjemputmu menjadi jago
kahyangan. Kahyangan sekarang dikacaukan oleh raksasa putih. Tadinya ada bala
bantuan tapi bala bantuan itu kerepotan dan kini justru bertarung dengannya
sampai mati” Dewi Drupadi terkejut lalu bertanya“Ampun, pukulun. Bukan
bermaksud meragukan keputusan dewata tapi kenapa harus saya? Kenapa bukan
kakang Yudhistira atau adik-adik ipar? Kenapa bukan kakang Gowinda? Apa
istimewanya saya di hadapan dewa?” batara Narada berkata “saat ini Para Pandawa
ditawan oleh raksasa putih itu. Kedua raksasa itu butuh ditenangkan dan kamu
yang dirasa paling cocok untuk menenangkan mereka, cucuku.” Dewi Drupadi
menjadi bersemangat dan bersedia naik ke kahyangan.
Di
tengah Repat Kepanasan, debu panas dan tanah membumbung tinggi. Pertarungan
Dewa Amral dan Maha Brahalasewu terus berlangsung. Mereka bertarung cepat
bahkan mata para dewa tak mampu melihatnya karena laju sekali. Dewa Amral saling melempar seribu tombak sementara
Maha Brahalasewu melempar seribu anak panah hingga senjata-senjata itu meledak
di tanah. Ledakan menyebarkan berton-ton
debu dan pasir ke segala arah. Kahyangan Jonggring Saloka menjadi diselimuti
badai debu dan pasir. Tiba-tiba Dewa Amral dan Maha Brahalasewu terhempas oleh
daya kekuatan yang asing. Ketika mereka bangun, mereka mendapati ada sesosok
wanita duduk bersila di tengah Repat Kepanasan mengheningkan cipta sambil
menjapa mantra penenang jiwa. Sosok itu adalah Dewi Drupadi. Kedua triwikrama
menjadi lemah dan tak berdaya seketika. Akhirnya mereka berubah kembali ke
wujud semula. Dewa Amral badar kembali jadi Prabu Yudhistira dan telah reda
amarahnya sedangkan Maha Brahalasewu badar kembali menjadi Prabu Kresna. Arya
Wrekodara, Raden Arjuna, dan kembar Nakula-Sadewa keluar dari persembunyian.
Batara Narada kemudian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dewi Drupadi
bersyukur sang suami, para iparnya dan Prabu Kresna tidak-apa-apa.
Tiba-tiba
datanglah Dewasrani merasa kesal karena rencananya melenyapkan Pandawa telah
gagal. Dewasrani beserta pasukan siluman dan hantu dari Dandangmangore kemudian
menyerang para Pandawa. Arya Wrekodara berusaha mengusir pasukan siluman itu
namun kewalahan karena jumlah siluman dan hantu terlalu banyak. Lalu datang Ki
Lurah Semar mengeluarkan kentut
saktinya. Karena daya kentut sakti itu, Dewasrani dan pasukannya terhempas
kembali ke Istana Nusarukmi di Dandangmangore. Batara Guru dan Batari Durga
khilaf dari kesalahannya lalu meminta maaf karena terlalu menuruti keinginan
Dewasrani yang kekanak-kanakan dan arogan. Para Pandawa dan Prabu Kresna
mengikhlaskan itu. lalu Batara Guru berkata “untuk masalah orang tua kalian,
Pandu dan Madrim, aku sudah memutuskan mereka berdua sudah layak dientas dari
neraka dan kuperkenankan memasuki Swarga Maniloka.” Dewi Drupadi dan para
Pandawa merasa bersyukur dan berterima kasih. Setelah dirasa cukup, para
Pandawa, Dewi Drupadi, Prabu Kresna dan Ki lurah Semar kembali ke Amarta.
Sementara para dewa segera memperbaiki bagian-bagian kahyangan yang rusak.
PRABU BALADEWA BERMIMPI BURUK TENTANG PRABU PUNTADEWA
Di
Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa memimpin pertemuan yang dihadiri
Raden Samba Wisnubrata dari Paranggaruda, Arya Setyaki dari Swalabumi, dan
Patih Udawa dari Widarakandang. Hadir pula sang kakak dari Kerajaan Mandura,
yaitu Prabu Baladewa yang hanya didampingi Patih Pragota. Dalam kunjungannya
itu, Prabu Baladewa berkata bahwa dirinya baru saja mimpi buruk tentang Prabu
Puntadewa, pemimpin para Pandawa.
Dalam
mimpinya tersebut, Prabu Baladewa melihat Prabu Puntadewa berjalan kaki
mengenakan pakaian serbaputih. Kemudian datang angin kencang yang menerbangkan
tubuhnya. Prabu Baladewa lalu terbangun dari tidur dan tidak mengetahui
bagaimana nasib Prabu Puntadewa selanjutnya. Mengingat adiknya sangat cerdas
dan mampu menafsir mimpi, Prabu Baladewa pun datang ke Kerajaan Dwarawati untuk
menanyakan arti mimpinya itu kepada Prabu Kresna.
Prabu
Kresna termenung sejenak, kemudian ia berkata bahwa dirinya harus segera
berangkat ke Kerajaan Amarta karena ada hal buruk yang akan menimpa Prabu
Puntadewa dan para Pandawa lainnya. Prabu Baladewa tidak ingin ketinggalan.
Mereka pun bersama-sama berangkat dengan disertai Arya Setyaki dan Patih
Pragota.
PRABU DEWASRANI IRI HATI KEPADA PRABU PUNTADEWA
Sementara
itu di Kahyangan Dandangmangore, Batari Durga menerima kedatangan putranya,
yaitu Prabu Dewasrani dari Kerajaan Nusarukmi. Dalam kunjungannya itu, Prabu
Dewasrani bertanya kepada ibunya mengapa dirinya diberi nama dengan unsur kata
“dewa”. Batari Durga menjawab, itu karena Prabu Dewasrani adalah putra dewa,
yaitu Batara Guru, sehingga boleh memakai nama dengan unsur kata “dewa”.
Prabu
Dewasrani lalu bertanya mengapa Prabu Puntadewa memakai nama yang mengandung
unsur “dewa”, apakah ia memang putra salah satu dewa? Batari Durga menjawab,
Prabu Puntadewa adalah putra Prabu Pandu Dewanata yang mendapat nama dengan
unsur kata “dewa” dari ayahnya itu. Adapun Prabu Pandu boleh menyandang gelar
Dewanata adalah karena pernah berjasa membunuh musuh kahyangan yang bernama Prabu
Nagapaya.
Prabu
Dewasrani berterus terang bahwa dirinya kesal mendengar ada orang lain yang
memiliki nama dengan unsur kata “dewa” seperti dirinya, dan orang itu menjadi
raja pula. Apalagi, ayah Prabu Puntadewa bahkan bernama Prabu Pandu Dewanata,
yang artinya “raja dewa”. Nama ini jelas menyamai Batara Guru yang memiliki
gelar Sanghyang Jagadnata, ataupun menyamai Batara Indra yang memiliki gelar
Sanghyang Suranata.
Batari
Durga berkata bahwa roh Prabu Pandu Dewanata sudah mendapat hukuman dari Batara
Guru, yaitu dikurung dalam Kawah Candradimuka bersama Dewi Madrim, istri
keduanya. Prabu Dewasrani tidak puas karena Prabu Puntadewa harusnya juga
dihukum karena memakai nama dengan unsur kata “dewa” padahal bukan anak dewa.
Apabila Prabu Puntadewa tidak dicopot dari kedudukannya sebagai raja dan juga
tidak dihukum, maka Prabu Dewasrani memilih lebih baik bunuh diri saja.
Batari
Durga sangat memanjakan Prabu Dewasrani. Ia pun menuruti keinginan putranya itu
dan segera berangkat bersama menuju Kahyangan Jonggringsalaka untuk menghadap
Batara Guru.
ROMBONGAN DARI KERAJAAN DWARAWATI TERHALANG PERJALANANNYA
Batari
Durga dan Prabu Dewasrani berangkat dikawal pasukan Nusarukmi yang terdiri atas
para raksasa, beserta para pengikut Kahyangan Dandangmangore yang berwujud kaum
makhluk halus. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan rombongan dari Kerajaan
Dwarawati. Dasar watak para raksasa yang suka mencari keributan, mereka pun mengganggu
rombongan tersebut.
Arya
Setyaki yang berada paling depan segera menghadapi para raksasa itu.
Pertempuran pun terjadi. Batari Durga tidak mau melibatkan diri. Ia pun membawa
Prabu Dewasrani terbang secepat kilat menuju Kahyangan Jonggringsalaka,
sedangkan pasukan mereka dipimpin Jin Jaramaya sibuk bertempur melawan
orang-orang Dwarawati.
BATARI DURGA MENGADU KEPADA BATARA GURU
Di
Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada, Batara Indra, dan
Batara Yamadipati. Tidak lama kemudian datanglah Batari Durga dan Prabu
Dewasrani. Batari Durga menangis meminta Batara Guru mencegah putranya bunuh
diri. Batara Guru bertanya mengapa Prabu Dewasrani ingin bunuh diri. Batari
Durga pun menjawab bahwa ini semua karena Prabu Puntadewa memakai unsur nama
“dewa”. Unsur nama “dewa” hanya boleh dipakai oleh putra dewa saja, seperti
Prabu Dewasrani. Namun, jika ada manusia biasa, apalagi seorang raja seperti
Prabu Puntadewa memakai nama “dewa”, maka lebih baik Prabu Dewasrani bunuh diri
saja.
Batara
Guru tidak tahan menyaksikan ratapan Batari Durga. Ia pun memutuskan bahwa
Prabu Puntadewa harus melepas takhta Kerajaan Amarta dan juga melepas nama
“dewa”. Apabila menolak, maka ia harus diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka.
Tugas ini diserahkan kepada Batara Narada untuk pergi ke Kerajaan Amarta.
Batara
Narada heran mengapa Batara Guru begitu mudah menuruti permintaan yang tidak
masuk akal ini? Mengapa hanya karena bernama “dewa” lantas Prabu Puntadewa
harus dihukum mati diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka segala? Bukankah ada
orang lain yang juga bernama “dewa”, misalnya Prabu Baladewa ataupun Raden
Sadewa? Apakah mereka semua juga harus dihukum mati?
Batara
Guru tidak menjawab. Keputusannya hanya berlaku untuk Prabu Puntadewa saja,
tidak ada urusan dengan yang lainnya. Sekarang yang jadi pertanyaan, apakah
Batara Narada bersedia menjalankan perintah atau tidak? Batara Narada menjawab,
sebagai bawahan maka dirinya tidak dapat menolak perintah ini. Ia hanya
berusaha memberikan saran yang baik, syukur-syukur apabila diterima. Namun
demikian, semua keputusan tetap berada di tangan Batara Guru sebagai pemimpin
kahyangan. Usai berkata demikian, Batara Narada pun pamit undur diri menuju
Kerajaan Amarta.
BATARA NARADA MENJEMPUT PRABU PUNTADEWA
Di
Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa dihadap keempat adiknya, yaitu Arya Wrekodara,
Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Ketika sedang membahas masalah
negara, tiba-tiba datang Batara Narada turun dari angkasa. Para Pandawa pun
bergantian menghaturkan sembah kepadanya.
Batara
Narada berkata bahwa kedatangannya adalah untuk menyampaikan perintah Batara
Guru. Perintah tersebut ialah Prabu Puntadewa harus mengganti nama yang tidak
boleh mengandung unsur kata “dewa”, dan juga harus melepaskan takhta Kerajaan Amarta.
Jika menolak, maka ia akan dihukum mati dengan cara diceburkan ke dalam Kawah
Candradimuka.
Prabu
Puntadewa menjawab, nama yang ia pakai adalah pemberian orang tua, sehingga
jika dilepas harus minta izin dulu kepada mereka. Yang kedua, dirinya menjadi
raja adalah karena dipaksa keempat adiknya. Oleh sebab itu, jika diminta turun
takhta, maka harus keempat adiknya itu yang mengizinkan.
Arya
Wrekodara pun maju sebagai juru bicara keempat Pandawa. Dengan tegas ia menolak
kakak sulungnya turun takhta. Menurutnya, Prabu Puntadewa adalah raja yang adil
dan bijaksana, memakmurkan negara, dan memimpin rakyat Amarta bagaikan anak
sendiri. Apabila Prabu Puntadewa turun takhta mengikuti perintah Batara Guru,
maka rakyat akan kehilangan pemimpin sejati dan ini adalah bencana bagi
Kerajaan Amarta. Untuk urusan nama, yang memberikan nama “Puntadewa” adalah
Prabu Pandu, ayah para Pandawa. Dengan demikian, Prabu Puntadewa tidak akan
bisa melepas namanya, karena Prabu Pandu sudah lama meninggal dunia. Itu
artinya tidak akan ada lagi yang bisa memberikan izin penggantian nama
tersebut.
Batara
Narada merasa serbasalah. Di satu sisi ia setuju dengan ucapan Arya Wrekodara,
namun di sisi lain ia harus menjalankan perintah atasan, yaitu menjemput Prabu
Puntadewa dan menceburkannya ke dalam Kawah Candradimuka. Arya Wrekodara
menyadari kegelisahan Batara Narada. Ia berkata bahwa nyawa Prabu Puntadewa
terlalu berharga untuk dikorbankan. Sebagai gantinya, ia dan para Pandawa yang
lain bersedia diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka. Raden Arjuna, Raden
Nakula, dan Raden Sadewa sepakat mendukung pernyataan Arya Wrekodara.
Batara
Narada terharu melihat semangat para Pandawa yang tidak takut mati demi rakyat
Amarta. Arya Wrekodara dan ketiga adiknya lalu mohon pamit kepada Prabu
Puntadewa. Dengan berlinang air mata, Prabu Puntadewa memeluk mereka satu
persatu. Keempat adiknya itu lalu pergi bersama Batara Narada. Prabu Puntadewa
pun berjalan mengantarkan sampai ke ambang pintu.
DEWI KUNTI MENEGUR PRABU PUNTADEWA
Tiba-tiba
Dewi Kunti muncul karena mendapat firasat buruk. Ia pun bertanya mengapa Prabu
Puntadewa sendirian saja. Prabu Puntadewa menceritakan dari awal hingga akhir
mulai kedatangan Batara Narada, hingga bagaimana keempat adiknya bersedia
dibawa ke kahyangan untuk menggantikan dirinya menjalani hukuman mati di Kawah
Candradimuka.
Dewi
Kunti terkejut mendengar cerita itu. Ia menegur Prabu Puntadewa sebagai kakak
sulung tidak becus melindungi saudara. Bahkan, Prabu Puntadewa bersenang hati
tetap menjadi raja dengan mengorbankan nyawa keempat adiknya. Dewi Kunti
menyesal telah melahirkan Prabu Puntadewa ke dunia. Ia pun menagih air susu
yang telah ia berikan dulu, lebih baik dikembalikan saja.
Prabu
Puntadewa lemas gemetar mendengar ucapan ibunya. Jantungnya berdebar kencang
dan ia pun memijat dada sendiri. Tanpa sengaja, tangan Prabu Puntadewa
menyentuh pusaka Kalung Robyong Mustikarawis warisan Arya Gandamana yang
melekat di dadanya. Menyentuh kalung itu dengan disertai perasaan hati yang
terdesak membuat wujud Prabu Puntadewa seketika berubah menjadi raksasa tinggi
besar berkulit putih bersih.
Dewi
Kunti semakin marah dan menuduh Prabu Puntadewa hendak berbuat durhaka
kepadanya. Prabu Puntadewa menolak tuduhan itu. Dengan wujud raksasa ini ia
akan mengacau Kahyangan Jonggringsalaka agar keempat adiknya dibebaskan. Usai
berpamitan kepada sang ibu, ia pun berangkat meninggalkan istana.
PRABU KRESNA MENYUSUL KE KAHYANGAN
Sementara
itu, perjalanan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa yang terhalang pertempuran
melawan pasukan Nusarukmi membuat kedatangan mereka menjadi terlambat. Mereka
baru sampai di Kerajaan Amarta ketika para Pandawa sudah pergi dan hanya
bertemu Dewi Kunti menangis sendirian. Mereka lalu bertanya ada kejadian apa
yang menimpa Kerajaan Amarta.
Dewi
Kunti semakin marah atas pertanyaan dua keponakannya itu. Ia menuduh Prabu
Kresna tidak menjalankan tugasnya sebagai pamong para Pandawa dengan baik. Kini
keempat Pandawa dibawa ke kahyangan untuk dihukum mati, tetapi Prabu Kresna
justru bertanya ada masalah apa. Kalau tidak punya pengetahuan yang cukup,
untuk apa menyombongkan diri sebagai titisan Batara Wisnu segala?
Prabu
Kresna tersenyum tidak marah atas tuduhan sang bibi. Ia pun meraba rambutnya,
menyentuh Panah Kesawa sambil membaca mantra Balasrewu. Seketika tubuhnya pun
berubah menjadi raksasa berkulit hitam legam. Ia lalu mohon pamit kepada Dewi
Kunti untuk menyusul para Pandawa. Prabu Baladewa pun diminta agar tetap
tinggal untuk menjaga Dewi Kunti dan Kerajaan Amarta.
KEEMPAT PANDAWA DICEBURKAN KE DALAM KAWAH CANDRADIMUKA
Sementara
itu, Batara Narada dan keempat Pandawa telah sampai di Kahyangan
Jonggringsalaka. Batara Guru bertanya mengapa bukan Prabu Puntadewa yang dibawa
menghadap kepadanya. Arya Wrekodara menjawab, nyawa kakak sulungnya terlalu
berharga jika harus dikorbankan demi suatu hal yang tidak masuk akal. Sebagai pengganti,
ia dan ketiga adiknya rela mengorbankan nyawa diceburkan ke dalam Kawah
Candradimuka.
Batara
Guru lalu bertanya kepada Batari Durga apakah nyawa keempat Pandawa bisa untuk
menebus kesalahan Prabu Puntadewa. Batari Durga berpikir bahwa ini adalah
kesempatan untuk menyingkirkan para Pandawa. Jika keempat adiknya sudah tewas,
maka tidak sulit untuk menyingkirkan Prabu Puntadewa. Berpikir demikian, Batari
Durga pun menyatakan setuju untuk menceburkan keempat Pandawa itu ke dalam
Kawah Candradimuka sebagai ganti Prabu Puntadewa. Dalam hati ia berpikir kelak
akan mencari cara lain untuk mencelakai sulung Pandawa tersebut.
Maka,
Batara Guru pun memerintahkan Batara Yamadipati untuk melaksanakan tugas.
Batara Yamadipati segera menggiring Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula,
dan Raden Sadewa menuju ke Gunung Jamurdipa. Sesampainya di sana, ia
menceburkan keempat Pandawa tersebut ke dalam Kawah Candradimuka.
Arya
Wrekodara dan ketiga adiknya tidak takut mati. Mereka pun langsung tenggelam ke
dasar kawah. Sungguh ajaib, air kawah yang mendidih itu terasa sejuk oleh
mereka. Tiba-tiba mereka sudah tiba di hadapan dua orang yang duduk di dasar
Kawah Candradimuka. Kedua orang itu tidak lain adalah ayah para Pandawa, yaitu
Prabu Pandu beserta ibu si kembar, yaitu Dewi Madrim, yang masing-masing sudah
berbadan rohani.
Arya
Wrekodara terharu dan segera memeluk roh Prabu Pandu, sedangkan Raden Arjuna
bersimpuh memeluk kaki ayahnya itu. Dewi Madrim juga tampak dipeluk kanan-kiri
oleh Raden Nakula dan Raden Sadewa. Selang agak lama, Prabu Pandu lalu bertanya
tentang kabar anak-anaknya itu. Arya Wrekodara menceritakan bahwa mereka lima
bersaudara sudah mendirikan Kerajaan Amarta. Sebaliknya, ia pun bertanya
bagaimana kabar Prabu Pandu dan Dewi Madrim selama bersemayam di Kawah
Candradimuka.
Dahulu
kala ketika Dewi Madrim sedang mengandung Raden Nakula dan Raden Sadewa,
tiba-tiba terbesit keinginannya untuk bertamasya di atas kendaraan Batara Guru,
yaitu Lembu Andini. Prabu Pandu pun naik ke kahyangan meminjam lembu tersebut
dengan disertai sumpah bahwa kelak setelah meninggal ia rela tidak naik ke
surga, tetapi rohnya ditahan saja di dalam Kawah Candradimuka. Batara Guru
mengizinkan Lembu Andini dipinjam secara cuma-cuma, tetapi para dewa lainnya
menganggap hal ini sebagai kelancangan. Mereka pun menuntut agar Prabu Pandu
benar-benar diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka sesuai keinginannya.
Beberapa
bulan kemudian, Prabu Pandu berperang melawan raja raksasa dari Kerajaan
Pringgadani, yaitu Prabu Tremboko. Dalam perang itu Prabu Tremboko tewas,
tetapi ia sempat melukai paha Prabu Pandu. Akibat luka tersebut, Prabu Pandu
menderita sakit beberapa bulan lamanya. Hingga akhirnya Batara Yamadipati
datang untuk menjemput kematiannya.
Prabu
Pandu meminta waktu kepada Batara Yamadipati agar Dewi Madrim melahirkan lebih
dulu. Ternyata Dewi Madrim melahirkan sepasang bayi kembar. Sesuai janjinya,
maka roh Prabu Pandu pun dicabut dan dibawa Batara Yamadipati. Melihat itu,
Dewi Madrim merasa bersalah dan ikut meninggal pula. Rohnya kemudian ikut pergi
menyertai sang suami.
Demikianlah,
awal mula mengapa roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim bersemayam di dalam Kawah
Candradimuka. Arya Wrekodara merasa heran mengapa ia dan adik-adiknya tidak
merasa panas saat diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka. Prabu Pandu menjawab,
Kawah Candradimuka bukanlah kawah sembarangan. Barangsiapa memiliki hati yang
baik dan tulus, maka ia tidak akan mati apabila diceburkan ke dalam kawah
tersebut. Arya Wrekodara dan ketiga adiknya pun bersyukur karena mereka bukan
termasuk golongan berhati jahat.
Keempat
Pandawa itu kemudian merasa prihatin melihat keadaan Prabu Pandu dan Dewi
Madrim yang hidup menderita di dalam Kawah Candradimuka. Prabu Pandu menjawab,
ia dan Dewi Madrim sama sekali tidak merasa menderita karena mereka sering
mendengar nama baik para Pandawa dalam membela kebenaran dan keadilan.
Sebaliknya, meskipun Prabu Pandu dan Dewi Madrim tinggal di Swargaloka, tetapi
jika mendengar berita para Pandawa berbuat kejahatan di dunia, maka itu rasanya
seperti tinggal di neraka.
DEWA AMRAL MENGAMUK DI KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA
Sementara
itu, raksasa putih penjelmaan Prabu Puntadewa telah sampai di Kahyangan
Jonggringsalaka dan membuat kekacauan di sana. Ia mengaku bernama Dewa Amral
dan menantang para dewa untuk menyerahkan takhta kahyangan kepada dirinya. Para
dewa pun maju menyerang namun tiada satu pun yang dapat mengalahkan raksasa
putih tersebut. Bahkan, mereka justru yang dibuat kalang kabut menghadapi
amukan Dewa Amral.
Batara
Narada segera melaporkan kekacauan ini kepada Batara Guru. Batara Guru pun
memerintahkan Batara Narada untuk mencari jago yang bisa mengatasi Dewa Amral.
Batara Narada mohon pamit berangkat melaksanakan tugas. Di tengah jalan ia
bertemu raksasa berkulit hitam legam, yang mengaku bernama Ditya Kesawamanik.
Batara Narada pun menjanjikan istri bidadari apabila Ditya Kesawamanik mampu
menumpas Dewa Amral. Ditya Kesawamanik menjawab bersedia. Mereka lalu berangkat
menuju tempat Dewa Amral mengamuk merusak bangunan kahyangan.
Sesampainya
di sana, Ditya Kesawamanik segera maju mendekati Dewa Amral. Kedua raksasa itu
berhadapan tetapi tidak saling menyerang. Ada rasa segan di dalam hati
masing-masing. Setelah saling mengenal, Ditya Kesawamanik pun paham bahwa Dewa
Amral adalah penjelmaan Prabu Puntadewa, sedangkan Prabu Puntadewa paham bahwa
Ditya Kesawamanik adalah penjelmaan Prabu Kresna.
Ditya
Kesawamanik lalu berbisik kepada Dewa Amral tentang apa yang menjadi
rencananya. Dewa Amral setuju. Mereka lalu bersatu mengamuk di kahyangan.
Mereka merusak bangunan dan segala benda kedewaan yang mereka temui.
DEWA AMRAL MEMBEBASKAN PARA PANDAWA
Dewa
Amral dan Ditya Kesawamanik bergerak menuju ke Gunung Jamurdipa. Para dewa dan
pasukan dorandara masih mengejar mereka. Ditya Kesawamanik menghadang para dewa
tersebut, sedangkan Dewa Amral mencebur ke dalam Kawah Candradimuka.
Sesampainya
di dasar kawah, Dewa Amral melihat keempat adiknya sedang bersama sepasang pria
dan wanita. Dewa Amral pun terharu saat mengenali mereka adalah orang tuanya
sendiri, yaitu Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Ia lalu bersimpuh menyembah mereka
berdua.
Prabu
Pandu memeluk Dewa Amral dan memintanya untuk membawa keempat Pandawa pergi,
karena tugas mereka di dunia masih banyak. Dewa Amral segera menggendong Arya
Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa, lalu berenang naik ke
permukaan Kawah Candradimuka. Sesampainya di atas, ia segera mengamuk membantu
Ditya Kesawamanik memukul mundur para dewa yang mengepung.
BATARA NARADA MENCARI JAGO
Kahyangan
Jonggringsalaka kembali kacau oleh amukan sepasang raksasa hitam-putih. Batara
Guru memberi tahu Batara Narada bahwa yang bisa mengalahkan Dewa Amral dan
Ditya Kesawamanik adalah permaisuri Keraajaan Amarta, yaitu Dewi Drupadi.
Mendengar petunjuk tersebut, Batara Narada segera mohon pamit berangkat ke
sana.
Dewi
Drupadi saat itu sedang menerima kedatangan Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca
disertai para panakawan. Tidak lama kemudian datanglah Batara Narada turun dari
angkasa. Batara Narada bercerita bahwa Kahyangan Jonggringsalaka saat ini
sedang dikacau oleh dua raksasa berwarna hitam dan putih. Hanya Dewi Drupadi
seorang yang bisa mengalahkan mereka. Dewi Drupadi heran mengapa dirinya yang
harus menjadi jago kahyangan. Mengapa tidak para Pandawa saja? Batara Narada
menjawab, para Pandawa saat ini telah menjadi tawanan kedua raksasa itu.
Mendengar berita tersebut, Dewi Drupadi langsung bersemangat dan ia pun
berangkat disertai Batara Narada. Raden Abimanyu, Arya Gatutkaca, dan para
panakawan ikut menyertai di belakang.
Sesampainya
di Kahyangan Jonggringsalaka, Dewi Drupadi segera menantang Dewa Amral dan
Ditya Kesawamanik. Seumur hidup Dewi Drupadi tidak pernah bertarung. Namun,
demi untuk menyelamatkan para Pandawa, ia sama sekali tidak takut mati.
Sebaliknya, Dewa Amral dan Ditya Kesawamanik hanya saling pandang tidak tahu
harus berbuat apa. Mereka serbasalah karena tidak mungkin melayani tantangan
Dewi Drupadi. Merasa sudah saatnya untuk membuka samaran, kedua raksasa itu pun
kembali ke wujud semula, yaitu Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna.
Arya
Wrekodara, Raden Arjuna, dan si kembar keluar dari persembunyian. Dewi Drupadi
kini telah tahu duduk permasalahannya. Ia bersyukur tidak terjadi hal buruk
menimpa para Pandawa.
ARYA WREKODARA PERGI BERTAPA
Tiba-tiba
muncul Prabu Dewasrani dan Batari Durga yang merasa kecewa karena rencana
mereka gagal. Prabu Dewasrani marah dan mengerahkan pasukannya untuk mengeroyok
para Pandawa. Raden Arjuna bergerak cepat menghadapi raja Nusarukmi tersebut.
Dalam pertarungan itu, Prabu Dewasrani tewas terkena kerisnya sendiri.
Batari
Durga marah melihat putranya tewas. Ia pun mengamuk mengerahkan pasukan makhluk
halus. Kyai Semar yang tiba bersama Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca segera
menghadapi mereka. Dengan mengerahkan kentut saktinya, para makhluk halus itu
berhamburan pergi. Batari Durga pun dapat diringkus oleh Kyai Semar dengan cara
ditindih tubuhnya.
Batari
Durga menangis memohon ampun. Kyai Semar bersedia melepaskannya, asalkan Batari
Durga tidak lagi mempermasalahkan soal nama Prabu Puntadewa. Batari Durga
berjanji akan mematuhi Kyai Semar, namun ia juga meminta supaya putranya
dihidupkan kembali. Karena Batari Durga sudah berjanji demikian, Prabu Kresna
pun melangkah maju dan berhasil menghidupkan kembali Prabu Dewasrani
menggunakan Kembang Wijayakusuma.
Setelah
Prabu Dewasrani hidup kembali, Batari Durga pun mohon pamit membawa pulang
putranya itu kembali ke Kahyangan Dandangmangore.
Prabu
Kresna lalu mengajak para Pandawa dan Dewi Drupadi kembali ke Kerajaan Amarta.
Namun, Arya Wrekodara menolak. Ia merasa prihatin atas nasib Prabu Pandu dan
Dewi Madrim yang masih disekap di dalam Kawah Candradimuka. Sebagai anak yang
pernah mendapatkan ilmu sejati Sangkan Paraning Dumadi dari Dewa Ruci, ia
merasa berkewajiban untuk mengentas ayah dan ibunya itu dari Kawah Candradimuka
dan memindahkannya ke tempat yang lebih baik. Untuk itu, Arya Wrekodara mohon
pamit melakukan tapa ngrame dengan mendirikan tempat pengobatan di Gunung
Argakelasa. Prabu Puntadewa merestui. Mereka lalu berpisah. Arya Wrekodara
berangkat ditemani Arya Gatutkaca, sedangkan Prabu Puntadewa, Prabu Kresna dan
yang lain kembali ke Kerajaan Amarta.
Imajiner Nuswantoro