CAKRA MANGGILINGAN
Cakra manggilingan artinya Hidup itu bagaikan roda yang terus berputar. Dalam cerita dunia wayang Cakra Manggilingan adalah senjata sakti yang dimiliki oleh Betara Kresna, Raja Dwarawati, manusia setengah dewa, penasihat politik dan pasukan para Pandawa. Cakra berbentuk panah yang ujungnya bulat bergerigi. Senjata andalan Kresna itu ampuh tidak tertandingi. Cakra Manggilingan merupakan senjata pamungkas ampuh dan sakti karena dia membawa kekuatan alam, membawa sunnatullah, yang tidak bisa dilawan oleh siapa pun. Manusia dan bangsa sekuat apa pun, pada akhirnya harus menyerah kepada kekuatan alam, pudar dan kemudian runtuh.
Cakra manggilingan adalah ilmu Jawa yang mempelajari siklus hidup manusia. Cakra bisa diartikan seperti roda atau cakram, sedangkan manggilingan mengandung arti yang berputar. Artinya siklus hidup manusia memang seperti roda yang berputar, kadang ada di atas, kadang ada di bawah. Kadang bahagia, kadang menderita, kadang punya uang banyak, kadang tidak punya apa-apa, dan beribu contoh lainnya.
Hidup manusia tidak bisa lurus-lurus saja. Ibarat sebuah jalan setiap insan manusia mengalami dan menjalani peristiwa, ada belokan, tanjakan, dan turunan. Seakan memang sudah sunnatullah bahwa kehidupan manusia mengandung unsur dualitas seperti yang disebutkan di atas. Hidup manusia banyak sekali pasang surutnya. Ada pergantian siang-malam-nya sendiri. Maka dari itu, perlu kiranya sikap mental dan kuda-kuda dalam memanajemeni peristiwa demi peristiwa yang saat ini kita alami atau nanti yang akan terjadi. Pelajaran dari kisah-kisah masa lalu dapat menjadi rujukan. Baik dari pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain.
HAKEKAT CAKRA MANGGILINGAN
Hakekat Cakra Manggilingan umumya dipengaruhi oleh pengertian yang diberikan dalam konteks sejarah, maupun idealogi.
Para leluhur dan para akhli filologi Jawa Kuna {atau Indonesia lama}, secara sederhana memberikan pengertian Cakra Manggilingan adalah Siklus Alam Makro Kosmos, dan Mikro kosmos. Jika diberikan pada konteks Mikrokosmos atau manuasia maka sama dengan hakekat pada tema Sangkan Paraning Dumadi semacam Kata Siklus atau Siklis ini memiliki hakekat tiga hal :
1. Manusia itu dari mana.
2. Sekarang ada dimana dan.
3. Menuju kemana/tujuan telos akhir. Atau dalam tema teks lain bahwa Alam purwo (metafora pada Candi Sukuh, candi Cetho), alam madyo (hidup saat ini, dan menuju alam akhir atau disebut alam wasono).
VERSI SERAT WEDHATAMA
Tembang Macopat Serat Wedhatama memberikan jawaban apa itu Cakra Manggilingan dengan rentetan siklus seusai pada gambar yang disajikan pada tulisan ini yang saya oleh mandiri pada konsep Tembang Macopat Serat Wedhatama oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV.
Cakra manggilingan addalah 11 tahap manusia secara normal sejak lahir dewasa, tua, dan mati yang diurutkan :
1. Maskumambang.
2. Mijil.
3. Sinom.
4 Kinanthi.
5. Asmarandana.
6. Gambuh.
7. Dhandhanggula.
8. Darma.
9. Pungkur.
10. Megatruh.
11. Pucung.
Kata Siklus (kekembalian hal yang sama secara abadi) atau ada yang menamakan reinkarnasi (Inkarnasi transposisi abati: bunga biji, pohon, buah, mati, bunga biji, pohon, buah, mati, dan seterusnya) itulah kehidupan manusia, bahwa tidak ada yang abadi, yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri, semua hal terus berputar dan menjadi {being, and becoming}. Maka makna utama pada Cakra Manggilingan adalah Filsafat Waktu yang bersifat Deterninisme Hukum Karma Jawa kuna dengan sebutan Sapa Nandur Bakal Ngunduh.
Makna Cakra Manggilingan dapat dipahami Alam logos Jawa bersifat Dialektis Jagat Gumelar, Jagat Gumulung yang ada pada Waktu. Cakra bisa diartikan roda atau cakram, sedangkan manggilingan mengandung arti yang berputar Dialektis Jagat Gumelar, Jagat Gumulung.
Cakra Manggilingan perputaran Ruang dan Waktu pada :
1. Buwono Agung (makrokosmos), masyarakat, bangsa negara, dan internasional (dunia).
2. Buwono Alit (mikrokosmos), pribadi atau keluarga; dan
3. Buwono Langgeng (abad)], lahiriah batiniah ada menuju kematian (yang abadi adalah kematian) manusia; hidup ini seperti mampir minum atau pergi kepasar hanya sebentar.
Maka tugas manusia sementara didunia ini adalah ada pada Metafora dan Isyarat-Isyarat tertentu, bahkan tanpa Materi (non positivisme) atau menciptkakan kebaikan dengan meniru serta menjalankan :
1. Gung Binathara (Agung seperti batara dewa).
2. Mbahu Dendha Nyakrawati (pemeliharaan hukum dan dunia).
3. Berbudi Bawa Leksmana (berbudi baik, selaras kata dan perbuatan) dan.
4. Ambeg Adil Para Marta yaitu menegakan keadilan tanpa kecuali, dengan empat hal ini maka disebut manusia bermakna bertangungjawab atau saya sebut sebagai Telos Hidup Ngunduh Wohing Pakarti yakni Memayu Hayuning Bawana atau memberi keindahan dunia, diinternalisasi dalam hidup kita.
NRIMO ING PANDUM
Cakra Manggilingan dapat juga dipahami pada metafora Manggilingan Sistem Sikap Mental (Nrimo ing Pandum = Amor fati kata Nietzsche), dengan dimensi mental :
1. Tadah atau Tidak meminta apapun; Cuma bersyukuri apapun selama waktu hidup.
2. Pradah, bermakna Iklas memberi apapun potensi yang kita miliki.
3. Ora Wegah, atau tidak memilih apapuan pekerjaan selalu bekerja dan memberikan yang terbaik.
Karena alam dan manusia adalah relasional dan bersifat siklis maka wajar pada teks Sastra Gendhing Alam Bersifat Relasional merupakan :
a. Sastra (Simbol Yang Ilahi).
b. Gendhing (simbol manusia manusia dan kehidupannya) dan.
c. Keselarasan kehidupan (metafora gendhing) indentik dengan musik keselarasan kesatuan, bagi semua dan untuk semua).
FILOSOFI CAKRA MANGGILINGAN
Arti peribahasa cakra manggilingan adalah bahwa hidup itu bagaikan roda yang terus berputar. Cakra manggilingan merupakan kehidupan dinamis seperti roda yang berputar, tidak merasa tinggi ketika mendapat pujian dan tidak merasa jatuh ketika mendapatkan caci makian. Apapun yang diterimanya tetap berbuat baik, berbuat benar serta senantiasa selalu mengingat kepada Tuhan.
Cakra manggilingan kalau diartikan secara lebih luas menyimpan filosofi atau keyakinan tentang berputarnya roda kehidupan baik mikro maupun makro. Bentuk yang melingkar cakra manggilingan atau dengan bentuk lain yang tertutup itu membuat keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksud adalah apabila salah satu bagian tidak berfungsi sesuai dengan perannya atau kecepatan berputarnya maka keseimbangan itu akan terganggu dan bahkan bisa hancur. Apabila masih bisa memungkinkan, maka akan dilakukan perbaikan pada titik kerusakan sampai bisa pulih kembali menjadi baik atau terjadi keseimbangan yang baru.
Kata cakra sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya sebagai cakram atau roda. Sedangkan manggilingan berasal dari bahasa Jawa dari kata dasar giling yang artinya berputar atau menggerus. Istilah cakra manggilingan diartikan sebagai kehidupan ibarat roda berputar. Intisari atau esensi dari cakra manggilingan adalah waktu. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan ini sudah menjadi kodrat manusia hidup di dunia, baik dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun.
Pemegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia ini adalah konsepsi waktu.Bukti dari pada pentingnya konsepsi waktu adalah bahwa orang Jawa mempunyai sistem penanggalan tersendiri. Kalender Jawa yang terdiri dari Sapta wara / 7 hari yaitu Minggu (Radite), Senin (Soma), Selasa (Hanggara), Rabu (Budha), Kamis (Respati), Jumat (Sukra) dan Sabtu (Tumpak). Selain itu juga ada Panca wara atau 5 hari yang biasa dikenal dengan pasaran yaitu Legi, pahing, Pon, Wage, Kliwon.
Dengan memiliki pemahaman spiritual tentang cakra manggilingan, manusia bisa selalu siap dengan keadaan yang akan dihadapi, baik atau buruknya. Dengan memahami esensi cakra manggilingan maka seseorang bisa mempersiapkan diri untuk tidak larut dalam kebahagiaan atau kesedihan yang dihadapi. Mendapatkan kebahagiaan menjadikan manusia untuk selalu bersyukur kepada Tuhan sebaliknya kalau sedang mendapatkan kesedihan haruslah bisa bersabar untuk menghadapinya.
Tidak perlulah bersedih dengan terus- menerus se olah-olah hanya dirinya sendiri yang mendapatkan kesedihan. Semakin bersedih maka akan semakin tersiksa hati dan pikirannya, sehingga tidak mempunyai semangat untuk hidup. Padahal kenyataan walaupun diberi kesedihan atau kebahagiaan, kehidupan akan tetap berlangsung. Manusia harus bisa menerima apapun yang diberikan oleh Allah, tentu saja dengan ikhlas lahir maupun batin. Dengan menghayati cakra manggilingan maka seseorang harus mampu merasakan kekuatan dalam dirinya antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Kehidupan yang harus terus berputar dan berjalan tanpa ada seorangpun yang bisa memperlambat ataupun mempercepat. Artinya manusia harus siap menerima yang ditakdirkan oleh Allah. Tidak bisa menghindar dari kenyataan yang ada. Walaupun bersembunyi di manapun juga, tetap harus dijalani. Oleh sebab itu manusia hendaknya selalu mempunyai rasa syukur apabila sedang mendapatkan kebahagiaan dan tetap sabar kalau diberi kesedihan/kesusahan. Hati akan tenteram dan nyaman apabila mempunyai keduanya yaitu sabar dan syukur.
Namun kenyataan kalau diberi kebahagiaan kadang lupa dengan Allah yang memberinya. Akan ingat kalau seseorang itu diberi kesusahan/kesedihan. Tidak ada salahnya kalau manusia hidup menjalani ujian apapun merasa selalu bersyukur dan sabar dengan hati yang ikhlas. Manusia lahir ke bumi menjadi manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya.Hendaknya manusia dapat mengambil pelajaran baik dengan melihat masa yang telah lalu, sekarang dan menghadapai masa yang akan datang.
Ketahuilah bahwa setiap orang berada pada lingkaran cakra manggilingan masing-masing. Kadang-kadang manusia sering meragukan keberadaannya (termasuk saya sendiri). Seolah-olah saya tidak berada di satu titik tetapi di dua titik yang bersamaaan sehingga membuat hati dan pikiran menjadi kacau dan kurang bisa maksimal dalam melakukan pekerjaan untuk tugas-tugas rutin. Namun demikian, sebagai orang Jawa akan selalu ingat istilah Jawa yang sudah popular di mana-mana. Buktinya tetap bersyukur, sabar bisa merasakan suka duka perputaran yang sedang diberikan, masih sesuai dengan perilaku saya, dan yang paling membahagiakan hati adalah masih diberi kekuatan oleh Allah mengimbanginya.
Barangkali masih ada manusia yang belum atau bahkan tidak bisa menghadapi kenyataan yang ada hingga lupa dengan cakra manggilingan. Antara lain; emosi, melakukan perbuatan yang tidak baik, sengaja menyimpang dari jalur lingkaran cakra manggilingan. Kalau seperti itu artinya mereka walaupun sama-sama dalam kondisi di bawah tetapi tingkat kesedihan/kesusahan, kehormatan diri dan bahagia yang dirasakan akan jauh berbeda. Mereka meninggalkan atau bahkan menghilangkan nilai-nilai budaya Jawa sebagai tradisinya.
Padahal mereka mengaku lahir dan besar di dalam kultur kejawaan, justru semakin membawanya terasing untuk dirinya sendiri. Bagi orang yang tidak memahaminya, falsafah cakra manggilingan dianggap tidak berguna. Bagi orang yang memaknainya secara harafiah, akan dianggap bahwa tergantung amal dan perbuatan. Padahal makna yang sebenarnya adalah mengajarkan seseorang untuk berperilaku sabar dan selalu bersyukur dalam menghadapi kehidupan di dunia ini.
Setiap falsafah ajaran hidup Jawa, berulangkali sudah disampaikan bukanlah agama jadi jangan dicampur adukkan. Karena falsafah Jawa cakra manggilingan ini merupakan cara pandang hidup dalam arti yang luas yaitu meliputi pandangan terhadap Allah serta alam semesta ciptaanNya beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya. Cakra manggilingan adalah bentuk roda yang selalu berputar atau menggelinding. Secara umum hal itu bermakna kalau hidup ini seperti roda yang berputar kadang di atas dan terkadang di bawah (Amrih, 2008).
CAKRA MANGGILINGAN AJARAN ORANG JAWA (FILSAFAT ORANG JAWA)
Siklus kehidupan manusia Jawa sering disebut dengan istilah cokro manggilingan. Kehidupan manusia di dunia ini ibarat roda berputar. Kadang-kadang nasib manusia berada di atas dan kadang-kadang pula harus menempati posisi pada lapisan paling bawah. Semua berjalan bergantian dan silih berganti sesuai hukum alam yang berlaku. Orang Jawa menyebut nuting jaman kelakone. Senang susah, untung rugi, gelap terang adalah warna-warni yang senantiasa menghiasi kenyataan hidup sehari-hari. Antara satu dengan yang lainnya, masing-masing saling melengkapi dan saling membutuhkan. Perubahan yang terus menerus berlangsung itu disikapi orang Jawa dengan ungkapan :
1. Aja gumunan.
2. Aja kagetan, lan.
3. Aja dumeh, itulah inti ajaran cakra manggilingan.
Cakra Manggilingan ini memberi petunjuk pada manusia supaya melakukan kebaikan dalam hidupnya. Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane, senyampang kesempatan masih terbuka seluas-luasnya. Inilah jawaban atas pernyataan kanggo sebo mengko sore. Yang mengandung makna untuk mencapai kasampurnan Khusnul Khotimah.