Cikar Mbah Gleyor Abad 18
Foto : Cikar Mbah Gleyor (koleksi RTPN) |
Sekitar masyarakat kabupaten Kediri, Jawa Timur tepatnya Kediri arah ke selatan (arah ke Blitar), tepatnya di kecamatan Kandat sudah tidak asing lagi dengan nama Cikar Mbah Gleyor. Cikar atau dalam bahasa Indonesia disebut pedati / gerobak dengan ditarik hewan sapi atau kerbau. Pedati ini mempunyai banyak cerita yang sangat menarik serta nilai sejarah kuat di wilayah selatan kabupaten Kediri.
Sejarah Cikar atau Padati Mbah Gleyor dikenal sebagai salah satu alat transportasi untuk mobilitas penduduk zaman dulu. Numun, berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat desa Kandat, Cikar Mbah Gleyor adalah milik seorang bupati dari Kediri yang memerintah sekitar abad ke 18.
Cikar Mbah Gleyor tersebut milik bupati Kediri Djojohadiningrat.
Kereta cikar antik Mbah Gleyor yang merupakan peninggalan mantan bupati Kediri Djojohadiningrat, kondisinya perlu penanganan dari pemerintah daerah setempat untuk lebih peduli.
Kereta cikar antik itu berusia lebih dari 130 tahun dengan ukuran panjang 7 meter dan lebar 2 meter berbentuk menyerupai perahu sehingga bisa digunakan di sungai.
Kereta diperkirakan dibuat sekitar tahun 1890-an dari kayu jati ini dipajang depan peneduh bangunan berbentuk joglo di Jl. Glinding, desa Kandat, kabupaten Kediri.
Cerita bermula ketika Cikar itu digunakan bupati untuk lari dari kejaran pasukan Belanda. Tapi saat itu sapi / kerbau yang digunakan untuk menarik pedati berhenti.
Cikar yang berjalan gleyor itu berhenti di tengah hutan di wilayah Kandat karena kerbaunya tidak mampu berjalan lagi. Masyarakat Kandat mempercayai bahwa nama desa Kandat berasal dari kata Kandeg yang artinya terhenti. Sementara kerbau yang digunakan untuk menarik meninggal di desa yang sekarang dikenal dengan dukuh Patilaler desa Deyeng
Kereta sang bupati berbentuk perahu yang terbuat dari bahan kayu jati itu menyimpan banyak sejarah, salah satunya ketika sang bupati Kediri ditangkap Belanda dan diasingkan ke Manado-Sulawesi Utara karena dianggap memberontak melawan kompeni Belanda (VOC).
Hingga akhirnya sang Bupati diasingkan ke Manado sampai meninggal.
Perjuangan itu membuatnya mendapat julukan Kanjeng Manado.
Sungguh ironis, kereta peninggalan itu hanya dirawat penduduk desa setempat dan belum mendapat campur tangan dari pemerintah. Kini, kereta peninggalan Sang bupati yang mendapat julukan Mbah Gleyor itu dibiarkan dalam bangunan joglo terbuka dengan pagar besi yang dibangun oleh keturunannya. Keturunannya adalah Pak Haji Muhadi, mantan bupati Blitar.
Kisah Cikar Keramat Mbah Gleyor Berumur 130 Tahun Lebih
Struktur cikar merupakan milik seorang adipati itu tampak masih kuat. Serat-serat kayunya masih terlihat. Namun jika dilihat lebih cermat, beberapa bagian cikar itu terdapat lubang-lubang kecil tanda dimakan rayap.
Cikar itu terbuat dari kayu jati. Berukuran 2x7 meter dengan roda berdiameter 1 meter. Berada di dalam pagar besi hijau di pekarangan surau / langgar / mushala Nurul Hadi di Jalan Glinding, Desa/Kecamatan Kandat.
Nama cikar itu Cikar Mbah Gleyor. Diperkirakan telah berusia lebih dari seabad. Struktur cikar itu tampak masih kuat, serat-serat kayunya masih terlihat. Selain itu, sebagian kayu dari cikar itu masih tampak mengilat jika terkena cahaya. Tapi, sebagian cikar itu banyak lubang-lubang kecil. Beberapa bagian itu sudah dimakan rayap.
Dokumentasi foto oleh : RTPN (postingan FB tanggal, 1 Juli 2017 dengan judul Karja oenik adi loehoeng tempo doeloe :
Foto Dokumentasi postingan FB masih diperdebatkan ada menyebutkan Kalo di lihat dari wajahnya kemungkinan ini foto R.A.A.Kusumoadinoto putra bupati Tulungagung R.T.Sumodirjo |
Imajiner Nuswantoro