SITUS UMPAK SONGO & JAKA UMBARAN (MENAK JINGGO)
Sembilan batu besar yang menyerupai bentuk kubus dengan lubang di bagian tengah itu tertata di sebuah pekarangan dengan pembatas pagar tembok setinggi satu meter. Beberapa pohon tumbuh di sekitar bebatuan itu. Jika tidak ada papan bercat putih dengan tulisan Situs Umpak Songo, bisa jadi lokasi ini tidak banyak dikenal masyarakat. Padahal, lokasi ini menjadi salah satu perjalanan penting Kerajaan Blambangan dalam peperangan melawan pasukan VOC Belanda.
Umpak Songo adalah tumpukan batu berlubang mirip penyangga tiang bangunan yang berjumlah sembilan. Umpak berarti tangga dan Songo berarti sembilan. Situs yang terletak di Tembokrejo, Kecamatan Muncar ini adalah sisa-sisa Kerajaan Blambangan ketika ibukota kerajaan pindah ke Ulupampang (kini Muncar) setelah Blambangan dipecah menjadi dua yakni Blambangan barat dan Blambangan timur pasca pemberontakan Jagapati terhadap VOC pada Oktober 1772.
Situs Umpak Songo adalah runtuhan bangunan yang menyisakan 49 batu besar dengan sembilan batu di antaranya memiliki lubang pada bagian tengah yang diduga berfungsi sebagai penyangga atau umpak. Situs ini diduga bekas balai pertemuan antara Bupati Blambangan, Mas Alit (Raden Tumenggung Wiraguna) dengan bawahannya. "Situs ini bagian penting Kerajaan Blambangan,".
Balai pertemuan ini terbengkalai sejak Mas Alit memindahkan ibukota Blambangan ke lokasi yang kini menjadi pendopo Kabupaten Banyuwangi pada 20 November 1774. Reruntuhan balai ini ditemukan kembali oleh Mbah Nadi Gede, warga Bantul, Yogayakarta pada tahun 1916 saat membuka hutan dalam kondisi tertimbun tanah.
Situs Umpak Songo ditemukan Mbah Nadi Gede pada tahun 1916
Mbah Nadi Gede adalah leluhur Soimin bersama adiknya, Hartono. Menurut versi ceritanya sebagai berikut :
Situs Umpak Songo dulunya sebagai bangunan Kerajaan Blambangan.
Prabu Menak Jingga sebagai salah satu rajanya diyakini sebetulnya berhak menduduki takhta Majapahit. Namun, Menak Jinggo dikalahkan tokoh Damar Wulan.
Menak Jingga dan Kerajaan Blambangan hanya legenda yang terinspirasi dari pertikaian keluarga Kerajaan Majapahit. Pertikaian ini bersumber pada perebutan kekuasaan antara Bhre Wirabhumi (anak kandung Raja Majapahit Hayam Wuruk dari perkawinannya dengan istri selir) dan Bhra Hyan Wisesa atau Wikramawardhana (keponakan Hayam Wuruk).
Wikramawardhana waktu itu menikah dengan Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk dari istri permaisuri.
Dari pertikaian itu muncul peperangan paregreg atau perang saudara hingga berakhirnya Kerajaan Majapahit.
Saat itu, Bhre Wirabhumi diberi kekuasaan di kedhaton wetan atau kerajaan wilayah timur yang membentang dari Lumajang sampai Blambangan.
Sosok Bhre Wirabhumi menjadi inspirasi kemunculan legenda Prabu Menak Jingga dari Blambangan.
Prabu Menak Jingga tidak pernah menjadi raja Majapahit. Dalam buku yang ditulis Hasan, Masa Akhir Majapahit (2012), kronologi raja-raja Majapahit berawal dari Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) yang berkuasa pada 1293-1309. Rajasanagara atau Hayam Wuruk menjadi Raja Majapahit keempat pada 1350-1389.
Wikramawardhana menjadi raja kelima pada 1389-1429. Ia digantikan Raja Suhita, 1429-1447. Majapahit bertahan hingga raja ke-12, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, 1474-1519. ”Penyebab runtuhnya Majapahit adalah perpecahan keluarga kerajaan,”
Situs Umpak Songo berada tidak jauh dari pelabuhan nelayan tradisional terbesar kedua di Indonesia, yaitu Pelabuhan Muncar. Situs ini berupa susunan tiga kali tiga umpak yang sedikit janggal karena berjarak terlalu rapat, yakni sekitar 2 meter. Umpak di situs itu berupa batu besar dengan lubang kotak di bagian atasnya.
Umpak biasanya digunakan sebagai fondasi tiang bangunan pada bangunan tradisional masyarakat Jawa yang berupa joglo. Umpak yang banyak ditemui di Jawa Tengah dan Jawa Timur biasanya dibentuk rapi menyerupai piramida.
Berbeda dengan umpak yang banyak ditemui sekarang, bentuk umpak di Situs Umpak Songo tidak beraturan. Umpak-umpak itu sepertinya masih alami, belum dibentuk.
Catatan tentang Kerajaan Blambangan menyebutkan, bahwa kerajaan itu berdiri pada tahun 700 dan bubar pada tahun 1400. Lokasinya ditinggalkan orang dan menjadi hutan selama 516 tahun.
Baru pada tahun 1916, lokasi itu ditemukan oleh Mbah Nadi Gede.
Umpak Songo, Simbol Kerukunan Islam-Hindu
Batu-batu pondasi berukuran sedang hingga besar yang berlubang di tengah tersusun membentuk formasi sebuah pondasi bangunan. Deretan batu fondasi, yang oleh orang Jawa disebut umpak, itu masih rapih ditemui di Dusun Krajan, Desa Tembokrejo, Banyuwangi, Jawa Timur. Ada pula anak-anak tangga dari batu bata ukuran besar mengelilingi tanah gundukan.
Itulah kawasan Umpak Songo. Diduga, kompleks itu dahulunya merupakan bangunan utama Kerajaan Blambangan era terakhir. Umpak Songo berinilai sejarah penting karena jadi simbol kerukunan antara umat Islam-Hindu. Kedua umat sama-sama merasa memilikinya tanpa konflik.
KISAH RAJA SIUNG WANORO DAN KEBO MARCUET
Dikisahkan pula, berawal dari kunjungan seorang raja dari Solo, Mangku Bumi IX, diketahui Kerajaan Blambangan mengalami pergantian raja sebanyak lima kali.
Mereka antara lain Raja Siung Manoro yang berasal dari Kediri.
Ada pula Raja Kebo Mancuet dari Bali yang memiliki tanduk.
Kebo Mancuet adalah anak Raja Kelungkung di Bali. Karena memiliki tanduk, ia dibuang oleh ayahnya ke Alas Purwo di Banyuwangi dan dirawat oleh Ki Ayah Pamengger, eyang dari Menak Jingga, yang dikenal pada masa mudanya sebagai Joko Umbaran.
Pada masa Kebo Mancuet berkuasa, disebutkan bahwa ratu dari Majapahit, Kencana Wungu, membuat sayembara, ”Barangsiapa membunuh Kebo Mancuet, ia akan diberi Tanah Blambangan dan menikah dengan Kencana Wungu.”
Banyak peserta sayembara gugur, tetapi Joko Umbaran berhasil membunuh Kebo Mancuet.
Sayangnya, dalam pertarungan itu, wajah Joko Umbaran menjadi rusak. Joko Umbaran pun akhirnya naik menjadi Raja Blambangan dan mendapat gelar Menak Jingga.