KISAH SEMAR GUGAT
(SEMAR GUGAT KHAYANGAN)
Kisah Semar Gugat adalah tokoh wayang cerita Mahabarata, dikisahkan Sang Hyang Wenang berputra satu yang bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal kemudian beristri Dewi Rekatawati putri kepiting raksasa yang bernama Rekata. Pada suatu hari Dewi Rekatawati bertelur dan dengan kekuatan yang menetap dari Sang Hyang Tunggal. Telur tersebut terbang menghadap Sang Hyang Wenang, akhirnya telur tersebut menetas sendiri dengan berbagai keajaiban yang menyertainya, dimana kulit telurnya menjadi Tejamantri atau Togog, putih telurnya menjadi Bambang Ismaya atau Semar dan kuning telurnya menjadi Manikmaya yang kemudian menjadi Batara Guru.
Mereka bertiga sangat sakti dan semua ingin berkuasa seperti Ayahandanya Sang Hyang Tunggal, akan tetapi menjadi perdebatan sehingga menimbulkan pertengkaran. Dikisahkan atas kecerdikan atau keculasan Manikmaya, mengajukan usul perlombaan untuk menelan gunung kemudian memuntahkannya kembali.
Tejamantri yang mulai perlombaan pertama ternyata gagal untuk menelan gunung, dikarenakan tidak cukup ilmunya maka terjadi perubahan terhadap mulutnya. Bambang Ismaya kemudian berusaha untuk menelan sebuah gunung dan berhasil akan tetapi tidak mampu memuntahkannya kembali.
Karena menelan gunung inilah maka bentuk Semar menjadi besar, gemuk dan bundar. Proporsi tubuhnya sedemikian rupa sehingga nampak sebagai orang cebol. Manikmaya dalam cerita tidak dikatakan mengikuti perlombaan meski ia sendiri yang mengusulkan perlombaan ini, ia dikabarkan malah pergi memberitahukan periha kedua kakaknya kepada Sang Hyang Wenang. Atas berita dari Manikmaya tersebut Sang Hyang Wenang membuat keputusan bahwa Manikmayalah yang akan menerima mandat sebagai penerus dan menjadi raja para dewa.
Bambang Ismaya dan Tejamantri harus turun kebumi, untuk memelihara keturunan Manikmaya, keduanya hanya boleh menghadap Sang Hyang Wenang apabila Manikmaya bertindak tidak adil.
Sang Hyang Wenang kemudian mengganti nama-nama mereka.
Manikmaya menjadi Bathara Guru.
Tejamantri berubah menjadi Togog.
Bambang Ismaya berubah nama menjadi Semar.
Semar, kakak dari Bathara Guru berada di Bumi untuk memberikan nasihat atau petuah petuah baik bagi para Raja Pandawa dan Ksatria. Memiliki Pusaka Hyang Kalimasada yang dititipkan kepada Yudistira yang merupakan pusaka utama para Pandawa.
Semar Badranaya adalah tokoh Lurah dari desa (Karang) Tumaritis yang merupakan bagian dari Kerajaan Amarta dibawah pimpinan Yudistira. Meskipun peranannya adalah Lurah namun sering dimintai bantuan oleh Pandawa dan Ksatria anak-anaknya bahkan oleh Batara Kresna sendiri bila terjadi kesulitan. Semar mempunyai istri yang bernama Sutiragen.
Dalam cerita Semar Gugat terjadi perselisihan antara Bathara Guru yang menyamar menjadi Resi Wisuna dengan Semar dimana Bathara Guru kehilangan nalarnya karena rasa kasih sayang terhadap anaknya Bathara Kala. Semar mengalami perang tanding dengan Resi Wisuna yang tidak lain adalah Bathara Guru/adiknya sendiri, dimana Semar terkena senjata Trisara sehingga menyebabkan Semar gugat ke Sang Hyang Wenang.
Alam murka, hutan terbakar, hujan dan banjir melanda dimana-mana, petir menyambar-nyambar, angin puting beliung mengamuk tiada henti. Gunung-gunung meletus, bumi memuntahkan cairan panas kental berwarna hitam legam. Manusia berlarian kesana-kemari mencari selamat. Mereka dibuat bingung dan gelisah hampir tak ada yang sempat memikirkan orang lain. Sementara saat kemarau air menghilang, tanah-tanah mengering, tanaman menjadi layu dan mati. Hewan dan manusia banyak yang sakit dan kelaparan. Udara panas karena polusi. Itulah buah yang harus dipetik sebagai hasil dari perbuatannya sendiri.
Sekelumit gambaran diatas adalah kenyataan kehidupan manusia saat ini. Alam dipaksa dan ditundukkan tanpa memperhatikan kelestariannya. Semua yang ada diambil dan dikuras untuk memenuhi kerakusan manusia yang berujung pada murkanya alam. Ngunduh Wohing Pakarti, itulah kolo bendu yang harus ditanggung karena manusia mau dan rela menjalani Jaman Edan. Semua alur kehidupan tergerus dalam Jaman edan, manusia edan, dewa-dewa edan dan seluruh lakon kehidupan juga sama-sama edan, semua tokoh wayang dalam kotak ikut terseret dalam krisis besar kehidupan yang dapat difahami dengan istilah KRISIS KEBUDAYAAN (intoleransi), sebagaimana contoh : Narodo yang ikut larut dan menyusup dalam tubuh Kanekojati.
Tak mau kalah dalam menyemarakan jaman edan, Dosomuko ikut menyusup pila pada tubuh Ontorejo. Maka kehidupan menjadi kacau balau, karena semuanya larut dalam prahara. Dewa-dewa menyusup pada manusia dan ikut mendorong lahirnya pertempuran dan penghancuran tatanan kehidupan. Inilah yang menjadi awal cerita tentang “Semar Gugat”. Gugat karena tinggal Kresno, Wisanggeni dan Semar sendiri yang dapat bertahan dari arus krisis kehidupan dan menjadi kekuatan Tri Tunggal yang berusaha untuk menata kembali kehidupan.
Adalah sebuah kisah tentang krisis yang terjadi di kerajaan Amarta, karena raja Puntodewo yang bertahta dan memegang titah kurang memperhatikan jalannya roda pemerintahan dengan baik, dan justru terdengar kabar bahwa Prabu Puntodewo hendak menyatukan kerajaan Amarta dengan kerajaan Astina yang dipimpin oleh Prabu Duryudono. Mendengar kabar tersebut maka Prabu kresna mengadakan pertemuan agung yang diikuti oleh Bolodewo, Setyaki, Sombo, Udowo untuk membahas persoalan krisis yang terjadi di kerajaan Amarta. Pada saat pertemuan digelar, ditengah-tengah pembicaraan munculah Ontorejo yang mengadu kepada Prabu Kresna tentang sikap Puntodewo yang tidak lagi memikirkan masa depan masyarakat dan pemudanya. Ontorejo berbicara dengan nada marah dan menyalahkan Prabu Kresna karena dianggap sebagai sesepuh dan penuntun yang tidak dapat mengendalikan sikap dan perilaku Prabu Puntodewo. Ontorejo yang wajahnya nampak merah padam itu sebenarnya telah disusupi oleh Dosomuko.
Mendengar kemarahan Ontorejo, maka Baladewa tidak dapat membendung amarahnya. Ontorejo sudah dianggap kurang ajar dan tidak punya tata karma. Terjadilah perang mulut yang sengit. Ontorejo diseret keluar oleh Bolodewo. Keadaan semakin memanas. Disaat perang tanding hampir dimulai, muncullah Semar melerai pertengkaran tersebut. Lalu Semar mengingatkan pada Prabu Kresno untuk melihat keadaan semakin rusaknya kerajaan Amarta. Semar menyindir pada Prabu Kresna sebagai dewa ketentraman dan Puntodewo sebagai dewa kebahagiaan tidak berbuat apa-apa ketika melihat para pemuda dan masyarakat semakin kacau balau dalam terpaan krisis yang semakin besar. Semar menyerahkan persoalan besar tersebut pada Prabu Kresno untuk dapat menarik kembali pendowo agar tidak berkumpul dan menyatu dengan kurawa di Astina. Sementara Semar akan segera naik ke kahyangan karena ia merasakan ada keganjilan di kadewatan yang menjadi sebab atas berbagai persolan yang terjadi di Amarta. Ia merasa ada pandito yang bernama Sabdo Dewo yang ternyata telah disusupi oleh Batara Guru.
Kerajaan Ombak Samudera
Prabu Kanekojati bersama-sama dengan Togok dan Bilung berada dalam suatu pembicaraan. Prabu Kanekojati yang didalam dirinya telah disusupi oleh Narodo mengutarakan niatnya yang memiliki keinginan yang kuat untuk menjajah tanah JAWA. Maka dari itu prabu Kanekojati dari awal sudah menyiapkan siasat dengan jalan mengutus begawan Sabdo Dewo untuk menyatu dengan Astina. Bagi Prabu Kanekojati, tanah Jawa adalah tanah yang dikaruniahi dengan kekayaan alam yang maha melimpah. Masyarakatnya hidup dalam suasana tentram dan damai. tradisi dan kebudayaan yang adi luhung membuat masyarakat yang hidup ditanah Jawa memiliki pengetahuan yang tinggi serta budi pekerti yang luhur. Tanah Jawa adalah tanah yang didalamnya terbangun peradaban yang maju, terutama dibidang kesusastraan, pertanian, ketataprajaan, keprajuritan, seni budaya dan lain sebagainya. Tanah Jawa juga dikenal dengan kedalaman cipta, rasa dan karsa yang mewujud berupa ketinggian dan keluasan akal budi, kedalaman spiritual dan ke adi luhungan seni budayanya. Namun hasrat untuk menjajah tanag Jawa itu mendapat nasehat dari Togog dan Bilung agar tidak dilanjutkan. Mereka berdua mengharap agar Prabu Kanekajati mengurungkan niatnya. Namun Prabu Kanekojati tidak menggubris nasihat tersebut, bahkan ia segera menyiapkan pasukannya untuk menyerang tanah Jawa. Ditengah perjalanan pasukan mereka bertemu dengan prajurit Dorowati yang diikuti oleh putera-putera Pandawa seperti Gatutkoco, Wisanggeni, Ontoseno dan lain-lain. Terjadilah pertempuran yang sangat hebat.
Werkudoro dan Nogo Gini
Nogo Gini memendam amarahnya pada Werkudoro karena sebagai istri ia sangat jarang diperhatikan. Namun Werkudoro selalu berkilah jikalau ia dianggap tidak memperhatikan Nogo Gini. Karena sangat kesal pembicaraan yang membahas tentang biduk keluarga mereka sedikit memanas. Nogo Gini mengungkit bahwa Werkudoro tidak sayang dan memperhatikan keluarga dengan baik. Ini terbukti dengan diamnya Werkudoro padahal anaknya sendiri Ontorejo dihajar dan dijadikan bulan-bulanan oleh Bolodewo. Akhirnya beranglah hati Werkudoro mendengar kalau anaknya dihajar oleh Bolodewo. Ia segera berangkat menacari Bolodewo. Pertempuran sengit tak bisa dihindarkan. Namun belum sempat jatuh korban segera Prabu Kresno melerai pertempuran diantara mereka. Segera Prabu Kresno mendatangkan Hanoman yang memiliki aji pengkabaran untuk melihat kedalam diri Ontorejo yang ternyata sudah disusupi oleh Dosomuko. Maka wajar bila sikap Ontorejo menjadi sangat kasar pada Prabu Kresno dalam pertemuan agung.
Hanoman segera mengeluarkan Dasamuka dari diri Ontorejo. Prabu Kresno memberikan wejangan bahwa pemuda-pemuda harus memiliki pengetahuan dan membangun dirinya dengan pengetahuan agar hidupnya menjadi lebih baik. Karena jika para pemuda tidak memiliki konsep dan aktivitas yang jelas, maka akan sangat gampang dirinya disusupi oleh Dosomuko sebagai simbul ganasnya penyusupan kebudayaan asing ditengah-tengah kita. Prabu Kresna juga menyampaikan pada Werkudoro dan Bolodewo bahwa ia sedang mencari siapa yang mampu menandingi kesaktian Sabdo Dewo dan Kanekojati. Bahkan Prabu Kresna mencarinya hingga ke kahyangan.
Pertapaan Sapto Argo
Begawan Abiyoso menerima kedatanag Abimanyu yang diiringi oleh Gareng, Petruk, Bagong. Disana mereka diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus diemban sebagai kesatria. Begawan Abiyasa memberikan lima prinsip dasar yang harus dilaksanakan seorang kesatria; Pertama; Rumekso Kayuwaning Projo. Kedua; Ngayomi Poro Pandito Resi. Ketiga; Tresno Marang Bongso lan Welas-Asih Marang Sapodo-Padaning Tumitah. Keempat; Setyo Tuhu Marang Janji Sarto Nuhoni Marang Sabdo Kang Wus Kawedar. Kelima; Tunduk Marang Bebener Kang Adedasar Adil. Serta lima hal yang harus dimiliki oleh seorang kesatria; Satu; Guno, Dua; Sudiro, Tiga; Susilo, Empat; Anurogo, dan Lima; Sambirogo.
Setelah mendapatkan wejangan dari bagawan Abiyoso, Abimanyu diminta untuk segera berangkat mencari begawan Pamintosih (perwujudan dari Semar) yang sedang laku “Topo ngrame”artinya bertirakat dikeramaian. Diperjalanan, Abimanyu dihadang bala tentara Ombak Samudera dan terjadilah perang kembang. Pertempuran yang hebat itu dimenangkan oleh Abimanyu.
Pertapaan Condro Wulan
Begawan Kanesworo Yekso dan Putri Dewi Kanesworo Wati ingin mencari ketenangan dan ketentraman batin, namun jalan ketenangan itu terganggu karena ia tergila-gila pada Janoko. Akhirnya Kanesworo Wati berangkat menuju Amarta. Diperjalanan bertemu dengan Abimanyu dan terjadilah perang yang sangat hebat. Karena kesaktiannya Abimanyu terpenatal hanya dengan bentakan saja. Tubuhnya terlempar sangat jauh hingga jatuh dipangkuan begawan Pamintosih (Semar).
Di Astina pura juga sedang terjadi pembicaraan serius. Duryudono, Puntodewo, Janoko, Nakulo dan Sadewo, berkumpul dengan Begawan Sapto Dewo membicarakan gagalnya perang barotoyudho. Perang itu akan gagal dengan cara membunuh Semar. Janoko menyanggupi menjalankan misi tersebut. Lalu Janoko mencari Semar untuk dibunuh, namun tidak disadari bahwa dibalik itu begawan Sapto Dewo ikut bermain dan mendorong Janoko secara halus.
Diperjalanan Janoko bertemu dengan Kanesworo Yekso, terlibatlah perang tanding hingga Janoko tak mampu meladeni kesaktiannya. Tubuh Janoko terpental sangat jauh dan terjatuh dipangkuan begawan “Pamintosih” yang sesungguhnya adalah Semar. Janoko akhirnya bertemu dengan Abimanya. Mereka tidak mengetahui bahwa begawan Pamintosih itu adalah Semar. Janoko dan Abimanyi meminta pertolongan pada begawan Pamintosih agar mereka bisa mengalahkan Sabdo Dewo. Terjadilah perang antara Pamintosih dengan Kanesworo Yekso. Pertempuran tersebut sampai merubah Pamintosih ke wujud asal sebagai Semar dan Kanesworo Yekso sebagai Betari Kanestren yang tidak lain adalah istri semar sendiri. Lalu kanesworo Wati disabda oleh Semar dan kembali ke wujud awal yakni menjadi Sumpingnya Puntadewa.
Terjadilah perang alang-alang kumitir yang melibatkan Kresna, Wisanggeni dan Semar. Mereka bertiga berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negaranya yang sedang dilanda krisis disegala bidang. Semar mengatakan pada Kresna dan Wisanggeni untuk memetik hikmah dari semua kejadian ini. Sebab ada kalanya dijaman edan ini dewa-dewa juga sama-sama ikut edan. Orang yang sadar dan ingat tiba-tiba ikut hanyut pada keadaan. “Sing iling dadi gendeng sing gendeng dadi eling”. Inilah dinamika kehidupan dijaman yang serba gila ini. Semar terus bertutur pada Kresna dan Wisanggeni untuk meneguhkan mereka menjadi Tri tunggal yang dapat bersama-sama menata kembali kehidupan. Disertai Kresna dan Wisanggeni inilah Semar melakukan Gugat pada kehidupan dan mengadu pada Sang Hyang Wenang Tuhan Yang Maha Kuasa.
KISAH SEMAR GUGAT (2)
Para pembaca artikel blogger yang budiman. Banyak kisah masa lalu yang mengandung pesan dan hikmah yang sangat berharga bagi kehidupan ini. Dan khususnya dalam kisah pewayangan, maka setiap lakon (cerita)-nya itu bisa dijadikan pembanding atau pelajaran hidup kita semua. Bahkan apa yang ada di dalamnya adalah gambaran nyata akan lika-liku kehidupan di dunia ini. Dan tak usah heran bahwa apa yang telah diceritakan dalam kisah pewayangan itu akan terulang lagi dan lagi di setiap zamannya, terutama sekarang ini.
Ya. Sebagaimana kodrat-Nya, maka kehidupan di muka Bumi ini selalu pasang surut, seperti ombak di tepian pantai. Dan ketika satu periode zaman akan berganti, maka banyak kekuatan supranatural dari Dimensi lain yang menyusup. Seperti pada masa para Pandawa masih hidup di mayapada ini. Para Dewa-Dewi justru ikut menyusup ke beberapa tokoh dan membuat gaduh seisi Bumi.
Sungguh, dulu zaman edan juga pernah terjadi. Saat itu terjadi perselisihan antara Bathara Guru (raja para Dewa-Dewi) yang menyamar sebagai Resi Wisuna dengan Bhatara Ismaya alias Semar (kakaknya Bhatara Guru), dimana Bhatara Guru kehilangan nalarnya karena rasa kasih sayang terhadap anaknya; Bhatara Kala. Singkat cerita Semar mengalami perang tanding dengan Resi Wisuna yang tidak lain adalah adiknya sendiri, dimana Semar terkena senjata Trisara sehingga menyebabkan ia sampai menggugat ke Sang Hyang Wenang, kakeknya sendiri di Kahyangan.
Pada masa lalu alam juga pernah murka, dimana hutan terbakar, hujan badai dan banjir melanda dimana-mana, petir menyambar-nyambar tak karuan, angin puting beliung mengamuk, dan musim sering tidak tepat waktu. Gunung-gunung pun ikut meletus dan Bumi bergerak (gempa bumi) lalu memuntahkan cairan kental berwarna hitam legam. Ada pula lemah terbam (tanah amblas) dibeberapa tempat yang menyebabkan banyak korban jiwa. Manusia berlarian kesana-kemari mencari selamat. Mereka dibuat bingung dan gelisah, hampir tak ada yang sempat memikirkan orang lain. Sementara saat kemarau air pun menghilang, tanah mengering, tanaman menjadi layu dan mati. Hewan dan Manusia juga banyak yang sakit dan kelaparan lalu mati. Udara jadi panas karena polusi. Itulah buah yang harus dipetik sebagai hasil dari perbuatan Manusia sendiri.
Sekelumit gambaran di atas adalah kenyataan dalam kehidupan Manusia sekarang. Kini alam telah dipaksa dan ditundukkan tanpa memperhatikan kelestariannya. Semua yang ada diambil dan dikuras untuk memenuhi kerakusan Manusia yang berujung pada murkanya alam itu sendiri. Ngunduh woh ing pakarti, itulah kolo bendu yang harus ditanggung karena Manusia mau dan rela menjalani zaman edan. Semua alur kehidupan tergerus dalam zaman edan, Manusia edan, dan seluruh lakon (kisah) kehidupan juga sama-sama edan. Semua tokoh juga ikut terseret dalam krisis besar kehidupan yang dapat dipahami dengan istilah KRISIS MENTAL dan KEBUDAYAAN.
Sebagaimana contoh, di masa lalu Bhatara Narada yang ikut larut dan menyusup dalam tubuh Prabu Kanekojati, tak mau kalah dalam menyemarakan zaman edan. Dosomuko (Rahwana) pun ikut menyusup pula pada tubuh Ontorejo. Maka kehidupan menjadi semakin kacau balau, karena semuanya larut dalam prahara. Dewa-Dewi menyusup pada tokoh Manusia dan ikut mendorong lahirnya pertempuran dan penghancuran tatanan kehidupan di dunia. Inilah yang menjadi awal kisah tentang “Semar Gugat“. Menggugat karena tinggal Sri Kresna, Wisanggeni dan Semar sendiri yang dapat bertahan dari arus krisis kehidupan dan menjadi kekuatan tri tunggal yang berusaha untuk menata kembali kehidupan dunia.
1. Amarah dan kekacauan
Adalah sebuah kisah tentang krisis yang terjadi di kerajaan Amarta, karena Prabu Puntodewo alias Yudistira yang bertahta dan memegang titah kerajaan kurang memperhatikan jalannya roda pemerintahan dengan baik. Dan justru terdengar kabar bahwa Prabu Puntodewo hendak menyatukan kerajaan Amarta dengan kerajaan Astinapura yang dipimpin oleh Prabu Duryudono. Mendengar kabar tersebut maka Prabu Kresna mengadakan pertemuan agung yang diikuti oleh Bolodewo, Setyaki, Sombo, dan Udowo untuk membahas persoalan krisis yang terjadi di kerajaan Amarta.
Pada saat pertemuan digelar, ditengah-tengah pembicaraan muncullah Ontorejo yang mengadu kepada Prabu Kresna tentang sikap Prabu Puntodewo yang tidak lagi memikirkan masa depan masyarakat dan pemudanya. Ontorejo berbicara dengan nada marah dan menyalahkan Prabu Kresna karena dianggap sebagai sesepuh dan penuntun yang tidak dapat mengendalikan sikap dan perilaku dari Prabu Puntodewo. Ontorejo yang wajahnya nampak merah padam itu sebenarnya telah dirasuki oleh Dosomuko (Rahwana).
Mendengar kemarahan Ontorejo, maka Bolodewa tidak dapat membendung amarahnya. Ontorejo sudah dianggap kurang ajar dan tidak punya tata krama. Maka terjadilah perang mulut yang sengit. Ontorejo bahkan diseret keluar oleh Bolodewo. Keadaan semakin memanas. Dan di saat perang tanding hampir dimulai, muncullah Semar untuk melerai pertengkaran tersebut. Lalu Semar mengingatkan pada Prabu Kresna untuk melihat keadaan yang sudah semakin rusaknya di kerajaan Amarta. Semar menyindir Prabu Kresna sebagai Dewa ketentraman dan Puntodewo sebagai Dewa kebahagiaan tidak berbuat apa-apa ketika melihat para pemuda dan masyarakat semakin kacau balau dalam terpaan krisis yang semakin besar. Semar menyerahkan persoalan besar tersebut pada Prabu Kresna untuk dapat menarik kembali Pandawa agar tidak berkumpul dan menyatu dengan Kurawa di Astina. Sementara Semar akan segera naik ke Kahyangan karena ia merasakan ada keganjilan di kadewataan yang menjadi sebab atas berbagai persolan yang terjadi di Amarta. Ia merasa ada pandito yang bernama Sabdo Dewo yang ternyata telah disusupi oleh Bhatara Guru.
2. Kerajaan Ombak Samudro
Suatu ketika penguasa kerajaan Ombak Samudro, Prabu Kanekojati, bersama-sama dengan Togok (alias Sang Hyang Antogo, kakak Semar dan Bhatara Guru yang menyamar) dan Bilung berada dalam suatu pembicaraan. Prabu Kanekojati yang di dalam dirinya telah disusupi oleh Bhatara Narada mengutarakan niatnya untuk menjajah tanah JAWA. Maka dari itu Prabu Kanekojati dari awal sudah menyiapkan siasat dengan jalan mengutus Begawan Sabdo Dewo untuk menyatu dengan Astina.
Bagi Prabu Kanekojati, tanah Jawa adalah tanah yang dikaruniahi dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Masyarakatnya hidup dalam suasana tentram dan damai. Tradisi dan kebudayaan yang adi luhung membuat masyarakat yang hidup di tanah Jawa memiliki pengetahuan yang tinggi serta budi pekerti yang luhur. Tanah Jawa adalah tanah yang didalamnya terbangun peradaban yang maju, terutama dibidang kesusastraan, pertanian, ketataprajaan, keprajuritan, seni budaya dan lain sebagainya. Tanah Jawa juga dikenal dengan kedalaman cipta, rasa dan karsa yang mewujud dalam ketinggian dan keluasan akal budi, kedalaman spiritual dan ke adi luhung-an seni budayanya.
Namun hasrat untuk menjajah tanah Jawa itu mendapat nasehat dari Togog dan Bilung agar tidak dilanjutkan. Mereka berdua mengharapkan agar Prabu Kanekojati mengurungkan niatnya. Namun Prabu Kanekojati tidak menggubris nasihat tersebut, bahkan ia segera menyiapkan pasukannya untuk menyerang tanah Jawa. Di tengah perjalanan pasukan mereka bertemu dengan prajurit Dorowati yang diikuti oleh putera-putera dari Pandawa seperti Gatot Koco, Wisanggeni, Ontoseno dan lain-lain. Maka terjadilah pertempuran yang sangat hebat.
3. Wrekudoro (Bima) dan Nogo Gini
Suatu ketika Nogo Gini memendam amarahnya pada Wrekudoro (Bima) karena sebagai isteri ia sangat jarang diperhatikan. Namun Wrekudoro selalu berkilah jikalau ia dianggap tidak memperhatikan Nogo Gini. Karena sangat kesal, maka pembicaraan yang membahas tentang biduk keluarga mereka itu sedikit memanas. Nogo Gini mengungkit bahwa Wrekudoro tidak sayang dan memperhatikan keluarga dengan baik. Ini terbukti dengan diamnya Wrekudoro padahal anaknya sendiri, Ontorejo, dihajar dan dijadikan bulan-bulanan oleh Bolodewo.
Akhirnya beranglah hati Wrekudoro saat ia mendengar kalau anaknya itu dihajar oleh Bolodewo. Ia segera berangkat mencari Bolodewo. Pertempuran sengit tak bisa dihindarkan. Namun belum sempat jatuh korban, segera Prabu Kresna melerai pertempuran di antara mereka. Prabu Kresna juga mendatangkan Hanoman yang memiliki aji Pengkabaran untuk melihat ke dalam diri Ontorejo yang ternyata sudah disusupi oleh Dosomuko (Rahwana). Maka wajar bila sikap Ontorejo menjadi sangat kasar pada Prabu Kresna dalam pertemuan agung.
Hanoman segera mengeluarkan Dosomuka (Rahwana) dari diri Ontorejo. Prabu Kresna memberikan wejangan bahwa pemuda-pemuda harus memiliki pengetahuan dan membangun dirinya dengan pengetahuan agar hidupnya menjadi lebih baik. Karena jika para pemuda tidak memiliki konsep dan aktivitas yang jelas, maka akan sangat gampang dirinya disusupi oleh kegelapan. Prabu Kresna juga menyampaikan pada Wrekudoro dan Bolodewo bahwa ia sedang mencari siapa yang mampu menandingi kesaktian Begawan Sabdo Dewo dan Prabu Kanekojati. Bahkan Prabu Kresna mencarinya hingga ke Kahyangan.
4. Pertapaan Sapto Argo
Di pertapaanya, Begawan Abiyoso (Maharesi Wiyasa) menerima kedatangan Abimanyu yang diiringi oleh Gareng, Petruk, dan Bagong. Disana mereka diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus diemban sebagai kesatria. Sang Begawan lalu berkata: “Siro ugo satrio arane kudu anteng jatmiko ing budi ruruh sarto wasis samubarang ipun“, yang bisa dimaknai sebagai berikut :
a. Siro ugo satrio arane (kamu juga kesatria namanya) ini berarti seorang kesatria itu adalah pemegang tiga kebaikan atau menjaga tiga kebaikan, yaitu :
1). Baik kepada Sang Pencipta.
2). Baik kepada Alam.
3). Baik kepada sesama.
b. Kudu anteng jatmiko ing budi ruruh sarto wasis samubarang ipun (harus tenang dan bagus budi pekertinya, semuanya tentang itu semua), yaitu dengan melakukan tiga hal berikut :
1). Banyak perduli pada sesama baik manusia, hewan maupun alam.
2). Memiliki tenggang rasa dan perasaan terhadap orang lain, siapapun.
3). Jangan sombong dan harus belajar dan belajar untuk lebih tahu tentang arti hidup dan kehidupan ini.
Selain itu, sang Begawan juga menambahkan bahwa ada lima prinsip dasar yang harus di laksanakan oleh seorang kesatria, yaitu :
1). Rumekso Kayuwaning Projo (memelihara/menjaga kedamaian dan kesejahteraan negara).
2). Ngayomi Poro Pandito Resi (mengayomi atau melindungi para pemuka agama atau tokoh masyarakat).
3). Tresno Marang Bongso lan Welas Asih Marang Sapodo-Padaning Tumitah (cinta terhadap bangsa dan welas asih terhadap seluruh ciptaan Tuhan).
4). Setyo Tuhu Marang Janji Sarto Nuhoni Marang Sabdo Kang Wus Kawedar (setia/berpegang teguh pada janji serta memenuhi setiap perintah yang sudah ditetapkan).
5). Tunduk Marang Bebener Kang Adedasar Adil (tunduk/patuh pada kebenaran yang berdasarkan keadilan).
Selain itu beliau juga menyampaikan lima hal yang harus dimiliki oleh seorang kesatria, yaitu :
1). Guno (kehebatan, kemampuan, kesaktian)
2). Sudiro (keberanian, gagah perkasa)
3). Susilo (kebenaran jiwa)
4). Anurogo (kehormatan, kebahagiaan)
5). Sambirogo (……..?)
Setelah mendapatkan wejangan dari Begawan Abiyoso itu, Abimanyu diminta untuk segera berangkat mencari Begawan Pamintosih (perwujudan dari Semar) yang sedang laku “Topo ngrame“: artinya bertirakat di keramaian. Di perjalanan, Abimanyu dihadang oleh bala tentara Ombak Samudro dan terjadilah pertempuran sengit. Perang yang hebat itu dimenangkan oleh Abimanyu.
5. Pertapaan Condro Wulan
Suatu ketika, Begawan Kanesworo Yekso dan Dewi Kanesworo Wati ingin mencari ketenangan dan ketentraman batin, namun jalan ketenangan itu terganggu karena Dewi Kanesworo Wati telah tergila-gila kepada Janoko (Arjuna). Akhirnya Kanesworo Wati berangkat menuju ke Amarta. Di perjalanan ia bertemu dengan Abimanyu dan terjadilah perang yang sangat hebat. Karena kesaktiannya Abimanyu terpental hanya dengan bentakan saja. Tubuhnya terlempar sangat jauh hingga jatuh dipangkuan Begawan Pamintosih (Semar).
Di Astinapura juga sedang terjadi pembicaraan serius. Duryudono, Puntodewo (Yudistira), Janoko (Arjuna), Nakulo dan Sadewo, berkumpul dengan Begawan Sapto Dewo untuk membicarakan gagalnya perang Bharotoyudho. Perang itu akan gagal dengan cara membunuh Semar. Janoko menyanggupi untuk menjalankan misi tersebut. Ia lalu mencari Semar untuk dibunuh, namun tidak disadari bahwa dibalik itu Begawan Sapto Dewo ikut bermain dan mendorong Janoko secara halus. Diperjalanan Janoko (Arjuna) bertemu dengan Begawan Kanesworo Yekso, dan terjadilah perang tanding hingga Janoko tak mampu meladeni kesaktiannya.
Tubuh Janoko terpental sangat jauh dan terjatuh dipangkuan Begawan Pamintosih yang sesungguhnya adalah Semar. Di pertapaan Condro Wulan itu Janoko (Arjuna) akhirnya bertemu dengan Abimanyu, anaknya. Mereka tidak mengetahui bahwa Begawan Pamintosih itu adalah Semar yang sedang menyamar. Janoko dan Abimanyu meminta pertolongan kepada Begawan Pamintosih agar mereka bisa mengalahkan Begawan Kanesworo Yekso. Terjadilah perang antara Begawan Pamintosih dengan Begawan Kanesworo Yekso. Pertempuran tersebut sampai merubah diri Begawan Pamintosih ke wujud asal sebagai Semar dan Begawan Kanesworo Yekso sebagai Bhatari Kanestren yang tidak lain adalah isteri dari Semar sendiri yang tengah menyusup.
Selanjutnya, terjadilah perang alang-alang kumitir yang melibatkan Kresna, Wisanggeni dan Semar. Mereka bertiga berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan persoalan dunia yang sedang dilanda krisis di segala bidang. Semar mengatakan pada Kresna dan Wisanggeni untuk memetik hikmah dari semua kejadian ini. Sebab ada kalanya di zaman edan ini Dewa-Dewi juga sama-sama ikut edan. Orang yang sadar dan ingat tiba-tiba ikut hanyut dalam keadaan. “Sing eling dadi gendeng, sing gendeng dadi eling”. Inilah dinamika kehidupan di zaman yang serba gila itu.
Catatan: Dengan berbagai kesaktian sebenarnya bisa saja Semar atau Kresna segera menyelesaikan masalah di zaman edan itu, tapi itu tidak terjadi. Sebab tak ada yang mampu melawan kehendak takdir dari Hyang Aruta (Tuhan YME). Karena pada setiap siklus tertentu, zaman edan akan tetap muncul dan siapapun harus terlibat di dalamnya terlebih dulu. Semuanya hanya bisa mengikuti apa yang sudah Tuhan putuskan pada waktu itu. Kisah akhirnya pun tetap akan sesuai dengan yang semestinya. Ada proses dan waktu tertentu untuk bisa selesai, sementara keadaan dunia baru akan kembali normal setelah itu.
Semar terus bertutur kepada Kresna dan Wisanggeni untuk tetap meneguhkan diri mereka menjadi tri tunggal yang dapat bersama-sama menata kembali kehidupan dunia. Disertai Kresna dan Wisanggeni inilah Semar melakukan gugat pada kehidupan dan mengadu pada Sang Maha Kuasa. Berharap keadaan segera berubah dan kembali normal seperti seharusnya. Masalah waktunya tentu hanya DIA-lah yang menentukannya. Ia hanya bisa berusaha dengan gigih bersama mereka yang tetap sadar diri.
Dan rasanya keadaan yang seperti pada kisah di atas sudah mulai terjadi di dunia ini. Banyak kekuatan supranatural yang dahsyat yang sudah turun ke Bumi dan mengendalikan keadaan. Semuanya juga terlarut dalam keadaan yang memihak pada kebatilan. Dan semua itu hanya bisa berakhir saat sosok “tri tunggal” mulai mengambil perannya. Mereka adalah sosok yang bertugas menata kembali kehidupan dunia ini menuju keadaan yang semestinya. Siapakah mereka itu di zaman ini ? Kita tunggu saja tanggal mainnya.
Catatan kecil penuh istimewa di nagari Nuswantoro diilustrasikan gugatannya bobroknya demokrasi, oligarki dan mandulnya supremasi hukum, hingga mencetuskan gerakan Reformasi jilid 2 dengan tema tuntunan TRI TURA. Suara Rakyat Suara Tuhan.
Imajiner Nuswantoro