Wirid Hidayat Jati
Wirid
Hidayat Jati adalah Sebuah kitab mistik yang dibuat oleh pujangga terkenal R.
Ng. Ranggawarsita. Kitab ini kadangkala disebut secara singkat dengan nama
Serat Wirit atau Hidayat Jati. Wirid Hidayat jati disusun dalam bentuk prosa
(Jarwa), berisi ajaran mistik yang lengkap, padat, dan bulat. Menurut
penelitian Simuh dalam bukunya Mistik Islam Kejawen Raden Ngabei Ranggawarsita
(1988), ditemukan 4 judul buku Wirit Hidayat Jati, diantaranya :
1.
Serat
Wirid, diterbitkan oleh Administrasi Jawi Khanda, di Surakarta pada tahun 1908.
Dalam buku itu ia menggunakan nama Kiai Ageng Muhammad Sirullah.
2.
Hidyat
Jati, diterbitkan oleh Honggopradoto (Cucu buyut Ranggawarsita) di Surakarta
pada tahun 1941. Sama dengan buku pertama, buku kedua ini juga menggunakan nama
Kiai Ageng Muhammad Sirullah.
3.
Wirid
Hidayat Jati, diterbitkan oleh R. Tanojo di Surakarta tahun 1954.
4.
Serat
Wirid Hidayat Jati, diterbitkan oleh Tan Khoen Swie di Kediri pada tahun 1959.
Pada
akhir kerajaan Demak sampai kerajaan Pajang, delapann wali yang mau memberikan
ajaran wirid yaitu :
1.
Sunan
Parapen, ajarannya tentang bisikan adanya zat,
2.
Sunan
Drajat, ajarannya tentang wahana,
3.
SunanNgatasangin,
penjelasan tentang keadaan zat,
4.
Sunan
Kalijaga, ajarannya tentang susunan singgasana Baitul Makmur,
5.
Sunan
Tambayat, ajarannya tentang singgasana Baitul Muharram,
6.
Sunan
Padusan, ajarannya tentang singgasana Baitul Muqaddas,
7.
Sunan
Kudus, ajarannya tentang peneguh kesentsaan Iman,
8.
Sunan
Geseng, ajarannya tentang sasahidan (persaksian).
Wejangan
(ajaran) itu semua memiliki satu sumber, yaitu ajaran Sunan Ampel di Denta.
Kemudian setelah sampai zaman Mataram, Sultan Agung Anyakrakusuma berkeinginan
menghimpun kedelapan tingkat ajaran tersebut supaya benar isi maksudnya.
Wejangan
yang telah disatukan tadi semuanya bersumber dari kutipan-kutipan kitab
tasawuf. Masing-masing bersandar pada dalil ilmu sebagai petunjuk dalam
menjelaskann firman Tuhan Yang Maha Suci, bahwa manusia itu petampakann diri
(Tajalli) Zat Yang Esa. Itulah yang menjadi inti ilmu makrifat, seperti yang
diajarkan para Nabi dan para wali zaman dahulu. Atas kemauan Sultan Agung di
Mataram ajaran wali tersebut dihimpun menjadi satu, sesuai ilmu makrifat yang
diajarkan. Lama kelamaann ajaran itu terpisah-pisah lagi, sehingga berbeda
isinya, karena banyak orang arif yang menjadi guru dan mengajarkan ilmunya
masing-masing. Karena itu Kiai Ageng Muhammad Sirullah berupaya menyususn
tertib urutan amalan ilmu makrifat.
Permulaan
wirid ini menerangkan secara lengkap tata cara mengajarkan ilmu makrifat untuk
kesempurnaan hidup, yang telah diamalkan para wali, secara terperinci seperti
dibawah ini :
1.
Tata
cara yang wajib dilakukan oleh guru dan murid ialah mengambil air whudu
dan mengucapkan lafaz niat.
2.
Guru
dan murid berpakaian yang serba suci, tidak boleh mengenakan pakaian yang ada
emas nya, utamanya memakai kuluk (tutup kepala). Kemudian ruangan untuk member
wejangan diatur, diberi tumbuh-tumbuhan pada empat penjuru serta diletakkan
tikar yang bersih, di atasnya dibentangkan tikar pasir (tikar dari pandan) yang
masih baru, diatasnya lagi diletakkan kain putih (mori) tujuh lembar,
setidaknya rangkap tiga dan ditaburi aneka ragam bunga. Lalu disiapkan sajian
berupa srikawin yang terdiri atas uang perak seberat satu tahil, diletakkann
dalam satu wadah dengan minyak wangi serta kemenyan seberat satu ringit.
Kemudian ditutup kain putih, disertai pisang raja dua sisir dan daun sirih muda
yang segar, setangkai buah pisang kain putih menjadi dua wadah, serta kembar
mayang sejodoh, disajikan di tempat untuk memberi wejangan. Selanjutnya
ditengah malam ketika orang telah tidur, pergilah ke tempat wejangan. Orang
yang akan diwejang duduk menghadap ke barat, lalu membakar kemenyan, diasapkan
ketelinga kiri, hidung, dan dada, kemudian barulah mulai diwejang oleh gurunya
dengan disaksikan oleh empat orang yang seilmu. Menurut penulis, pembakaran
kemenyan ini tidaklah ada ajarannya dalam Islam. Pembakaran kemenyan tersebut
merupakan tradisi agama Budha. Yang mana makna membakar kemenyan tersebut yaitu
agar do’a mereka sampai kepada Tuhan mereka ke atas langit dengan melalui
asap-asap kemanyan. Akhirnya orang yang diajari diberi penjelasan tentang cara
mengamalkannyasatu persatu, yang disebutkan dalam petunjuk tentang kedudukan
ilmu makrifat. Setelah itu yang member pelajaran membaca do’a istighfar dan
do’a Kabul.
3.
Konsep
Tuhan di dalam Wirid Hidayat Jati. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Wirid
Hidayat Jati berisi ajaran delapan orang wali dari tanah Jawa, yang telah
dikumpulkan menjadi satu. Ajarannya terbagi menjadi delapan wejangan atau
delapan dalil. Konsep tentang Tuhan terdapat dalam wejangan (dalil) pertama
yang disebut “Bisikan adanya zat”, seperti kutipan sebagai berikut. Sesungguhnya
tidak ada apa-apa, karena ketika masih dalam keadaan kosong, belum ada sesuatu,
yang pertama ada adalah Aku, tidak ada Tuhan kecuali Aku, hakikat Zat yang
Mahasuci, yang meliputi sifat-Ku, yang menyertai nama-Ku, yang menandai
perbuatan-Ku. Selanjutnya di daalam Wirid Hidayat Jati juga terdapat penjelasan
tentang maksud ungkapan bisikan tentang Zat, khususnya “ Zat yang Mahasuci
meliputi sifat-Ku, menandai perbuatan-Ku” sebagai berikut. Zat mengandung sifat
seumpama madu dengan rasa manisnya, pasti tidak dapat dipisahkan.
Sifat
menyertai nama, seumpama matahari dengan sinarnya, pasti tidak dapat
dibedakan.
Nama menandai peerbuatan,
seumpama cermin, orang yang bercermin dengan bayangannya, pasti bayangannya
akan mengikuti segala tingkah laku orang yang bercermin.
Adapun
perbuatan menjadi wahana Zat, seumpama samudera dengan ombaknya, pasti keadaan
ombak mengikuti samuderanya. Penjelasan tentang hubungan antara Zat dengan
sifat, asma, dan af’al tersebut sekali, merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Penjelasan tentang hubungan antara Zat dan sifat bersumberdari
rumusan aliran As’ariyah dalam teologi Islam, yang dikenal mempunyai pandangan
bahwa Allah itu memiliki sifat. Menurut Asy’ari, tidak dapat dipungkiri bahwa
Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya. Ia juga menyatakan bahwa
Tuhan mengetahui, menghendakii berkuasa, dan sebagainya, disamping mempunyai
pengetahuan, kemauan dan daya. Ia lebih jauh berpendapat bahwa Allah memang
memiliki sifat-sifat dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki,
tidak boleh di artikan secara harfiah melainkan secara simbolis. Sifat-sifat
ini, kata Al-Ghazali, tidaklah sama dengan esensi Tuhan, malahan lain dari
esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Untuk mengatasinya,
kaum kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi
tidak pula lain dari Tuhan.
4.
Ajaran
Martabat Tujuh di dalam Wirid Hidayat Jati. Ajaran martabat tujuh sebenarnya
berasal dari kitabb Tufal al-Mursalal ila Ruh al-Nabi karya Muhammad Ibn
Fadlullah al-Burhanpuri (wafat 1620) seorang sufi dari India.
Ajaran
Martabat tujuh di dalam Wirid Hidayat Jati adalah sebagai berikut :
a.
Sajaratu
Yakin, tumbuh dalam alam hampa yang sunyi, azali abadi, berarti pohon kehidupan
yang berada di alam hampa sunyi selamanya. Itulah hakikat Zat mutlak yang
qadim, hakikatZat yang pasti paling dahulu, yaitu zat atma yang menjadi wahana
alam Ahadiyah.
b.
Nur
Muhammad berarti cahaya yang terpuji. Diceritakan dalam hadis, seperti burung
merak, berada dalam permata putih, pada arah sajaratul yakin. Itulah hakikat
cahaya yang diakui sebagai tajalli Zat, berada dalam nukat gaib, merupakan
sifat atma dan menjadi wahana alam wahdah.
c.
Mir’atul
haya’i berarti kaca wira’i. Diceritakan
dalam hadis, Mir’atul haya’i berada dalam Nur Muhammad. Itulah hakikat pramana
yang diakui rahsanya Zatt sebagai nama atma. Dan menjadi wahana alam wahidiyah
d.
Roh
Idlofi berarti nyawa yang jernih. Diceritakan dalam hadis, roh idlofi berasal
dari Nur Muhammad. Itulah hakikat sukma yang diakui keadaan Zat, merupakan perbuatan atma, menjadi wahan
alam arwah.
e.
Kandil
berarti lampu tanpa api. Diceritakann dalam hadis, kandil berupa permata yang
berkilauan cahayanya, tergantung tanpa ikatan. Itulah keadaan Nur Muhammad,
serta tempat berkumpul semua roh. Itulah hakikat angan-angan yang diakui sebgai
bayangan Zat, sebagai pemangku atma, menjadi wahana alam mitsal.
f.
Dharrah
berarti permata. Diceritakan dalamm hadis, dharrah memiliki sinar neraneka
warna, satu tempat dengan malaikat. Itulah hakikat budi yang diakui sebagai
perhiasan Zat, pintu atma, menjadi wahana alam ajsam.
g.
Hijab,
dinding jalal, berarti tabir yang agung. Diceritakan dalam hadis, hijab timbul
dari permata beraneka warna, ketika bergerak menimbulkan buih, asap dan air.
Itulah hakikat jasad, merupakan tempat atma, menjadi wahanaalam insan kamil.
5.
Konsep
Manusia di dalam Wirid Hidayat Jati. Ajaran martabat tujuh di dalam Tuhfah
merupakan penjelasan tentang pola penampakan diri (tajalli) Tuhan dalam tujuhh
martabat, sehinggga tercipta alam semesta seisinya, termasuk manusia. Tiga
tajalli pertama disebutn martabat batin, yaitu ahadiyah, wahdah, dan wahidiyah.
Dari ketiga martabat ini kemudian muncul martabat lahir, yakni Alam Arwah, Alam
Mitsal, dan Alam Ajsam. Tiga martabat batin dan tiga martabat lahir tersebut
berkumpul menjadi satu di dalam martabat ketujuh, yaitu Insan Kamil. Penjelasan
tentang Pennjelasan manusia melalui tujuh martabat di dalam Wirid Hidayat Jati
diterangkan sebagai berikut. Sesungguhnya Aku Zat Yang Maha Pecipta dan maha Kuasa menciptakan segala sesuatu,
terjadi dalam seketika, sempurna lantaran kodrat-Ku, sebagai pertanda
perbuatan-Ku, merupakan kenyataan kehebndak-Ku. Mula-mula Aku menciptakan hayyu
bernama sajaratul yakin. Tumbuh dalam alam makdum yang azali abadi. Setelah itu
cahaya bernama Nur Muhammad, kaca bernama mir’atul haya’i, nyawa bernama roh
idlofi, lampu bernama kandil, permata bernama dharrah, dan dinding-jalal
bernama hijab, yang menjadi penutup hadirat-Ku. Penciptaan manusi selanjutnya
di dalam wirid Hidayat Jati diterangkan sebagai berikut. Sesungguhnya Aku
menciptakan Adam berasal dari empat unsure : tanah, api, angin, dan air. Semua
menjadi perwujudan sifat-Ku, di mana Kumasuki mudah lima macam : nur, rahsa,
ruh, nafsu, dan budi untuk menjadi penutup wajah-Ku Yang Mahasuci. Kutipan
diatas juga menerangkan bahwa jasad manusia dimasuki mudah lima macam, yaitu
nur, rahsa, roh, nafsu, dan budi. Bagaimana cara masuknya mudah lima macam itu
juga diterangkan dalam Wirid Hidayat Jati seperti berikut. Diceritakan dalam
hadis, masuknya mudah lima macam mulai dari ubun-ubun berhenti di otak, turun
ke mata, turun ke telinga, turun ke hidung, turun ke mulut, turun ke dada, dan
tersebar ke seluruh tubuh, sepurna sebagai Insan Kamil. Kata “mudah” oleh
Hadiwijono diartikan “anasir rohani manusia”. Sementara itu Honggropradoto
mengartikan kata mudah itu praboting urip (peralatan hidup). Menurut Simuh kata
“mudah” merupakan perubahan dari kata muhdats.
Adapun
unsur-unsur pokok manusia diterangkan di dalam Wirid Hidayat Jati terbitan
Tanojo sebagai berikut :
Sesunggguhnya
Zat Yang MahaSuci atau Zat Mutlak yang qadim azali abadi itu berdiri sendiri di
dalam nukat gaib. Disana ia bentangkan kodrat dan irodat-Nya menjadi tujuh
keadaan sebagai warana (tabir) Zat dan merupakan penjelmaan sifat, asma, dan
af’al-Nya yaitu :
a.
Hayu,
artinya hidup terletak diluar Zat.
b.
Nur,
artinya cahaya, terletak di luar hidup
c.
Sir,
artinya rahsa, terletak di luar cahaya
d.
Ruh,
artinya nyawa (sukma), terletak di luar rahsa
e.
Nafsu,
artinya angkara, terletak di luar sukma
f.
Akal,
artinya budi, terletak di luar nafsu
g.
Jasad,
artinya badan, terletak di luar budi.
6.
Pengarauh
Ajaran Ranggawarsita terhadap Masyarakat Jawa. Keadaan sosial-politik yang ada pada
masyarakat Jawa (Surakarta) yang cenderung tidak membaik, membuat masyaratakat
Jawa rindu dengan keadaan damai. Salah satu kemunculan karya Ranggawarsita
yaitu serat khalatidha membuat masyarakat banyak mengagumi sosok beliau, karena
dalam serat khalatidha menceritakan tentang akan datangnya sosok ksatria yang
akan memimpin Jawa dengan bijaksana. Banyaknya aliran kebatinan di Jawa pun,
merupakan suatu pelarian bagi masyarakat yang cedrung merindukan sosok
kepemimpinan yang bijaksana. Masyarakat Jawa melalui aliran kebatinan ini melakukan
suatu bentuk protes sosial teerhadap pemerintahan yang cendrung sibuk dengan
intrik-intrik yang ada dalam istana yang cenderung mengabaikan nasib rakyatnya,
bentuk protes sosial dalam kebatinan ini dikarenakan setelah melakukan suatu
perlawanan tidak kunjung menemui titik terang maka timbulah gerakan kebatinan.
Masyarakat beranggapan dengan kebatinan akan memunculkan suatu keadilan bagi
dirinya yang mengikuti kebatinan dan berharap dengan kedatangannya ‘ratu adil’
SERAT
WIRAYAT JATI
Anênggih
punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh
kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa
ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab
Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih,
inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning
Pangeran dhatêng N. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing
sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji.
Pangandikaning
Pangeran ingkang makatên wau, inggih punika ingkang kawêdharakên dening para
gurunadi dhatêng para ingkang sami katarimah puruitanipun. Dene wontên kawruh
wau, lajêng kadhapuk 8 papangkatan, sarta pamêjanganipun sarana kawisikakên ing
talingan kiwa. Mangêrtosipun asung pêpengêt bilih wêdharing kawruh kasampurnan,
punika botên kenging kawêjangakên dhatêng sok tiyanga, dene kengingipun
kawêjangakên, namung dhatêng tiyang ingkang sampun pinaringan ilhaming
Pangeran, têgêsipun tiyang ingkang sampun tinarbuka papadhanging budi
pangangên-angênipun (ciptanipun).
Awit
saking punika, pramila ingkang sami kasdu maos sêrat punika sayuginipun
sinêmbuha nunuwun ing Pangeran, murih tinarbuka ciptaning sagêd anampeni saha
angêcupi suraosing wejangan punika, awit suraosipun pancen kapara nyata yen
saklangkung gawat. Mila kasêmbadanipun sagêd angêcupi punapa suraosing wêjangan
punika, inggih muhung dumunung ing ndalêm raosing cipta kemawon. Mila inggih
botên kenging kangge wiraosan kaliyan tiyang ingkang dereng nunggil raos,
inggih ingkang dereng kêparêng angsal ilhaming Pangeran. Hewa dene sanadyana
kangge wiraosing kaliyan tiyang ingkang dereng nunggil raos, wêdaling
pangandika ugi mawia dudugi lan pramayogi, mangêrtosipun kêdah angen mangsa lan
êmpan papan saha sinamun ing lulungidaning basa.
Mênggah
wontêning wêwêjangan 8 pangkat wau, kados ing ngandhap punika:
I.
1. Wêwêjangan ingkang rumiyin, dipun wastani: pitêdahan wahananing Pangeran,
sasadan pangandikanipun Pangeran dhatêng N. Mohammad s.a.w. Makatên
pangandikanipun: Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung
ana sawiji-wiji, kang ana dhihin iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun
sajatine kang urip luwih suci, anartani warna aran lan pakartiningsun (dat,
sipat, asma, afngal).
2.
Mênggah dunungipun makatên: kang binasakake angandika ora ana Pangeran anging
ingsun, sajatine urip kang luwih suci, sajatosipun inggih gêsang kita punika
rinasuk dening Pangeran kita, mênggahing warna nama lan pakarti kita, punika
sadaya saking purbawisesaning Pangeran kita, inggih kang sinuksma, têtêp
tintêtêpan, inggih kang misesa, inggih kang manuksma, umpami surya lan
sunaripun, mabên lan manisipun, sayêkti botên sagêd den pisaha.
II.
1. Wêwêjangan ingkang kaping kalih, dipun wastani: Pambuka kahananing Pangeran,
pamêjangipun amarahakên papangkatan adêging gêsang kita dumunung ing dalêm 7
kahanan, sasadan pangandikanipun Pangeran dhatêng N. Mohammad s.a.w. Makatên
pangandikanipun: Satuhune ingsun Pangeran sajati, lan kawasan anitahakên
sawiji-wiji, dadi padha sanalika saka karsa lan pêpêsteningsun, ing kono
kanyatahane gumêlaring karsa lan pakartiningsun, kang dadi pratandha.
2.
Kang dhihin, ingsun gumana ing dalêm awang-uwung kang tanpa wiwitan tanpa
wêkasan, iya iku alam ingsun kang maksih piningit.
3.
Kapindho, ingsun anganakake cahya minangka panuksmaningsun dumunung ana ing
alam pasênêdaningsun.
4.
Kaping têlu, ingsun anganakake wawayangan minangka panuksma lan dadi
rahsaningsun, dumunung ana ing alam pambabaraning wiji.
5.
Kaping pat, ingsun anganakake suksma minangka dadi pratandha kauripaningsun,
dumunung ana ing alaming gêtih.
6.
Kaping lima, ingsun anganakake angên-angên kang uga dadi warnaningsun, ana ing
dalêm alam kang lagi kêna kaumpamaake bae.
7.
Kaping ênêm, ingsun anganakake budi, kang minangka kanyatahan pêncaring
angên-angên kang dumunung ana ing dalêm alaming badan alus.
8.
Kaping pitu, ingsun anggêlar warana kang minangka kakandhangan sakabehing
paserenaningsun. Kasêbut nêm prakara ing dhuwur mau tumitah ana ing donya iya
iku sajatining manungsa.