ANTARA UJIAN, COBAAN, MUSIBAH DAN AZAB
Ada sebuah kata yang erat kaitannya dengan azab, yaitu ujian. Baik ujian maupun azab, keduanya berwujud kesulitan.
Banyak yang masih kurang memahami dalam membedakan kata ujian dan adzab, yang ditinjau dari sudut pandang musibah atau cobaan secara umum. Kedua kata tersebut sebenarnya memiliki arti yang jauh berbeda, dan menimpa orang yang berbeda pula, meskipun sama-sama terkena musibah atau cobaan.
Yang terkadang manusia sering mengeluh ketika ditimpa musibah atau cobaan. Ada yang bilang, “Allah tak adil, yang kaya makin kaya, yang miskin tetap saja miskin selamanya”. Ungkapan ini sering dilontarkan sebagai bentuk kekesalan atas kekurangan yang ada pada diri manusia, terutama segala hal yang berkaitan dengan ekonomi ataupun yang lainnya.
Sebenarnya, manusia akan naik pangkat dan derajat ketaqwaannya di hadapan Allah bila mereka kuat dalam menghadapi segala musibah, ujian dan cobaan dalam kehidupan ini. Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Allah akan menguji hamba-hamba-Nya dengan berbagai macam ujian berat, juga mencatat segala usaha sebagai bentuk ibadah dan mengujinya dengan berbagai macam cobaan. Tujuannya adalah agar manusia tak memiliki hati yang sombong, selalu rendah hati, juga sebagai kunci mendapatkankan anugerahnya dan membuka pintu pengampunan-Nya.
Bila manusia memahami segala cobaan hidup yang ia rasakan merupakan proses pendewasaan diri agar selalu menjadi pribadi yang lebih baik maka ia akan selalu berusaha dan berdo’a serta selalu berpikiran positif kepada-Nya. Ketika seorang hamba bisa memahami antara kedua kata tersebut, sebenarnya manusia itu bisa memahami, mereka itu sedang di uji atau diberikan adzab.
Ujian adalah satu proses seleksi untuk naik kelas. Kesulitan yang dihadapi oleh orang adalah kesulitan yang memang diprogram untuk mengukur tingkat kemampuannya mengatasi masalah dalam dunia realitas. Boleh jadi kesulitan dalam ujian lebih berat dibanding realitasnya.
Ujian merupakan musibah yang menimpa orang-orang yang beriman dan rajin beribadah. Dengan tujuan untuk menguji ke istiqomahanmu dan menguatkan keyakinannya. Dalam Al-Quran, Allah berfirman bahwa kita jangan mengaku dulu beriman sebelum kita diberikan ujian yang berat, seperti sakit, kurangnya harta, takut akan kelaparan, fitnahan, cacian, makian dan sebagainya. Allah Subhanahu wa Ta'ala, berfirman.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”(QS. Al-Anbiya: 35)
Duniaini adalah medan perjuangan seorang mukmin untuk menjadikan manusia sebaik-baik hamba, yang dinilai dari amalnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala, berfirman.
“Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2).
Syarat agar lulus dalam ujian yang diberikan AllahSubhanahu wa Ta'ala, kita harus ikhlas menerimanya dan sabar serta tawakal dalam menjalani semua ujian yang diterimakan. Meskipun sangat berat, tapi kita tidak meninggalkan ibadah, amal sholeh dan justru kita semakin giat lagi beribadahnya. Kita juga tidak boleh kesal ketika menerima ujian dan seharusnya bersyukur karena Allah Subhanahu wa Ta'ala masih menganggap kita sebagai hamba-Nya dengan cara diberikan ujian. Tapi jika sebaliknya, ketika kita tidak beribadah dan ingkar ketika mendapatkan ujian, berarti kita gagal.
Surat Al Baqoroh 155 s.d. 156 :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya :
Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,
(QS. Al-Baqarah: 155) :
اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
Artinya :
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).
Kehidupan manusia memang penuh cobaan. Dan Kami pasti akan menguji kamu untuk mengetahui kualitas keimanan seseorang dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Bersabarlah dalam menghadapi semua itu. Dan sampaikanlah kabar gembira, wahai Nabi Muhammad, kepada orang-orang yang sabar dan tangguh dalam menghadapi cobaan hidup, yakni orang-orang yang apabila ditimpa musibah, apa pun bentuknya, besar maupun kecil, mereka berkata, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka berkata demikian untuk menunjukkan kepasrahan total kepada Allah, bahwa apa saja yang ada di dunia ini adalah milik Allah; pun menunjukkan keimanan mereka akan adanya hari akhir. Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk sehingga mengetahui kebenaran.
Kewajiban merawat jenazah bagi yang masih hidup. Terutama bagi keluarga yang terdekat. Proses memandikan jenazah dalam masyarakat sering masih menggunakan hal yang bukan syar’i. Perlu adanya pengetahuan bagi masyarakat dalam perawatan jenazah mulai proses memandikan dan mengkafani sampai mensholatkan jenazah hingga mengantarkan jenazah sampai ke makam.
Setiap orang di dunia akan menghadapi cobaan dan ujian.
Apabila Anda mendapat cobaan yang datang bertubi-tubi menimpa diri Anda, janganlah berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah SWT.
Sejatinya seberat apapun cobaan yang menimpa kita jika dibandingkan dengan cobaan nabi dan rasul, dan para wali-wali Allah SWT maka cobaan yang menimpa mereka itu jauh lebih berat dan lebih banyak.
Dan kita dapat belajar dari perjalanan hidup para nabi dan rasul, serta para wali-wali Allah SWT tentang bagaimana kesabaran, kegigihan, dan optimisme mereka dalam melalui setiap cobaan yang datang.
Maka ketika Anda menjadikan para nabi dan rasul serta para wali-wali Allah SWT sebagai cermin Anda dalam menghadapi cobaan, Anda akan memiliki semangat dan kesadaran bahwa orang-orang yang beriman pasti mendapat ujian dari Allah SWT sesuai kadar keimanannya.
Dan ujian-ujian tersebut akan mengantarkan diri seorang mukmin semakin tinggi derajatnya di sisi Allah SWT.
Selain itu dengan berkaca pada para nabi, wali Allah SWT, para ulama dan orang-orang saleh, maka dapat menghilangkan perasaan bahwa hanya Anda yang mendapat cobaan paling berat dalam hidup. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ حَمَّادٍ الْمَعْنِيُّ وَيَحْيَى بْنُ دُرُسْتَ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً قَالَ الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Hammad Al Ma'ni dan Yahya bin Durusta keduanya berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari 'Ashim dari Mush'ab bin Sa'd dari Ayahnya Sa'd bin Abu Waqash dia berkata, "Saya bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras cobaannya?" beliau menjawab, "Para Nabi, kemudian kalangan selanjutnya (yang lebih utama) dan selanjutnya. Seorang hamba akan diuji sesuai kadar agamanya (keimanannya). Jika keimanannya kuat maka cobaannya pun akan semakin berat. Jika keimanannya lemah maka ia akan diuji sesuai dengan kadarnya imannya. Tidaklah cobaan ini akan diangkat dari seorang hamba hingga Allah membiarkan mereka berjalan di muka bumi dengan tanpa dosa." (HR Ibnu Majah).
MENGHADAPI UJIAN DAN COBAAN
“Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al Anfaal: 73)
وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ اِلَّا تَفْعَلُوْهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الْاَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌۗ
Artinya :
Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka melindungi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah (saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan di bumi dan kerusakan yang besar.
Tafsirnya :
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain, yakni satu sama lain tolong-menolong dalam kebatilan dan bersekongkol untuk memusuhi kalian. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah untuk saling melindungi dan bahu-membahu dalam membela serta meninggikan agama Allah, pada satu sisi, dan tidak melakukan hubungan yang intensif dengan orang-orang kafir yang memusuhi kalian, pada sisi lain, niscaya akan terjadi kekacauan yang dahsyat di bumi dan kerusakan yang besar antara lain bocornya rahasia dan tercerai-berainya barisan kaum muslimin.
Bencana demi bencana datang silih berganti menyapa kita. Mulai dari banjir yang menerjang beberapa kota, kecelakaan transportasi darat, laut sampai udara dan beberapa musibah lain, seperti angin puting beliung, gempa dan tanah longsor, belum lagi musibah karena penyakit Demam berdarah, diare, busung lapar dsb. Astaghfirullah, hati manusia mana yang acuh melihat keadaan seperti itu?! Deraian airmata atau isak tangis entah karena kehilangan sanak saudara atau kehilangan harta benda atau karena penyakit yang sedang diderita. Dan keadaan seperti itu sangatlah berat jika dirasakan khususnya bagi wanita yang mempunyai beberapa peran, wanita sebagai ibu atau sebagai istri. Wanita yang mempunyai hati selembut kapas, penuh simpati, mudah terbawa suasana, dan mudah pula rapuh hatinya.
Siapa yang tak kenal hati wanita?! Wanita adalah sesosok manusia yang dianugerahi dengan perasaan yang halus. Selembut-lembutnya hati seorang laki-laki masih lembut hati seorang wanita yang paling tegar sekalipun. Betapa hatinya bagaikan gelas-gelas kaca, sekali pecah hancur sampai berkeping-keping. Perasaan seperti itu sangat rentan terhadap kekecewaan dan kesedihan. Biasanya wanita mengekspresikan perasaan tersebut dengan menangis, entah menangis secara sembunyi-sembunyi ataupun menangis secara berlebihan, yaitu dengan menampak-nampakkan kepada setiap orang untuk menunjukkan betapa sedihnya ia. Namun jika tangisan tersebut berlebihan hingga mengeraskan suara dan seakan-akan menunjukkan kekecewaan atas Qadha’ dan Qadhar Allah Subhanu Wata’alla ini yang tidak boleh, Allah menguji manusia dengan batas kemampuan masing-masing manusia :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh: 286) :
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَهَا ؕ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا اكۡتَسَبَتۡؕ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَاۤ اِنۡ نَّسِيۡنَاۤ اَوۡ اَخۡطَاۡنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَاۤ اِصۡرًا كَمَا حَمَلۡتَهٗ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِنَا ۚرَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖ ۚ وَاعۡفُ عَنَّا وَاغۡفِرۡ لَنَا وَارۡحَمۡنَا ۚ اَنۡتَ مَوۡلٰٮنَا فَانۡصُرۡنَا عَلَى الۡقَوۡمِ الۡكٰفِرِيۡنَ
Laa yukalliful-laahu nafsan illaa wus'ahaa; lahaa maa kasabat wa 'alaihaa maktasabat; Rabbanaa la tu'aakhiznaa in nasiinaaa aw akhtaanaa; Rabbanaa wa laa tahmil-'alainaaa isran kamaa hamaltahuu 'alal-laziina min qablinaa; Rabbanaa wa laa tuhammilnaa maa l
Artinya :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir."
“Dari Abu Musa, Abdullah bin Qais radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri dari wanita yang meratap ketika ditimpa musibah, mencukur rambut dan merobek-robek saku baju.”
Menangislah sewajarnya jika memang dengan menangis hati kita lebih lega, karena menangis adalah ciri seorang wanita. Menangis tidak selamanya termasuk bagian orang yang lemah dan tidak tegar, misalnya para shahabat seperti umar bin khaththab radhiyallahu’anhu pernah menangis jika mengingat keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga menempatkan waktu yang sesuai untuk menangis itu yang terbaik. Musibah silih berganti, laksana bergantinya siang dan malam, hati yang kuatlah yang diperlukan untuk menepis kesedihan-kesedihan yang melanda. Dan hati yang kuat hanya ada bersama dengan iman yang kuat, rasa pasrah terhadap segala takdir-Nya.
Mungkin diantara kita saat ini ada yang sedang mengalami musibah tersebut, mungkin keluarga kita atau handai taulan kita. Maka jadilah orang yang kuat dan dapat menguatkan orang di sekitar kita, serahkanlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta katakanlah “Innalillahi wa inna ilahi roji’un” “sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali.” Hal tersebut akan lebih baik untuk kita lakukan, dan telah dicontohkan oleh para salaf ketika mereka ditimpa musibah.
Dan janganlah menangis berlebihan bahkan hingga disertai menyakiti diri sendiri seperti memukul-mukul pipi sendiri atau mengatakan kata-kata yang kasar yang menunjukan rasa tidak suka dan tidak sabar atas musibah dan cobaan tersebut atau malah menyalah-nyalahkan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan ada yang keterlaluan sampai mengakhiri hidupnya (bunuh diri), ia meyakini dapat menyudahi kesempitan yang sedang dialaminya di dunia akan tetapi sebenarnya malah membuka kesempitan yang lain yang justru ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi setelah itu, laksana beralih dari pasir yang panas ke dalam bara api. Na’udzubillahi min dzalik. Mereka berpikir bahwa kematian dapat mengakhiri apa yang mereka tidak sukai, menghindar dari masalah, dan bersikap sebagaimana pengecut. Namun sebenarnya ia akan dihadapkan masalah yang lebih berat dan ia takkan mungkin bisa bunuh diri lagi untuk melarikan diri. Ternyata pikiran sempit mereka dapat menyulitkan mereka sendiri bahkan kesulitan yang paling sulit.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menampari pipi, merobek-robek saku dan berseru-seru dengan seruan jahiliyyah.” (Muttafaqun ilaihi)
Disetiap perjalanan hidup kita tak lekang dari musibah dan cobaan, baik dengan kehilangan orang yang kita sayangi, kehilangan harta yang telah kita kumpulkan, atau penyakit yang telah kita derita. Sebagai mukmin yang cerdas hendaknya kita mengambil kesempatan untuk meraup pahala dari setiap kesulitan yang sedang kita hadapi. Dan hendaknya kita bisa memetik hikmah disetiap musibah dan cobaan.
HIKMAH DI BALIK UJIAN DARI ALLAH SWT
Allah memiliki banyak cara untuk menunjukkan kasih sayangnya sekaligus menguji kecintaan manusia kepada-Nya. Salah satunya yaitu dengan memberikan cobaan atau ujian kepada mereka.
Setiap manusia mengalami ujian dengan kadar yang berbeda-beda. Allah SWT berfirman dalam Alquran (QS. Al-Ankabut: 2-3) :
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Artinya :
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan untuk mengatakan, ‘kami telah beriman’ TANPA diuji?! Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga Allah benar-benar tahu orang-orang yang tulus dan orang-orang yang dusta“. (QS. Al-Ankabut: 2-3).
Melalui ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa Dia tidak hanya memberikan ujian kepada umat yang mengingkari-Nya. Umat Muslim yang beriman kepada-Nya pun tak luput dari cobaan. Harapannya agar mereka dapat mengambil hikmah di balik ujian dari Allah SWT.
HIKMAH DIBALIK UJIAN DARI ALLAH SWT (2)
1. Diangkat Derajatnya.
Seperti yang dijelaskan, Allah SWT menguji keimanan seorang umat-Nya lewat cobaan. Bukan karena tidak sayang, cobaan itu sesungguhnya merupakan wujud cinta dan kasih sayang Allah kepada mereka.
Barang yang sabar, ikhlas, dan tetap beriman kepada-Nya di tengah terpaan ujian, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya ke tingkat yang lebih mulia. Dia berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadalah: 11)
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ - ١١
Artinya :
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan."
Al Mujadalah ayat 11 juga menyebutkan pentingnya ilmu. Dalam buku 'Islam Disiplin Ilmu' oleh Amrah Husma, ilmu dalam pandangan Islam adalah suatu kebutuhan yang harus diraih oleh setiap muslim. Karena dari ilmu manusia dapat mengetahui hakekat kebenaran.
Oleh sebab itu kedudukan ilmu dalam pandangan Islam menurut ulama berdasarkan Al Quran dan hadits adalah wajib.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, Rasulullah bersabda :
طَلَبُ اْلعِلْمْ فَرِثْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya :
"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim."
Keutamaan orang berilmu dan penuntut ilmu :
a. Dimuliakan dan diangkat derajatnya oleh Allah sesuai surat Al Mujadalah ayat 11.
b. Ilmu dapat sebagai sarana untuk mendekatkan diri dan takut kepada Allah. Hal ini sesuai dengan Surat Al Fatir ayat 28 :
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ - ٢٨
Artinya :
"Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun."
c. Pahalanya sama dengan jihad fisabilillah.
d. Dimudahkan baginya jalan menuju surga
e. Lebih mulia dari ahli ibadah.
Orang yang beribadah dengan dasar ilmu yang benar, lebih dimuliakan oleh Allah daripada ahli ibadah tanpa ilmu. Hal ini sesuai dengan HR Muslim:
"Apabila kalian bergegas berangkat menuntut ilmu (mempelajari ayat-ayat Allah) itu lebih tinggi nilainya daripada sholat sunnah seratus rakaat,"
f. Dimohon ampunan oleh penduduk langit dan bumi.
2. Menghapus Dosa.
Allah tidak menginginkan seorang hamba kembali kepada-Nya berlumurkan dosa dan membawa banyak kemaksiatan. Oleh sebab itu, Allah memberikan ujian untuk menghapuskan dosa-dosanya.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus-menerus, kepayahan, penyakit dan juga kesedihan bahkan sampai kesusahan yang menusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya.”
3. Mendapat Pahala.
Ujian hidup yang diberikan oleh Allah sejatinya merupakan cara-Nya mempersiapkan manusia menerima kenikmatan yang jauh lebih besar. Semakin berat ujian yang dialami, semakin besar pula nikmat yang akan diperoleh seseorang. Jadi, bersabarlah dalam menghadapi ujian tersebut. Jalani dengan ikhlas agar mendapat ridha Allah SWT.
“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barang siapa yang ridha, maka ia yang akan meraih ridha Allah. Barang siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah No. 4031, hasan kata Syaikh Al-Albani).
4. Mendapat Petunjuk.
Umat Muslim yang menjalani cobaan dengan penuh kesabaran akan memperoleh banyak keutamaan. Kepada mereka, Allah akan memberikan petunjuk, berkat, dan juga rahmat-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah sebagai berikut :
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata "Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un" (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157) :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ (155) اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ (156) اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ (157)
Wa lanabluwannakum bisyai'im minal-khaufi wal-jû‘i wa naqshim minal-amwâli wal-anfusi wats-tsamarât, wa basysyirish-shâbirîn. (156) Alladzîna idzâ ashâbat-hum mushîbah, qâlû innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn. (157) Ulâ'ika ‘alaihim shalawâtum mir rabbihim wa raḫmah, wa ulâ'ika humul-muhtadûn. Artinya: “(155) Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar, (156) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali). (157) Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
PERBEDAAN ANTARA AZAB, UJIAN DAN MUSIBAH
Ternyata azab, ujian, dan musibah merupakan satu kondisi yang berbeda, yang mana Allah SWT berikan pada hamba-hamba-Nya.
Perbedaan itu terletak pada perbuatan dari masing-masing manusia dalam menjalankan kehidupan di bumi. Namun yang jelas dari ketiganya merupakan titik balik yang Allah berikan kepada manusia supaya kembali kepada Allah SWT.
Azab.
Orang yang Allah SWT timpakan azab adalah mereka yang berbuat maksiat dengan harapan mereka kembali ke jalan Allah.
Misalnya, ada seorang Muslim kaya raya tetapi sering berbuat maksiat. Atas kemaksiatannya itu Allah timpakan azab berupa penyakit yang tidak ada obatnya seperti kanker.
Ketika datang penyakit, Muslim tersebut sadar atas segala dosa yang telah diperbuatnya sehingga ia pun sadar dan menghabiskan masa hidupnya dengan berbuat kebaikan di jalan Allah. Maka itu lah yang disebut azab.
Ujian.
Ujian adalah sesuatu yang sifatnya bisa menyenangkan tetapi juga bisa menyulitkan. Artinya, kenikmatan juga bisa disebut cobaan dari Allah SWT.
Seperti halnya, kita punya harta banyak itu adalah ujian. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla berfirman: “Kamu benar-benar akan diuji pada hartamu dan dirimu” [Ali ‘Imran/3: 186]
Musibah.
Sesungguhnya musibah itu sesuatu yang dibenci oleh manusia yang bisa berupa kehilangan, sakit, menderita, dan sebagainya.
Perlu diketahui bahwa ujian dan musibah itu adalah suatu hal yang ditimpakan kepada orang yang beriman yang merupakan bagian dari takdir Allah Yang Maha Bijaksana.
Allah ta’ala berfirman: “Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (Qs. at-Taghabun: 11).
Marilah kita selalu berusaha meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah, dengan sebenar-benar taqwa, dengan seutuh-utuhnya taqwa, yaitu meyakini dan menjalankan semua perintah Allah dengan niat ibadah, mengabdi sepenuh hati atas dasar ketaatan dan kepatuhan kepada Allah. Oleh karena itu meningkatkan ketaqwaan haruslah dimulai dengan memperkuat keimanan kita dan ditindaklanjuti dengan memperbanyak ibadah dan amal salih sebagai bukti kuatnya iman. Ketaqwaan yang benar dan utuh adalah yang bersifat konsisten, istiqamah, yaitu ketaqwaan yang selalu ada di manapun dan dalam situasi apapun kita berada. Dalam keadaan suka maupun duka, saat mendapat nikmat atau musibah, dalam keadaan sempit maupun lapang, seharusnya ketaqwaan tetap dapat kita pertahankan. Termasuk dalam situasi saat ini, dimana pandemi covid-19 belum juga berakhir, yang masih menjadi musibah bagi kita semua. Oleh karena itu, kita harus memandang pandemi ini dengan keimanan kita, sekaligus menjadi pembuktian apakah keimanan kita kuat saat menghadapi masa-masa pandemi ini.
Hal penting yang harus kita tanamkan dalam hati dan pikiran kita adalah mengimani adanya musibah. Musibah apapun yang terjadi di dunia ini haruslah kita yakini dan kita terima keberadaannya. Musibah adalah ayat Allah, yaitu petunjuk atau tanda-tanda dari Allah yang harus kita baca, kita pahami, dan kita hadapi. Allah telah menunjukkan adanya musibah melalui dua jenis ayat, yaitu ayat qauliyah dan ayat kauniyah. Ayat qauliyah adalah firman-firman Allah yang terdapat dalam Alquran, yang menjelaskan tentang keberadaan musibah dan bagaimana kita menghadapinya.Di dalam QS Al Hadid 22-23 Allah menjelaskan tentang adanya musibah :
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ*لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Artinya :
“Tiada suatumusibahpun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(22) (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.(23).
Ayat ini memberikankejelasan tentang keberadaanmusibah.Pertama,hadirnyamusibah, baik yang menimpa alam, social, maupun pribadi manusia adalah kehendak Allah, atas ijin Allah,aliastakdir Allah. Oleh karena itu kita tidak bolehmenafikan adanya musibah, atau malahmenyalahkan pihak lain atasterjadinya musibah, karena meskipun ada pihak yang dianggap sumbermusibah, tetapi terjadinyamusibahtetaplah dalam kuasa Allah, bukan kuasa manusia. Pemahaman ini sangat penting, agarmusibahmenjadi alat muhasabah diri, mengevaluasi diri, bukan malah menimpakan kesalahan kepada pihak lain. Jika setiap anggota masyarakat melakukan muhasabah terhadap dirinya, maka mereka akan bergegas melakukan perbaikan dirisecarabersama sama, memperbaiki perilaku pribadi dan sosialnya, sehingga lingkungan kehidupan di sekitarnya akan kembali damai.
Kedua, hadirnyamusibahadalah cara Allah memperbaiki lahir dan batin kita, agar kita menjadi manusia yang seimbang jiwa raganya, tidak mudah terpengaruh oleh kondisi sekitar, tetap focus pada tujuan hidup, sehingga terhindar dari sikap sombong dan arogan, sebagaimana disebut di akhir ayat yang ke 23.
Kandungan ayat diatas ditegaskan lagi oleh Allah dalam QS At-Taghaabun ayat 11:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya :
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ayat ini memberikan panduan tentang cara menghadapi hadirnyamusibah, yaitu meyakini bahwamusibahadalah kehendak Allah untuk memperbaiki kehidupan manusia. Keyakinan itulah yang akan menggerakkan orang untuk segera bangkit dari musibah, memiliki sikap optimis dalam menghadapi musibah, karena keyakinannya bahwa sesuatu yang datang dari Allah selalu mengandung sisi positif. Sikap ini akan menghindarkan seseorang dari sikap berkeluh kesah, pesimis, depresi akibat musibah yang menimpanya.
Petunjuk Allah tentang adanya musibah juga datang melalui ayat kauniyah, yaitu kejadian di alam semesta, termasuk di dalamnya hasil-hasil penelitian tentang faktor penyebab adanya musibah. Alam semesta ini adalah laboratorium tempat manusia belajar dan menemukan ilmu pengetahuan.Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 190 – 191 :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ ﴿١٩٠﴾ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّـهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١﴾
Artinya :
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (190) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keaadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (191).
Oleh karena itu temuan para ahli tentang adanya musibah adalah ayat kauniyah yang harus diyakini kebenarannya. Temuan-temuan tersebut juga didukung oleh fakta-fakta empiris yang dapat dipelajari dan diterima akal manusia. Maka, mengabaikan temuan para ahli sama artinya dengan kita mengabaikan ayat-ayat kauniyah.
Dengan mengimani ayat qauliyah dan ayat kauniyah tentang adanya musibah, kita akan menemukan satu benang merah hubungan antara kuasa Allah dengan ikhtiar manusia. Terjadinya musibah adalah kuasa Allah, karena hadirnya musibah adalah kehendak Allah, termasuk situasi pandemi saat ini adalah kehendak dan kuasa Allah. Jika ada pihak yang menyatakan bahwa ini adalah rekayasa manusia, maka sesungguhnya rekayasa manusia itu juga tunduk pada kuasa Allah.Dalam Alquran Surat Ali Imran ayat 54 Allah SWT menegaskan :
وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ ۖ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
Artinya :
“dan mereka (orang-orang kafir) itu membuat tipu daya, maka Allahpun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”.
Oleh karena itu, jika kita mengimani adanya musibah, maka menganggap terjadinya musibah sebagai rekayasa manusia adalah bukti bahwa kita tidak mampu membaca ayat-ayat Allah, baik ayat qauliyah maupun ayat kauniyahnya. Disinilah pentingnya kita beragama dengan menggunakan akal, karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang mulia karena diberikan potensi akal agar menjadi ulul albab, yaitu orang yang mau berfikir.
Berdasarkan ayat ayat Allah, maka yang harus kita lakukan ketika terjadi musibah bukanlah mempertanyakan keberadaannya, atau saling melempar kesalahan dan membuat kericuhan dengan menyebarkan berita bohong. Hal yang bijaksana adalah segera melakukan evaluasi diri, mengakui kesalahan, memohon ampun, dan segera berikhtiar melakukan perbaikan. Musibah ini adalah bukti adanya kerusakan sunnatullah yang diakibatkan oleh kesalahan manusia, baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Melalui musibah, Allah sedang berkehendak mengembalikan keseimbangan alam semesta ciptaanNya. Oleh karen itu, musibah perlu dipahami sebagai cara Allah mengasihi hambaNya, yaitu memberikan peringatan kepada kita untuk segera memperbaiki diri dan lingkungan di sekitar kita. Kita harus jujur mengakui adanya kesalahan yang telah kita lakukan di masa lalu, yang berakibat pada kerusakan pada masa sekarang. Maka yang diperlukan saat ini adalah mengembangkan kesalihan sosial, saling membantu, saling menguatkan, dan saling melindungi satu sama lain atas dasar kemanusiaan. Mari kita kembangkan sikap ta’aruf, sikap tafahum, sikap ta’awun, dan sikap takaful. Mari kita saling mengenali saudara kita, memahami kebutuhan mereka, memberikan bantuan sesuai kebutuhan, dan menjamin keamanan dan kesejahteraan mereka.