Kidung Kawedar
Suluk
Sunan Kalijaga
Suluk
ini dikenal dengan tiga nama, yakni
Serat atau Surat atau Kitab Kidungan Kawedar,
Kidung Sarira Ayu, sesuai dengan bunyi teks
dalam bait ketiga,
Kidung Rumeksa Ing Wengi, sesuai bunyi teks
diawal Surat, sebagaimana kita lazim menyebut Surat Al Ikhlas dengan nama Surat
Qulhu atau Surat Al Insyiraah dengan Surat Alam nasyrah.
Ada
pun saya sendiri sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di daerah Pantai
Utara Jawa Tengah, sudah terbiasa menyebut Kidung Kawedar.
Kidung Kawedar terdiri dari 45 (empat puluh lima) bait.
Berikut ini penulis artikel blogger ini, kutipkan 3
(tiga) bait dalam bahasa Jawa dan terjemahan bebasnya sebagai berikut :
Bait 1
Ana
kidung rumeksa ing wengi
teguh
ayu luputa ing lara,
luputa
bilahi kabeh,
jim
setan datan purun,
paneluhan
tan ana wani,
miwah
penggawe ala,
guna
ning wong luput,
geni
temahan tirta,
maling
adoh tan wani ngarah ing mami,
tuju
duduk pan sirna.
Artinya
:
Ada
tembang pujian menjaga di kala malam,
membuat
kita selamat dan jauh dari segala penyakit,
terbebas
dari segala mara bahaya,
jin
dan setan tidak berani,
guna-guna
atau teluh tidak mempan,
juga
perbuatan buruk,
dari
orang-orang jahat,
api
menjadi dingin bagaikan air,
pencuri
menjauh tiada yang berani mengincar saya,
segala
mara bahaya sirna.
Bait 3
Pagupakaning
warak sakalir,
yen
winaca ing segara asat,
temahan
rahayu kabeh,
sarwo
sarira ayu,
ingideran
ing widodari,
rineksa
malaekat,
sakathahing
rosul,
pan
dadyo sarira tunggal,
ati
Adam utekku Baginda Esis,
pangucapku
ya Musa.
Artinya
:
Di
tempat badak berkubang,
maupun
jika dibaca di lautan bisa membuat air laut surut,
membuat
kita semua selamat sejahtera,
diri
kita menjadi serba cantik (elok),
di
kelilingi para bidadari,
dijaga
oleh para malaikat,
dan
semua rasul,
pada
hakekatnya sudah menyatu dalam diri kita,
di
hati kita ada Nabi Adam, di otak kita ada Baginda Sis,
jika
berucap bagaikan ucapan Nabi Musa.
Bait 4
Napasku
Nabi Ngisa linuwih.
Nabi
Yakub pamiyarsaning wang,
Yusup
ing rupaku mangke,
Nabi
Dawud swaraku,
Jeng
Suleman kasekten mami,
Nabi
Ibrahim nyawa,
Idris
ing rambutku,
Bagendha
Ali kulit ing wang,
Getih
daging Abubakar Ngumar Singgih,
Balung
Bagendha Ngusman.
Artinya
:
Nafasku
Nabi Isa,
Pendengaranku
Nabi Yakub,
Wajahku
Nabi Yusuf,
Nabi
Dawud suaraku,
Kesaktianku
Nabi Suleman,
Nabi
Ibrahim nyawaku,
Nabi
Idris dalam rambutku,
Baginda
(Khalifah) Ali kulitku,
Darah
– daging, Khalifah Abubakar dan Umar,
Tulangku
Khalifah Usman.
Zikir Ya Hu Allah dan Keutamaan Surat Al
Ikhlas
Kandungan
isi bait 30 Kidung Kawedar sungguh luar biasa. Sarat makna dan keutamaan.
Diawali dengan ajaran zikir, keberadaan malaikat yang menjaga kita dan menolak
segala perbuatan buruk, kemudian bagaimana mengenal Gusti Allah dan keutamaan
Surat Kolhu atau Al Ikhlas. Bait ini juga menjadi landasan ulah batin bagi para
penganut kejawen, baik yang muslim maupun yang bukan.
Baris
pertama adalah mengajarkan berzikir di kala malam. Zikir artinya mengingat atau
menyebut. Ingat dalam bahasa Jawa adalah eling. Jadi eling atau ingat itu sama
maknanya dengan zikir, dan zikir yang terbaik adalah zikrullah atau mengingat
Allah
Dalam
rangka mengajarkan zikir mengingat Gusti Allah itulah, maka Sunan Kalijaga
memulai bait ini dengan kalimat Ya Hu Dat myang pamujining wengi, yang bermakna
berzikirlah di kala malam kepada Dzat Allah. Kalimat ini di dalam masyarakat
Jawa berlanjut dengan ajaran zikir Ya Hu Allah. Kalimat zikir Ya Hu Allah, Hu
Allah dan Allahu sampai sekarang banyak dijumpai di kalangan para penganut dan
praktisi spiritual muslim Asia Tenggara khususnya Nusantara.
Allah
adalah salah satu bahkan merupakan asma yang utama yang menggenapkan sembilan
puluh sembilan (99) asma-asma Allah yang mulia (asma’ul husna) menjadi seratus.
Penggunaan asma Allah sering dijumpai secara berdiri sendiri, dan sering pula
bersama kata lain seperti Akbar dan Nur, sehingga menjadi Allahu Akbar (Allah
Maha Besar) dan Allahu Nur (Allah adalah Cahaya dari segala Cahaya). Tak jarang
dalam berzikir, kata Allah diberi tambahan Hu, sehingga menjadi Hu Allah yang
berarti Dialah Allah.
Baris
ketiga dan keempat bait 30, menyebutkan tentang adanya dua malaikat yaitu Kirun
di sebelah kanan kita dan Wana Kirun di sebelah kiri, membawa gada besi dan
bertugas menolak semua perbuatan buruk pada diri kita. Nama malaikat Kirun
tidak dijumpai di dalam Qur’an maupun hadis. Melihat tugasnya terhadap manusia,
kemungkinan besar mereka adalan Qorin dari golongan setan yang senantiasa
menggoda dan mengajak manusia untuk berbuat buruk, serta Qorin dari golongan
malaikat yang mengajak pada kebajikan. Pada hemat penafsir, Sunan Kalijaga
dalam kidung menyebut Qorin, tapi pada pendengaran masyarakat adalah Kirun.
Inilah salah satu kelemahan dari sastra tutur, yang disebarkan secara lesan
dari mulut ke mulut.
Tafsiran
penulis dikuatkan dengan baris kedelapan yang menguraikan tugas Qirun membuka
hati manusia agar bisa mengenal Allah. Tenajul berasal dari kata tanazul yang
berarti mengenal Allah melalui hati yang terbuka bersih. Sedangkan rijal memiliki
beberapa makna yaitu lelaki, orang yang berani, tulus, taat azas, berani
berkorban untuk berdakwah. Dalam kaitan bait ini tenajul rijal bisa dimaknai
menjadi orang yang bisa mengenal Allah melalui hati yang bersih yang sudah
terbuka untuk itu.
Semua
hal baik yang diuraikan dalam bait-bait Kidung Kawedar, adalah berkat keutamaan
kolhu. Kolhu adalah pengucapan orang Jawa terhadap Surat Qulhu atau Surat Al
Ikhlas, sebagaimana juga menyebut Patekah untuk Al Fatihah.
Kandungan
makna dan keutamaan Surat Al Ikhlas dari berbagai hadis dan riwayat, bisa
disebut istimewa. Surat Al Ikhlas menegaskan ketulusan pengakuan umat atas
kemurnian keesaan dan kekuasaan Gusti Allah Swt, menolak segala macam
kemusyrikan dan menerangkan tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya. Semua
pengakuan dan keyakinan atas keesaan beserta kekuasaan Tuhan itulah yang
dinamai tauhid, yang merupakan induk atau inti sari dari ajaran Islam.
Ayat
1 dan ayat 2 menjelaskan keesaan, kesempurnaan serta kekuasaan Tuhan, sekaligus
menegaskan bahwa yang tidak mempunyai kedua sifat tersebut bukan Tuhan, tidak
pantas dan tidak bisa disebut Tuhan. Sedangkan ayat ketiga dan keempat
menegaskan perbedaan Tuhan dengan manusia dan makhluk-Nya. Dia sudah ada
sebelum yang lain ada, bukan anak siapa-siapa dan tidak memiliki seorang anak
pun. Begitu sempurnanya sifat dan kekuasaan Allah, sehingga tiada siapa pun dan
tiada sesuatu pun menyamai-Nya.
“Qul
huwallaahu ahad, katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa”, adalah puncak ilmu
tentang akidah. Oleh sebab itu pula ada sejumlah hadis yang menyatakan sabda
Rasulullah bahwa nilai Surat Al Ikhlas sama dengan sepertiga Al Qur’an.
Sejumlah hadis yang cukup sahih sebagaimana diuraikan antara lain dalam Tasir
Al Azhar, mengungkapkan berbagai keutamaan surat ini, misalkan siapa yang
membacanya akan disenangi Allah (Hadis Riwayat Bukhari), dan “wajib orang itu
masuk surga” (Hadis Riwayat Tarmidzi).
Dengan
keutamaan-keutamaan Surat Ikhlas tadi, maka tidak berlebihan apabila Sunan
Kalijaga memberikan kabar gembira kepada siapa yang mempercayainya, ambalik
lara roga. Kembali atau tertolak semua penyakit dan penderitaannya. Allaahush
shamad, Allah tempat bergantung segala sesuatu. Tempat, maksudnya satu-satunya
sesembahan kita yang Maha Kuasa, kepada siapa kita berharap memohon pertolongan
atas segala masalah, termasuk segala penyakit dan penderitaan.
Allahu
Akbar.
Keutamaan Ayat Kursi
Seperti
halnya bait sebelumnya, bait 31 juga sarat makna dan keutamaan. Namun demikian
ada dua versi untuk kalimat pada baris pertama. Satu versi menyebut dudur molo
sedangkan versi lain dudut molo. Kata dudur tidak ditemukan pada kamus bahasa
Jawa Kuno maupun bahasa Jawa pergaulan sehari-hari pada umumnya, namun Raden
Wiryapanitra dalam Serat Kidungan Kawedar terbitan Dahara Prize menyebut dudur
molo sebagai kayu penyangga bubungan rumah. Dalam buku “Joglo, Arsitektur Rumah
Tradisional Jawa” karangan R.Ismunandar K, penerbit Dahara Prize 1997,
Semarang, bagian bangunan yang disebut molo dan dudur molo itu dijumpai di
halaman 57 dan 83. Sedangkan versi dudut molo, bisa berarti mencabut atau
membersihkan (dudut) molo yang bisa berarti noda, penyakit atau dosa. Jika
melihat baris keempat yang berbunyi usuk-usuk ing luhur, yaitu kayu kasau
penyangga genting yang di atas, nampaknya yang benar adalah dudur molo.
Disambung baris kelima yaitu ingkang aran wesi ngalarik, semakin memperkuat
tafsir pemakaian tamzil bangunan rumah untuk menyebutkan kedudukan ayat Kursi
dan Surat Al Anaam.
Meskipun
terdapat dua versi, pemakaian ayat Kursi bisa diterima pada keduanya. Ia bisa
saja diibaratkan balok penyangga bubungan rumah, tapi bisa juga sebagai
pembersih penyakit dan noda kehidupan.
Mari
kita coba pahami ayat ke 255 Surat Al Baqarah ini:
“Allaahu
laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuumu, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum,
lahuu maa fis samaawaati wa maa fil ardhi, man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu
illaa bi idznihii, ya’lamu maa baina aidiihim wa maa khalfahum, wa laa
yuhiithuuna bi syai-im min ‘ilmihii illaa bi maa syaa-a, wasi’a kursiyyuhus
samaawaati wal ardha, wa laa ya-uuduhuu hifzhuhumaa wa huwal ‘aliyyul ‘azhiim.”
Ayat
Kursi menurut Prof.Dr.Quraish Shihab adalah ayat yang paling agung di antara
seluruh ayat-ayat Al Qur’an. Karena dalam ayat ini disebutkan tidak kurang enam
belas kali, bahkan tujuh belas kali, kata yang menunjuk kepada Allah swt, Tuhan
Yang Maha Agung. Dalam Tafsir Al-Mishbah ia menulis sebagai berikut: “Allah
(1); Tidak ada Tuhan (penguasa Mutlak dan yang berhak disembah) kecuali Dia
(2); Yang Maha Hidup (3); Maha Kekal (4); yang terus-menerus mengurus
makhluk-Nya (5); Dia (6); tidak dikalahkan oleh kantuk dan tidak tidur.
Kepunyaan-Nya (7); apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, tiada yang
dapat memberi syafaat di sisi-Nya (8); tanpa izin-Nya (9); Dia (Allah) (10);
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka
tidak mengetahui sesuatu dari ilmu-Nya (11); melainkan apa yang dikehendaki-Nya
(12); Kursi (ilmu/kekuasaan)-Nya (13); meliputi langit dan bumi. Dia (14);
tidak lelah memelihara keduanya dan Dia (15); Maha Tinggi (16); lagi Maha Besar
(17).”
Pada
bait 30 kita telah dikenalkan dengan bacaan zikir Ya Hu Allah dan Surat Al
Ikhlas. Melalui ayat Kursi, bait ini memperkenalkan lebih jauh tentang siapa
Allah yang dikidungkan sebelumnya itu. Dalam satu ayat yang terdiri dari lima
puluh kata ini, terdapat tujuh belas kata yang menunjuk kepada Allah.
Dari
ayat Kursi pula keluar ungkapan yang sangat terkenal di dalam bahasa Jawa yaitu
Gusti Allah ora sare, Gusti Allah tidak tidur. Artinya Gusti Allah mengetahui
apa saja, meskipun manusia mencoba
menyembunyikan sesuatu terhadap manusia yang lain. Ungkapan ini lazim
dikeluarkan oleh seseorang yang tidak berdaya terhadap perbuatan zalim orang
lain kepada dirinya. Maknanya sangat luas, terutama untuk menenangkan dirinya
sendiri dengan meyakinkan hatinya, bahwa Gusti Allah pasti akan menolongnya
dengan menegakkan kebenaran dan keadilan.
Menurut
para ahli tafsir Al Qur’an, yang dimaksudkan dengan “kursi Allah” dalam ayat
ini ialah gambaran tentang kekuasaan-Nya Yang Maha Besar dan kerajaan-Nya Yang
Maha Luas. Jadi bukanlah kursi seperti yang kita kenal sehari-hari.
Prof.Dr.Quraish
Shihab berpendapat, pengulangan tujuh belas kata yang menunjuk nama Allah, bila
dicamkan dan dihayati akan memberi kekuatan batin tersendiri bagi pembacanya.
Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i menurutnya, memberi penafsiran “supra rasional”
menyangkut ayat Kursi. Pada hemat ulama ini dalam tafsirnya, Nazhm ad-Durar,
“Lima puluh kata adalah lambang dari lima puluh kali shalat yang pernah
diwajibkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. ketika beliau berada di tempat yang
maha tinggi dan saat dimi’rajkan. Lima puluh kali itu diringankan menjadi lima
kali dengan tujuh belas rekaat sehari semalam. Di sisi lain, perjalanan menuju
Allah ditempuh oleh malaikat dalam lima puluh ribu tahun menurut perhitungan
manusia ( Surat Al Ma’arij 70:4)” Dari sinilah pakar tafsir itu mengaitkan
bilangan ayat Kursi dengan perlindungan Allah. “Kalau di hadirat Allah gangguan
tidak mungkin akan menyentuh seseorang, dan setan tidak akan mampu mendekat,
bahkan akan menjauh, maka menghadirkan Allah dalam benak dan jiwa melalui
bacaan ayat Kursi, yang sifatnya seperti diuraikan di atas, dapat menghindarkan
manusia dari gangguan setan, serta memberinya perlindungan dari segala macam
yang ditakutinya.
Demikian
penjelasan ulama ahli tafsir al-Biqa’i, yang sekaligus penulis jadikan penegas
atas hikmah dan keutamaan sebagaimana yang diajarkan Sunan Kalijaga melalui
Kidung Kawedar
Setelah
mengajarkan ayat Kursi, baris kedua sampai dengan keempat bait 31 Kidung ini
mengajarkan Surah Ngam-ngam yang tiada lain adalah Surat Al An’aam. Surat
keenam dalam Al Qur’an yang arti katanya adalah binatang ternak, dinamakan
seperti itu karena di dalamnya disebut kata “an ‘aam” yang berhubungan dengan
adat istiadat kaum musyrikin, yang mempercayai bahwa binatang ternak dapat
dipergunakan buat mendekatkan diri kepada tuhan mereka.
Begitu
tinggi kandungan ajaran Surah Ngam-ngam (Al An’aam) dan relevansinya dengan
keadaan masyarakat Jawa pada saat itu, sehingga Sunan Kalijaga mengajarkannya
sesudah Surat Al Ikhlas dan ayat Kursi. Apa yang diungkapkan semenjak bait
pertama, menjadi gamblang setelah mempelajari dan memahami zikir Ya Hu Allah,
Surat Al Ikhlas, ayat Kursi dan Surat Al An’aam.
Dari
ajaran berzikir Ya Hu Allah itu pula, bersemai ajaran shalat daim pada
masyarakat Islam di Jawa, yaitu zikir yang tidak pernah berhenti, bahkan terus
menerus menyertai tarikan nafas, yang iramanya dilatih sesuai kata hati
(Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 118). Shalat daim
dimaksudkan buat melatih agar kalbu kita senantiasa dipenuhi dengan ingatan
terhadap Gusti Allah, sehingga selanjutnya pikiran dan perbuatan kita selalu
mengikuti jalan yang diridhoi-Nya, selalu dalam ketaatan dan bimbingan-Nya.
Aamiin.
Baris
keenam sampai dengan kesepuluh bait 31, adalah penegasan atas kenabian Kanjeng
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, yang sudah diungkapkan dalam Surat
Al An’aam, beserta segala keagungan dan keutamaannya.
Allaahumma
shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad.
Kidung Kawedar Mantrawedha
Mantrawedha
adalah kidung karya Kangjeng Sunan Kalijaga. Kidung ini mantra dan wejang yang
terdiri dari 10 pupuh dhandhang gula. Karena kidung ini murni berisikan doa atau
mantra, maka umumnya dilantunkan dalam suara lembut, hening tanpa diiringi
gamelan nada macapat.
Inti
mantrawedha hanyalah yang tersurat dalam 5 pupuh pertama, yaitu doa kepada
Allah SWT. Sehingga jika seseorang ingin berdoa dengan mengidung atau membaca
mantrawedha, maka yang diperlukan hanya pupuh 1 sampai dengan 5 saja. Isi dari
doa adalah memohon keselamatan, baik terhadap gangguan kejahatan maupun
penyakit dan hama, baik dari sumber biologis dan fisik maupun dari metafisik.
Pupuh-pupuh selanjutnya menggambarkan wejang dari Kangjeng Sunan Kalijaga
tentang isi dan misi 5 pupuh pertama.
Beberapa
bahasa daerah, tidak sepenuhnya bisa dituliskan dalam aksara Latin, terutama
yang termasuk bahasa alam. Ada beberapa vokal maupun konsonan yang tidak terwakili
oleh aksara Latin. Terlebih bahasa Jawa, bahkan aksara Jawa pun menjadi tidak
konsisten. Contohnya vokal “a”. Ada “a” yang diucapkan tegas ada pula yang di
antara “a” dan “o”. Penulisannya yang benar tetap “a”, baik dalam aksara Latin
maupun Jawa. Untuk memudahkan pembaca, setiap pupuh kidung ini ditulis 2 kali.
Yang pertama adalah penulisan yang seharusnya, dan yang kedua adalah menurut
pengucapannya. Namun karena tidak ada aksara Latin untuk menyatakan vokal di
antara “a” dan “o”, maka disini dicoba dituliskan dengan “o”.
Kidung
karya Sunan Kalijaga ini sudah terkenal sampai pelosok Nusantara. Di desa,
kidung ini sering dinyanyikan saat pertunjukan ketoprak, wayang kulit, dan lain
lain.
Inti
laku pembacaan Kidung Kawedar adalah agar kita senantiasa terhindar dari
malapetaka. Dengan demikian kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman
dan taqwa kepada Allah SWT.
Adapun
fungsi secara eksplisit tersuratnya antara lain :
1.
Penyembuh segala macam penyakit.
2.
Pembebas pageblug
3.
Mempercepat jodoh bagi perawan tua.
4.
Penolak bala yang datang di malam hari.
5.
Menang dalam perang.
6.
Memperlancar cita-cita luhur.
Kidung
Kawedar dikenal memiliki berapa nama lain yaitu Kidung Sarira Ayu, sesuai
dengan bunyi teks dalam bait ketiga, dan Kidung Rumekso Ing Wengi, sesuai bunyi
teks di awal Kidung, sebagaimana kita lazim menyebut Surat Al Ikhlas dengan
nama Surat Qulhu atau Surat Al Insyiraah dengan sebutan Surat Alam Nasyrah.
Dalam
membahas bait demi bait, bagi yang bisa menembang macapat, silahkan dilakukan
seraya mendendangkan dengan tembang Dhandanggula.
Pupuh 1
Ana
kidung rumeksa ing wengi
Teguh
hayu luputa ing Lara
Luputa
bilahi kabeh
Jim
setan datan purun
Paneluhan
tan ana wani
Miwah
panggawe ala
Gunaning
wong luput
Geni
atemahan tirta
Maling
adoh tan ana ngarah ing mami
Guna
duduk pan sirna
Pengucapannya
:
Ono
kidung rumekso ing wengi,
teguh
ayu luputo ing leloro,
luputa
bilahi kabeh,
jin
setan datan purun,
peneluhan
tan ono wani,
miwah
panggawe olo,
gunaning
wong luput,
geni
atemahan tirta,
maling
adoh tan ono ngarah mring mami,
guno
duduk pan sirna.
Terjemah
bebas :
Ini
doa penjaga malam,
semoga
semua aman, luput dari penyakit,
dan
luput dari petaka,
jin
dan setan tidak akan (mengganggu),
teluh
(santet) tak akan berani (beraksi),
sekalian
niat jahat,
(dan)
tipu daya luput,
api
akan tertangkis air,
maling
menjauh tak berani menyatroni ku,
(dan)
segala bentuk santet sirna
Penjelasannya
:
Ini
doa penjaga malam memohon kepada Allah akan keselamatan dan perlindungan dari
berbagai kejahatan, baik yang dilakukan manusia, jin maupun setan, ataupun
persekutuan antar mereka. Kejahatan-kejahatan tersebut akan luput atau gagal
bagaikan api bertemu air.
Pupuh 2 dan 3
Sakehing
lara pan samya bali
Sakeh
ngama pan sami miruda
Welas
asih pandulune
Sakehing
braja luput
Kadi
kapuk tibaning wesi
Sakehing
wisa tawa
Sato
galak tutut
Kayu
aeng lemah sangar
Songing
landhak guwaning wong lemah miring
Myang
pakiponing merak
Pagupakaning
warak sakalir
Nadyan
arca myang segara asat
Temahan
rahayu kabeh
Apan
sarira ayu
Ingideran
kang widadari
Rineksa
malaekat
Sakathahing
Rasul
Pan
dadi sarira Tunggal
Ati
Adam Utekku Baginda Esis
Pangucapku
ya Musa
Pengucapannya
:
Sakabehing
loro pan samyo bali,
kehing
omo pan sami mirudo,
welas
asih pandulune,
sakehing
brojo luput,
kadi
kapuk tibaning wesi,
sakehing
wiso towo,
sato
galak lulut,
kayu
aeng lemah sangar,
songing
landhak guwaning mong lemah miring,
myang
pakiponing merak.
Pagupakaning
warak sakalir,
nadyan
arko myang segoro asat,
temahan
rahayu kabeh,
apan
sarira ayu,
ingideran
mring widodari,
rinekso
malaikat,
sakathahing
rasul,
pan
dadi sariro tunggal,
ati
Adam uteku Bagindo Esis,
pangucapku
yo Musa.
Terjemah
bebas :
Semua
penyakit akan kembali (ke asalnya),
semua
hama akan menyingkir,
semua
melihatku penuh kasih,
semua
serangan senjata (yang tertuju padaku) akan luput,
bak
kapuk jatuh di atas besi,
semua
racun (bisa) akan netral (bagiku),
(semua)
biatang buas akan tunduk (padaku),
pohon
angker, tanah gersang –
bulu
landak, goa di tebing miring –
maupun
sarang merak (baca: kawasan perburuan harimau) –
(dan)
kubangan badak dan sebangsanya (baca: kawasan jorok sumber penyakit) –
termasuk
teriknya matahari (arka) yang sedemikian hebatnya sehingga mampu mengeringkan
laut (baca: kemarau panjang),
semua
segera menjadi nyaman,
dan
membahagiakan,
bak
diiringi bidadari,
dijaga
malaikat,
dan
segenap para rasul,
semua
bak manunggal sejiwa (denganku),
perasaan(ku)
(adalah Nabi) Adam, pemikiranku (adalah Nabi) Sis,
(dan)
ucapanku (adalah Nabi) Musa.
Penjelasan
:
Pupuh
2 dan 3 ini menunjukkan sebuah hasrat untuk beraura “pencerah”. Semua penyakit,
hama maupun serangan senjata tidak ada artinya. Ganasnya binatang buas berbalik
menjadi kepatuhan. Kawasan-kawasan angker, gersang, berbahaya, jorok seram dan
gawat serta kekeringan (peceklik) berubah menjadi indah, damai, subur, nyaman
dan penuh kebahagiaan.
Semua
itu berkat keimanan kita sehingga dari dalam diri kita terpancar aura para
malaikat dan para rasul. Semua manunggal dalam sanubari, dimana perasaanku
seperti Nabi Adam, pemikiranku seperti Nabi Sis, dan ucapanku seperti Nabi
Musa.
Apa
istimewa perasaan Adam? Jelas, Nabi yang satu ini adalah satu-satunya lelaki
yang pernah hidup di Syurga sebelum turun ke bumi. Beliau juga manusia pertama
bumi versi jaman ini. Bahkan ada kisah bahwa beliau turun ke bumi karena dosa.
Semua ini menunjukkan kondisi extrim. Ketika di syurga mendapat kenikmatan
extrim. Setelah berbuat dosa dan diturunkan ke bumi, menjadi penyesalan extrim,
namun harus mengatasinya dengan tawakal extrim. Sehingga tentu apa yang
dirasakan Adam tidak bisa dibayangkan oleh manusia lain dan manusia lain tidak
mungkin mengalami hal yang seperti dialami Adam.
Pemikiran
Nabi Sis dan ucapan Nabi Musa, sepertinya merupakan kemenonjolan yang
disimpulkan oleh Sunan Kalijaga. Hal-hal seperti ini akan dilanjutkan dalam
pupuh 4 dan 5.
Pupuh 4 dan 5
Napasku
Nabi Ngisa linuwih
Nabi
Yakup Pamiyarsaningwang
Yusup
ing rupaku mangke
Nabi
Dawud Suwaraku
Jeng
Suleman kasekten mami
Nabi
Ibrahim nyawaku
Edris
ing Rambutku
Baginda
Ngali kulitingwang
Getih
daging Abubakar singgih
Balung
Baginda Ngusman
Sungsumingsun
Patimah linuwih
Siti
Aminah Bayuning Angga
Ayup
ing Ususku mangke
Nabi
Nuh ing Jejantung
Nabi
Yunus ing Otot mami
Netraku
ya Muhammad
Pamuluku
Rasul
Pinayungan
Adam sarak
Sammpun
pepak sakatahe para
Nabi
dadya sarira Tunggal.
Pengucapannya
:
Napasingun
Nabi Isa luwih,
Nabi
Yakub pamiyarsaningwang,
Yusuf
ing rupaku mangke,
Nabi
Dawud swaraku,
Hyang
Suleman kasekten mami,
Ibrahim
nyawaningwang,
Idris
ing rambutku,
BagendAli
kulitingwang,
Abu
Bakar getih daging Umar singgih,
balung
Bagendo Usman.
Sungsum
ingsun Patimah linuwih,
Siti
Aminah banyuning anggo,
Ayub
ing ususku mangke,
Nabi
Nuh ing jejantung,
Nabi
Yunus ing otot mami,
Netraku
ya Muhammad,
panduluku
rasul,
pinayungan
Adam Sarak,
sampun
pepak sakhathahing poro Nabi,
dadyo
sarira tunggal.
Terjemah
bebas :
Napasku
Nabi Isa
penampilanku
Nabi Yakub,
wajahku
Nabi Yusuf,
suaraku
Nabi Dawud,
kesaktianku
Nabi Sauleman,
nyawaku
Nabi Ibrahim,
rambutku
Nabi Idris,
kulitku
(sahabat) Ali,
darahku
(sahabat) Abu Bakar,
dagingku
(sahabat) Umar,
tulangku
(sahabat) Usman,
Sumsumku
Fatimah,
cairan
tubuhkan Siti Aminah,
ususku
Nabi Ayub,
jantungku
Nabi Nuh,
ototku
Nabi Yunus,
mataku
Nabi Muhammad,
penglihatanku
bak rasul,
diteduhi
oleh Nabi Adam dan Siti Sarah,
sudah
lengkap semua nabi,
manunggal
dalam jiwaku.
Penjelasan
:
Sepertinya
menggambarkan sekujur tubuh kita luar-dalam penuh dengan aura para nabi, para
sahabat dan para isteri Nabi Muhammad. Entah ini benar-benar permohonan supaya
aura para manusia istimewa tersebut masuk menjadi aura kita, atau sekedar kiyas
ataukah punya makna lain, saya sama sekali belum tahu. Yang jelas, Sunan
Kalijaga adalah seorang wali yang umumnya tingkat ilmu dan pengetahuannya sudah
makrifat. Seperti yang pernah saya tuliskan di laman Bima Suci, seorang
makrifat adalah orang yang jenius, sehingga tidak selalu pola pikirnya bisa
diikuti oleh orang awam. Kejeniusan Sunan Kalijaga sudah terbukti, selain
melalui pengembangan seni dan budaya, juga tata kota dan teknik bangunan, meski
beliau bukan insinyur sipil.
Pupuh 6-7: Wejang Sunan Kalijaga tentang Mantrawedha
Pupuh
6 sampai dengan 10 adalah penjelasan atau “wejang” dari Sunan Kalijaga tentang
inti Mantrawedha yang tersurat pada pupuh 1 sampai dengan 5 di atas. Namun
sepertinya wejang ini bukan menjelaskan arti dari setiap pupuh, melainkan
cenderung khasiat atau manfaat dan cara mendapatkannya.
Pupuh 6
Wiji
sawiji mulane dadi
Apan
apencar dadiya sining jagad
Kasamadan
dening Dzate
Kang
maca kang angrungu
Kang
anurat kang anyimpeni
Dadi
ayuning badan
Kinarya
sesembur
Yen
winacakna toya
Kinarya
dus rara gelis laki
Wong
edan dadi waras
Pengucapannya
:
Wiji
sawiji mulane dadi,
apan
pencar sak indenging jagad,
kasamadan
dening dzate,
kang
moco kang angrungu,
kang
anurat kang anyimpeni,
dadi
ayuning badan,
kinaryo
sesembur,
yen
winacakno ing toyo,
kinarya
dus roro tuwo gelis laki,
wong
edan nuli waras.
Terjemah
bebas :
Benih
apapun yang tumbuh,
akan
menyebar ke seluruh dunia,
mendapat
restu dari Dzat yang Maha Kuasa,
yang
membaca (dan) yang mendengar,
(dan)
yang menulis (dan) yang menyimpannya,
semua
akan mendapat manfaat (pahala),
sebagai
(kemampuan memberi) petunjuk.
Jika
(kidung ini) dibaca dekat air,
gadis
tua lekas dapat jodoh,
(dan)
orang gila segera sembuh.
Penjelasan
:
Sebuah
ilmu yang bermanfaat, baik pengetahuan maupun keterampilan, akan diridloi NYA
untuk menyebar ke segala penjuru dunia. Semua pihak akan mendapat manfaatnya,
baik yang membaca, yang mendengarkan (orang membaca), yang menulis maupun yang
sekedar menyimpannya. Demikian pula kidung ini (pupuh 1-5), jika dibacakan di
dekat air, maka jika air itu untuk mandi gadis tua, dia akan lekas mendapat
jodoh. Jika utuk mandi orang gila, dia akan segera waras.
Pupuh 7
Lamun
ana wong kadhendha kaki
Wong
kabanda wong kabotan utang
Yogya
wacanen den age
Nalika
tengah dalu
Ping
sawelas macanen singgih
Luwar
saking kabanda
Kang
kadhendha wurung
Aglis
nuli sinauran mring hyang
Suksma
kang utang puniku singgih
Kang
agring nuli waras
Pengucapannya
:
Lamun
ono wong kadhendho kaki,
wong
kabondo wong kabotan utang,
yogya
wacanen den age,
naliko
tengah dalu,
ping
sawelas wacanen singgih,
luwar
saking kebondo,
kang
kadhendho wurung,
aglis
nuli sinauran,
mring
Hyang Suksmo kang utang puniku singgih,
kang
agring nuli waras.
Terjemah
bebas :
Manakala
(seseorang atau kamu) kena denda,
atau
terikat terjerat hutang,
sebaiknya
segera baca kidung ini (pupuh 1-5),
di
tengah malam,
jam
11 (pm) bacalah dengan khusuk,
jeratan
akan segera lepas,
denda
akan segera urung,
Tuhan
yang akan membayar hutangnya,
(dan)
jika sakit segera sembuh.
Penjelasan
:
Bagi
yang sedang terancam kena denda atau hukuman atau terbelit hutang atau terjerat
dalam kekonyolan, kidung ini (pupuh 1-5) bisa menjadi doa ampuh untuk memohon
pertolongan Allah, terutama jika dibacakan jam 11 malam dengan khusuk. Ancaman
denda akan segera urung, jeratan segera lolos dan belitan hutang segera lunas.
Tuhan akan memberi jalan yang mudah untuk melunasi hutangnya.
Karena
ini mantra seorang wali, tentu tidak mungkin untuk menyelamatkan orang yang
sengaja berbuat salah. Kita boleh jadi berbuat salah tanpa sengaja berniat
kriminal. Misalnya perkelahian, atau karena ulah kawan kita, yang berakibat
cukup fatal sehingga sepertinya kita melakukan kesalahan. Kita juga bisa
terbelit hutang tanpa ada niatan ngemplang. Misalnya, gara-gara kena PHK, maka
sebagian atau semua hutang macet. Niatnya tidak ngemplang. Tapi karena tidak
ada uang untuk membayar, maka akan tampak seperti orang yang ngemplang.
Kesalahan-kesalahan seperti inilah yang akan dimohonkan dalam kidung
mantrawedha untuk mendapat pertolongan Tuhan.
Bagi
orang-orang yang benar-benar bersalah, semisal penjahat atau koruptor, doa
kidung ini tidak ada manfaatnya. Mereka mesti mencari mantra dari setan atau
iblis bila ingin lolos dari hukuman. Kidung ini justru mustajab untuk
menaklukkan mereka, karena masuk dalam kategori sebagai pelaku “guna” yang
“luput”. Bahkan bisa jadi orang-orang jahat seperti ini dianggap sebagai
penyakit atau hama.
Catatan:
“Ping sawelas” – “ping” disini bukan berarti “kali”, melainkan jam atau pukul,
dari asal kata “tabuh kaping”.
Pupuh 8
Lamun
ora bisa maca kaki,
winawera
kinarya ajimat,
teguh
ayu tinemune,
lamun
ginawa nglurug,
Mungsuhira
tan ana wani,
luput
senjata tawa,
iku
pamrihipun,
sabarang
pakaryanira,
pan
rineksa dening Hyang Kang Maha Suci,
sakarsane
tinekan.
Pengucapannya
:
Lamun
ora bisa moco kaki,
winawero
kinaryo ajimat,
teguh
ayu tinemune,
lamun
ginowo nglurug,
Mungsuhiro
tan ono wani,
luput
senjoto towo,
iku
pamrihipun,
sabarang
pakaryaniro,
pan
rinekso dening Hyang Kang Moho Suci,
sakarsane
tinekan.
Terjemah
bebas :
Jika
(kamu) tidak bisa membaca,
hapalkan
saja seperti jimat,
niscaya
akan aman,
jika
(kamu) bawa meluruk (perang),
musuhmu
akan takut,
luput
dari (serangan) senjata (apapun),
itulah
manfaatnya,
segalanya
akan dijaga oleh Tuhan yang Maha Suci,
(dan)
apapun yang kau inginkan kabul.
Penjelasan
:
Bagi
yang tidak bisa membaca (buta huruf), tetap bisa mendapat manfaatnya dengan
menghapalkannya. Kidung ini tetap akan menjadi doa untuk keselamatan dalam
peperangan maupun untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.
Pupuh 9
Lamun
arsa tulus nandur pari
puwasaa
sawengi sadina,
Iderana
gelengane
Wacanen
kidung iku
Sakeh
ngama sami abali
Yen
sira lunga perang
Wateken
ing sekul
Antuka
tigang pulukan
Musuhira
rep sirep tan ana wani
Rahayu
ing payudan
Pengucapannya
:
Lamun
arso tulus nandur pari,
puwosowo
sawengi sadino,
iderono
galengane,
wacanen
kidung iku,
kehing
omo samyo bali,
yen
sira lungo perang,
wateken
ing sekul,
antuko
tigang pulukan,
musuhiro
rep sirep tan ono wani,
rahayu
ing payudan.
Terjemah
bebas :
Jika
(kamu) akan bertani padi,
berpuasalah
semalam sehari,
(dan)
beredarlah di setiap pematangnya,
(sambil)
membaca kidung ini,
(niscaya)
semua hama akan kembali (ke asalnya),
jika
(kamu) akan pergi ke medan perang,
bacalah
(kidung ini) dekat nasi,
makanlah
3 suap,
(niscaya)
musuhmu ketakutan tak akan berani,
(dan)
kamu selamat dalam peperangan.
Penjelasan
:
Bagi
yang akan bertani padi, kidung ini juga menjadi doa ampuh untuk memohon
keberhasilan ketika panen kelak. Akan lebih afdol jika dibaca ketika sedang
berpuasa sambil beredar di setiap pematang. Ini akan menjadi doa ampuh untuk
memohon supaya tanamannya terbebas dari hama.
Bagi
yang hendak pergi ke medan perang, kidung ini dibaca di dekat nasi dan dilanjutkan
dengan memakannya 3 suap. Ini akan menjadi doa ampuh untuk memohon keselamatan
dan kejayaan di medan tempur.
Pupuh 10
Sing
sapa bisa nglakoni
Amutiya
lawan anawaa
Patang
puluh dina wae
Lan
tangi wektu subuh
Lan
den sabar sukuring ati
Insya
Allah tinekan
Sakarsanireku
Tumrap
sanak rakyatira
Saking
sawabing ngelmu pangiket mami
Duk
aneng Kalijaga.
Pengucapannya
:
Sing
sopo kulino anglakoni,
amutiyo
lawan anowoho,
patang
puluh dino bae,
lan
tangi wektu subuh,
lan
den sabar sukuring ati,
Insha
Allah tinekan,
sakarsanireku,
tumrap
sanak rakyatira,
saking
sawabing ngelmu pangiket mami,
duk
aneng Kalijogo.
Terjemah
bebas :
Bagi(mu)
yang suka berprihatin,
mutih-tawarlah
(baca: puasa dan hanya makan nasi putih dan minum air putih),
40
hari saja,
bangunlah
setiap subuh,
dan
utamakan sabar dan syukur,
insha
Allah terkabul,
apa
saja yang kamu inginkan,
bagi
kerabat dan rakyatmu,
oleh
pengaruh keimananku,
(yang
kudapat) ketika di Kalijaga.
Penjelasan
:
Bagi
yang biasa “lelakon” atau bertapa, bisa mendapat manfaat kidung ini lebih
sempurna. Syaratnya adalah dengan melakukan puasa mutih atau tawar selama 40
hari. Puasa “mutih” artinya puasa dan ketika berbuka hanya makan makanan yang
berwarna putih atau tak berwarna. Puasa “nawa” artinya puasa dan ketika buka
hanya makan makanan yang tak berasa. Disini disyaratkan puasa mutih dan nawa
selama 40 hari.
Selain
itu juga disyaratkan untuk bangun setiap subuh dan menengadah dengan penuh
kesadaran kepasrahan dan kesabaran berucap syukur kehadlirat Allah yang Maha
Kuasa. Insha Allah, akan mendapatkan apa yang kita inginkan dan berkah yang
melimpah bagi segenap kerabat dan rakyat. Karena cara ini benar-benar sesuai
dengan cara sang wali mendapatkan ilmu ini ketika di Kalijaga.
Sampai
sekarang sebagian masyarakat Indonesia termasuk suku Jawa, masih percaya dan
menyenangi hal-hal gaib. Secara sederhana hal itu bisa dilihat dari bertahannya
kehadiran sejumlah media massa seperti majalah, tabloid bahkan acara-acara
televisi yang menayangkan hal-hal gaib. Lebih-lebih lagi suasana kehidupan masa
kecil saya di Jawa Tengah – Jawa Timur
periode 1950 – 1960-an.
Hampir
setiap hari pembicaraan kami kanak-kanak, tidak pernah tanpa bicara masalah
makhluk halus, kesaktian dan kanuragan, Gusti Allah serta masalah-masalah gaib
dan supranatural. Ada saja yang dibicarakan mengenai sepak terjang belasan
jenis makhluk halus. Ada yang disebut gendruwo, wewe, banaspati, jrangkong,
hantu pocong, glundung pecengis, lampor, sundel bolong dan lain-lain.
Setiap
pohon beringin atau pohon-pohon besar berusia puluhan bahkan ratusan tahun
serta tempat-tempat angker yang belum disentuh dan diolah manusia, dipercaya
dihuni makhluk halus. Padahal pohon dan tempat seperti itu pada masa itu banyak
sekali dan hampir ada di setiap pekarangan rumah. Penduduk masih jarang dan
hunian tidak sepadat sekarang. Jarak satu rumah dengan yang lain lebar-lebar.
Kebun dan halaman rumah luas-luas, bisa ribuan meter persegi sehingga banyak
yang belum terolah dan menjadi semak belukar atau berupa rumpun bambu. Demikian
pula pepohonannya yang tumbuh alami dari biji, berbatang besar-besar lagi
tinggi, jauh lebih besar dari pelukan pemiliknya.
Sementara
listrik belum masuk desa, belum ada radio, televisi, apalagi telpon.
Jalan-jalan desa masih berupa jalan tanah dan jumlah mobil di setiap kabupaten
bisa dihitung dengan jari. Jadi bisa dibayangkan, sunyi sepinya suasana
sehari-hari, lebih-lebih bila hari sudah mulai gelap.
Di
tengah kesunyian itulah kami bermain aneka permainan tradisional termasuk
permainan mengundang ruh halus yang disebut jaelangkung dan jaelangsih. Kami
juga harus belajar silat untuk bekal membela diri jika bepergian, mempelajari
ilmu kesaktian dan kanuragan, tenaga dalam serta berbagai olah batin agar bisa
selamat lagi berjaya dalam kehidupan.
Itu
adalah gambaran suasana pertengahan abad XX. Bisa dibayangkan betapa lebih
sunyi dan seramnya suasana abad XV – XVI dengan hutan belantara di mana-mana,
suasana serta kehidupan di zaman peralihan dari Kerajaan Majapahit ke
Kesultanan Demak, tatkala agama Islam baru mulai disebarkan ke penduduk Jawa
yang menganut agama Syiwa-Buddha dan percaya bahkan banyak yang memuja ruh-ruh
halus. Maka topik pembicaraan apa yang paling menarik untuk disampaikan jikalau
bukan tentang bagaimana menghadapi godaan makhluk halus, menangkal ilmu hitam,
memperoleh kesaktian serta menundukkan kawasan-kawasan angker dan keramat demi
kesejahteraan hidup.
Dengan
daya tarik itulah Sunan Kalijaga memulai Suluk Kidung Kawedar sebagaimana bait
di atas. Kanjeng Sunan Kali, demikian panggilan kehormatan beliau, langsung
menawarkan mantera pelindung kehidupan, yang mampu menjaga siapa yang membaca
dan yang mempercayainya dari segala marabahaya, serta bisa membuat hidup
menjadi sejahtara.
Bait
pertama menggambarkan kehebatan tembang pujian, yang enak didengar namun
sekaligus sakti mandera guna, yang menjaga kita di malam hari, yang melindungi
kita dari segala macam penyakit dan hal-hal buruk, melindungi dari gangguan jin
dan setan, menangkal ilmu hitam dan segala hal yang buruk yang mau mencelakai
kita, sampai-sampai diibaratkan bisa mengubah api yang panas menjadi air nan
sejuk bila menghampiri kita, seperti kisah Kanjeng Nabi Ibrahim ketika dibakar.
Demikian pula para pencuri menjauh, tidak ada yang berani mengganggu hak milik
kita.
Bait
kedua masih menggambarkan kehebatan kidung mantera ini. Hama dan penyakit
menyingkir, karena siapa pun makhluk Allah yang melihat kita menjadi iba dan
menaruh kasih sayang. Pun segala ilmu kesaktian, tiada yang bisa mencelakai
kita, lantaran akan bagai kapuk yang sangat ringan lagi lembut, jatuh ke atas
besi yang keras lagi kuat. Semua racun menjadi tawar, semua binatang buas
menjadi jinak. Segala jenis tumbuh-tumbuhan, pohon, kayu, tanah sangar atau
angker serta sarang-sarang binatang yang dilindungi aura gaib, tiada perlu
ditakuti lagi.
Bait
ketiga masih diawali dengan pameran kekuatan sang kidung yang luar biasa bak
bisa membuat air lautan menjadi asat atau mengering, yang dilanjutkan dengan
iming-iming, pesona gambaran kehidupan serba nyaman dan selamat sejahtera.
Kepada masyarakat Jawa yang percaya akan adanya para dewa dengan para
bidadarinya, Sunan Kalijaga mulai memasukkan daya tarik dan istilah-istilah
baru secara lepas-lepas, yakni butir-butir ajaran Islam.
Siapa
yang percaya kidung ini, kehidupannya akan dikelilingi oleh para bidadari, akan
dijaga oleh para malaikat dan rosul yang bahkan telah menyatu pada diri kita.
Nabi Adam akan manjing, merasuk ke dalam batin kita. Nabi Sis berada di otak
sedangkan Nabi Musa di tuturkata kita. Malaikat, rasul, Adam, Sis dan Musa
adalah hal-hal baru bagi orang-orang Jawa baik yang animis, mempercayai ruh
leluhur, makhluk gaib mau pun yang Syiwa-Buddha. Hal-hal baru itulah yang
sesungguhnya menjadi inti kekuatan kidung mantera pujian ini.
Imajiner
Nuswantoro