WIRID ILMU SASONGKO JATI
(Ilmu
Sasongko Jati wonten pengertian Makrifat)
Wirid
Saloka Jati digelar sebagai upaya para leluhur bangsa kita untuk menjabarkan
keadaan jati diri kita. Sebagaimana kebiasaan leluhur nenek moyang kita, dengan
tujuan agar supaya “kawruh lan ngelmu” lebih mudah dipahami para generasi
penerus bangsa maka digunakanlah sanepa, saloka, kiasan, perumpamaan, dan
perlambang. Dalam acara ritual atau upacara tradisi; perlambang, saloka, dan
sanepa ini diwujudkan ke dalam ubo rampe atau syarat-syarat yang terdapat dalam
sesaji.
Serat
ini menggelar arti dari kalimat kiasan (saloka), yakni perumpamaan mengenai
suatu makna yang dimanifestasikan dalam bentuk peribahasa. Mulai dari
eksistensi yang dicipta-Yang mencipta, eksistensi jiwa, sukma, hingga
eksistensi akal budi. Yang akan meneguhkan keyakinan kepada Gusti Pengeran
(Tuhan Yang Mahamulia). Peribahasa dalam terminologi Jawa sebagai “pasemon”
atau kiasan. Kiasan diciptakan sebagai pisau analisa, di samping memberi
kemudahan pemahaman akan suatu makna yang sangat dalam, rumit dicerna dan sulit
dibayangkan dengan imajinasi akal-budi. Berikut ini saloka yang paling sering
digunakan dalam berbagai wacana falsafah Kejawen.
Gigiring
Punglu; Gigiring mimis; Merupakan perumpamaan akan ke-elokan Zat Tuhan. Yakni
perumpamaan hidup kita, tanpa titik kiblat dan tanpa tempat, hanya berada di
dalam hidup kita pribadi.
Tambining
Pucang; Menunjukkan ke-elokan Zat Tuhan, ke-ada-an Tuhan itu dibahasakan bukan
laki-laki bukan perempuan atau kedua-duanya. Dan bukan apa-apa, seperti apa
sifat sebenarnya, terproyeksikan dalam sifat sejatinya hidup kita pribadi.
Wekasaning
Langit; batas langit ; umpama batas jangkauan pancaran cahaya. Yakni pancaran
cahaya kita. Sedangkan tiadanya batas jangkauan cahaya, menggambarkan keadaan
sifat kita.
Wekasaning
Samodra tanpa tepi; berakhirnya samodra tiada bertepi; maksudnya ibarat batas
akhir daya jangkauan rahsa atau rasa (sirr). Mengalir sampai ke dalam sejatinya
warna kita.
Galihing
Kangkung; galih adalah bagian kayu yang
keras atau intisari di dalam pohon) galihnya pohon kangkung (kosong);
maksudnya, perumpamaan ke-ada-an sukma, yang merasuk ke dalam jasad kita. Ada
namun tiada.
Latu
sakonang angasataken samodra; bara api setungku membuat surut air samodra.
Menggambarkan keluarnya nafsu yang bersinggasana di dalam pancaindra, dapat
membuat sirna segala kebaikan.
Peksi
miber angungkuli langit; burung terbang melampaui langit. Menggambarkan
kekuatan akal budi kita yang bersemayam di dalam penguasaan nafsu, namun
sesungguhnya akal budi mampu mengalahkan nafsu.
Baita
amot samodra; perahu memuat samodra; baita atau perahu kiasan untuk badan kita,
sedangkan samodra merupakan kiasan untuk hati kita. Secara fisik hati berada di
dalam jasad. Tetapi secara substansi jasad lah yang lebih kecil dari hati.
Angin
katarik ing baita ; angin ditarik oleh perahu. Menggambarkan pemberhentian
nafas kita dalam jasad, sedangkan keluarnya nafas dari dalam jasad kita pula.
Dalam jagad besar, prinsip fisika merumuskan angin lah yang menarik atau
mendorong perahu. Sebaliknya dalam jagad kecil, rumus biologis maka badan lan
yang menarik angin. Ini menggambarkan prinsip imbal balik jagad besar dan jagad
kecil.
Susuhing
angin ; sarangnya angin. Menggambarkan terminal sirkulasi nafas kita berada
dalam jantung.
Bumi
kapethak ing salebeting siti; bumi ditanam di dalam tanah. Menggambarkan asal
muasal jasad kita berasal dari tanah, kelak pasti akan kembali (terkubur)
menjadi tanah.
Mendhet
latu adadamar (mengambil bara sambil membawa api); atau latu wonten salebeting
latu (bara di dalam bara); atau latu binesmi ing latu (bara terbakar oleh
bara); menggambarkan badan kita berasal dari bara api, selalu mengeluarkan api, keadaan untuk
menggambarkan sumber dan keluarnya hawa
nafsu kita.
Barat
katiup angin; atau angin anginte prahara; angin tertiup angin. menggambarkan
wahana yang menghidupkan badan kita berasal dari udara, selalu mengeluarkan
udara, yakni nafas kita.
Tirta
kinum ing toya (air tertelan oleh air), ataungangsu rembatan toya (menimba
dengan air); atautoya salebeting toya (air di dalam air); menggambarkan badan
kita berasal dari air, selalu dialiri dan mengalirkan air, maksudnya darah kita.
Srengenge
pinepe, atau kaca angemu srengenge; matahari terjemur, kaca mengandung
matahari; artinya bahwa adanya cahaya karena sinar dari sang surya. Surya itu
sendiri berada di dalam cahaya. Hal ini menggambarkan keadaan indera mata atau
netra kita ; mata itu seperti matahari, namun mata dapat melihat karena selalu
disinari oleh sang surya.
Wiji
wonten salabeting wit (biji berada dalam pohon); dan wit wonten salebeting wiji
(pohon berada di dalam biji) ; dinamakan pula “peleburan papan tulis”.
Menggambarkan keadaan bahwa ZAT Tuhan berada dalam wahana makhluk, dan makhluk
berada dalam wahana Tuhan (Jumbuhing kawula-Gusti).
Kakang
barep adhine wuragil ; kakaknya sulung, adiknya bungsu. Menggambarkan martabat insan kamil, keadaan
sejatinya diri kita. Hakekat kehidupan kita sebagai “akhiran” dan sekaligus
sebagai “awalan”. Pada saat manusia lahir dari rahim ibu merupakan awal
kehidupannya di dunia, sekaligusakhir dari sebuah proses triwikrama atau tiga
kali menitisnya “Dewa Wisnu” menjadi manusia melewati 4 zaman; kertayuga,
tirtayuga, dwaparayuga, kaliyuga/mercapadha/bumi. Sedangkan ajal, merupakan
akhir dari kehidupan (dunia), namun ajal merupakan awal dari kehidupan baru
yang sejati, azali abadi.
Busana
kencana retna boten boseni, atau busana wrasta tanpa seret. Gambaran jasad yang
dibungkus kulit sebagai “busana”. Kita tidak pernah bosan biarpun tidak pernah
ganti “busana” atau kulit kita. Kulit merupakan “busana” pelindung dari tubuh
kita.
Tugu
manik ing samodra ; menggambarkan daya cipta yang terus menerus berporos hingga
pelupuk mata. Daya cipta akal budi manusia jangkauannya umpama luasnya samodra
namun konsentrasinya terfokus pada mata batin.
Sawanganing
samodra retna; pemandangan intan samodra. Menggambarkan pintu pembuka kepada
keadaan Tuhan. Tabir pembuka hakekat Zat. Yakni “babahan hawa sanga” atau
sembilan titik yang terdapat di dalam diri manusia sebagai penghubung kepada Zat Maha Kuasa.
Disebut juga kori selamatangkeb; melar-mingkupnya maras atau membuka-menutupnya
mulut).
Samodra
winotan kilat ; samodra berjembatan kilat. Dalam Islam disebut jembatan
“siratal mustaqim”. Menggambarkan pesatnya yatma sampai padangabyantaraning
Hyang Widhi. Adapula yang mengartikan “jembatan kilat”, sebagai perlambang
keluarnya ucapan mulut manusia.
Bale
tawang gantungan ; rumah atau tempatnya langit bergantung. Dalam terminologi Islam disebutarsy atau aras kursi
atau kursi kekuasaan Tuhan. Namun bukan dibayangkan sebagai singgasana yang
diduduki Tuhan bertempat di atas langit (ke 7), imajinasi demikian justru
memberhalakan Tuhan sebagaimana
makhlukNya saja. Dalam konteks ini,aras atau tawang gantungan adalah
perumpamaan kekuasaan, yang menjadi “wajah” Tuhan. Hakekatnya sebagai “balai
sidang” Zat, keberadaannya di dalam kepala dan dada. Sedangkan kursi, atau
dilambangkan bale, merupakan perumpamaan singgasana (palenggahan) Zat. Letaknya
ada di otak danjantung. Singkatnya, kepala dan dada sebagaitawang gantungan,
sedangkan otak dan jantung sebagai bale-nya.
Wiji
tuwuh ing sela; biji tumbuh di atas batu. Dalam termonologi Islam diistilahkan
laufhulmahfudz loh-kalam. Loh/laufhul itu artinya papan atau tempat, sedangkan
al makhfudz berarti dijaga/kareksa. Maknanya adalah tempat yang selalu dijaga
Tuhann. Yakni hakekat dari “sifat” Zat yang terletak di dalam jasad yang selalu
dijaga “malaikat” Kariban. Malaikat merupakan perlambang dari nur suci
(nurullah) ataucahyo sejati. Cahyo sejati menjadi pelita bagi rasa sejati atau
sirr. Sedangkan loh-kalam artinya bayangan atau angan-angan Zat letaknya di
dalam budi, tumbuhnya angan-angan, dijaga oleh malaikat Katiban. Malaikat
katiban adalah pralambang darisukma sejati yang selalu menjaga budi agar tidak
mengikuti nafsu.
Tengahing
arah; titik tengahnya arah. Ibarat mijanatau traju. Yakni ujung dari sebuah
senjata tajam. Menggambarkan hakekat
dari neraca (alat penimbang) Zat. Traju terletak pada instrumen pancaindra
yakni; netra (penglihatan), telinga (pendengaran), hidung (pembauan), lidah dan
kulit (perasa). Dalam pewayangan dilambangkan sebagai Pendawa Lima; Yudhistira,
Bima/Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Makna untuk menggambarkanpanimbang
(alat penimbang) hidup kita yang berada
pada pancaindra.
Katingal
pisah ; terkesan pisah. Menggambarkan
keadaan antara Zat (Pencipta) dengan sifatnya (makhluk) seolah-olah terpisah.
Sejatinya antara Zat dengan sifat tak
dapat dipisahkan. Sebab biji dapat tumbuh tanpa cangkok. Sebaliknya cangkok
tidak tumbuh bila tanpa biji. Biji menggambarkan eksistensi Tuhan, sedangkan cangkok
menggambarkan eksistensi manusia. Kiasan ini
menggambarkan hubungan antara kawula dengan Gusti. Walaupun seolah eksis
sendiri-sendiri, namun sesungguhnya manunggal tak terpisahkan dalam pengertian
“dwi tunggal” (loroning atunggil).
Katingal
boten pisah; tampak tidak terpisah. Menggambarkan solah dan bawa. Solah adalah
gerak-gerik badan. Bawa atau krenteg adalah gerak-gerik batin. Solah dan bawa tampak seolah tidak terpisah,
namun keduanya tergantung rasa. Solah merupakan rahsaning karep (nafsu/jasad),
sedangkan bawa merupakan kareping rahsa(pancaran Zat sebagai rasa sejati).
Keduanya dapat berjalan sendiri-sendiri. Namun demikian idealnya adalah Solah
harus mengikuti Bawa.
Katingal
tunggal ; tampak satu. Menggambarkan zat pramana (mata batin), dengan sifatnya
yakni netra (mata wadag) tidaklah berbeda. Artinya, penglihatan mata wadag
dipengaruhi oleh mata batin.
Medhal
katingal ; Menggambarkan keluarnya sifat hakekat (Tuhan) ke dalam zat sifat
(makhluk), yakni ditandai dengan ucapan lisan menimbulkan suara.
Katingal
amedhalaken ; menggambarkan keluarnya nafas. Sedangkan kenyataannya menghirup
atau memasukkan udara, yang seolah-olah mengeluarkan.
Menawi
pejah mboten kenging risak ; bila mati tidak boleh rusak. Ibarat sukma dengan
raga. Bila raga rusak, sukmanya tetap abadi. Dalam terminologi Islam disebut
alif muttakallimun wakhid. Sifat yang berbicara sepatah tanpa lisan. Berupa
kesejatian yang berada dalam sukma, yakni roh kita sendiri.
Menawi
karisak mboten saget pejah ; bila dirusak tidak bisa mati. Perumpamaan untuk
hubungan nafsu danrasa. Walaupun nafsu dapat kita dikendalikan, namun rasa
secara alamiah tidak dapat disirnakan. Karena rasa dalam cipta masih terasa,
terletak dalam rahsa/sirr kita pribadi. Berhasil menahan nafsu dapat diukur
dari perbuatannya; raganya tidak melakukan pemenuhan nafsu, tetapi rasa ingin
memenuhi kenikmatan jasad tetap masih ada di dalam hati. Saloka ini untuk
memberi warning agar kitawaspadha dalam “berjihad” melawan nafsu diri pribadi. Karena kesucian sejati baru dapat diraih
apabila keingingan jasad (rahsaning karep) sudah sirna berganti keinginan rahsa
sejati (kareping rahsa).
Sukalila
tega ing pejah ; sukarela dan tega untuk mati.
Menggambarkan
orang mau mati, dengan menjalani tiga perkara; pertama, sikap senang seperti
merasa akan mendapat kegembiraan di alam
kasampurnan.Kedua, rela untuk meninggalkan semua harta bendanya dan barang
berharga. Ketiga, setelah tega
meninggalkan semua yang dicinta, disayang dan segala yang memuaskan nafsu dan
keinginan, semuanya ditinggal. Mati di sini berarti secara lugas maupun arti
kiasan. Orang yang berhasil meredam hawa nafsu dan meraih kesucian sejati
hakekatnyaorang hidup dalam kematian. Sebaliknya orang yang selalu diperbudak
nafsu hakekatnya orang yang sudah mati dalam hidupnya. Yakni kematian nur atau
cahaya sejati.
Semua
yang disebut; besar, luas, tinggi, panjang, lebih, ialah bahasa yang digunakan
untuk mengumpamakan keadaan Tuhan. Sebaliknya, semua yang disebut kecil,
sempit, rendah, pendek, kurang, dan seterusnya ialah bahasa yang dugunakan
untuk menggambarkan “sifat” yakni wujudnya kawula (manusia).
Gambaran
menyeluruh namun ringkas mengenai keadaan Zat-sifat (kawula-Gusti) sebagaimana
“cangkriman” berikut ini;
bothok
banteng winungkus ing godhong asem kabiting alu bengkong”
Bothok
: sejenis pepesan untuk lauk, terdiri dari parutan kelapa, bumbu-bumbu, lalu
dibungkus daun pisang dan dikukus. Bothok berbeda dengan pepes atau pelas,
cirikhasnya ada rasa pedas. Campurannya menentukan nama bothok, misalnya campur
ikan teri, menjadi bothok teri. Lamtoro, menjadi bothok lamtoro. Udang, menjadi
bothok udang. Adonan bothok lalu dibungkus dengan daun pisang. Dan digunakan
potongan lidi sebagai pengunci lipatan daun pembungkus.
Nah,
dalam pribahasa ini bahan untuk membuat bothokadalah hewan banteng. Sehingga
namanya menjadi bothok banteng. Dibungkus dengan daun asem jawa, yang sangat
kecil/sempit. Sedangkan tusuk penguncinya menggunakan alu semacam lingga
terbuat dari kayu sebagai alat tumbuk padi. Alu itu panjang dan lurus, namunalu
di sini bengkok. Jadi mana mungkin digunakan sebagaibothok.
Cangkriman
di atas adalah pribahasa yang menggambarkan keadaan yang tampak mustahil jika
dipahami hanya menggunakan akal budi saja. Bothok banteng maknanya adalah
menggambarkan adanya Zat, yang tidak lain adalah kehidupan kita pribadi.
Godhong asem ; menggambarkan keadaan “sifat” yakni sebagai bingkai kehidupan
kita, kenyataan dari beragamnya manusia. Alu bengkong, menggambarkan afngal
semua, yakni pekerti hidup kita.
Singkatnya, berdirinya hidup kita ini asisinglon warna kita, tampak dari
solah dan bawa. Selain makna di atas, bothok banteng diartikan pula sebagai air
mani. Godhong asem, adalah kiasan untuk per-empu-an. Alu bengkong adalah kiasan
untuk purusa, yakni kemaluan laki-laki.
TANDA-TANDA PENCAPAIAN NENG, NING, NUNG, NANG
TINGKAT 1 (Neng; sembah raga)
Jumeneng;
menjalankan “syariat”. Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi luas.
Yakni dimensi “vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi sosial
“horisontal” kepada sesama makhluk.Neng, pada hakekatnya sebatas melatih dan
membiasakan diri melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat untuk diri
pribadi, dan lebih utama untuk sesama tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang
melaksanakan sembahyang dan manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak
nafasnya, guna membangun sikap eling danwaspadha.
Neng
adalah tingkat dasar, barulah setara “sembah raga” misalnya menyucikan diri
dengan air, mencuci badan dengan cara mandi, wudlu, gosok gigi, upacara
jamasan, tradisi siraman dsb. Termasuk mencuci pakaian dan tempat tinggal.
Orang dalam tingkat “neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui
pernyataan dan ucapan mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH diri
mengendalikan hawa nafsu negatif, dengan bermacam cara misalnya puasa, semadi,
bertapa, mengulang-ulang menyebut nama Tuhan dll.
Melatih
diri mengendalikan hawa nafsu agar bersifat positif dengan cara misalnya
sedekah, amal jariah, zakat, gotong royong, peduli kasih, kepedulian sosial
dll. Melatih diri untuk menghargai dan mengormati leluhur, dengan cara ziarah
kubur, pergi haji, mengunjungi situs-situs sejarah, belajar dan memahami
sejarah, dst. Melatih diri menghargai dan menjaga alam semesta sebagai anugrah
Tuhan, dengan cara upacara-upacara ritual, ruwatan bumi, larung sesaji, dst.
Tahapan ini dilakukan oleh raga kita, namun BELUM TENTU melibatkan HATI dan
BATIN kita secara benar dan tepat.
Kehidupan
sehari-harinya dalam rangka latihan menggapai tataran lebih tinggi, artinya
harus berbuat apa saja yg bukan perbuatan melawan rumus Tuhan. Tidak hanya
berteori, kata kitab, kata buku, menurut pasal, menurut ayat dst. Namun
berusaha dimanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kehidupan sehari-hari.
Perbuatannya mencerminkan perilaku sipat zat (makhluk) yang selaras dengan
sifat hakekat (Tuhan).
Tanda
pencapaiannya tampak pada SOLAH. Solah artinya perilaku atau perbuatan jasadiah
yang tampak oleh mata misalnya; tidak mencelakai orang lain, perilaku dan tutur
kata menentramkan, sopan dan santun, wajah ramah, ngadi busana atau cara berpakaian
yang pantas dan luwes menghargai badan.Akan tetapi perilaku tersebut belum
tentu dilakukan secara sinkron dengan BAWA-nya. BAWA yakni “perilaku” batiniah
yang tidak tampak oleh mata secara visual.
Titik Lemah
Pada
tataran awal ini meskipun seseorang seolah-olah terkesan baik namun belum
menjamin pencapaian tataran spiritual yang memadai, dan belum tentu diberkahi
Tuhan. Sebab seseorang melakukan kebaikan terkadang masih diselimuti rahsaning
karep atau nafsu negatif; rasa ingin diakui, mendapat nama baik atau pujian.
Bahkan seseorang melakukan suatu kebaikan agar kepentingan pribadinya dapat
terwujud. Maka akibat yang sering timbul biasanya muncul rasa kecewa,
tersinggung, marah, bila tidak diakui dan tidak mendapat pujian. Kebaikan
seperti ini boleh jadi bermanfaat dan mungkin baik di mata orang lain. Akan
tetapi dapat diumpamakan belum mendapat tempat di “hati” Tuhan. Kredit point
nya masih nihil.
Banyak
orang merasa sudah berbuat baik, beramal, sodaqah, suka menolong, membantu
sesama, rajin doa, sembahyang. Tetapi sering dirundung kesialan, kesulitan,
tertimpa kesedihan, segala urusannya mengalami kebuntuan dan kegagalan. Lantas
dengan segera menyimpulkan bahwa musibah atau bencana ini sebagai cobaan (bagi
orang-orang beriman).
Pada
tataran ini, seseorang masih rentan dikuasai nafsu ke-aku-an (api/nar/iblis).
Diri sendiri dianggap tahu segala, merasa suci dan harus dihormati. Siapa yang
berbeda pendapat dianggap sesat dan kafir. Konsekuensinya; bila memperdebatkan
(kulit luarnya) ia menganggap diri paling benar dan suci, lantas muncul sikap
golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe. Ini sebagai ciri
seseorang yang belum sampai pada intisari ajaran yang dicarinya. Durung becus
keselak besus !
TINGKAT 2 (Ning; sembah kalbu)
Wening
atau hening; ibarat mati sajroning urip; kematian di dalam hidup. Tataran ini
sepadan dengan tarekat. Menggambarkan keadaan hati yang selalu bersih dan
batinnya selalu eling lan waspadha. Eling adalah sadar dan memahami akansangkan
paraning dumadi (asal usul dan tujuan manusia) yang digambarkan sebagai
“kakangne mbarep adine wuragil”
Waspadha
terhadap apa saja yang dapat menjadi penghalang dalam upaya “menemukan” Tuhan
(wushul). Yakni penghalang proses penyelarasan kehidupan sehari-hari (sifat
zat) dengan sifat hakekat (Tuhan). Ning dicapai setelah hati dapat dilibatkan
dalam menjalankan ibadah tingkat awal atau Neng; yakni hati yg ikhlas dan
tulus, hati yang sudah tunduk dan patuh kepada sukma sejati yang suci dari
semua nafsu negatif. Hati semacam ini tersambung dengan kesadaran batin maupun
akal budi bahwa amal perbuatan bukan semata-mata mengaharap-harap upah (pahala)
dan takut ancaman (neraka). Melainkan kesadaran memenuhi kodrat Tuhan, serta
menjaga keharmonisan serta sinergi aura magis antara jagad kecil (diri pribadi)
dan jagad besar (alam semesta). Tataran ini dicapai melalui empat macam
bertapa; tapa ngeli, tapa geniara, tapa banyuara, tapa mendhem atau ngluwat.
1.
Tapa ngeli; harmonisasi
vertikal dan horisontal. Yakni berserah diri dan menselaraskan dengan kehendak
Tuhan. Lalu mensinergikan jagad kecil (manusia) dengan jagad besar (alam
semesta).
2.
Tapa geniara; tidak terbakar
oleh api (nar) atau nafsu negatif yakni ke-aku-an. Karena ke-aku-an itu tidak
lain hakekat iblis dalam hati.
3.
Tapa banyuara; mampu menyaring
tutur kata orang lain, mampu mendiagnosis suatu masalah, dan tidak mudah
terprovokasi orang lain. Tidak bersikap reaksioner (ora kagetan), tidak
berwatak mudah terheran-heran (ora gumunan)
4.
Tapa mendhem; tidak
membangga-banggakan kebaikan, jasa dan amalnya sendiri. Terhadap sesama selalu
rendah hati, tidak sombong dan takabur. Sadar bahwa manusia derajatnya sama di
hadapan Tuhan tidak tergantung suku, ras, golongan, ajaran, bangsa maupun
negaranya. Tapa mendhem juga berarti selalu mengubur semua amal kebaikannya
dari ingatannya sendiri.
Dengan
demikian seseorang tidak suka membangkit-bangkit jasa baiknya. Kalimat pepatah
Jawa sbb: tulislah kebaikan orang lain kepada Anda di atas batu, dan tulislah
kebaikan Anda pada orang lain di atas tanah agar mudah terhapus dari ingatan.
Titik Lemah
Jangan
lekas puas dulu bila merasa sudah sukses menjalankan tataran ini. Sebab
pencapaian tataran kedua ini semakin banyak ranjau dan lobang kelemahan yang
kapan saja siap memakan korban apabila kita lengah. Penekanan di sini adalah
pentingnya sikap eling dan waspadha. Sebab kelemahan manusia adalah lengah,
lalai, terlena, terbuai, merasa lekas puas diri. Tataran kedua ini melibatkan
hati dalam melaksanakan segala kebaikan dalam perbuatan baik sehari-hari. Yakni
hati harus tulus dan ikhlas. Namun..ketulusan dan keikhlasan ini seringkali
masih menjadi jargon, karena mudah diucapkan oleh siapapun, sementara
pelaksanaannya justru keteteran. Dalam falsafah hidup Kejawen,setiap saat orang
harus selalu belajar ikhlas dan tulus setiap saat sepanjang usia.
Belajar
ketulusan merupakan mata pelajaran yang tak pernah usai sepanjang masa. Karena
keberhasilan Anda untuk tulus ikhlas dalam tiap-tiap kasus belum tentu berhasil
sama kadarnya. Keikhlasan dipengaruhi oleh pihak yang terlibat, situasi dan
kondisi obyektifnya, atau situasi dan kondisi subyek mental kita saat itu.
TINGKAT 3 (Nung; sembah cipta)
Kesinungan
; yakni dipercaya Tuhan untuk mendapatkan anugrah tertentu. Orang yang telah
mencapai tataranKesinungan dialah yang mendapatkan “hadiah” atas amal kebaikan
yang ia lakukan. Ini mensyaratkan amal kebaikan yang memenuhi syarat, yakni
kekompakan serta sinkronisasi lahir dan batin dalam mewujudkan segala niat baik
menjadi tindakan konkrit. Yakni tindakan konkrit dalam segala hal yang baik
misalnya membantu & menolong sesama. Syarat utamanya; harus dilakukan
terus-menerus hingga menyatu dalam prinsip hidup, dan tanpa terasa lagi menjadi
kebiasaan sehari-hari.
Pencapaian
tataran ini sama halnyalaku hakekat. Laku hakekat adalah meliputi keadaan hati
dan batin; sabar, tawakal, tulus, ikhlas, pembicaraannya menjadi kesejatian
(kebenaran), yang sejati menjadi kosong, hilang lenyap menjadi ada. Tataran ini
ditandai oleh pencapaian kemuliaan yang sejati, seseorang mendapatkan
kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan kelak setelah ajal.
Pada
tahap ini manusia sudah mengenal akan jati dirinya dan mengenal lebih jauh
sejatinya Tuhan. Manusia yang telah lebih jauh memahami Tuhan tidak akan
berfikir sempit, kerdil, sombong, picik dan fanatik. Tidak munafik dan
menyekutukan Tuhan. Ia justru bersikap toleran, tenggang rasa, hormat
menghormati keyakinan orang lain.
Sikap
ini tumbuh karena kesadaran spiritual bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata
bersumber pada Yang Maha Tunggal, hakekatnya adalah sama. Cara atau jalan mana
yang ditempuh adalah persoalan teknis. Banyaknya jalan atau cara menemukan
Tuhan merupakan bukti bahwa Tuhan itu Mahaluas tiada batasnya. Ibarat sungai
yang ada di dunia ini jumlahnya sangat banyak dan beragam bentuknya; ada yang
dangkal, ada yang dalam, berkelok, pendek dan singkat, bahkan ada yang lebar
dan berputar-putar. Toh semuanya akan bermuara kepada Yang Tunggal yakni
“samudra luas”.
NAH,
orang seperti ini akan “menuai” amal kebaikannya. Berkat rumus Tuhan di mana
kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Kebaikan yg anda berikan, “buahnya” akan
anda terima pula. Namun demikian kebaikan yang anda terima belum tentu datang
dari orang yang sama, malah biasanya dari pihak lainnya. Kebaikan yang anda
peroleh itu merupakan “buah” dari “pohon kebaikan” yang pernah anda tanam
sebelumnya. Selebihnya, kebaikan yang anda lakukan akan menjadi pagar gaib yang
selalu menyelimuti diri anda.
Singkat
kata, pencapaian Nung, ditandai dengan diperolehnya kemudahan dan hikmah yang
baik dalam segala urusan. Pagar gaib itu akan membuat kita tidak dapat
dicelakai orang lain. Sebaliknya selalu mendapatkan keberuntungan. Dalam
terminologi Jawa inilah yang disebut sebagai “ngelmu beja”.
Untuk
meraih tataran ini, terlebih dahulu kita harus mengenal jati diri secara benar.
Dalam diri manusia setidaknya terdapat 7 lapis bumi yang harus diketahui
manusia. Jika tidak diketahui maka menjadi manusia cacad dan akan gagal
mencapai tataran ini. Bumi 7 lapis tersebut adalah ; retna, kalbu, jantung,
budi, jinem, suksma, dan ketujuhnya yakni bumi rahmat.
1.
Bumi Retna; jasad dan dada manusia sesungguhnya istana
atau gedung mulia.
2.
Bumi Kalbu; artinya istana iman sejati.
3.
Bumi Jantung; merupakan istana semua ilmu.
4.
Bumi budi; artinya istana puji dan zikir.
5.
Bumi Jinem; istananya kasih sayang sejati.
6.
Bumi suksma; yakni istana kesabaran dan rasa sukur
kepada Tuhan; sukma sejati.
7.
Bumi Rahmat; istana rasa mulia; rahsa sejati.
Titik Lemah
Nung,
setara dengan Hakekat, di sini ibarat puncak kemuliaan. Semakin tinggi tataran
spiritual, maka sedikit saja godaan sudah dapat menggugurkan pencapaiannya.
Maka, semakin tinggi puncak dan kemuliaan seseorang ; maka semakin besar resiko
tertiup angin dan jatuh. Seseorang yang merasa sudah PUAS dan BANGGA dengan
pencapaian hakekat ini bersiko terlena. Lantas menganggap orang lain remeh dan
rendah.
Yang
paling berbahaya adalah menganggap tataran ini merupakan tataran tertinggi
sehingga orang tidak perlu lagi berusaha menggapai tataran yang lebih tinggi.
Tingkat 4 (Nang; sembah rahsa)
Nang
merupakan kemenangan. Kemenangan adalah anugrah yanganda terima. Yakni
kemenangan anda dari medan perang. Perang antara nafsu negatif dengan positif.
Kemenangan NUR (cahya sejati nan suci) mengalahkan NAR (api;
ke-aku-an/”iblis”). Manusia NAR adalah seteru Tuhan (iblis laknat). SEBALIKNYA;
manusia NUR adalah memenuhi janji atas kesaksian yg pernah ia ucapkan di mulut
dan hati. Manusia NUR memenuhi kodratnya ke dalam kodrat Ilahi, sipat zat yg
mengikuti sifat hakekat, menselaraskan gelombang batin manusia dengan gelombang
energi Tuhan.
Sifat
zat (manusia) menyatu dengan sifat hakekat (Tuhan) menjadi “loroning atunggil“.
Yang menjadi jumbuh (campur tak bisa dipilah) antara kawula dengan Gusti.
Inilah pertanda akan kemenangan manusia dalam “berjihad” yang sesungguhnya.
Yakni kemenangan terindah dalam kemanunggalan; “manunggaling kawula-Gusti“.
Bila Anda muslim, di situlah tatar makrifat dapat ditemukan.
MENGENALI JATI DIRI
Hakekat Neng, Ning, Nung, Nang
Siapa
sejatinya diri kita sebagai manusia ? Pertanyaan ini sederhana, dapat
dikemukakan jawaban paling sederhana, maupun jawaban yang lebih rumit dan
rinci. Jawaban masing-masing orang tidak bisa diukur secara benar-salah. Cara
menjawab siapa diri manusiahanya akan mencerminkan tingkat pemahaman seseorang
terhadap kesejatian Tuhan. Hal ini sangat dipermaklumkan karena berkenaan
dengan eksistensi Tuhan sendiri yang begitu penuh dengan misteri besar. Upaya
manusia mengenali Sang Pencipta, ibarat jarum yang menyusup ke dalam samudra
dunia. Yang hanya mengerti atas apa yang bersentuhan dengannya. Itupun belum
tentu benar dan tepat dalam mendefinisikan. Tuan memang lebih dari Maha Besar.
Sedangkan manusia hanya selembut molekul garam. Begitulah jika diperbandingkan
antara Tuhan dengan makhlukNya. Namun begitu kiranya lebih baik mengerti dan
memahamiNya sekalipun hanya sedikit dan
kurang berarti, ketimbang tidak samasekali.
Secara
garis besar dalam diri manusia memiliki dua unsur entitas yang sangat berbeda.
Dalam pandangan ekstrim dikatakan dua unsur pembentuk manusia saling
bertentangan satu sama lainnya. Tetapi kedua unsur tidak dapat dipisahkan,
karena keduanya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Terpisahnya di
antara kedua unsur pembentuk manusia akan merubah eksistensi ke-manusia-an itu
sendiri. Yakni di satu sisi terjadi
kerusakan/pembusukan dan di sisi lain keabadian.
Umpama
batu-baterai yang memiliki dua dimensi berbeda yakni fisiknya dan energinya.
Kedua dimensi itu menyatu menjadi eksistensi batu-baterai berikut fungsinya.
Dua unsur dalam manusia yakni; immaterial dan material, metafisik dan fisik,
roh dan jasad, rohani dan jasmani, unsur Tuhan dan unsur bumi (unsur gaib dan
unsur wadag). Marilah kita urai satu persatu kedua unsur pembentuk eksistensi
manusia tersebut.
Unsur Bumi
Jasad
manusia wujudnya disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah,
udara, api). Unsur air dan tanah dalam tubuh terurai secara alami melalui
proses ilmiah (rumus ilmu pengetahuan manusia) dan rumus alamiah (yang sudah
berproses melalui rumus-rumus buatan Tuhan).
Unsur tanah dan air yang sudah berproses akan berubah bentuk dan
wujudnya sebagai bahan baku utama jasad yang terdiri dari empat unsur yakni ;
daging, tulang, sungsum dan darah. Sedangkan unsur udara akan berproses menjadi
kegiatan bernafas, lalu berubah menjadi molekul oksigen dalam darah dan sel-sel
tubuh. Unsur api akan menjadi alat pembakaran dalam proses produksi jasad,
tenaga, energi magnetis, dan semua energi yang terlibat dalam memproses atau
mengolah unsur tanah dan air menjadi bahan baku jasad.
Jasad
wadag menurut istilah barat sebagai body atau corpus, merupakan wadah atau
bungkus unsur Tuhan dalam diri manusia. Unsur wadah tidak bersifat langgeng
(baqa’), sebab unsur wadah terdiri dari bahan baku bumi, maka ia terkena rumus
mengalami kerusakan sebagaimana rumus bumi.
Unsur Tuhan
Sebaliknya,
unsur Tuhan bersifat kekal abadi tidak terjadi rumus kerusakan. Unsur Tuhan
(Zat Tuhan) dalam tubuh manusia diwakili oleh metafisik manusia yakni unsur roh
(spirit atau spiritus). Roh merupakan
derivasi unsur Tuhan yang paling paling akhir dan paling erat dengan bahan baku
metafisik manusia (Baca Posting; Mengungkap Misteri Tuhan). Dan spirit
diartikan sebagai roh, ruh atau sukma. Roh bersifat suci (roh kudus/ruhul
kuddus), tidak tercemar oleh “polusi” dan kelemahan-kelemahan duniawi. Karakter
roh adalah berkiblat atau berorientasi kepada martabat kesucian Tuhan. Arti
kata roh sangat berbeda dengan entitas jiwa (soul), hawa atau nafas (nafs),
animus atau anemos (Yunani), dalam bahasa Jawa apa yang lazim disebut nyawa.
Sekalipun berbeda istilah, tetapi memiliki makna yang nyaris sama.
Pertemuan Unsur Bumi dan Unsur Tuhan
Dalam
tubuh manusia terdiri atas dua unsur besar yakni unsur bumi dan unsur Tuhan. Di
antara kedua unsur tersebut terdapat
“bahan penyambung”, dalam literatur barat disebut soul atau jiwa (yang ini
terasa kurang pas), Islam; nafs, Yunani; anemos, dan dalam bahasa
Indonesia;hawa, Jawa; nyawa (badan alus). Hawa, jiwa, anemos, soul, atau nyawa
merupakan satu entitas yang kira-kira tidak berbeda maknanya, berfungsi
sebagai media persentuhan atau “lem
perekat” antara roh (spirit) dengan jasad (body/corpus). Hawa, nafs, anemos,
soul, jiwa, nyawabermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam
corpus (wadah atau bungkus).
Dalam
khasanah hermeneutika dan bahasa yang ada di nusantara tampak simpang siur dan
tumpang tindih dalam memaknai jiwa, sukma, roh, dan nyawa. Ini sekaligus
membuktikan bahwa memahami unsur Tuhan dalam diri manusia memang tidak
sederhana dan semudah yang disebutkan. Karena obyeknya bersifat gaib, bukan
obyek material. Cara pandang dan penafsiran dari sisi yang berbeda-beda, menimbulkan konsekuensi beragamnya makna yang
kadang justru saling kontradiktif.
Dengan alasan tersebut akan saya paparkan lebih jelas pemetaan tentang
jiwa atau hawa dari sudut pandang budi-daya yang diperoleh melalui berbagai
pengalaman obyek metafisika, dan intuisi, agar lebih netral dan mudah dipahami
oleh siapa saja tanpa membedakan latar belakang agama. Dengan asumsi tersebut
diperlukan perspektif yang sederhana namun
mudah dipahami. Kami akan memaparkan melalui perspektif Javanism atau kejawen,
dengan cara penulisan yang sederhana dan “membumi”.
Hubungan Unsur Tuhan dengan Unsur Bumi dalamLaku Prihatin
Setiap
bayi lahir memiliki tingkat kesucian yang dapat diumpamakan sebagai kertas
putih bersih. Kesucian berada dalam wahana nafs atau hawa yang masih bersih
belum tercemar oleh “polusi” keduniawian. Hawa/nyawa/nafs diuji bolak-balik di
antara dua kutub; yakni kutub jasmaniah yang berpusat di jasad (corpus) dan
kutub ruhaniyah yang berpusat pada roh (spirit). Unsur roh bersifat suci dan
tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material duniawi (dosa). Roh suci
sebagai “utusan” Tuhan dalam diri manusia yang dapat membawa ketetapan/pedoman
hidup. Sehingga roh dapat berperan sebagai obor yang memancarkan cahaya
(spektrum) kebenaran dari Tuhan. Dalam perspektif Jawa roh suci (utusan Tuhan)
tidak lain adalah apa yang disebut sebagai Guru Sejati. Guru Sejati tampil
sebagai juru nasehat untuk hawa, jiwa atau nafs.
Hawa Nafsu ; Ibarat Satu Keping Mata Uang
Hawa
(nafs) atau jiwa yang tunduk kepada roh suci (guru sejati) akan menghasilkan
hawa (nafs) yang disebut nafsu positif –meminjam istilah Arab— sebagai an-nafs
al-muthmainah.. Sebaliknya jiwa atau hawa yang tunduk pada keinginan jasad
disebut sebagai nafsu negatif. Nafsu negatif terdiri tiga macam; nafsu
lauwamah(kepuasan biologis; makan, minum, tidur dst), nafsuamarah
(amarah/angkara murka), dan nafsu sufiyah(mengejar kenikmatan psikis; contohnya
seks, sombong, narsism, gemar dipuji-puji). Hawa memiliki dua kutub nafsu yang
bertentangan ibarat satu keping mata uang yang memiliki dua sisi. Akan tetapi
kedua sisi tidak dapat dipisahkan atau dilihat secara berbarengan. Apabila kita
ingin menampilkan gambar angka, maka letakkan nilai nominal di sisi atas,
sebaliknya jika kita berkehendak melihat gambar burung kita letakkan gambar
angka di bawah. Apabila seseorang mengaku bisa melihat kedua sisi satu keping
mata uang dalam waktu yang sama, maka seseorang dikatakan berjiwa munafik alias
kehidupan yang palsu hanya berdasarkan pengaku-akuan bohong.
Manusia Bebas Memilih
Pada
setiap bayi lahir, Tuhan telah menciptakan hawa dalam keadaan putih/suci.
Manusia memiliki kebebasan menentukan apakah hawa nafsunya akan berkiblat
kepada kesucian yang bersumber pada roh suci (ruhul kuddus), atau sebaliknya
ingin berkiblat kepada kemungkaran jasad/raga (unsur duniawi).Apabila seseorang
berkiblat pada kemungkaran akan menjadi seteru Tuhan dan memiliki konsekuensi
(dosa/karma/hukuman) yang akan dirasakan kelak setelah menemui ajal (akhirat),
bisa juga dirasakan sewaktu masih hidup di dunia.
Maka
peranan semua agama yang ada di muka bumi adalah pendidikan yang ditujukan
kepada hawa/nafs/jiwa manusia agar selalu berkiblat kepada rumus Tuhan atau
qodratullah. Sumber dari ilmu dan “rumus
Tuhan” (qodratullah) bisa kita temukan dalam “perpustakaan” atau gudang ilmu
yang terdekat dengan diri kita, yakni roh suci
(Ruhul-Kuddus/Guru-Sejati/Sukma-Sejati/Rahsa-Sejati.
Kadang
kala Tuhan Maha Pemurah menganugerahkan seseorang untuk mendapat “bocoran soal”
akan rahasia “ilmu Tuhan” melalui pintu hati (qalb) yang di sinari oleh cahyo
sejati (nurullah). Yang lazim disebut sebagai ungkapan dari (hati) nurani.
Petunjuk dari Tuhan ini diartikan sebagai wirayat, wahyu, risalah, sasmita
gaib, ilham, wisik dan sebagainya. Dalam posting ini kami tidak membahas model
dan macam petunjuk Tuhan tersebut.
Laku Prihatin adalah Jihad Sejati
“Penundukan”
roh terhadap hawa nafsu negatif adalah penundukkan terhadap segala yang
berhubungan dengan material (syahwat) atau kenikmatan ragawi. Dengan kata lain yakni penundukan unsur
“Tuhan” terhadap unsur bumi. Dalam ilmu
Jawa dikatakan sebagai jiwa yang tunduk pada kareping rahsa / rasa sejati
(kehendak Guru Sejati/kehendak Tuhan), serta meredam rahsaning karep (kemauan
hawa nafsu negatif). Segenap upaya yang mendukung proses “penundukan” unsur
Tuhan terhadap unsur bumi dalam khasanah Jawa disebut sebagai laku prihatin.
Dengan laku prihatin, seseorang berharap jiwanya tidak dikendalikan oleh
keinginan jasad. Maka di dalam khasanah spiritual Kejawen, laku prihatin
merupakan syarat utama yang harus dilakukan seseorang menggapai tingkatan
spiritualitas sejati.
Seperti
ditegaskan dalam serat Wedhatama (Jawa; Wredhotomo) karya KGPAA Mangkunegoro
IV; bahwa ngelmu iku kalakone kanthi laku. Laku prihatin dalam istilah Arab
sebagai aqabah, yakni jalan terjal mendaki dan sulit, karena seseorang yang
menjalani laku prihatin harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa
nafsu yang negatif. Di mana ia sebagai sumber kenikmatan keduniawian. Maka apa
yang disebut sebagai Jihad yang sesungguhnya adalah perang tanding didalam
kalbu antara tentara nafsu positif
menawan tentara nafsu negatif. Disebut kemenangan dalam berjihad apabila
seseorang telah berhasil “meledakkan bom” di pusat kekuasaan setan (hawa nafsu
negatif) dalam hati kita. “Bahan peledaknya” bernama laku prihatin dan
olah batin (wara’dan amr ma’ruf nahi munkar).
Target Utama dalam “Berjihad” (Laku Prihatin)
Perjalanan
spiritual dalam bentuk laku prihatin, mempunyai target membentuk hawa nafsu
positif ataunafsul muthmainnah. Karena si nafs atau hawa tersebut telah stabil
dalam koridor rumus Tuhan (qodrat atau
qudrah diri) atau dalam bahasa sansekerta lazimnya disebut sebagai swadharma. Roh yang berada
pada tataran pencapaian ini, dalam bahasa Ibrani, ruh disebut sebagai syekinah
yang diturunkan ke dalam kalbu dan berhasil merebut (amr) kebaikan (ma’ruf).
Jika hawa tidak berdaya karena kuatnya arus nafsu negatif yang dimasukkan jasad
lewat pintu panca indera, maka
kepribadian manusia dikuasai oleh “milisi” kekuatan batin yang oleh Freud
diberi nama ego.
Ego
cenderung berkiblat pada jasad (duniawi). Maka sudah menjadi tugas hawa (id)
untuk membangkang dari keinginan ego agar supaya membelot kepada kekuatan hawa
positif (super ego). Hasilnya maka manusia dapat dikendalikan sesuai dengan
kodrat dirinya sebagai khalifah Tuhan. Jadilah manusia yang tetap berada pada
orbitNya (qodrat/rumus Tuhan), yakni apa yang dimaksud menjadi titah jalma
menungsa kang sejati, yaiku nggayuh kasampurnaning gesang,(untuk meraih) sastra
jendra hayuningrat pangruwating diyu.
Sangat
terasa bahwa Tuhan sungguh lebih dari Maha Adil, setiap manusia tanpa kecuali
dapat menemukan Tuhan melalui pintu nafs, jiwa, atau hawanya masing-masing,
karena Tuhan telah membekali jiwa manusia akan kemampuan menangkap sinyal-sinyal suci dari Hyang Mahasuci.
Sinyal suci yang diletakkan di dalam rahsa sejati (sirullah) dan roh sejati
(ruhullah). Sudah merupakan rumus (Tuhan), apabila seseorang dapat meraih
dharma-nya atau kodrat-dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka kehidupannya
akan selalu menemui kemudahan. Sebaliknya hawa nafsu negatif (setan) senantiasa
menggoda hawa/nafs manusia agar supaya hawanya berkiblat kepada unsur bumi.
Menjadi Pribadi yang Menang
Sepanjang
hidup manusia selalu berada di dalam arena peperangan “Baratayudha/Brontoyudho”
(jihad) antara kekuatan nafsu positif (Pendawa Lima) melawan nafsu negatif (100
pasukan Kurawa). Perang berlangsung di medan perang yang bernama “Padang Kurusetra” (Kalbu). Peperangan
yang paling berat dan merupakan sejatinya perang (jihad fi sabilillah) atau
perang di jalan kebenaran.
Kemenangan
Pendawa Lima diraih tidak mudah. Dan
sekalipun kalah pasukan Kurawa 100 selamanya sulit dibrantas tuntas hingga
musnah. Maknanya sekalipun hawa nafsu positif telah diraih, artinya hawa nafsu
negatif (setan) akan selalu mengincar kapan saja si hawa lengah. Kejawen
mengajarkan berbagai macam cara untuk memenangkan peperangan besar tersebut. Di
antaranya dengan laku prihatin untuk meraih kemenangan melalui empat tahapan yang
harus dilaksanakan secara tuntas.
Empat
tahapan tersebut dikiaskan ke dalam nada suara salah instrumen Gamelan Jawa
yang dinamakan Kempul atau Kenong dan Bonang yang menimbulkan bunyi; Neng,
Ning, Nung, Nang.
1.
Neng; artinya jumeneng, berdiri, sadar
atau bangun untuk melakukan tirakat, semedi, maladihening, atau mesu budi. Konsentrasi untuk membangkitkan kesadaran
batin, serta mematikan kesadaran jasad sebagai upaya menangkap dan
menyelaraskan diri dalam frekuensi
gelombang Tuhan.
2.
Ning; artinya dalam jumeneng kita
mengheningkan daya cipta (akal-budi) agar menyambung dengan daya rasa- sejati
yang menjadi sumber cahaya nan suci. Tersambungnya antara cipta dengan rahsa
akan membangun keadaan yangwening. Dalam keadaan “mati raga” kita menciptakan keadaan batin
(hawa/jiwa/nafs) yang hening, khusuk, bagai di alam “awang-uwung” namun jiwa tetap terjaga dalam kesadaran batiniah.
Sehingga kita dapat menangkap sinyal gaib
dari sukma sejati.
3.
Nung; artinya kesinungan. Bagi siapapun
yang melakukan Neng, lalu berhasil menciptakan Ning, maka akan kesinungan
(terpilih dan pinilih) untuk mendapatkan anugrah agung dari Tuhan Yang
Mahasuci. Dalam Nung yang sejati, akan datang cahaya Hyang Mahasuci melalui
rahsa lalu ditangkap roh atau sukma sejati, diteruskan kepada jiwa, untuk
diolah oleh jasad yang suci menjadi manifestasi perilaku utama (lakutama).
Perilakunya selalu konstruktif dan hidupnya
selalu bermanfaat untuk orang banyak.
4.
Nang; artinya menang; orang yang terpilih
dan pinilih (kesinungan), akan selalu terjaga amal perbuatan baiknya. sehingga amal perbuatan baik yang tak terhitung lagi akan menjadi benteng untuk
diri sendiri. Ini merupakan buah kemenangan dalam laku prihatin. Kemenangan yang berupa anugrah, kenikmatan,
dalam segala bentuknya serta meraih kehidupan sejati, kehidupan yang dapat
memberi manfaat (rahmat) untuk seluruh
makhluk serta alam semesta. Seseorang akan meraih kehidupan sejati, selalu
kecukupan, tentram lahir batin, tak bisa dicelakai orang lain, serta selalu
menemukan keberuntungan dalam hidup (meraih ngelmu beja).
Neng
adalah syariatnya, Ning adalah tarekatnya, Nung adalah hakekatnya, Nang adalah
makrifatnya. Ujung dari empat tahap tersebut adalah kodrat (sastrajendra
hayuning Rat pangruwating diyu).