Ki Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran Sekilas Petilasan di Sedayu Lamongan
Di Desa Brondong Sedayu Lawas, atau Paciran Lamongan tepi laut utara Jawa.
Kiyahi Ageng Brondong memiliki keturunan Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro I, Bupati Sidoarjo yang pertama, diambil dari silsilah pangeran Lanang Dangiran Kyai Ageng Brondong kang sumareh ing pesarehan sentono Botoputih Surabaya. Pangeran Lanang Dangiran Kiyahi Ageng Brondong.
Kang Sumareh Ing Pesarehan “Sentono Boto Putih” Surabaya Riwayat Hidup Kiyahi Ageng Brondong Botoputih Suroboyo.
Konon dituturkan Pangeran Kedawung, disebut juga Sunan Tawangalun adalah raja di Blambangan atau dikatakan juga Bilumbangan.
Pangeran Kedawung, disebut juga Sunan Tawangalun adalah raja di Blambangan atau dikatakan juga Bilumbangan mempunyai 5 orang anak dan diantaranya ialah Pangeran Lanang Dangiran.
Sejarah diceritakan bahwa Lanang Dangiran pada usia 18 tahun bertapa / laku larung dilaut dan menghanyutkan dirinya diatas sebuah papan kayu sebuah beronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan atau minum, arus air laut dan gelombang membawa Pangeran Lanang Dangiran hingga dilaut Jawa dan akhirnya suatu taupan pusaran air laut dan gelombang besar melemparkan Pangeran Lanang Dangiran dengan beronjongnya dalam keadaan tidak sadar, disebabkan karena berbulan-bulan tidak makan dan minum, dipantai dekat Sedayu.
Seluruh badannya telah dilekati oleh karang, keong serta karang-karang (remis) sehingga badan manusia itu seolah-olah ditempeli dengan bakaran jagung yang disebut dengan bahasa Jawa “Brondong” Badan Pangeran Lanang Dangiran diketemukan oleh seorang kiyahi yang bernama Kiyahi Kendil Wesi.
Pangeran Lanang Dangiran dirawat oleh Kiyahi Kendil Wesi serta istrinya dengan penuh kasih sehingga sadar kembali dan akhirnya menjadi sehat seperti sediakala.
Pangeran Lanang Dangiran menceritakan asal-usulnya kepada Kiyahi Kendil Wesi.
Setelah Kiyahi Kendil Wesi mendapat keterangan tentang asal usulnya Pangeran Lanang Dangiran, maka diceritakan oleh Ki Kendil Wesi tadi bahwa Ki Kendil Wesi juga berasal dari keturunan dan raja-raja di Blambangan yang bernama Menak Soemandi dimana beliau masih satu keturunan dengan Pangeran Lanang Dangiran.
Pangeran Lanang Dangiran tinggal dan kumpul dengan Ki Kendil Wesi, dan dianggap sebagai anaknya Ki Kendil Wesi sendiri.
Pangeran Lanang Dangiran memeluk agama Islam, karena rajin dan keteguhan imannya serta keluhuran budinya serta kesucian hatinya, maka tidak lama pula ia dapat tampil kemuka sebagai guru agama Islam, Pangeran Lanang Dangiran berisitrikan putri dan Ki Bimotjili dan Panembahan di Cirebon yang asal usulnya dituliskan sebagai berikut :
Pangeran Kebumen Bupati Semarang, berisitrikan putri dan Sultan Bojong, bernama Prabu Widjaja (Djoko Tingkir).
Ki Bomotjili adalah salah satu seorang putra dan Pangeran Kebumen tersebut diatas, seorang putri Ki Bimotjili bersuamikan Pangeran Lanang Dangiran alias Ki Ageng Brondong (dimakamkan di Boto Putih).
Nama Brondong diperoleh karena ia diketemukan oleh Kiyahi Kendil Wesi badannya dilekati dengan “Brondong” Kiyahi Kendil Wesi yang waspada dan mengetahui nasib seseorang, mengatakan kepada Lanang Dangiran yang sudah mendapat sebutan Kiyahi Brondong dan masyarakat sekitar tempat Ki Kendil Wesi, supaya pergi ke Ampel Dento Suroboyo, dan meluaskan ajaran agama Islam, karena di Surabaya Ki Ageng Brondong kelak akan mendapat kebahagiaan serta turun temurunnya kelak akan timbul dan tambah menjadi orang-orang yang mulya.
Kemudian Kiyahi Brondong dengan istrinya dan beberapa anaknya yang masih kecil pergi ke Surabaya dan pada Tahun 1595 menetap diseberang timur kali Pegiri’an, dekat Ampel ialah Dukuh Boto Putih (Batu Putih) ditempat baru inilah Kiyahi Brondong mendapatkan martabat yang tinggi dan masyarakat, karena keluhuran budinya Kiyahi Brondong (pangeran Lanang Dangiran) wafat pada tahun 1048H / 1638M dalam usia + 70 tahun dan meninggalkan 7 orang anak, diantaranya 2 orang laki-laki yaitu :
Honggodjoyo dan Honggowongso
Imajiner Nuswantoro