Pangeran Lanang Dangiran / Ki Ageng Brondong / Sunan Boto Putih Soerabaia Trah Keturunan Brawijaya V (Bhre Kertabhumi)
Berikut keterangan dan silsilah sumber :
Pangeran Lanang Dangiran merupakan keturunan raja Tawangalun dari kerajaan Blambangan.
Leluhurnya adalah Prabu Brawijaya V.
Jika dirunut dari turunan Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) Raja Majapahit, memiliki banyak anak dari selir-selirnya.
Menurut versi babad, beberapa anak yang menonjol merupakan anak Brawijaya V dengan selirnya yang bernama Endang Sasmitapura.
Satu diantaranya bernama Lembu Niroto atau Raden Sudjana yang menjadi Adipati Blambangan.
Pangeran Tawangalun I memiliki 5 orang putera dan salah satunya adalah Pangeran Lanang Dangiran.
Pangeran Lanang Dangiran tinggal bersama Kyai Kendil Wesi dan istrinya di Sedayu, Lamongan sebelum ke Surabaya dan dijadikan anak angkat oleh Kyai Kendil Wesi. Dalam kisahnya Pangeran Lanang Dangiran laku bertapa menghanyutkan di segoro / laut dengan berpegang gronjong / wuwu (alat untuk menangkap ikan), karena sudah berbulan-bulan tubuhnya penuh dengan kremis (keong laut) seperti jagung Brondong akhirnya di beri nama Ki Ageng Brondong oleh Ki Kendhil Wesi
Selama tinggal bersama Kyai Kendil Wesi, Pangeran Lanang Dangiran juga mendalami ilmu agama dan tampil pula sebagai pemuka agama.
Sri Prabu Kertawijaya (Bhre Kertabhumi) Brawijaya-5
Bhre Kertabhumi / Brawijaya V
Bre Kertabhumi / Prabu Brawijaya
Lahir : 1413
Bhre Kertabhumi/ Bathara ring Kerthabumi/ Dyah Singhanegara/ Singhawardhana Dyah Wijayakusuma/ Raden Alit/ R. Angkawijaya atau Kung-ta-bu-mi atau disingkat Brawijaya V adalah raja Majapahit ke-11 yang berasal dari Wangsa Rajasa.
Bhre Kertabhumi dikenal sebagai penguasa Majapahit setelah mengalahkan pamannya, Suraprabhawa (Raja Majapahit ke-10). Bhre Kertabhumi merupakan ayah dari Raden Patah, Ratna Pambayun dan 115 anak lainnya.
Prabu Kertabhumi merupakan Raja dari Dinasti Rajasa yang terakhir (Dinasti Rajasa adalah dinasti keturunan Ken Arok), yang setelah itu digulingkan oleh sepupunya, Adipati Kediri zaman majapahit yaitu Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang lahir sekitar tahun 1413 M (Kalkulasi penanggalan berdasarkan kelahiran Raden Patah menurut Kronik Cina pada tahun 1455 Raden Patah, dimana Bre Kertabhumi pada saat itu belum menjadi raja karena penerus 2 generasi Kerajaan Majaphit dipegang oleh 2 Pamannya selama 15 tahun. Bhre Kertabhumi mulai memerintah tahun 1468 dan wafat pada tahun 1478 M. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri, setelah berhasil menaklukan Bhre Kertabhumi.
Pemakaian nama Brawijaya
Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur.
Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Museum Brawijaya di kota Malang dan Stadion Brawijaya di Kediri. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.
Kisah hidup
Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya[rujukan?] yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga saudara tiri Arya Damar.
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Champa. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.
Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan.
Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah :
Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
- Prabu Brakumara
- Prabu Brawijaya I
- Ratu Ayu Kencanawungu
- Prabu Brawijaya II
- Prabu Brawijaya III
- Prabu Brawijaya IV
- dan terakhir, Prabu Brawijaya V
Sering terjadi kesalah pahaman dgn menganggap Brawijaya sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton Trowulan, dan memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha.
Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.
Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya.[rujukan?] Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.
Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara.[rujukan?] Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.
Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa[rujukan?] sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun "ditempatkan" sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan masyarakat Jawa[rujukan?] berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha.
Bhre Kertabhumi dalam Pararaton
Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis: Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400. Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu.[rujukan?] Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.
Teori yang cukup populer[rujukan?] menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik[rujukan?] dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.
Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina
Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.
Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.
Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat.
Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.
Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina.
Kepustakaan
Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu Babad Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Babad Tanah Jawi. 2007. (terjemahan). Yogyakarta: Narasi H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
Sumber-sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya -
http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit -
http://asalsilahipunparanata.blogspot.com/ -Ricklefs (2005), hal. 55.
Silsilah PANGERAN LANANG DANGIRAN
(Ki Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran / Sunan Boto Putih Soerabaia)
(Sumber Kaserat Dening Keturunan Wonten Kediri)
SILSILAH KETURUNAN KEDIRI :
1. BROWIDJOJO
Nurunaken peputro :
2. LEMBU NIROTO ALIAS LEMBU NISROJO
Nurunaken peputro :
3. MENAK SIMBAR REGENT POEGER
Nurunaken peputro :
4. ENAK SOEMENDE BLAMBANGAN
Nurunaken peputro :
5. MENAK WERDATI LOEMAJANG TENGAH ADIPATI TEPOSONO
Nurunaken peputro :
6. PANGERAN KEDAWOENG ALIAS SOENAN TAWANGALOEN
Nurunaken peputro :
7. PANGERAN LANANG DANGIRAN KI AGENG BRONDONG (Ki Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran / Sunan Boto Putih Soerabaia)
Nurunaken peputro :
1) TOEMENGGOENG ONGKODJOJO
2) TOEMENGGOENGONGGOWONSO ALIAS DJANGRONO REGENT SOERABAIA
8. TOEMENGGOENGONGGOWONSO ALIAS DJANGRONO REGENT SOERABAIA
Nurunaken peputro :
9. NGABEI RONODIRDJO ALIAS DJOJOPOESPITO
Nurunaken peputro :
10. RADEN ARIO SINDOEWONGSO
Nurunaken peputro :
11. RADEN ARIO PANDJI HONGGOWIRJO MANTRI NEG. KEDIRI
Nurunaken peputro :
12. KIAI ABDOEL DJALAL ALIAS IMAM SOEBROTO PENGULU NAIB NGADILUWIH
Nurunaken peputro :
13. R.H. HAMZAH HADIWIDJOJO SUMARE ING MASDJID JAMI DAARUL JALAAL NGADILUWIH
Nurunaken peputro :
14. R.H. KODRAT SAMADIKOEN Al. SJADJID (Sumare ing Bendo Pare)
Nurunaken peputro :
15. R. TRI PRIYO NUGROHO
Nurunaken peputro :
16. Nurunaken :
- R. SYEHHA AGEM MANUMAYASYA
- Rr. RAHMA KANTHI SUCI
Catatan :
Silsilah bisa berubah jika ada sumber yang menguatkan (perubahan hanya pada urutan namun kebenaran Ki Ageng Brondong tetap putra turun Brawijaya V Bhre Kertabhumi)