Babad Demak PESISIRAN
Demak merupakan kerajaan bercorak Islam
pertama di Pulau Jawa yang berdiri sekitar akhir abad ke-15 M dibawah pimpinan
Raden Patah.
Letak geografis Kerajaan Demak sangatlah
strategis, yaitu berada di tepi selat antara Pulau Muria dan Pesisir Utara
Jawa.
Hal tersebut menjadikan Demak mengalami
perkembangan yang pesat dalam aktivitas politik, ekonomi, dan budaya.
Perlu diketahui bahwa pengaruh Pesisir
Utara Jawa terhadap aktivitas perniagaan Kerajaan Demak abad ke-15 hingga ke-17
M.
Letak Kerajaan Demak yang berada di
pesisir membuat kerajaan ini bergerak pada sektor maritim. Hal tersebut
menjadikan sistem mata pencaharian mayoritas masyarakat bertumpu pada kegiatan
perniagaan.
Perkembangan perniagaan Kerajaan Demak
didukung dengan letak pelabuhan yang strategis serta memiliki bahan komoditi
agraris melimpah. Sehingga lingkungan Kerajaan Demak memiliki pengaruh yang
besar terhadap hasil budaya masyarakat Demak pada saat itu.
Penanda waktu menjadi bagian penting dalam
dokumentasi sejarah Indonesia. Selain di prasasti, pencantuman waktu juga
ditemui pada penulisan Babad. Salah satunya adalah Babad Demak.
Babad Demak ditulis pada hari Kamis,
tanggal 8 Zulkaedah, wuku Wugu, windu Adi, tahun Alip 1835 (sara bahning
Slireng rat) atau tahun 1323 Hujrah (guna Dhesthi lir dahara sasra), dan
bertepatan pula dengan tanggal 5 Januari 1906 (rasa nir Trustheng rupa).
Naskah selesai di tulis pada hari Kamis
Pon tanggal 11 Zulkaedah tahun Ehe 1836 atau tahun 1324 hijrah atau 27 Desember
1906. Penulisan Babad ini atas kehendak Sri Sultan Hamengkubawana VII. Pemimpin
pelaksanaan penulisan ini adalah Raden Tumenggung Suryadi putra dari KGP
Adipati Mangkubumi.
Sri Sultan Hamengkubawana VII di masa
pemerintahannya terjadi proses popularisasi kebudayaan dalam segala bidang, di
samping juga karya-karya yang lahir di masa itu cenderung menampilkan elegansi
pada simbol-simbol budaya Jawa.
Dilansir dari laman resmi Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubawana VII memegang era transisi
tradisional menuju modern. Karya-karya seni dalam Kraton mulai diperkenalkan
keluar tembok Kraton.
Tidak hanya karya seni, di era Sri Sultan
Hamengkubawana VII, organisasi pergerakan kemerdekaan Indonesia diberi ruang
tumbuh. Loji Mataram milik Sultan dipinjamkan ke Budi Utomo untuk melaksanakan
kongres. Muhammadiyah lahir di Yogyakarta pada era Sri Sultan Hamengkubawana
VII.
Naskah asli Babad Demak berbentuk tembang
macapat, seakan meloncat-loncat, karena selain kronik Kerajaan Demak, juga
diselingi oleh cerita legenda yang hidup di masa itu. Dalam naskah menceritakan
peristiwa yang berhubungan dengan kerajaan Demak, yang di mulai dari
kepemimpinan Prabu Brawijaya yang merupakan ayah dari Raden Patah, di Majapahit
hingga berakhirnya kepemimpinan Sultan Bintara (Raden Patah) di Demak.
Salah satu legenda yang hadir dalam naskah
tersebut adalah kisah Jaka Tarub.
Termuat dalam pada bagian XI (sinom), XIV dan XV (kinanti), XVI (mijil),
menceritakan mengenai putra dari Syeh Maulana Magribi dan Rasawulan yang
dititipkan dan diasuh oleh Nyai Randa Tarub di desa Tarub. Anak itu memiliki
banyak keistimewaan dan terkenal dengan nama Jaka Tarub. Lalu berlanjut dengan
kisah Jaka Tarub dan Nawangwulan.
Pada tahun 1981, Balai Penelitian Bahasa
Yogyakarta melalui Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
menerbitkan buku Babad Demak I yang berisi tentang alih aksara naskah asli
Babad Demak. Urutan buku disesuaikan
dengan naskah asli, berupa tembang. Alih aksara dikerjakan oleh Slamet Riyadi
dan alih bahasa bebas oleh Suwaji.
Di dalam buku alih aksara ini naskah
tembang asli ditulis ulang di bagian belakang, sedangkan bagian depannya disajikan
dalam narasi deskriptif berbahasa Indonesia.
Diberi judul Babad Demak I karena buku ini
memiliki batas waktu penceritaan, yaitu saat Raden Bintara menyerahkan
kekuasaan pada Pangeran Sabranglor, dan ternyata kemudian meninggal lalu
digantikan oleh adiknya, Raden Trenggana. Di akhir buku juga menyebutkan
tentang kisah Jaka Tingkir. Kisah selanjutnya disediakan dalam Buku Babad Demak
II.
Babad Demak bersifat kosentris,
menonjolkan kepemimpinan para raja di zamannya (dalam hal ini Prabu Brawijaya
dari Majapahit dan Sultan Bintara dari Demak), banyak kisah-kisah yang bersifat
magis dan religius yang melibatkan para Sunan, memfokuskan pada daerah Jawa,
urutan ceritanya yang meloncat-loncat serta tokoh-tokoh yang saling berkaitan.
Banyaknya kesamaan nama tokoh dan gelar-gelarnya mendorong pembacanya untuk
bisa lebih teliti dalam membaca sehingga dapat mengerti isi ceritanya.
Dari waktu penulisan yang diterakan pada
awal dan akhir naskah, diketahui penulisan memakan waktu hampir satu tahun
matahari. Dari naskah Babad Demak kita juga mengetahui bahwa penulisan
penanggalan yang lengkap, termasuk pencantuman penanggalan pawukon menjadi
unsur penting, selain sebagai penanda waktu, juga merupakan tanda sebagai dokumen resmi kerajaan.
Berikut Naskah dan Buku Babad Demak Pesisiran :