KIDUNG KAWEDAR
Dalam
pemahaman orang Jawa, sangkan paran dumadi terkait dengan tiga hal, yakni asal
alam semesta, tujuan manusia, dan pencipatan manusia. Ketiganya tergambar pada
Serat Kawedar karangan Sunan Kalijaga, meski tidak secara ekspilisit dan tidak
terlalu banyak tujuan hidup itu dijelaskan.
Bait
(10)
Pada
bait sepuluh disebutkan Ana kidung rekeki Hartati/sapa weruh reke araning
wang/duk ingsun ana ing ngare/miwah duk aneng gunung/ki Samurta lan Ki
Samurti/ngalih aran ping tiga/arta daya engsun/araning duk jejaka/Ki Hartati
mengko ariningsun ngalih/sapa wruh araning wang// Ada kidung bernama
Hartati/siapa yang tahu itu adalah namaku/tatkala aku masih tinggal di
ngarai/dan ketika tinggal di gunung/Ki Samurta dan Ki Samurti/berganti nama
tiga kali/aku adalah arta daya/namaku tatkala masih perjaka/kelak namaku
berganti Ki Hartati/Siapa yang tahu namaku.
Bait
sepuluh di atas dimaknai sebagai ilustrasi hubungan Tuhan dan manusia saat
masih di alam ruh. Ruh manusia yang berasal dari ruh ilahi ini memiliki
kekuatan arta daya (kebijaksanaan, batin, dan welas asih) yang kemudian berada
di rahim seorang ibu.
Bait
(11)
Lalu
pada bait sebelas diungkapkan Sapa weruh tembang tepus kaki/sasat weruh reke
arta daya/tunggal pancer ing uripe/sapa weruh ing panuju/sasat sugih pagere
wesi/rineksa wong sajagad/kang angidung iku/lamun dipunapalena/kidung iku den
tutug padha sawengi/adoh panggawe ala// Siapa yang tahu bunga tepus/tentu tahu
yang dimaksud dengan arta daya/yang menyatu dengan kehidupannya/siapa yang tahu
tujuan hidup/berarti kaya dan dipagari besi/dijaga orang sejagat/yang
melantunkan kidung itu/bila dibaca dilafalkan dalam semalam/jauh dari perbuatan
buruk.
Bait
sebelas berisi ajaran kepada manusia untuk memahami diri dan tujuan hidupnya.
Kekuatan arta daya yang dimiliki manusia mendorong tepo seliro (toleransi).
Manusia yang tahu tujuan perjalanan hidupnya akan dilindungi Tuhan seperti
halnya rumah yang berpagar besi. Di dalam kidung ini disebutkan keutamaan,
jika manusia mengenali jati diri akan
mencapai keinginan seperti disayang oleh Tuhan, digambarka dengan kehidupan
seperti rumah yang berpagar besi. Pada zaman itu rumah berpagar besi adalah
rumah keturunan bangsawan.
Bahwa
manusia terdiri dari aspek jasmani dan rohani. Tubuh yan meninggal akan hancur.
Adapun jiwa akan kembali kepada Sang Pencipta. Di dalam Al-Qur'an disebutkan
manusia tercipta dari saripati tanah. Ketika kita makan minum dari hasil bumi
kita paham maknanya.
Air
itu akan menjadi komposisi sel telur menyatu dengan proses perkembangan bayi di
dalam rahim. Ini menjadi kata kunci dalam sangkan paran dumadi. Maka itu dapat
menggambarkan asal usul dan tujuan hidup manusia yaitu Tuhan.
Agar
dapat kembali kepada Tuhan sebagaimana fitrahnya, manusia harus mengendalikan
napsu dengan menempa diri seperti berpuasa. Lelaku ini dijalankan untuk menempa
ruhani, agar napsu badani tidak dominan.
Suluk Kawedar Sunan Kalijaga terdiri dari 46 bait.
Suluk
ini dilantunkan dengan tembang atau nada Dandanggula, salah satu jenis tembang
macapat dalam sastra Jawa.
KONSEP
TUHAN DALAM SERAT KIDUNGAN KAWEDHAR
Konsep
ketuhanan yang ditulis dalam Surat Kidungan Kawedhar karya Sunan Kalijaga cukup
menarik untuk dikaji oleh para pecinta filsafat Jawa. Seperti konsep ketuhanan
yang tertulis dalam serat ini, khususnya mengenai keberadaan Tuhan sebagai
Sangkan Paran yang membuat serat ini perlu dikaji dan ditelaah. Ada dua masalah
utama dalam penelitian ini; tentang konsep Tuhan sebagai Sangkan Paraning
Dumadi dalam Serat Kidungan Kawedhar dan ajaran konsep Tuhan dalam Serat
Kidungan Kawedhar untuk kehidupan masyarakat saat ini. Dengan metode
deskriptif, analisis isi dan verstehen, penelitian ini menunjukkan bahwa
Tuhan
yang digambarkan dalam Surat Kidungan Kawedhar disebut Hartati yang merupakan
wujud manifestasi Tuhan dalam diri manusia. Sedangkan untuk memudahkan
penyampaian pesan-pesan tersebut diberi nama Tuhan oleh Sang Hyang Guru dan
Sang Hyang Hayyu. Seperti penggambaran Tuhan Ngadeg Pangawak Teja yang artinya
berdiri tegak dengan cahaya, atau Tuhan adalah jalan cahaya bagi kehidupan
manusia. Serat ini adalah himne yang digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam
mengislamkan Jawa. Selain itu, mengandung nilai-nilai religius tentang
pencarian Tuhan sebagai Pencipta dan jalan untuk bersatu menuju Tuhan
(manunggal marang Gusti). Selain itu, Sunan Kalijaga juga mengatakan dalam
Serat ini bahwa manusia harus dapat memahami diri dan tujuan hidupnya dengan
menerapkan tepa slira dan tetap menjaga Tuhan melalui Dzikir, karena akan
membuat manusia semakin dekat dengan Tuhan.
Kidung Kawedar Mantrawedha
Mantrawedha
adalah kidung karya Kangjeng Sunan Kalijaga. Kidung ini mantra dan wejang yang
terdiri dari 10 pupuh dhandhang gula. Karena kidung ini murni berisikan doa
atau mantra, maka umumnya dilantunkan dalam suara lembut, hening tanpa diiringi
gamelan nada macapat.
Inti
mantrawedha hanyalah yang tersurat dalam 5 pupuh pertama, yaitu doa kepada
Allah SWT. Sehingga jika seseorang ingin berdoa dengan mengidung atau membaca
mantrawedha, maka yang diperlukan hanya pupuh 1 sampai dengan 5 saja. Isi dari
doa adalah memohon keselamatan, baik terhadap gangguan kejahatan maupun
penyakit dan hama, baik dari sumber biologis dan fisik maupun dari metafisik.
Pupuh-pupuh selanjutnya menggambarkan wejang dari Kangjeng Sunan Kalijaga
tentang isi dan misi 5 pupuh pertama.
Beberapa
bahasa daerah, tidak sepenuhnya bisa dituliskan dalam aksara Latin, terutama
yang termasuk bahasa alam. Ada beberapa vokal maupun konsonan yang tidak
terwakili oleh aksara Latin. Terlebih bahasa Jawa, bahkan aksara Jawa pun menjadi
tidak konsisten. Contohnya vokal “a”. Ada “a” yang diucapkan tegas ada pula
yang di antara “a” dan “o”. Penulisannya yang benar tetap “a”, baik dalam
aksara Latin maupun Jawa. Untuk memudahkan pembaca, setiap pupuh kidung ini
ditulis 2 kali. Yang pertama adalah penulisan yang seharusnya, dan yang kedua
adalah menurut pengucapannya. Namun karena tidak ada aksara Latin untuk
menyatakan vokal di antara “a” dan “o”, maka disini dicoba dituliskan dengan
“o”.
Kidung
karya Sunan Kalijaga ini sudah terkenal sampai pelosok Nusantara. Di desa,
kidung ini sering dinyanyikan saat pertunjukan ketoprak, wayang kulit, dan lain
lain.
Inti
laku pembacaan Kidung Kawedar adalah agar kita senantiasa terhindar dari
malapetaka. Dengan demikian kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman
dan taqwa kepada Allah SWT.
Adapun
fungsi secara eksplisit tersuratnya antara lain :
1.
Penyembuh
segala macam penyakit.
2.
Pembebas
pageblug.
3.
Mempercepat
jodoh bagi perawan tua.
4.
Penolak
bala yang datang di malam hari.
5.
Menang
dalam perang.
6.
Memperlancar
cita-cita luhur.
Kidung
Kawedar dikenal memiliki berapa nama lain yaitu Kidung Sarira Ayu, sesuai
dengan bunyi teks dalam bait ketiga, dan Kidung Rumekso Ing Wengi, sesuai bunyi
teks di awal Kidung, sebagaimana kita lazim menyebut Surat Al Ikhlas dengan
nama Surat Qulhu atau Surat Al Insyiraah dengan sebutan Surat Alam Nasyrah.
Dalam membahas bait demi bait, bagi yang bisa menembang macapat, silahkan dilakukan seraya mendendangkan dengan tembang Dhandanggula.
Pupuh 1
Ana
kidung rumeksa ing wengi
Teguh
hayu luputa ing Lara
Luputa
bilahi kabeh
Jim
setan datan purun
Paneluhan
tan ana wani
Miwah
panggawe ala
Gunaning
wong luput
Geni
atemahan tirta
Maling
adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna
Pengucapannya
:
Ono
kidung rumekso ing wengi,
teguh
ayu luputo ing leloro,
luputa
bilahi kabeh,
jin
setan datan purun,
peneluhan
tan ono wani,
miwah
panggawe olo,
gunaning
wong luput,
geni
atemahan tirta,
maling
adoh tan ono ngarah mring mami,
guno duduk pan sirna.
Terjemah
bebas :
Ini
doa penjaga malam,
semoga
semua aman, luput dari penyakit,
dan
luput dari petaka,
jin
dan setan tidak akan (mengganggu),
teluh
(santet) tak akan berani (beraksi),
sekalian
niat jahat,
(dan)
tipu daya luput,
api
akan tertangkis air,
maling
menjauh tak berani menyatroni ku,
(dan) segala bentuk santet sirna
Penjelasan
:
Ini doa penjaga malam memohon kepada Allah akan keselamatan dan perlindungan dari berbagai kejahatan, baik yang dilakukan manusia, jin maupun setan, ataupun persekutuan antar mereka. Kejahatan-kejahatan tersebut akan luput atau gagal bagaikan api bertemu air.
Pupuh
2 dan 3
Sakehing
lara pan samya bali
Sakeh
ngama pan sami miruda
Welas
asih pandulune
Sakehing
braja luput
Kadi
kapuk tibaning wesi
Sakehing
wisa tawa
Sato
galak tutut
Kayu
aeng lemah sangar
Songing
landhak guwaning wong lemah miring
Myang
pakiponing merak
Pagupakaning
warak sakalir
Nadyan
arca myang segara asat
Temahan
rahayu kabeh
Apan
sarira ayu
Ingideran
kang widadari
Rineksa
malaekat
Sakathahing
Rasul
Pan
dadi sarira Tunggal
Ati
Adam Utekku Baginda Esis
Pangucapku ya Musa
Pengucapannya
:
Sakabehing
loro pan samyo bali,
kehing
omo pan sami mirudo,
welas
asih pandulune,
sakehing
brojo luput,
kadi
kapuk tibaning wesi,
sakehing
wiso towo,
sato
galak lulut,
kayu
aeng lemah sangar,
songing
landhak guwaning mong lemah miring,
myang
pakiponing merak.
Pagupakaning
warak sakalir,
nadyan
arko myang segoro asat,
temahan
rahayu kabeh,
apan
sarira ayu,
ingideran
mring widodari,
rinekso
malaikat,
sakathahing
rasul,
pan
dadi sariro tunggal,
ati
Adam uteku Bagindo Esis,
pangucapku yo Musa.
Terjemah
bebas :
Semua
penyakit akan kembali (ke asalnya),
semua
hama akan menyingkir,
semua
melihatku penuh kasih,
semua
serangan senjata (yang tertuju padaku) akan luput,
bak
kapuk jatuh di atas besi,
semua
racun (bisa) akan netral (bagiku),
(semua)
biatang buas akan tunduk (padaku),
pohon
angker, tanah gersang
bulu
landak, goa di tebing miring
maupun
sarang merak (baca: kawasan perburuan harimau)
(dan)
kubangan badak dan sebangsanya (baca: kawasan jorok sumber penyakit)
termasuk
teriknya matahari (arka) yang sedemikian hebatnya sehingga mampu mengeringkan
laut (baca: kemarau panjang),
semua
segera menjadi nyaman,
dan
membahagiakan,
bak
diiringi bidadari,
dijaga
malaikat,
dan
segenap para rasul,
semua
bak manunggal sejiwa (denganku),
perasaan(ku)
(adalah Nabi) Adam, pemikiranku (adalah Nabi) Sis,
(dan) ucapanku (adalah Nabi) Musa.
Penjelasan
:
Pupuh
2 dan 3 ini menunjukkan sebuah hasrat untuk beraura “pencerah”. Semua penyakit,
hama maupun serangan senjata tidak ada artinya. Ganasnya binatang buas berbalik
menjadi kepatuhan. Kawasan-kawasan angker, gersang, berbahaya, jorok seram dan
gawat serta kekeringan (peceklik) berubah menjadi indah, damai, subur, nyaman
dan penuh kebahagiaan.
Semua
itu berkat keimanan kita sehingga dari dalam diri kita terpancar aura para
malaikat dan para rasul. Semua manunggal dalam sanubari, dimana perasaanku
seperti Nabi Adam, pemikiranku seperti Nabi Sis, dan ucapanku seperti Nabi
Musa.
Apa
istimewa perasaan Adam ? Jelas, Nabi yang satu ini adalah satu-satunya lelaki
yang pernah hidup di Syurga sebelum turun ke bumi. Beliau juga manusia pertama
bumi versi jaman ini. Bahkan ada kisah bahwa beliau turun ke bumi karena dosa.
Semua ini menunjukkan kondisi extrim. Ketika di syurga mendapat kenikmatan
extrim. Setelah berbuat dosa dan diturunkan ke bumi, menjadi penyesalan extrim,
namun harus mengatasinya dengan tawakal extrim. Sehingga tentu apa yang
dirasakan Adam tidak bisa dibayangkan oleh manusia lain dan manusia lain tidak
mungkin mengalami hal yang seperti dialami Adam.
Pemikiran
Nabi Sis dan ucapan Nabi Musa, sepertinya merupakan kemenonjolan yang disimpulkan
oleh Sunan Kalijaga.
Pupuh
4 dan 5
Napasku
Nabi Ngisa linuwih
Nabi
Yakup Pamiyarsaningwang
Yusup
ing rupaku mangke
Nabi
Dawud Suwaraku
Jeng
Suleman kasekten mami
Nabi
Ibrahim nyawaku
Edris
ing Rambutku
Baginda
Ngali kulitingwang
Getih
daging Abubakar singgih
Balung
Baginda Ngusman
Sungsumingsun
Patimah linuwih
Siti
Aminah Bayuning Angga
Ayup
ing Ususku mangke
Nabi
Nuh ing Jejantung
Nabi
Yunus ing Otot mami
Netraku
ya Muhammad
Pamuluku
Rasul
Pinayungan
Adam sarak
Sammpun
pepak sakatahe para
Nabi
dadya sarira Tunggal.
Pengucapannya :
Napasingun
Nabi Isa luwih,
Nabi
Yakub pamiyarsaningwang,
Yusuf
ing rupaku mangke,
Nabi
Dawud swaraku,
Hyang
Suleman kasekten mami,
Ibrahim
nyawaningwang,
Idris
ing rambutku,
BagendAli
kulitingwang,
Abu
Bakar getih daging Umar singgih,
balung
Bagendo Usman.
Sungsum
ingsun Patimah linuwih,
Siti
Aminah banyuning anggo,
Ayub
ing ususku mangke,
Nabi
Nuh ing jejantung,
Nabi
Yunus ing otot mami,
Netraku
ya Muhammad,
panduluku
rasul,
pinayungan
Adam Sarak,
sampun
pepak sakhathahing poro Nabi,
dadyo sarira tunggal.
Terjemah
bebas :
Napasku
Nabi Isa
penampilanku
Nabi Yakub,
wajahku
Nabi Yusuf,
suaraku
Nabi Dawud,
kesaktianku
Nabi Sauleman,
nyawaku
Nabi Ibrahim,
rambutku
Nabi Idris,
kulitku
(sahabat) Ali,
darahku
(sahabat) Abu Bakar,
dagingku
(sahabat) Umar,
tulangku
(sahabat) Usman,
Sumsumku
Fatimah,
cairan
tubuhkan Siti Aminah,
ususku
Nabi Ayub,
jantungku
Nabi Nuh,
ototku
Nabi Yunus,
mataku
Nabi Muhammad,
penglihatanku
bak rasul,
diteduhi
oleh Nabi Adam dan Siti Sarah,
sudah
lengkap semua nabi,
manunggal
dalam jiwaku.
Penjelasan
:
Sepertinya
menggambarkan sekujur tubuh kita luar-dalam penuh dengan aura para nabi, para
sahabat dan para isteri Nabi Muhammad. Entah ini benar-benar permohonan supaya
aura para manusia istimewa tersebut masuk menjadi aura kita, atau sekedar kiyas
ataukah punya makna lain, saya sama sekali belum tahu. Yang jelas, Sunan
Kalijaga adalah seorang wali yang umumnya tingkat ilmu dan pengetahuannya sudah
makrifat. Seperti yang pernah saya tuliskan di laman Bima Suci, seorang
makrifat adalah orang yang jenius, sehingga tidak selalu pola pikirnya bisa
diikuti oleh orang awam. Kejeniusan Sunan Kalijaga sudah terbukti, selain
melalui pengembangan seni dan budaya, juga tata kota dan teknik bangunan, meski
beliau bukan insinyur sipil.
Pupuh
6-7: Wejang Sunan Kalijaga tentang Mantrawedha
Pupuh
6 sampai dengan 10 adalah penjelasan atau “wejang” dari Sunan Kalijaga tentang
inti Mantrawedha yang tersurat pada pupuh 1 sampai dengan 5 di atas. Namun
sepertinya wejang ini bukan menjelaskan arti dari setiap pupuh, melainkan
cenderung khasiat atau manfaat dan cara mendapatkannya.
Pupuh
6
Wiji
sawiji mulane dadi
Apan
apencar dadiya sining jagad
Kasamadan
dening Dzate
Kang
maca kang angrungu
Kang
anurat kang anyimpeni
Dadi
ayuning badan
Kinarya
sesembur
Yen
winacakna toya
Kinarya
dus rara gelis laki
Wong edan dadi waras
Pengucapannya
:
Wiji
sawiji mulane dadi,
apan
pencar sak indenging jagad,
kasamadan
dening dzate,
kang
moco kang angrungu,
kang
anurat kang anyimpeni,
dadi
ayuning badan,
kinaryo
sesembur,
yen
winacakno ing toyo,
kinarya
dus roro tuwo gelis laki,
wong edan nuli waras.
Terjemah
bebas :
Benih
apapun yang tumbuh,
akan
menyebar ke seluruh dunia,
mendapat
restu dari Dzat yang Maha Kuasa,
yang
membaca (dan) yang mendengar,
(dan)
yang menulis (dan) yang menyimpannya,
semua
akan mendapat manfaat (pahala),
sebagai
(kemampuan memberi) petunjuk.
Jika
(kidung ini) dibaca dekat air,
gadis
tua lekas dapat jodoh,
(dan) orang gila segera sembuh.
Penjelasan :
Sebuah
ilmu yang bermanfaat, baik pengetahuan maupun keterampilan, akan diridloi Nya, untuk
menyebar ke segala penjuru dunia. Semua pihak akan mendapat manfaatnya, baik
yang membaca, yang mendengarkan (orang membaca), yang menulis maupun yang
sekedar menyimpannya. Demikian pula kidung ini (pupuh 1-5), jika dibacakan di
dekat air, maka jika air itu untuk mandi gadis tua, dia akan lekas mendapat
jodoh. Jika utuk mandi orang gila, dia akan segera waras.
Pupuh
7
Lamun
ana wong kadhendha kaki
Wong
kabanda wong kabotan utang
Yogya
wacanen den age
Nalika
tengah dalu
Ping
sawelas macanen singgih
Luwar
saking kabanda
Kang
kadhendha wurung
Aglis
nuli sinauran mring hyang
Suksma
kang utang puniku singgih
Kang agring nuli waras
Pengucapannya
:
Lamun
ono wong kadhendho kaki,
wong
kabondo wong kabotan utang,
yogya
wacanen den age,
naliko
tengah dalu,
ping
sawelas wacanen singgih,
luwar
saking kebondo,
kang
kadhendho wurung,
aglis
nuli sinauran,
mring
Hyang Suksmo kang utang puniku singgih,
kang agring nuli waras.
Terjemah
bebas :
Manakala
(seseorang atau kamu) kena denda,
atau
terikat terjerat hutang,
sebaiknya
segera baca kidung ini (pupuh 1-5),
di
tengah malam,
jam
11 (pm) bacalah dengan khusuk,
jeratan
akan segera lepas,
denda
akan segera urung,
Tuhan
yang akan membayar hutangnya,
(dan) jika sakit segera sembuh.
Penjelasan
:
Bagi
yang sedang terancam kena denda atau hukuman atau terbelit hutang atau terjerat
dalam kekonyolan, kidung ini (pupuh 1-5) bisa menjadi doa ampuh untuk memohon
pertolongan Allah, terutama jika dibacakan jam 11 malam dengan khusuk. Ancaman
denda akan segera urung, jeratan segera lolos dan belitan hutang segera lunas.
Tuhan akan memberi jalan yang mudah untuk melunasi hutangnya.
Karena
ini mantra seorang wali, tentu tidak mungkin untuk menyelamatkan orang yang
sengaja berbuat salah. Kita boleh jadi berbuat salah tanpa sengaja berniat
kriminal.
Bagi
orang-orang yang benar-benar bersalah, semisal penjahat atau koruptor, doa
kidung ini tidak ada manfaatnya. Mereka mesti mencari mantra dari setan atau
iblis bila ingin lolos dari hukuman. Kidung ini justru mustajab untuk
menaklukkan mereka, karena masuk dalam kategori sebagai pelaku guna yang luput.
Bahkan bisa jadi orang-orang jahat seperti ini dianggap sebagai penyakit atau
hama.
Catatan
:
Ping
sawelas, ping disini bukan berarti kali, melainkan jam atau pukul, dari asal
kata tabuh kaping.
Pupuh
8
Lamun
ora bisa maca kaki,
winawera
kinarya ajimat,
teguh
ayu tinemune,
lamun
ginawa nglurug,
Mungsuhira
tan ana wani,
luput
senjata tawa,
iku
pamrihipun,
sabarang
pakaryanira,
pan
rineksa dening Hyang Kang Maha Suci,
sakarsane tinekan.
Pengucapannya
:
Lamun
ora bisa moco kaki,
winawero
kinaryo ajimat,
teguh
ayu tinemune,
lamun
ginowo nglurug,
Mungsuhiro
tan ono wani,
luput
senjoto towo,
iku
pamrihipun,
sabarang
pakaryaniro,
pan
rinekso dening Hyang Kang Moho Suci,
sakarsane tinekan.
Terjemah
bebas :
Jika
(kamu) tidak bisa membaca,
hapalkan
saja seperti jimat,
niscaya
akan aman,
jika
(kamu) bawa meluruk (perang),
musuhmu
akan takut,
luput
dari (serangan) senjata (apapun),
itulah
manfaatnya,
segalanya
akan dijaga oleh Tuhan yang Maha Suci,
(dan) apapun yang kau inginkan kabul.
Penjelasan
:
Bagi
yang tidak bisa membaca (buta huruf), tetap bisa mendapat manfaatnya dengan
menghapalkannya. Kidung ini tetap akan menjadi doa untuk keselamatan dalam
peperangan maupun untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.
Pupuh
9
Lamun
arsa tulus nandur pari
puwasaa
sawengi sadina,
Iderana
gelengane
Wacanen
kidung iku
Sakeh
ngama sami abali
Yen
sira lunga perang
Wateken
ing sekul
Antuka
tigang pulukan
Musuhira
rep sirep tan ana wani
Rahayu ing payudan
Pengucapannya :
Lamun
arso tulus nandur pari,
puwosowo
sawengi sadino,
iderono
galengane,
wacanen
kidung iku,
kehing
omo samyo bali,
yen
sira lungo perang,
wateken
ing sekul,
antuko
tigang pulukan,
musuhiro
rep sirep tan ono wani,
rahayu ing payudan.
Terjemah
bebas :
Jika
(kamu) akan bertani padi,
berpuasalah
semalam sehari,
(dan)
beredarlah di setiap pematangnya,
(sambil)
membaca kidung ini,
(niscaya)
semua hama akan kembali (ke asalnya),
jika
(kamu) akan pergi ke medan perang,
bacalah
(kidung ini) dekat nasi,
makanlah
3 suap,
(niscaya)
musuhmu ketakutan tak akan berani,
(dan) kamu selamat dalam peperangan.
Penjelasan
:
Bagi yang akan bertani padi, kidung ini juga menjadi doa ampuh untuk memohon keberhasilan ketika panen kelak. Akan lebih afdol jika dibaca ketika sedang berpuasa sambil beredar di setiap pematang. Ini akan menjadi doa ampuh untuk memohon supaya tanamannya terbebas dari hama.
Bagi
yang hendak pergi ke medan perang, kidung ini dibaca di dekat nasi dan
dilanjutkan dengan memakannya 3 suap. Ini akan menjadi doa ampuh untuk memohon
keselamatan dan kejayaan di medan tempur.
Pupuh
10
Sing
sapa bisa nglakoni
Amutiya
lawan anawaa
Patang
puluh dina wae
Lan
tangi wektu subuh
Lan
den sabar sukuring ati
Insya
Allah tinekan
Sakarsanireku
Tumrap
sanak rakyatira
Saking
sawabing ngelmu pangiket mami
Duk
aneng Kalijaga.
Pengucapannya
:
Sing
sopo kulino anglakoni,
amutiyo
lawan anowoho,
patang
puluh dino bae,
lan
tangi wektu subuh,
lan
den sabar sukuring ati,
Insha
Allah tinekan,
sakarsanireku,
tumrap
sanak rakyatira,
saking
sawabing ngelmu pangiket mami,
duk
aneng Kalijogo.
Terjemah
bebas :
Bagi(mu)
yang suka berprihatin,
mutih-tawarlah
(puasa dan hanya makan nasi putih dan minum air putih),
40
hari saja,
bangunlah
setiap subuh,
dan
utamakan sabar dan syukur,
insha
Allah terkabul,
apa
saja yang kamu inginkan,
bagi
kerabat dan rakyatmu,
oleh
pengaruh keimananku,
(yang kudapat) ketika di Kalijaga.
Penjelasan
:
Bagi
yang biasa “lelakon” atau bertapa, bisa mendapat manfaat kidung ini lebih
sempurna. Syaratnya adalah dengan melakukan puasa mutih atau tawar selama 40
hari. Puasa “mutih” artinya puasa dan ketika berbuka hanya makan makanan yang
berwarna putih atau tak berwarna. Puasa “nawa” artinya puasa dan ketika buka
hanya makan makanan yang tak berasa. Disini disyaratkan puasa mutih dan nawa
selama 40 hari.
Selain
itu juga disyaratkan untuk bangun setiap subuh dan menengadah dengan penuh
kesadaran kepasrahan dan kesabaran berucap syukur kehadlirat Allah yang Maha
Kuasa. Insha Allah, akan mendapatkan apa yang kita inginkan dan berkah yang
melimpah bagi segenap kerabat dan rakyat. Karena cara ini benar-benar sesuai
dengan cara sang wali mendapatkan ilmu ini ketika di Kalijaga. Sampai sekarang
sebagian masyarakat Indonesia termasuk suku Jawa, masih percaya dan menyenangi
hal-hal gaib.
Hampir
setiap hari pembicaraan kami kanak-kanak, tidak pernah tanpa bicara masalah
makhluk halus, kesaktian dan kanuragan, Gusti Allah serta masalah-masalah gaib
dan supranatural. Ada saja yang dibicarakan mengenai sepak terjang belasan
jenis makhluk halus. Ada yang disebut gendruwo, wewe, banaspati, jrangkong,
hantu pocong, glundung pecengis, lampor, sundel bolong dan lain-lain.
Setiap
pohon beringin atau pohon-pohon besar berusia puluhan bahkan ratusan tahun
serta tempat-tempat angker yang belum disentuh dan diolah manusia, dipercaya
dihuni makhluk halus. Padahal pohon dan tempat seperti itu pada masa itu banyak
sekali dan hampir ada di setiap pekarangan rumah. Penduduk masih jarang dan
hunian tidak sepadat sekarang. Jarak satu rumah dengan yang lain lebar-lebar.
Kebun dan halaman rumah luas-luas, bisa ribuan meter persegi sehingga banyak
yang belum terolah dan menjadi semak belukar atau berupa rumpun bambu. Demikian
pula pepohonannya yang tumbuh alami dari biji, berbatang besar-besar lagi
tinggi, jauh lebih besar dari pelukan pemiliknya.
Sementara
listrik belum masuk desa, belum ada radio, televisi, apalagi telpon.
Jalan-jalan desa masih berupa jalan tanah dan jumlah mobil di setiap kabupaten
bisa dihitung dengan jari. Jadi bisa dibayangkan, sunyi sepinya suasana
sehari-hari, lebih-lebih bila hari sudah mulai gelap.
Di
tengah kesunyian itulah kami bermain aneka permainan tradisional termasuk
permainan mengundang ruh halus yang disebut jaelangkung dan jaelangsih. Kami
juga harus belajar silat untuk bekal membela diri jika bepergian, mempelajari
ilmu kesaktian dan kanuragan, tenaga dalam serta berbagai olah batin agar bisa
selamat lagi berjaya dalam kehidupan.
Itu
adalah gambaran suasana pertengahan abad XX. Bisa dibayangkan betapa lebih
sunyi dan seramnya suasana abad XV – XVI dengan hutan belantara di mana-mana,
suasana serta kehidupan di zaman peralihan dari Kerajaan Majapahit ke
Kesultanan Demak, tatkala agama Islam baru mulai disebarkan ke penduduk Jawa
yang menganut agama Syiwa-Buddha dan percaya bahkan banyak yang memuja ruh-ruh
halus. Maka topik pembicaraan apa yang paling menarik untuk disampaikan jikalau
bukan tentang bagaimana menghadapi godaan makhluk halus, menangkal ilmu hitam,
memperoleh kesaktian serta menundukkan kawasan-kawasan angker dan keramat demi
kesejahteraan hidup.
Dengan
daya tarik itulah Sunan Kalijaga memulai Suluk Kidung Kawedar sebagaimana bait
di atas. Kanjeng Sunan Kali, demikian panggilan kehormatan beliau, langsung
menawarkan mantera pelindung kehidupan, yang mampu menjaga siapa yang membaca
dan yang mempercayainya dari segala marabahaya, serta bisa membuat hidup
menjadi sejahtara.
Bait
pertama menggambarkan kehebatan tembang pujian, yang enak didengar namun
sekaligus sakti mandera guna, yang menjaga kita di malam hari, yang melindungi
kita dari segala macam penyakit dan hal-hal buruk, melindungi dari gangguan jin
dan setan, menangkal ilmu hitam dan segala hal yang buruk yang mau mencelakai
kita, sampai-sampai diibaratkan bisa mengubah api yang panas menjadi air nan
sejuk bila menghampiri kita, seperti kisah Kanjeng Nabi Ibrahim ketika dibakar.
Demikian pula para pencuri menjauh, tidak ada yang berani mengganggu hak milik
kita.
Bait
kedua masih menggambarkan kehebatan kidung mantera ini. Hama dan penyakit
menyingkir, karena siapa pun makhluk Allah yang melihat kita menjadi iba dan
menaruh kasih sayang. Dan segala ilmu kesaktian, tiada yang bisa mencelakai
kita, lantaran akan bagai kapuk yang sangat ringan lagi lembut, jatuh ke atas
besi yang keras lagi kuat. Semua racun menjadi tawar, semua binatang buas
menjadi jinak. Segala jenis tumbuh-tumbuhan, pohon, kayu, tanah sangar atau
angker serta sarang-sarang binatang yang dilindungi aura gaib, tiada perlu
ditakuti lagi.
Bait
ketiga masih diawali dengan pameran kekuatan sang kidung yang luar biasa bak
bisa membuat air lautan menjadi asat atau mengering, yang dilanjutkan dengan
iming-iming, pesona gambaran kehidupan serba nyaman dan selamat sejahtera.
Kepada masyarakat Jawa yang percaya akan adanya para dewa dengan para
bidadarinya, Sunan Kalijaga mulai memasukkan daya tarik dan istilah-istilah
baru secara lepas-lepas, yakni butir-butir ajaran Islam.
Siapa
yang percaya kidung ini, kehidupannya akan dikelilingi oleh para bidadari, akan
dijaga oleh para malaikat dan rosul yang bahkan telah menyatu pada diri kita.
Nabi Adam akan manjing, merasuk ke dalam batin kita. Nabi Sis berada di otak
sedangkan Nabi Musa di tuturkata kita. Malaikat, rasul, Adam, Sis dan Musa
adalah hal-hal baru bagi orang-orang Jawa baik yang animis, mempercayai ruh
leluhur, makhluk gaib mau pun yang Syiwa-Buddha. Hal-hal baru itulah yang
sesungguhnya menjadi inti kekuatan kidung mantera pujian ini.
SERAT KIDUNGAN KAWEDAR
Sekar
Dhandhanggula Tinggalanipun para leluhur Yasa dalem kanjeng sunan Kalijaga mugi
saget dados tambahing seserepan.
Kaping
01 :
Ana
kidung rumekso ing wengi,
Teguh
ayu luputa ing lara,
Luputa
bilahi kabeh,
Jim
setan datan purun,
Paneluhan
tan ana wani,
Miwah
penggawe ala,
Gunane
wong luput,
Geni
tinemahan tirto,
Maling
adoh datan ana ngarah ing mami,
Guna duduk pan sirno.
Kawedaraken
suraosipun makaten :
Wonten
puji ingkang kanggenipun manawi ing wanci dalu. Inggih punika : mugi-mugi
pinaringan teguh, rahayu, linepatna ing sesakit, uwin linepatno sakathahing bilahi. Puji
makaten punika, katindakna ing saben wanci dalu.
Anggadhahi
daya : Jim setan, paneluhan sedaya mboten wonten ingkang angrencana :
Tiyang
ingkang sumedya mendamel piawon tuwin ingkang anggunani sacara dhesti utawi
japa mantra, sedaya mboten saget tumomo. Tiyang ingkang sengit dados tresno,
bangsanipun pandung sami nebih mboten wonten ingkang sumedyo ngarah dateng
kita, tuwin tuju duduk sami cabar.
Menggah
ingkang katembangaken ana kidung rumeksa ing wengi punika miturut wewatoning
ngelmi namung kangge sanepa. Dene sejatosipun inggih punika SANG SABDA KUN
(sang guru jati) panjenenganipun wau
inggih ingkang rumeksa ing dalu. Tegesipun : SANG GURU JATI wau manawi wanci
dalu andum sandang tedha tuwin ingkang mundhi papesthen sadaya lelampahaning
manungsa, sarta ingkang anggadhahi daya panguaos ingkang semanten agengipun.
Pramila cundhukipun kalian tiyang ingkang sampun anggadhahi ngelmi.
Menawi
ing wanci dalu punika namung perlu anjejeraken cumadhong dhawuh kados pundhi
ingkang badhe kita lampahi saben dintenipun. Kenging damel ancer-ancer tekad.
Dados ing wancinipun siang punika kantun tumindak ngupaya boga punapa ingkang
sampun dados tanggel jawabipun, kanti awas tuwin enget wau.
Manawi
pangestinipun wau saget gambuh kalian GURU JATI, kita inggih kadunungan daya
panguaos kados inggih ingkang kapretalaken ing nginggil.
Kaping
02 :
Sakehing
lara pan samya bali,
Sakehing
ama pan samya miruna,
Welas
asih pandulune,
Sakehing
braja luput,
Kadi
kapuk tiba ing wesi,
Sakehing
wisa tawa,
Sata
galak tutut,
Kayu
aeng lemah sangar songing landhak,
Guwaning
wong lemah miring,
Myang pakiponing merak.
Kawedaraken
suraosipun makaten :
Tuwin
saking dayanipun kidung wau, sakathahing penyakit ingkang badhe dhateng lajeng
sami wangsul. Sak kathahing ama ingkang andadosaken karibetan ing lelampahan
sami sumingkir tebih. Sedaya wau namung anggadhahi raos welas lan asih. Saupami
wonten ingkang badhe sumedya anamani dedamel, inggih sampun ndilalah mesti
lepatipun, saupami kengingo inggih mboten kraos punapa-punapa.
Pepindhanipun
kados dene kapuk dumawah wonten tosan. Saupami kenging wisa saget tawar.
Saupami kepethuk sato kewan ingkang galak inggih nboten purun mangsa, kewang
wau dados tutut.
Punapa
dene manawi ngambah ing wit-witan ingkang angker, tuwin siti ingkang sangar
inggih lajeng dados cabar.
Samanten
agengipun daya panguosipun kidung sak lampah-lampah kita tansah jinangkung
ingkang wilujeng ing kawilujengan sarta kaleresan. Wondene inkang katembungaken
songing landhak, guwaning wong lemah miring myang pakiponing merak, punika
namung pralambang, miturut wewaton ngelmi.
Tegesipun
: anedhahaken wiwitanipun dumadosanipun manungsa, lantaran saking kakung tuwin
wanita (bapa tuwin biyung).
Katranganipun
: Bapa anggenipun anitisaken wiji dhateng biyung korud dening kama wonten
salebeting mani, madi, wadi tuwin maningkem. Ingriku punika anggenipun sang
Hyang Maha Suci amardeng titah. Nanging wiji wau taksih dumunung ing nukat Gaib
awujud cahya wening.
Kaping
03 :
Pagupakaning
warak sakalir,
Yen
winaca ing segara asat,
Temahan
rahayu kabeh,
Apan
sari rahayu,
Ingideran
kang widodari,
Rineksa
malaekat,
Sakathahing
rasul,
Pan
dadi sariro tunggal,
Ati
Adam utegku bagenda Esis,
Pangucapku ya Musa.
Kawedaraken
suraosipun makaten :
Pagupakaning
warak sakalir,
Inkang
makaten punika namung pralambang, katranganipun :
Wijining
manungsa wau sagetipun dados wujut asalipun saking daya warni-warni kadosto.
–
Titipanipun bapa biyung.
– Tuwin anasir ALLAH wolung prakawis inggih punika : ingkang sekawan prakawis dados prakawis anasiring badan kang alus. 1. Surya, 2 Candra, 3 Kartika, 4 Swasana. Dene ingkang sekawan Prakawis dados anasiring badan kuwadhagan, 1 Geni, 2 Angin, 3 Banyu, 4 Bumi.
Yen
winaca ing segara asat,
Ingkang
makaten punika namung paribasan, katranganipun : Sedaya anasir wau namung
kapendhet sarinipun, saking daya panguaosipun SANG SABDO KUN, utawi namung
kasabdaaken kemawon sampun saget dados.
Temahan
rahayu kabeh,
Katranganipun
: Satunggal-satunggaling anasir wau, dumadosipun dados praboting manungsa
kalayan sampurna.
Apan
sari rahayu,
Katranganipun
: Lajeng saget wujud janggerenganing sariro.
Ingideran
kang widodari,
Katranganipun
: Sasampuning wujud Janggerenging sariro, lajeng kapanjingan 5 prakawis inggih
punika,
1.
NUR.
2.
RAHSA.
3.
ROH.
4.
NAPSU.
5.
BUDI.
Rineksa
malaekat,
Tegesipun
: manungsa punika ugi rineksa ing malaekat.
Katranganipun
: Malaekat ingkang rumeksa salebeting badan punika miturut wewaton ngelmi
cacahipun wonte 4, dene lenggahipun wonten.
1.
Jabarail lenggahiun wonte ing kulit.
2.
Mikail lenggahiun wonte ing balung.
3.
Isrofil lenggahipun wonten ing otot.
4.
Ngijroil lenggahipun wonten ing daging.
Sakathahing
rasul,
Tegesipun
: Tuwin rineksa sakathahing utusanipun Gusti Allah.
Dene
ingkang ingaken utusan punika, katranganipun RASUL, menggah raos ingkang
dumunung ing manungsa, punika peranganipun wonten 3 golongan.
1.
RAOS
SEJATI, dumunung satelenging manah kawastanan : Rahsaning Sukma. Inggih punika
ingkang dados pangretosan tumpraping GAIB.
2.
RAOS
KADIM, Dumunung ing MANAH, dados raos pangraos, inggih punika ingkang saget
ambedaaken LERES tuwin LEPAT.
3.
RAOS
NJAWI, Dumunung wonten PANCA DRIYO.
Inggih punika pucuking driji saget anedhaakena barang kasar tuwin alus. TUTUK
saget ngraosaken legi gurih GRONO saget angraosaken wangi tuwin bacin, NETRO
saget angraosaken padhang tuwin peteng, KARNO saget angraosaken suwanten sora
tuwin lirih.
Pan
dadi sariro tunggal,
Tegesipun
: sadoyo wau dumunung dados satunggal wonten ing badaning manungsa. Wondene ingkang
katembungaken : ATI ADAM UTEGKU BAGENDHO ESIS punika kateranganipun anerangaken
gelaran mumukaning prabot kita.
Ati
Adam utegku bagenda Esis,
Kadosta
: ATI ADAM Tegesipun : Ati punika asilipun saking titipanipun biyung. Saget
dados ratuning badan , manawi kurang satiti saget dumawah sangsara
lelampahanipun.
Dene
ati punika peranganipun wonten 3 prakawis, inggih punika:
1.
ATI
SANUBARI. Pakartinipun kangge angrimati kawruh pancadriya utawi kangge
angraos-raosaken.
2.
ATI
SIRI. Pakartinipun anuwuhaken karep ingkang dereng kawedal krentek utai niat.
3.
ATI
MAKNAWI. Pakartinipun anuwuhaken raosing pangertosan dhateng GAIB (karsa
ingkang wiwitan).Ingkang makaten wau dipun sanepaaken NABI ADAM inggih dados
manungsa ingkang wiwitan.
Wondene
UTEGKU BAGENDHO ESIS tegesipun : uteg punika asalipun saking titipanipun biyung
kenging kangge mikir-mikir utawi imbang-imbang sedaya lelampahan ingkang badhe
kita lampahi sageta katetepan iman eling. Dados makaten punika dipun sanepaaken
BAGENDHO ESIS inggih katetepaken iman eling, saget dados panutanipun para nabi.
Pangucapku
ya Musa,
Tegesipun
: Pangandika asalipun saking jantung, ewodene manawi saget sampurna, inggih
dumugi ing insan kamil (dumununging pagesangan ingkang leres) ingkang makaten
punika dipun sanepaaken NABI MUSA, inggih tansah mundhi dhawuh pangandikaning
ALLAH, lajeng saget dados panutanipun tiyang golongan bani Israel saking tanah
mesir dateng tanah kenangan. Namung saking dayaning pangandikanipun kemawon,
lajeng saget dipun pitados ing tetiyang kathah.
Kaping
04 :
Napasku
nabi Ngisa linuwih,
Nabi
Yakub pamiarso ningwang,
Yusuf
ing rupaku mangke,
Nabi
Dhawud swaraku,
Jeng
Soleman kasekten mami,
Nabi
Ibrahim nyawa,
Idris
ing rambutku,
Bagendho
Li kulit ingwang,
Getih
daging Abubakar Ngumar Singgih,
Balung
bagendho Ngusman.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Napasku
nabi Ngisa linuwih,
Tegesipun
: napas menika dados tetangsuling badan , asalipun saking anasir angina
mahanani 4 perkawis inggih punika :
1.
NAPAS.
2.
ANPAS
3.
3.
TAN NAPAS
4.
4.
NUPUS.
Menawi
kita saget anggumelengaken lampahing napas ingkang saking lebet utawi njawi,
saestunipun saget anuwuhaken kanyataning karsa ingkang linagkung. Ingkang
makaten wau kaupameaken kados dene NABI NGISA inggih dados tetangsuling agami.
Nabi
Yakub pamiarso ningwang,
Tegesipun : Nabi Yakup punika satunggaling nabi ingkang tetep pangabektinipun dating Gusti Alla sarta tansah remen niling-nilingaken sasmita dhawuhing pangeran. Amila dipun sanepaaken pamiarsa kita, ing sasaget-saget kita ugi kepareng aniling-nilingaken dhateng piwulang ingkang sae utawi samitaning pangeran.
Yusuf
ing rupaku mangke,
Tegesipun
: Nabi Yusup punika lelampahanipun wiwit alit nandang papa sangsara jalaran
kenging panganiaya, namung sangsaranipun wau namung dados sarananing kaleresan.
Inggih punika lajeng saget jumeneng adipati wonten negari Mesir.
Pramila
dipun sanepaaken rupi kita, amargi rupi punika, dados warananing warna. Dene
warna punika dados warananing GAIB.
Dados
rupi kita kita punika sadaya dados warananing gaib ingkang linangkung utawi
titipaning Allah.
Nabi
Dhawud swaraku,
Tegesipun
: Nabi Dhawud punika wiwit alit namung dados juru pangen mendha. Katarik saking
kamursidanipun tuwin swaranipun sae, lajeng saget jumeneng Nabi utawi ugi
jumeneng nata. Pramila dipun sanepaaken swara kita, amargi swara kita punika
inggih dados kanyataning gaib.
Jeng
Soleman kasekten mami,
Tegesipun
: Kanjeng Nabi Soleman punika inggih jumeneng nabi inggih jumeneng nata.
Kagungan kasekten ingkang linangkung inggih punika : Dipun luluti para nata ing
sakiwa tengenipun, sarta para wadya balanipun sadaya sami setya tuhu sumungkem
ing gusti. Namung katarik saking pangaribawanipun sarta kawicaksananipun
pramila dipun sanepaaken kasekten kita. Amargi kita menika sejatosipun inggih
gadhah kasekten kadosdene kanjeng Nabi Soleman wau. Inggih punika bilih kita
saget gambuh kalian GAIB.
Nabi
Ibrahim nyawa,
Tegesipun
: Nabi Ibrahim punika satunggaling nabi ingkang santosa kapitadosanipun
dumateng gusti Allah . salampah-lampahipun namung mituhu dhateng dhawuh
pangandikaning Allah . Pramila dipun sanepaaken nyawa kita. Amargi nyawa
wahananing SUKSMA dene SUKSMA punika dados kanyataningsun, dados inggih kedah
gegandengan loroning atunggal supados saget gesang ingkang kaleresan.
Idris
ing rambutku,
Katranganipun
: namung anedahaken bilih rambut punika asalipun saking titipanipun Bapa.
Bagendho
Li kulit ingwang,
Katranganipun
: namung anedahaken bilih kulit punika asalipun saking titipanipun Bapa.
Getih
daging Abubakar Ngumar Singgih,
Katranganipun
: namung anedahaken bilih getih tuwin daging punika asalipun saking titipanipun
BIYUNG.
Balung
bagendho Ngusman,
Katranganipun
: namung anedahaken bilih balung punika asalipun saking titipanipun Bapa.
Kaping
05 :
Sungsumingsun
Patimah linuwih,
Kang
minangka rahayuning angga,
Ayub
minangka ususe,
Nabi
nuh ing jejantung,
Nabi
yunus ing otot mami,
Netraku
ya Mukammad,
Panduluku
rasul,
Pinayungan
Adam sarak,
Sampun
pepak sakathahing para nabi,
Dadyo sariro tunggal.
Kawedarakensuraosipun
makaten :
Sungsumingsun
Patimah linuwih,
Katranganipun
: namung anedahaken bilih sungsum punika asalipun saking titipanipun BIYUNG.
Kang
minangka rahayuning angga,
Tegesipun
: sungsum punika ingkang andadosaken kesegeraning badan.
Ayub
minangka ususe,
Katranganipun
: namung anedahaken bilih usus punika asalipun saking titipanipun BIYUNG.
Nabi
nuh ing jejantung,
Tegesipun
: Nabi Nuh punika dados plawanganing Allah nalika andhawuhaken jagad badhe
dipun kelem. Pramila dipun sanepaaken jantung amargi jantung punika ugi dados
plawanganing dhawuhipun sang Guru Jati utawi anedhahaken bilih asalipun saking
titipanipun biyung.
Nabi
yunus ing otot mami,
Katranganipun
: namung anedahaken bilih otot punika asalipun saking titipanipun BAPA.
Netraku
ya Mukammad,
Tegesipun
: Namung anedhahaken bilih salebeting netro ingkang pethak punika wonten
gaibipun awujud CAHYA. Kawastanan : NUR MUKAMMAD, inggih punika ingkang
minangka awasing paningal.
Panduluku
rasul,
Tegesipun
: naming anedhahaken bilih raos punika lenggahipun wonten ing netra ingkang
cemeng. Katitik saking emating raos lajeng kiyer-kiyer. Katranganipun : Rasul
punika utusan. Menggahing ngelmi ingkang ingaken utusan punika raos.
Pinayungan
Adam sarak,
Tegesipun
: Jabang bayi punika bilih badhe lair anampeni prajanjian dening Allah.utawi
kinucungan ing wewaler. Katranganipun : Benjing tumindakipun wonten ing alam
donya manawi purun angestoaken dhawuhipun Gusti Allah inggih badhe manggih
wilujeng sak lami-laminipun. Nangin manawi namung miturut pambujuking sadherek
sekawan gangsal pancer inggih badhe nandhang papa sangsara sak lami-laminipun.
Sampun
pepak sakathahing para nabi,
Dadyo
sariro tunggal.
Tegesipun
: Sedaya ingkang dipun gelaraken ing nginggil wau, sampun jangkep praboting
manungsa, ngalempak dados satunggal, awujud jenggerenging Jabang bayi.
Kaping
06 :
Wiji-sawiji
mulane dadi,
Apan
pencar saisine jagad,
Kasamadan
dening date,
Kang
maca kang angrungu,
Kang
anurut miwah nyimpeni,
Dadi
ayuning badan,
Kinarya
sesembur,
Yen
winacakna neng toya,
Kinarya
dus rara tuwa angles rabi,
Wong edan nuli waras.
Kawedaraken
suraosipun makaten :
Wiji-sawiji
mulane dadi,
Tegesipun
: Manungsa punika asalipun saking wiji satunggal, inggih punika gesang ingkang
jumeneng pribadi.
Apan
pencar saisine jagad,
Tegesipun
: Lajeng saget pencar (tumangkar) dados pinten-pinten ewu angebaki jagad.
Punika asalipun naming peranganing satunggal.
Kasamadan
dening date,
Tegesipun
: Gesanging titah punika sedaya kasamadan dening dating pangeran.
Kang
maca kang angrungu,
Kang
anurut miwah nyimpeni,
Dadi
ayuning badan,
Tegesipun
: tiyang ingkang maos, ingkang mirengaken, ingkang nyerat tuwin ingkang
ngrimati serat kidungan punika, sedaya sami angsal sawab wilujeng sak
lampah-lampahipun.
Katranganipun
: sedaya wau bakunipun kita kedah pitados ingkang saestu, bebasanipun
sapatemon-tinemenan, amargi ing atasipun gusti Allah manawi sumedya mitulungi
dhateng kawulanipun punika sanadyan mawi sarana wujud punapa kemawon,
saestunipun inggih anggadhahi daya utawi sebab.
Nanging
manawi tiyang ingkang pitados kados makaten punika, namanipun tiyang ingkang
ngelminipun saweg setengah.Dene menawi tumprap tiyang ingkang sampun pana
dateng gaib, kapitadosanipun punika boten kandeg namung wonten ing warono,
nanging perlu macung piyambak, sageta sapatemon.
Kinarya
sesembur,
Yen
winacakna neng toya,
Kinarya
dus rara tuwa angles rabi,
Wong
edan nuli waras.
Tegesipun
: serat kidungan wau, manawi kawategaken ing toya, lajeng kasemburaken
idunipun, toya wau anggadhahi sawab manawi kaangge siram ing prawan ingkang
sampun kasep, lajeng tumunten saget angsal jodho. Manawi kangge siram tiyang ingkang
sakit ewah, nggih tumunten saras.
Katranganipun
: tumprapipun tiyang ngelmi ingkang katembungaken kidung puika sanepanipun SANG
GURU JATI.
Amila
daya wau inggih kapendhetaken saking panguaosing sang guru jati. Dados langkung
perlu punika sageda gambuh kaliyan sang GURU JATI supados saged ngampil
panguaosipun.
Kaping
07 :
Lamun
ana wong kadhendho kaki,
Wong
kabonda lan kabotan utang,
Yogya
wacanen den age,
Ing
wanci tengah dalu ping selawe,
Wacanen
ririh,
Luar
ingkang kabanda,
Kang
kadendha wurung,
Anglis
nuli sinauran mring Yang Suksma,
Kang
utang puniku singgih,
Kang agring dadi waras.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Lamun
ana wong kadhendho kaki,
Tegesipun
: paring pangertosan dhateng tiyang anem, mbok menawi wonten tiyang ingkang
kadhendho ing nagari. Kateranganipun : tiyang ingkang ukum dhendha .
Wong
kabonda lan kabotan utang,
Tegesipun
: sarta tiyang ingkang kabonda prakawis pulisi, tuwin tiyang ingkang kekathahen
sambutan nanging ngrekaos panyauripun.
Yogya
wacanen den age,
Tegesipun
: tiyang ingkang kataman wau tumuntena maos serat kidungan wau .
Katranganipun
: ingkang kawaos naming pujian ingkang angka 1, nanging manawi tiyang ngelmi
langkung perlu Sang Guru Jati.
Ing
wanci tengah dalu ping selawe,
Wacanen
ririh,
Tegesipun
: anggenipun maos wau ing wanci tengah dalu kalayan ririh-ririh kemawon, rambah
kaping selawe. Katranganipun : manawi lampahipun tiyang mangesti Sang Guru Jati
menika mboten perlu mawi sarana ucap-ucapan, nanging sampun kacekap wonten ing
niyate mawon. Sarana angulataken lebet wedaling napas ingkang ngantos angler
utawi kasupen.
Luar
ingkang kabanda,
Tegesipun
: Manawi katrimah ing pamujinipun tiyang ingkang kabanda wau saget luar.
Katranganipun : saget dipun luar wau inggih saking saran reko daya , nanging
reka daya punika wau sampun kaparingan berkah ing Allah. Dados inggih saget
antrenyuhaken penggalihanipun nagari.
Kang
kadendha wurung,
Tegesipun
: sata upami tiyang ingkang kadhendha inggih saget wurung.
Anglis
nuli sinauran mring Yang Suksma,
Kang
utang puniku singgih,
Tegesipun
: Tuwin upami tiyang ingkang kekathahen sambutan wau, inggih lajeng dipun sauri
dening Allah. Katranganipun : Gutsti Allah anggening nyauri sambutaning tiyang
punika saestunipun inggih mawi warono ing tiyang sanes ingkang gadhah arta
katrenyuhaken manahipun lajeng amelasi lajeng paring arta dhateng ingkang
nyambut wau, lajeng kenging kangge nyauri.
Kang
agring dadi waras.
Katranganipun
: upami tiyang ingkang ketaman sakit, inggih lajeng dados saras. Katranganipun
: sagetipun saras wau saestunipun inggih mawi sarono jampi nanging jampinipun
sampun angsal berkah.
Kaping
08 :
Sapa
reke bisa anglakoni,
Amutiha
lawan anawa a,
Patangpuluh
dina wae,
Lan
tangi wektu subuh,
Lan
den sabar sukuri ing widhi,
Insya
Allah tinekan sakarsanireku,
Tumrap
sanak rayatira,
Awit
saking sawab pangiketing ngelmi,
Duk
aneng kali jaga.
Kawedharaken
suraosipun makaten : milanipun sinten ingkang saget anglampahi dhateng
wigatosing ngelmi, keparenga methak kawan dasa dinten, menawi kirang sedinten
sedalu lajeng ngeblenga. Salebeting nglampahi wau, manawi wungu sare kaangkaho
wanci jam 4.30 enjing.
Ing
saben dintenipun kadamel ajeg. Punapa malih sak tindak-tanduk kita, katingalo
ingkang narimo kanti sabar penggalih, naming sumarah ing sak keparengipun.
Sarana
tumindak ingkang makaten punika, manawi temen-temen inggih saget tinarimah
dening Allah, saget kadumugen punapa ing pangestinipun sarta kenging kagem
mitulungi dhateng karibetaning sanak sederek, putra wayah tuwin sane-sanesipun.
Ingkang makaten wau katarik saking sawabing ngelmi ingkang sampun dipun lampahi
sarta sampun dipun anggit kanjeng Sunan nalika wonten dhusun KALIJAGA. Menggah
ngelmi ingkang saget wiyar tebanipun kenging kaagem mitulungi ing karibetan
warni-warni wau. Dene golonganing ngelmi ingkang kados makaten punika,
sagetipun manjing anggadhahi daya kedah anglampahi SISIRIH.
Kaping
09 :
Lamun
arsa tulus nandur pari,
Puasa
a sawengi sadina,
Iderana
galengane,
Wacanen
kidung iki,
Kabeh
ama pan samya wedi,
Yen
sira lunga aprang,
Wateken
ing sekul,
Antuk
a tigang pulukan,
Mungsuhira
sirep datan nedya wani,
Rahayu
ing payudan.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Lamun
arsa tulus nandur pari,
Tegesipun
: wondene manawi badhe nenanem pantun sagetipun lestari wilujeng mboten
katrajang ama.
Puasa
a sawengi sadina,
Tegesipun
: Nglampahana siam sadinten sadalu boten dhahar punapa-punapa.
Iderana
galengane,
Tegesipun
: ing saderengipun pantun katanem sasampunipun sadinten mboten dhahar,
dalunipun lajeng ngiderana galengan sabin.
Katranganipun
: raosing penggalih ingkang meleng panyuwunipun.
Wacanen
kidung iki,
Tegesipun
: kanthi amujia, dene pamujinipun , mirsanana sekar nomer : 1.
Kabeh
ama pan samya wedi,
Tegesipun
: kadadosan sak kathahing ama lajeng mboten purun angrisak taneman pantun.
Yen
sira lunga aprang,
Tegesipun
: saupami kita badhe mengsah perang.
Wateken
ing sekul,
Antuka
tigang pulukan,
Tegesipun
: puji wau kawatekna ing sekul kadamela tigang pulukan lajeng kadhahar .
Mungsuhira
sirep datan nedya wani,
Tegesipun
: anggadhahi sawab mengsah kita wau lajeng rumaos giris sami sirep mboten
wanton / mboten wonten ingkang sumedya anglawan.
Rahayu
ing payudan.
Tegesipun
: boten saestu peperangan ing wasana wilujeng sedaya.
Kaping
10 :
Ana
kidung rekeki aryati,
Sapa
weruh reke araningwang,
Duk
ingsun ana ing ngare,
Miwah
duk aneng gunung,
Kisamurta
lan ki Samarti,
Ngalih
aran ping tiga,
Arta
daya tengsun,
Araningsun
duk jejaka,
Ki
artati mengko araningsun,
Ngalih
sapa wruh araningwang.
Kawedaraken
suraosipun makaten :
Ana
kidung rekeki aryati,
Tegesipun
: wonten kidung punika sejatosipun inggih Ki ARTATI.
Katranganipun
: ingkang dipun wastani kidung punika sang sabda, inggih karsa ingkang
linangkung utawi dhawuh pangandikaning Pangeran.
Sapa
weruh reke araningwang,
Duk
ingsun ana ing ngare,
Tegesipun
: sinten ingkang mangertos nama kita, (kidung) nalika kita taksih jumeneng ing
ngare.
Katranganipun
: ingkang dipun sanepaaken ngare punika miturut wewaton ing ngelmi wonten ing
BETAL MUKARAM.
Miwah
duk aneng gunung,
Tegesipun
: tuwin nalika taksih jumeneng wonten ing redi.
Katranganipun
: ingkang dipun sanepaaken redi menika miturut wewatoning ngelmi BETAL MAKMUR.
Kisamurta
lan ki Samarti,
Tegesipun
: inggih punika sampun awujud kempalipun ki Samarta, kaliyan ki Samarti.
Katranganipun
: ingkang dipun sanepaaken ki Samarta punika ingsun. Dene ki Samarti punika TRI
MURTI. Kadadosan saking sarining tirta Kamandanu, sarining Surya, tuwin
sarining Candra. Kempal dados satunggal mahanani CAHYA kawastanan ROH ILAPI,
inggih punika wujuding ANASIR SEJATI. Warananipun ingsun.
Ngalih
aran ping tiga,
Tegesipun
: Saben pindah panggenan santun nama, ngantos rambah kaping tiga.
Katranganipun:
inggih punika jumenenganipun wonten TRILOKA. Tegesipun : panggenan tetiga
ingkan manunggal, kadosta : wonten ing BETAL MAKMUR anggadhahi praban piyambak,
wonten ing BETAL MUKARAM santun paraban,tuwin wonten ing BETAL MUKADAS ugi
santun paraban malih.
BETAL MAKMUR jumeneng ana sirahing Adam. Kang ana sajroning sirah iku dimak, yaiku utek, kang ana antaraning utek iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun, dat kang nglimputi ing kahanan jati.
BETAL
MUKARAM jumeneng ana ing dhadha ning adam. Kang ana sajroning dhadha iku ati,
kang ana antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi
iku jinem , yaiku angen-angen, sajroning angen-angen iku suksma, sajroning
suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana pangeran anging Ingsun
dat kang anglimputi ing kaanan jati.
BETAL
MUKADAS jumeneng ana ing kemaluaning adam. Kang ana sajroning kemaluan iku
pringsilan, kang ana ing antaraning pringsilan iku nutpah, yaiku mani,
sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem,
sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana pangeran
anging Ingsun dat kang anglimputi ing kaanan jati, jumeneng sajroning nukat
gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono wahananing alam akadiyat, wahdat,
wakidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil, dadining
manungsa sampurna yaiku sajatining sipatIngsun.
Arta
daya tengsun,
Tegesipun
: wonten ing Bental Mukaram parabanipun ARTA ingkang dipun sanepaaken arta
punika pangretosaning kawicaksanan.
Daya
tengsun tegesipun jumenengipun wonten ing BETAL MUKADAS dipun parabi daya
ingkang dipun sanepaaken daya punika ingsun ingkang kuwasa utawi WISESA. Dene
kanyatanipun anggadhahi daya kuwasa damel gesanging manungsa.
Araningsun
duk jejaka,
Tegesipun
: paraban kita (kidung) nalika taksih jaka.
Katranganipun
: ingkang dipun sanepaaken Jaka punika , nalika wiji taksih dumunung ing bapa,
dereng katetesaken ing biyung.
Ki
artati mengko araningsunngalih,
Tegesipun
: inggih punika KI ARTATI (karsa ingkang linangkung) nanging sareng sampun
katitisaken, lajeng santun asma/paraban.
Sapa
wruh araningwang,
Tegesipun
: sinten ingkang mangertos sejatosing nami kita (kidung) wau.
Katranganipun
: inking dipun parapi Arta Daya, Artati, punika wujudipun namung satunggal
mboten sanes : inggih namung ingsun.
Pepindhanipun
kados dene sesebutan sang NATA, inggih punika ratu ingkang saweg jumeneng
wonten ing sitinggil”SANG PRABU” punika ratu ingkang saweg jumeneng ing
pandhapi “SRI NARENDRA” punika ratu ingkang saweg jumeneng wonten ing kedhaton.
Sesebutan tiga wau inggih ingkang dipun sebut inggih namung satunggal utawi
anggadhahi teges ANERANGAKEN KUWAJIBANIPUN.
Kaping
11 :
Sapa
weruh kembang tepus kaki,
Sasat
weruh rek ke artadaya,
Tunggal
pancer ing uripe,
Sapa
wruh ing panuju,
Sasat
sugih pagere wesi,
Rineksa
wong sak jagad,
Kang
angidung iku,
Lamun
dipun apalna,
Kidung
iku den tutug sedasa wengi,
Adoh
panggawe ala.
Kawedharakensuraosipun
makaten :
Sapa
weruh kembang tepus kaki,
Tegesipun:
sinten ingkang saget mangertos dhateng tepa sariro.
Katranganipun
: tumindak ingkang kanti ukuran raosing kamanungsan.
Sasat
weruh rek ke artadaya,
Tegesipun
: prasasat saget sapatemon kaliyan sang guru jati piyambak.
Katranganipun
: tumindak ingkang mawi tepo sariro punika asalipun saking daya pakartining
sang guru Jati (ingsun).
Tunggal
pancer ing uripe,
Tegesipun:
manungsa sak jagad punika panceripun namung satunggal, inggih punika ingsun
kang nglimputi kahanan jati.
Katranganipun
: raosing manungsa punika sageta rik-tinarik satunggal kaliyan satunggalipun
dados sami.
Sapa
wruh ing panuju,
Tegesipun
: sinten ingkang saget nuju kareping sanes.
Katranganipun
: upami tiyang ungkang nami A katamuan tiyang nama B pun B wau anggenipun mara
tamu namung lugu katarik saking sayahipun tuwin kalaib (kaluwen), amargi mentas
saking kekesahan, ewodene mboten purun nembung punapa-punapa. Ingkang gadhah
griya pun A mangertas dhateng pasemoning tamunipun, lajeng gita-gita anggenipun
anyugata wedang, panganan tuwin sekul.
Pun
B inggih lajeng ngrahapi lajeng katingal binger, rumaos nikmat sanget anggenipun
dhahar, dados pasugatan wau katrimah sanget. B lajeng pamitan wangsul. Menggah
pakartinipu A anggenipun anyugata mboten sarana ditembungi, sarta mboten
amengku pamrih. Punika ingkang dipun wastani nuju kareping sanes, tuwin
tumindak sanes-sanesipun ingkang sairib makaten wau.
Sasat
sugih pagere wesi,
Ingkang
makaten punika namung paribasan.
Dene
katranganipun : tiyang ingkang sampun lebet luangipun, inggih punika tiyang
ingkang tumindakipun kerep anyaeni dhateng ing sanes ingkang mboten amengku
pamrih (tumindak kautaman) sak lampah-lampahipun mesti tansah jinangkung ing
kaleresan. Dados penggalihipun tansah teteg kemawon.
Rineksa
wong sak jagad,
Kang
angidung iku,
Tegesipun
: tiyang ingkang pangangen-angenipun wiji sae, sarta karsa tumindak kautaman punika
uwohing pandamel sae wau, ing sakenggen-enggen tansah dipun tresnani ing sanes.
Lamun
dipun apalna,
Tegesipun
: manawi dipun apalaken.
Katranganipun
: ingkang dipun apalaken punika pujian ingkang kawrat ing sekar angka 1.
Kidung
iku den tutug sedasa wengi,
Tegesipun
ing saben dalu angapalaken pujian wau.
Adoh
panggawe ala.
Tegesipun
: tebih saking /dhateng pandamel awon.
Katranganipun
: saklampah-lampahipun saget sumingkir saking pandamel awon.
Kaping
12 :
Lawan
rineksa dening hyang widi,
Sasedyane
tineka dening hyang,
Kinedhep
mring janwo akeh,
Kang
maca kang angrungu,
Kang
anurat miwah nyimpeni,
Yen
ora bisa maca,
Simpenana
iki,
Temah
ayu kang sariro,
Yen
linakon dinulur sasedyoneki,
Lan
rineksa dene hyang.
Kawedaraken
suraosipun makaten : Punapa malih sak lamapah-lampahipuntansanh jinangkung
dening pangeran. Sarta saget dumugen punapa sedyanipun, tuwin linulutan ing
sasami. Tumprap ingkang maos, ingkang mirengaken, ingkang nyerat tuwin ingkang
ngrimati serat kidungan wau.
Anggadhahi
sawab, saget amilujengaken badanipun, wondene menawi mboten saget maos, inggih
karimata kemawon inggih sampun anggadhahi sawab wilujeng. Langkung-langkung
bilih kersa anglampahi TARAK BROTO. Sawabipun saget sempulur anggening
ngupajiwa, sarta tansah jinangkung dening pangeran.
Kaping
13 :
Kang
sinedya tinekan hyang Widi,
Kang
kinarsan dumadakan kena,
Tursinihan
pangerane,
Najan
tan weruh iku,
Lamun
nedya muja semedi,
Sasaji
ing sagara,
Dadya
ngumbareku,
Dumadi
sariro tunggal,
Tunggal
jati swara awor ing artati,
Aran
sekar jempina.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Kang
sinedya tinekan hyang Widi,
Tegesipun
: puapa ingkang dipun gayuh saget kadumugen.
Katranganipun
: Ingkang dipun wastani penggayuh punika betahan ingkang kanggenipun ing kala
mangsa.
Kang
kinarsan dumadakan kena,
Tegesipun
: inggih sampun dilalah kersanipun ing saben dinten kerep kalegan.
Tursinihan
pangerane,
Tegesipun
: Punapa malih ugi jinangkung ing pangeranipun.
Katranganipun
: ingkang dipun wastani penggayuh punika kabetahan ingkang kanggenipun ing kala
mangsa. Tumindak ingkang tansah kaleresan punika tegesipun saking berkahing
pangeran.
Najan
tan weruh iku,
Katranganipun
: tiyang punika sanajan dereng mangertos gelaring ngelmi ( asal wijining
manungsa).
Lamun
nedya muja semedi,
Tegesipun
: lamun niyat nindaaken muja semedi.
Katranganipun : seserepanipun wau namung mligi seserepan tumindak muja semedi.
Sasaji
ing sagara,
Ingkang
mekaten punika naming pasemon, dene katranganipun, jumenengipun hyang Pramana
wonten ing betal makmur. Saget amikani alam Panca Maya.
Dadya
ngumbareku,
Katranganipun
: ingkang dipun wastani ngumbara punika lenggahing hyang pramana wonten ing
Bental Mukaram. Ing wusana lajeng jumeneng ing Betal Makmur. Kadosanipun oncat
saking palenggahan.
Dumadi
sariro tunggal,
Katranganipun
: melenging pramana kajumbuhaken kaliyan weninging karsa, gumeleng dados
satunggal. Saget mahanani kabikaing raos lajeng katingalipun sang GURU JATI .
Tunggal
jati swara awor ing artati,
Katranganipun
: Sang Guru Jati wau inggih punika sang sabda sarta inggih karsa ingkang
linangkung.
Aran
sekar jempina.
Katranganipun
: anedhahaken bilih sang guru jati punika kenging kawastanan sesekaring jampi
ingkang mesti saget anyarasaken.
Kaping
14 :
Semahira
ingaran senjari,
Melu
urip lawan melu pejah,
Tan
pisah ing saparane,
Pari
purna satuhu,
Anirmala
waluya jati,
Kena
ing kene kana,
Ing
wasananipun,
Ajejuluk
adi suksma,
Cahya
ening jumeneng ing artati,
Anom
tan kena tuwa.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Semahira
ingaran senjari,
Tegesipun
: ingkang minangka kancuhanipun dipun wastani rahsa.. inggih punika rahsaning
suksma.
Melu
urip lawan melu pejah,
Tegesipun
: rahsa punika inggih kangge nalika gesang utawi ugi kangge benjing nalika
pejah.
Katranganipun
: nalika gesang rahsa punika dados angertosan ingkang gaib-gaib. Wondene
benjing manawi pejah, rahsa punika dados katetepanipun kayektosan. Dumunung ing
rasa jati.
Tan
pisah ing saparane,
Tegesipun
: dados dhateng ing pundi kemawon rahsa wau ugi tumut boten pisah.
Pari
purna satuhu,
Tegesipun
: gesang ingkang tanpa sangsaya.
Katranganipun
: tiyang ingkang tumindakipun kanthi landhesan raosing kamanungsan, punapa
ngakunipun saget wilujeng.
Anirmala
waluya jati,
Tegesipun : ing wusana saget suci utawi saras lair batosipun.
Kena
ing kene kana,
Tegesipun
: kapitadosan ingkang makaten wau kenging kangge gesang donya tuwin ing akir.
Ing
wasananipun,
Ajejuluk
adi suksma,
Tegesipun
: dene kedadosanipun boten sanes inggih namung jumenengipun pribadi (sejatining
ingsun).
Cahya
ening jumeneng ing artati,
Tegesipun
: ing alam ngriki ugi wonten cahyo wening kang katingal.
Anom
tan kena tuwa.
Tegesipun
: boten anem tuwin boten saget sepuh, namung langgeng kawontenanipun.
Kaping
15 :
Panunggale
kawula lan gusti,
Nila
ening arane duk gesang,
Duk
mati nila arane,
Lan
suksma ngumbareku,
Ing
asmara mung raga yekti,
During
darbe paparab,
Duk
rarene iku,
Awayah
bisa dedolanan,
Aran
sang hyang jati Iya sang artati,
Yeku
sang arta daya.
Kawedaraken
suraosipun makaten :
Panunggale
kawula lan gusti,
Tegesipun
: inggih mekaten menika ingkang dipun wastani ngempale kawula-gusti.
Nila
ening arane duk gesang,
Tegesipun
: wekdal gesang wonten ing ndonya, tumprap kabikaing raos kaweningan punika
mesthi saking pitulunganing cahya.
Duk
mati nila arane,
Tegesipun
: nanging manawi wonten ing jamane pejah mboten perlu dipun pitulungi dening
cahya.
Lan
suksma ngumbareku,
Katranganipun
: ingkang katembungaken suksma ngumbara punika konosipun ingsun, inggih punika
wujudipun satunggal saget angebaki jagad, ing pundi dunung kita ing griku
wonten.
Ing
asmara mung raga yekti,
Tegesipun
: sejatosipun tumprap kaalusan, inggih punika ingkang mengkoni raga.
Katranganipun
: ingsun punika ingkang dados guruning raga, tuwin pangeraning raga.
During
darbe paparab,
Duk
rarene iku,
Tegesipun,
ingsun wau nalika wijining manungsa dereng katitisaken, ugi dereng anggadhahi
paraban, amargi taksih nunggil kaliyan GUSTI ALLAH, dados ingkang wonten namung
gesang pribadi.
Awayah
bisa dedolanan,
Tegesipun : manawi sampun dumugi ing titi mangsanipun , ingsung wau katinggal dados lantaraning wiji. Bapa saweg anggadhahi karsa nitisaken wiji dhateng biyung.
Aran
sang hyang jati Iya sang artati,
Yeku
sang arta daya.
Tegesipun
: saksampunipun wiji wau dumados ing guwa garbaning biyung ingsun wau kenging
dipun wastani SANG YHANG JATI, sang ARTATI, arta tuwin daya, inggih punika
wuninga karsa; daya.
Kaping
16 :
Dadya
wisa mangkya amartani,
Lamun
marta atemahan wisa,
Marma
arta daya rane,
Duk
lagya aneng gunung,
Ngalih
aran asmara jati,
Wayah
tumeking tuwa emut ibunipun,
Nyi
Pancari lunga ngetan,
Ki
Artati nurut gigiring Merapi,
Anulya
mring sundara.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Dadya
wisa mangkya amartani,
Lamun
marta atemahan wisa,
Mara
arta daya rane,
Tegesipun
: milanipun asma karya utawi daya , punika tumprapipun gesang ing akir dados wisa.
Katranganipun
: tujuawing tiyang pejah punika menawi mangerandhateng wujudipun ingsun,
naminipun kesasar (dados wisa).
Mangkya
amartani,
Tegesipun
: tumprapipun gesang ing donya manawi mangeran dhateng daya punika gesangipun
dados utami (dados marta). Kosok wangsulipun ingkang utami dados kesasar.
Ingkang makaten punika sageto nata tumindakipun, sampun ngantos salah penampi
utawi kerem.
Duk
lagya aneng gunung,
Ngalih
aran asmara jati,
Wayah
tumeking tuwa emut ibunipun,
Tegesipun
: Nalika wijining jabang bayi saweg dumados ing Betal Makmur asmanipun santun
sang Hyang Jati, amargi bapa dereng anitisaken dhateng biyung.
Nyi
Pancari lunga ngetan,
Katranganipun
: rahsanipun lajeng jumeneng wonten ing BETAL MAKADAS inggih punika campuhing
kakung tuwin wanita (bapa tuwin biyung) wijinipun lajeng dumunung ing
maningkem.
Ki
Artati nurut gigiring Merapi,
Ingkang
dipun sanepaaken gigiring merapi punika ula-ula.
Katranganipun
: redi Merapi punika redi latu miturut hakekating ngelmi latu punika erah.Dene
lampahing erah ingkang punika medal ing ula-ula.
Pramila
saksampunipun wiji tumitis ing biyung wonten saklebeting mani, madi, maningkem,
rahsa ingsun lajeng lumampah minggah nurut ula-ula.
Anulya
mring sundara.
Ingkang
dipun sanepaaken sundara punika guwa garbaning biyung (wadah bebayi) dunungipun
wonten ing tengah-tengah antawisipun Betal Mukadas kaliyan Betal Makmur. Mila
wiji wau lajeng wadhag bayi.
Kaping
17 :
Ana
pandhita akarya wangsit,
Mindha
kumbang ngajab ing tawang,
Susuh
angina ngendi nggone,
Lawan
galihing kangkung,
Wekasane
langit jaladri,
Isine
wuluh wung wang,
Lan
gigire panglu,
Tapaking
kuntul anglayang,
Manuk
miber uluke ngungkuli langit,
Kusuma
jrah ing tawang.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Ana
pandhita akarya wangsit,
Mindha
kumbang ngajab ing tawang,
Ingkang
makaten punika SU ALAN tegesipun cipta utawi budi.
Susuh
angina ngendi nggone,
Pitakenan
punika katranganipun jantung.
Lawan
galihing kangkung,
Katranganipun
Suksma.
Wekasane
langit jaladri,
Katranganipun
: soroting cahya sumrambah ing njawi tuwin ing lebeting sipat kita, dene
wekasane jaladri katranganipun segara jinem (panca maya).
Isine
wuluh wung wang,
Katranganipun
Angen-angen.
Lan
gigire panglu,
Katranganipun
: dat ing pundi-pundi wonten.
Tapaking
kuntul anglayang,
Katranganipun
angen-angen.
Manuk
miber uluke ngungkuli langit,
Katranganipun
angen-angen.
Kusuma
jrah ing tawang.
Katranganipun
angen-angen.
Kaping
18 :
Ngambil
banyu apikulan warih,
Kodhok
ngemuli lenge,
Miwah
kang banyu den kum,
Myang
dahana murub kabesmi,
Bumi
pinetak ingkang,
Wawono
katiyub,
Tanggal
pisan kapurnaman,
Yen
anenun sentek pisan anigasi,
Kuda
ngrap ing pandengan.
Kawedharaken suraosipun makaten :
Ngambil
banyu apikulan warih,
Katranganipun
: raos inggih punika tiyang ingkang marsudi dhateng kaleresan kedah sampun
pawitan sageta wening penggalihe.
Kodhok
ngemuli lenge,
Katranganipun
nyawa; inggih punika gesange raga saestunipun saking nyawa.
Miwah
kang banyu den kum,
Katranganipun
: katentreman inggih punika tiyang ingkang anggayuh dhateng katentreman kedah
angempali guru-guru ingkang sampun sampurna ngelminipun.
Myang
dahana murub kabesmi,
Katranganipun
: kanepson inggih punika tiyang ingkang saget duka lajeng dipun aduli supados
saya sanget.
Bumi
pinetak ingkang,
Katranganipun
: jisim kapendhem ing siti inggih punika dumadose anasir bumi mahanani raga.
Wawono
katiyub,
Katranganipun
: lebet wedaling napas punika katarik dening swasana.
Tanggal
pisan kapurnaman,
Katranganipun
: roh ilapi inggih punika kaweninganing manah punika manawi angsal
pitulunganing roh ilapi. Lajeng sami sanalika, saget gadhah pangertosan ingkang
linangkung.
Yen
anenun sentek pisan anigasi,
Katranganipun
: wenganing raos inggih punika suraosing raos ingkang wening punika saget ameca
ingkang mesthi cocog tumrap badhe kedadosanipun.
Kuda
ngrap ing pandengan,
Katranganipun
: angen-angen.
Kaping
19 :
Ana
kayu apurwa sawiji,
Wit
buwana epang keblat papat,
Agodhong
mego rumembe,
Aprada
paku kuwung,
Kembang
lintang salaga langit,
Semi
andaru kilat,
Woh
surya lan tengsu,
Asirat
bun lawan udan,
Apapucak
angkasa bungkah pratiwi,
Oyote
bayu bajra.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Ana
kayu apurwa sawiji,
Katranganipun
: kayu sajaratul yakin.
Wit
buwana epang keblat papat,
Katranganipun
: jumenegipun suksma kaliyan raga, kanthi prabotipun sekawan inggih punika :
kandha, warna, ambu, rasa.
Agodhong
mego rumembe,
Katranganipun
: dumununging napsu wonten ing badan sakojur.
Aprada
paku kuwung,
Katranganipun : hyang Pramono.
Kembang
lintang salaga langit,
Katranganipun
: cahya ingkang alit-alit.
Semi
andaru kilat,
Katranganipun
: panunggilanipun cahya.
Woh
surya lan tengsu,
Katranganipun
: cahya ingkang ageng (roh ilapi tuwin lintang johar).
Asirat
bun lawan udan,
Katranganipun
: toya gesang, saget anggesangi raosing panca driya.
Apapucak
angkasa bungkah pratiwi,
Katranganipun
: kempaling jiwa tuwin raga saestunipun daya dinaya.
Oyote
bayu bajra.
Katranganipun
: napas punika dados tetangsuling raga.
Kaping
20 :
Wiwitane
duk anemu candi,
Gegedhongan
miwah mawarangkan,
Sih
ing hyang kabesmi kabeh,
Tan
ana jalma kang wruh,
Yen
weruh apurwane dadi,
Candi
sagara wetan,
Ing
ngobar karuhun,
Kayangane
sang tunggal,
Sapareke
kang jumeneng mung artati,
Katon
tengahing tawang.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Wiwitane
duk anemu candi,
Ingkang
dipun sanepaaken candhi punika sipat.
Katranganipun
: anedhahaken purwaning dumadosipun manungsa punika wiwitanipun saweg awujud
cahya wening kawastanan NUKAD GAIB; Tegesipun : wiji ingkang taksih samar.
Gegedhongan
miwah mawarangkan,
Tegesipun
: kadadosaning sipat punika asalipun saking golong-golongan, inggih punika :
sipating kaalusan saking anasir sejati, dene sipating kuwadhagan saking anasir.
Sih
ing hyang kabesmi kabeh,
Katranganipun
: sedaya anasir wau sareng kataman soroting cahya nukad gaib, lajeng sami
katarik urun daya mahanani sipat.
Tan
ana jalma kang wruh,
Tegesipun
: kedadosan ingkang makaten wau mboten wonten manungsa ingkang sumerep.
Yen
weruh apurwane dadi,
Katranganipun
: namung wonten seserepan dhateng purwaning dumados, punika dudununganipun
namung pangertosan.
Candi
sagara wetan,
Ingkang
dipun upameaken makaten wau katranganipun surya.
Ing
ngobar karuhun,
Kayangane
sang tunggal,
Katranganipun : wiwitanipun wonten sipat inggih punika : anasir sejati wau kataman soroting cahyo nukad gaib, lajeng mahanani sipating kaalusan awujud cahya, kawastanan roh ilapi.
Sapareke
kang jumeneng mung artati,
Tegesipun
:sinten ingkang jumeneng ing cahya wau, sejatosipun mboten sanes inggih namung
ingsun.
Katon
tengahing tawang.
Tegesipun
: saget katingal sarana netra kaalusan dumunung satengahing tawang.
Kaping
21 :
Gunung
agung segara serandil,
Langit
ingkang amengku buwana,
Kawruhana
ing ngartine,
Gunung
segara umung,
Guntur
sirna amangku bumi,
Duk
kang langit buwana,
Dadya
weruh iki,
Mudya
madyaning ngawiyat,
Mangasrama
ing gunung agung sabumi,
Sandhi-candhi
sagara.
Kawedaraken
suraosipun makaten :
Gunung
agung segara serandil,
Ingkang
makaten punika namung bebasan.
Katranganipun
: andahaken pamarsudi dhateng kawruh ingkang linangkung ingkang mboten kenging
dipun saranani ngakal tuwin nalar, nanging kedah kagandengan kaliyan wahyu.
Punika pancen ngrekaos sarta langkung ngrungil.
Langit
ingkang amengku buwana,
Katranganipun
: dununging kawruh kawicaksanan punika saget amengkoni sawarnaning kaperluan.
Kawruhana
ing ngartine,
Tegesipun
: sadaya wau mangertos saking tegesipun.
Gunung
segara umung,
Katranganipun
: ubaling pancadriya ingkang tansah angambra-ambra.
Guntur
sirna amangku bumi,
Katranganipun
: nyirep ubaling pancadriya sampun ngantos tuwuh gagasan sakedhik kemawon.
Duk
kang langit buwana,
Katranganipun
: sadaya wau kakukut dados satunggal, jagad agung ginulung ing jagad alit.
Dadya
weruh iki,
Mudya
madyaning ngawiyat,
Tegesipun
: manawi mangertos dhateng ing nginggil wau nggih ugi ngertos dhateng lampahing
mangesthi (muja semedi) wonten ing satelenging cipta. Lajeng saget anuwuhaken
kanusing kaalusanipun.
Mangasrama
ing gunung agung sabumi,
Katranganipun
: Anedhahaken lenggahipun muja semedi punika kedah anjumenengaken wonten ing
BENTAL MAKMUR.
Sandhi-candhi
sagara.
Katranganipun
: lajeng saget amikani kawontenaning alam : pancabaya ingkang isi wewujudanipun
prabot kita ingkang dados bebegalan.
Kaping
22 :
Gunung
luhure kagiri-giri,
Segara
agung datan pasama,
Pan
sampun kawruhan reke,
Arta
daya puneku,
Datan
kena cinakreng budi,
Nanging
kang sampun prapta,
Ing
kuasanipun,
Angadeg
tengahing jagad wetan kulon lor kidul,
Mandhap
myang nginggil,
Kapurba
wasesa.
Kawedharaken
katranganipun :
Gunung
luhure kagiri-giri,
Segara
agung datan pasama,
Pan
sampun kawruhan reke,
Katranganipun
: Sarehning sapunika sampun mangertosi tegesipun babasan : redi ingkang
inggilipun anggegirisi, sarta seganten ingkang wiyar tanpa watesan.
Arta
daya puneku,
Datan
kena cinakreng budi,
Tegesipun
: ingkang makaten wau anedhahaken panguaosipun sang arta daya (guru jati) boten
kenging pinurba ing manungsa.
Katranganipun
: Dumadosing lelampahaning manungsa punika sadaya, kapurba dening sang guru
jati. Dados paguaosipun sang guru jati wau mboten wonten ingkang nandingi
agengipun .
Nanging
kang sampun prapta,
Tegesipun
: nanging manawi tumprap tiyang ingkang sampun aged dumugi ing ngayunanipun
guru jati wau, (sapatemon).
Ing
kuasanipun,
Tegesipun
: anggadhahi daya pangertosan ingkang linangkung.
Angadeg
tengahing jagad,
Katranganipun
: tekatipun mboten ela-elu, sarta mboten gugon tuhon : nanging sampun gadhah
katetepaning kawruh ingkang tumuju ing kaleresan.
Wetan
kulon lor kidul,
Mandhap
myang nginggil,
Kapurba
wasesa.
Katranganipun
: dados tumindaking tiyang wau, anggening badhe lumampah ngetan, ngaler,
ngilen, ngidul , mandhap tuwin manginggil, naming nuruti sakkarsanipun
piyambak. Nanging karsanipun wau sampun dados paugeran ingkang leres, inggih
punika wewaton dhawuhing sang guru jati.
Kaping
23 :
Bumi
gunung segara myang kali,
Sagung
ingkang sesining bawana,
Kasor
ing arta dayane,
Sagara
sat kang gunung,
Guntur
sirna guwa samya ning,
Singa
wruh arta daya,
Dadya
teguh timbul,
Lan
dadi paliyas ing prang,
Yen
lelungan kang kapapag widi asih,
Sato
galak suminggah.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Bumi
gunung segara myang kali,
Sagung
ingkang sesining bawana,
Tegesipun
: menggah daya pigunanipun ; bumi, redi, seganten, lepen tuwin sedaya
isen-isening bawana.
Kasor
ing arta dayane,
Tegesipun
:Sedaya wau pangupaosipun kawon kalian SANG GURU JATI.
Katranganipun
: sedaya para titah wau wontenipun saget anggadhahi daya katarik saking
kaprabawan daya pangupaosing pun Sang Guru Jati.
Sagara
sat kang gunung,
Ingkang
makaten punika bebasan.
Katranganipun
: Sirnaning panca maya.
Guntur
sirna guwa samya ning,
Katranganipun
: kedah gegandhengan saget anyirep sekathahing suwanten sarana nutupi babahan
hawa sanga punika sedaya ugi saking daya panguasosipun Sang Guru Jati.
Singa
wruh arta daya,
Tegesipun
: pramila sinten ingkang saged sapatemon sang Guru Jati.
Dadya
teguh timbul,
Tegesipun
: saget wiyono tanpa japa mantra.
Lan
dadi paliyas ing prang,
Tegesipun
: tuwin ugi saget dados sarono panulaking supados mboten wonten paprangan .
Yen
lelungan kang kapapag widi asih,
Tegesipun
: manawi ngleresi kekesahan sinten ingkang kepethuk sami rumaos ering utawi
welas.
Sato
galak suminggah.
Tegesipun
: upami ingkang kepethuk wau sato galak inggih lajeng sumingkir tiyambak. Jim
peri perayangan padha wedi.
Kaping
24 :
Mendhak
asih sakehing drubiksa,
Rumeksa
siyang dalune,
Singa
anempuh lumpuh,
Tan
tumama ing awak mami,
Kang
nedya tan raharja,
Kabeh
pan lebur,
Sakehing
nedya ala,
Larut
sirna kang nedya becik basuki,
Kang
sinedya waluya.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Upami
kepethuk jim peri perayangan inggih rumaos ajrih piyambak punapa malih
sakathahing dubriksa, sami mendhak piyambak utawi rumaos welas, dados malah
reumeksa sak rinten dalunipun, temahipun lumpuh piyambak, mboten saget tumama
ing badan kita. Ingkang ngarah amrih pejah kita sadaya sampun dipun lebur
dening pangeran. Sak kathahing tiyang ingkang semedya mandamel awon,sedaya ugi
kasirnaaken.Namung ingkang sumedya sae saget lestari, amargi ketarik saking
adheping penggalih namung dhateng kawilujengan.
Kaping
25 :
Siang
dalu rumeksa ing widhi,
Dinulur
saking karseng hyang sukma,
Kaidhep
ing janma akeh,
ran
wikuning wiku,
Wikan
liring muja semedi,
Dadi
sasedyanira,
Mangunah
linuhung,
Peparap
hyang Tega Lana,
Kang
kasempen yen tuwajuh,
Jroning
ngati,
Kalis
ing panca baya.
Kawedaraken
suraosipun makaten :
Siang
dalu rumeksa ing widhi,
Tegesipun
: salampah-lampahipun siyang tuwin dalu tansanh jinangkung dening pangeran.
Katranganipun : Tansah dhumawah ing kaleresan.
Dinulur
saking karseng hyang sukma,
Tegesipun
: pagesanganipun saget sempulur saking berkahing pangeran.
Kaidhep
ing janma akeh,
Tegesipun
: linulutan ing janmo akeh (sesame).
Aran
wikuning wiku,
Tegesipun
: Ingkang kadunungan daya kados makaten punika kinging kawastanan guruning para
guru.
Wikan
liring muja semedi,
Tegesipun
: Amargi saget mangertos tuwin saget nindakaken trapipun muja semedi.
Katranganipun : Sampun saget gambuh tuwin wicksana saestu.
Dadi
sasedyanira,
Tegesipun
: punapa ingkang sakersanipun saget kadadosan.
Katranganipun
: Karsanipun tiyang ingkang sampun anggadhahi ngelmi punika mboten badhe nguja
hawa kamurka- murkanipun. Nanging sampun saget anglenggahaken ingkang dados
pramesthiyanipun.
Mangunah
linuhung,
Tegesipun
: tuwin saget andhatengaken mangunah ingkang utami inggih punika anggening
tetulung dhateng sesami mboten amengku pamrih ing wusana ingkang dipun tulungi
sarehning sampun legan penggalihipun lajeng nyaosi bebingah saking kersaning
piyambak.
Peparap
hyang Tega Lana,
Tegesipun
: Tiyang wau kenging sinebat hyang Tega Lana.
Katranganipun
: sepisan, tiyang wau dedasaring penggalih tegan utawi iklas dhateng
kadonyanipun. Kaping kalih, penggalihipun jujur tuwin tulus , mila ngantos
paraban hyang Tega Lana.
Kang
kasempen yen tuwajuh,
Jroning
ngati,
Tegesipun
: Tiyang ingkang Aggadhahi ngelmi ingkang makaten wau manawi tekadipun saget
tumemen ingsalaminipun.
Kalis
ing panca baya.
Tegesipun
: Saget pinaringan linepataken ing pakewet.
Kaping
26 :
Yen
kinarya atunggu wong sakit,
Ejim
setan datan wani ngambah,
Rineksa
malaekate,
Nabi
wali angepung,
Sakeh
lara padha sumingkir,
Ingkang
sedya mitenah,
Marang
awakingsun,
Rinusak
dening pangeran,
Eblis
la’nak sato mara mara mati,
Tumpes
tapis sadaya.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Yen
kinarya atunggu wong sakit,
Tegesipun
: menawi kangge anenggani tiyang sakit.
Katranganipun
: tiyang ingkang gadhah ngelmi wau salebetipun anenggani tiyang sakit kanthi
amatrapaken semedi.
Ejim
setan datan wani ngambah,
Tegesipun
: Anggadhahi daya ejim setan lajeng boten purun ngambah ing griku.
Rineksa
malaekate,
Tegesipun
: Amargi dipun reksa dening malaekatipun.
Nabi
wali angepung,
Tegesipun
: Nabi Wali punika minangka sanepaning prabot kita piyambak, dados sedaya
prabot kita sami sayuk rumaket rumeksa.
Sakeh
lara padha sumingkir,
Tegesipun
: Sesakitipun wau lajeng sami sumingkir sadaya.
Katranganipun
: Katarik tiyang ingkang saget gambuh dhateng Gaib wau, ing wusana saget gampil
angsal jampinipun.
Ingkang
sedya mitenah,
Marang
awakingsun,
Tegesipun
: Ingkang sumedya mitenah dhateng badanipun ingkang sakit wau .
Rinusak
dening pangeran,
Tegesipun
: Lajeng dipun lebur dening pangeran.
Eblis
la’nak sato mara mara mati,
Tumpes
tapis sadaya.
Ingkang
makaten punika namung paribasan.
Katranganipun
: saking agenging dayanipun Gaib saget keneringan sagunging titah wusana saget
teguh tuwin rahayu.
Kaping
27 :
Ana
kidung angidung ing wengi,
Bebaratan
duk ampreh winaca,
Sang
hyang Guru pangadeke,
Lumaku
sang Hyang Ayu,
Alembehan
asmara ening,
Ngadek
pangawak teja,
Kang
angidung iku,
Yen
kinarya angawula,
Myang
lelungan gusti gething dadi asih,
Sato
setan sumimpang.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Ana
kidung angidung ing wengi,
Tegesipun
: Wonten puji ingkang katindaken ing wanci dalu.
Bebaratan
duk ampreh winaca,
Tegesipun
: Tumindak salat daim.
Katranganipun
: Netra merem liyep-liyep adheping penggalih mungel : HU-ALLAH. Kanthi
katurutaken lampahing napas ingkang malebet, tuwin medal saking grono ingkang
ajeg.
Sang
hyang Guru pangadeke,
Lumaku
sang Hyang Ayu,
Katranganipun
: Gagasaning angen-angen sampun ngantos ngambyang-ambyang.
Alembehan
asmara ening,
Katranganipun
: Melenging cipta sarana eneng ening.
Ngadek
pangawak teja,
Tegesipun
: Patraping sariro jumeneng jejeg kados dene teja.
Kang
angidung iku,
Tegesipun
: ingkang nglampahi muji wau.
Yen
kinarya angawula,
Tegesipun
: Sasampunipun tumindak makaten wau ing saben dalu manawi kangge ngabdi.
Myang
lelungan gusti gething dadi asih,
Sato
setan sumimpang,
Tegesipun
: menawi kesah utawi ngabdi bendoro gething dados asih utawi manawi kapethuk
sato tuwin setan sedaya wau sami sumingkir tiyambak.
Kaping
28 :
Sakathahing
upas tawa sami,
Lara
raga waluya nirmala,
Tulak
tanggul kang manggawe,
Duduk
samya kawangsul,
Akawuryan
sagunging sikir,
Ngadam
makmum sadaya,
Datan
paja ngrungu,
Pangucap
lawan pangrasa,
Myang
tumingal kang sedya,
Tumekeng
napi,
Pangreksaning
malekat.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Sakathahing
upas tawa sami,
Tegesipun sadaya upas upasan ingkang angengenani ing sariro sami tawar.
Lara
raga waluya nirmala,
Tegesipun
sesakiting sariro tumunten saras kados ing wingi uni malih.
Tulak
tanggul kang manggawe,
Tegesipun
: amargi sampun dipun tulak utawi sampun mawi pager mila sesakitipun lajeng
wangsul dhateng asalipun ingkang mendamel.
Katranganipun
: Tiyang ingkang gadhah ngelmi punika kenging kawastanan sariranipun sampun
dipun pageri. Mila sinten ingkang sumedya ngawoni lajeng wangsul wonten ing
margi.
Duduk
samya kawangsul,
Tegesipun
: upami dipun tuju duduk dening sanes ugi mboten saget dumugi nanging malah
wangsul dateng ingkang ndamel.
Akawuryan
sagunging sikir,
Tegesipun
: upami wonten tiyang ingkang nanduaken ngelmunipun sikir (sulap) lajeng mboten
saget dados (cabar) amargi kawon daya.
Ngadam
makmum sadaya,
Datan
paja ngrungu,
Pangucap
lawan pangrasa,
Myang
tumingal kang sedya,
Tumekeng
napi,
Tegesipun
: sedaya tiyang ingkang ngangge ngelmi ngadam makdum, kadosta donga, puji, raos
pangraos, tuwin ingkang ngempalaken ciptanipun, sedaya wau lajeng mboten
paja-paja mangertos (ciptanipun mboten dados).
Pangreksaning
malekat.
Tegesipun
: daya ingkng ageng wau inggih punika wujuding pangreksanipun malaekat
(pagering badan).
Kaping
29 :
Jabarail
ingkang animbangi,
Milanira
katetepan iman,
Pan
dadya kendel atine,
Ngijrail
punika,
Kang
rumeksa ing ati suci,
Israfil
dadi damar,
Madhangi
jro kalbu,
Mikail
kanga sung sandang,
Lawan
pangan tinekan ingkang kinapti,
Sabar
lawan narimo.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Jabarail
ingkang animbangi,
Tegesipun
: kejawi kaparingan daya saking panguaosanipun sang guru Jati malaikat Jabarail
ugi animbangi paring daya.
Milanira
katetepan iman,
Tegesipun
: milanira tiyang wau saget kadunungan iman.
Katranganipun
: Penggalihipun tansah enget dhateng kaweningan.
Pan
dadya kendel atine,
Tegsipun : ing wusana tekadipun lajeng dados santosa.
Ngijrail
punika,
Kang
rumeksa ing ati suci,
Tegesipun
: Sucining penggalihipun wau katarik dipun reksa dening ngijroil.
Israfil
dadi damar,
Madhangi
jro kalbu,
Tegesipun
: Isrofil ingkang dados damaripun amadhangi salebeting penggalih.
Mikail
kanga sung sandang,
Lawan
pangan tinekan ingkang kinapti,
Tegesipun
: tuwin mikail ingkang paring sandhang tedha sarta saget andhatengaken punapa
ing karsanipun.
Sabar
lawan narimo,
Tegesipun
: Nanging dedadosing penggalih kedah narimahan sarta sabar.
Kaping
30 :
Yahu
datyeng pamujining wengi,
Bale
alas sesakaning mulya,
Kiran
saka tengen nggone,
Wana
kerun kang tunggu,
Saka
kiwa gadane wesi,
Nulak
panggawe ala,
Satru
lawan mungsuh,
Pangeretenga
julriyal,
Ander-ander
kulhu balik linuwih,
Ambalik
lara raga.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Yahu
datyeng pamujining wengi,
Tegesipun
: Ya, punika Muhammad, HU,: punika urip,Datyeng Punika Allah. Dados sarananipun
manawi dalu kanti amuji : YA, HU, ALLAH.
Katranganipun
: salat daim. Nanging manawi tumprap ing Kalijagan, mawi dipun tambahi Ya.
Bale
alas sesakaning mulya,
Tegesipun
: Anggening muji shalat Daim wau, kanthi angawasaken pucuking grana, sarta
anggumelengaken lebet wedaling napas, inggih punika tujuan ingkang mulya.
Kiran
saka tengen nggone,
Tegesipun
: Malaekat Kirun, manggen ing bolongan grana ingkang sisih tengen.
Wana
kerun kang tunggu,
Saka
kiwa gadane wesi,
Tegesipun
: dene Wana Kirun ingkang rumeksa ing bolongan grana sisih kiwa. Kanthi amundhi
gada tosan katranganipu : godo tosan punika ing sejatosipun namung awujud daya.
Nulak
panggawe ala,
Tegesipun
: Panguaosing wana kirun wau, anulak pandamel ingkang sumedya ngawoni.
Satru
lawan mungsuh,
Tegesipun
: punapa malih satru tuwin mungsuh.
Pangeretenga
julriyal,
Ingkang
makaten menika sanepo,
Katranganipun
: Lampahing Sholat Daim wau, mawi gandhengan lampahing nupus, inggih punika
angin ingkang anjok ing netra.
Ander-ander
kulhu balik linuwih,
Katranganipun
: Ingkang dipun sanepaaken ander-ander punika Githok. Dados malebeting angin
ing grana manawi sampun dumugi ing tenggok lajeng kaputera manginggil anjogipun
dhateng ing netra wau. Makaten wau wongsal-wangsul, inggih punika puji ingkang
linangkung.
Ambalik
lara raga.
Tegesipun
: saget amangsulaken sesakiting badan.
Kaping
31 :
Dudur
molo teng ayatul kursi,
Lungguh
ing surat ngam-ngam,
Pangleburan
lara kabeh,
Usuk-usuk
ing luhur,
Ingkang
aran wesi ngalarik,
Nenggih
nabi Muhammad,
Kang
wekasan iku,
Atunggu
ratri lan siang,
Kenedhepan
ingtumuwuh padha asih,
Tundhuk
mendhak marang wang.
Kawedharaken
suraosipun makten :
Dudur
molo teng ayatul kursi,
Ingkang
makaten punika sanepan.
Katranganipun
: Anedhahaken palenggahan ing ngaras kursi utawi Bental Makmur. Dados perlu
kajumenengaken ing griki.
Lungguh
ing surat ngam-ngam,
Katranganipun
: Ingkang anggadhahi panguaos ageng wau lenggahipun wonten salebeting jantung.
Pangleburan
lara kabeh,
Tegesipun
: dayanipun saget dados panulaking sadaya sakit.
Usuk-usuk
ing luhur,
Katranganipun
: Rencana ingkang dumunung ing nginggil ingging menika ubaling panca driya.
Ingkang
aran wesi ngalarik,
Katranganipun
: menika dipun wastani sak golongan dumunung ing angen-angen.
Nenggih
nabi Muhammad,
Katranganipun
: miturut hakekating ngelmi : CAHYA.
Kang
wekasan iku,
Tegesipun
: Cahya wau ingkang saget amungkasi sakathahing rencana.
Atunggu
ratri lan siang,
Tegesipun
: kauwajibanipun reumeksa ing siang dalu.
Kenedhepan
ingtumuwuh padha asih,
Tegesipun
: Anggadhahi daya dipun luluti sagunging tumuwuh padha welas asih.
Tundhuk
mendhak marang wang.
Tegesipun
: sami ruamaos ering utawi ajrih dhateng kita.
Kaping
32 :
Satru
mungsuh mundur padha wedi,
Sami
dhanganeng betal mukadas,
Tulak
balik pangreksane,
Pan
nabi patang puluh,
Paring
wahyu mring awak mami,
Apan
nabi wekasan,
Sabda
nabi Dawud,
Apetak
Bagendha ambyah,
Kenaweden
belis laknat lawan ejim,
Tan
ana wani perak.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Satru
mungsuh mundur padha wedi,
Tegesipun
: inggih punika satru tuwin mengsah sami mundur rumaos ajrih.
Sami
dhanganeng betal mukadas,
Tegesipun
: Punapa malih manawi kita anjumenengaken wonten ing bental mikadas.
Tulak
balik pangreksane,
Tegesipun
: Ugi rumeksa anulak dhateng satru tuwin mengsah wau sami wangsul piyambak.
Pan
nabi patang puluh,
Katranganipun
: Ingkang katembungaken nabi punika sanepanipun prabot kita piyambak inggih
punika anasir 4 prakawis.
Paring
wahyu mring awak mami,
Katranganipun
: sami urun daya mahanani wujuding sariro saprabotipun.
Apan
nabi wekasan,
Tegesipun
: Nambi Muhammad.
Katranganipun
: Cahyo ingkang rumuhun piyambak punika dados kekandhanganing wijinipun
manungsa.
Sabda
nabi Dawud,
Tegesipun
: Sabda ingkang luhur punika dipun sanepaaken Nabi Dawud
Katranganipun
: Sabda KUN.
Apetak
Bagendha ambyah,
Katranganipun
: Anedhahaken agenging panguaosipun sang sabda kun saget angrampungi ing dame
inggih punika saget amardeng titah namung sarana sabda kemawon.
Kinaweden
belis laknat lawan ejim,
Katranganipun
: Pakaryanipun sang sabda wau mesti dadosipun.
Tan
ana wani perak.
Tegesipun
: Sedaya wau mboten wonten ingkang wani celak.
Katranganipun
: Kawon daya prabowo.
Kaping
33 :
Pepayone
godhong dhukut langit,
Tali
barat kumendhung ing tawang,
Tinundha
tan katon mangke,
Arajek
gunung sewu,
Jala
sutra ing luhur mami,
Kabeh
padha rumeksa,
Angadhangi
mungsuh,
Anulak
panggawe ala,
Lara
roga sumingkir kalangkung tebih,
Luput
kang wisa guna.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Pepayone
godhong dhukut langit,
Tegesipun
: Ingkang makaten punika ibarate ngelmi anedhahaken dumadosing anasir sejati.
Inggih punika : SURYA, CANDRA, TUWIN, KARTIKA.
Tali
barat kumendhung ing tawang,
Katranganipun
: Swasana.
Tinundha
tan katon mangke,
Tegesipun
: Anasir wau namung kapendhet sarinipun kemawon, dados boten katingal wujudipun
lugunipun, nangin sampun santun warni wujud cahya.
Arajek
gunung sewu,
Tegesipun
: Anedhahaken santosaning kedadosan (santosaning piyandel).
Jala
sutra ing luhur mami Kabeh padha rumeksa,
Tegesipun
: Sadaya wau sami rumeksa ing kawilujengan.
Angadhangi
mungsuh,
Tegesipun
: ingkang nulak manawi wonten mengsah andhatengi.
Anulak
panggawe ala,
Tegesipun
: utawi anulak ingkang sumedya mendamel awon.
Lara
roga sumingkir kalangkung tebih,
Tegesipun
: tumpraping sesakit ingkang tumuju dhateng sariro sami sumingkir tebih.
Luput
kang wisa guna.
Tegesipun
: Sanajan dipun gunani ing japa mantra tuwin kenging wisa, inggih mboten saget
tumama.
Kaping
34 :
Gunung
sewu dadya pager mami,
Katon
murub kang samya tumingal,
Sakeh
lara sirna kabeh,
Luputing
tuju teluh,
Taragyana
tenung jalengki,
Bubar
ambyar suminggah,
Sri
sadana lulut,
Punika
sih rahmatullah,
Rahmat
jati jumeneng wali jasmani,
Iya
sang jati mulya.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Santosaning
piyandel kala wau kaupamaaken kados dene gadhah pager gunung sewu. Sinten
ingkang mirsani dhateng kita katingal murub. Sakathahing sesakit sirna sadaya,
sarta linepataken saking ing tuju, teluh, taragyana, tenung, jalengki
(bangsaning brekasakan). Sami minger andhelik ing panggenanipun piyambak-piyambak.
Namung Sri Sadana (lampahing sandhang tedha) ingkang sih lulut menggah ingkang
mekaten punika tegesipun : namung sih rahmatullah inggih rahmat jati. Punika
ingkang sejatosipun ingkang jumeneng Pangeraning Raga inggih peparab SANG JATI
MULYA.
Kaping
35 :
Ingaranan
Rara Subaningsih,
Katumingal
samya sih sedaya,
Kedhep
sapari polahe,
Ken
lara sirna larut,
Tan
tumama ing awak mami,
Kang
sangar dadi tawar,
Kang
gething sih lulut,
Saking
dhawuh sipat rahman,
Iya
rahmad rahayu rineksa neki,
Sarana
kangge methak.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Inggih
punika dipun wastani Rara Subangsih (samading Pangeran) sinten ingkang mirsani
sami asih sadaya.Satindak-tandukipun dipun remeni ingakathah.
Kathah
sakit sami sirna larut, boten saget tumama ing badan kita.
Siti
ingkang sangar dados tawar, sinten ingkang gething dados tresna.
Sedaya
wau katarik saking daya sabda pangandikaning ingkang sipat Rahman (langgeng).
Inggih
sipat Rohmad ingkang rumeksa dhateng karahayon.
Sinten
ingkang kepengin kadunungan daya ingkang makaten wau, sarananipun anglampahi
methak.
Kaping
36 :
Yen
lumampah kang mulat awing wring,
Singa
barong kang padha rumeksa,
Gajah
meta neng wurine,
Macan
gembong ing ngayun,
Naga
raja ing kanan kering,
Singa
mulat jrih tresna,
Jim
setan lawan manusa,
Padha
kedhep teluh lawan hantu bumi,
Ajrih
lumayu ngindhar.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Manawi
angleresi lumampah ingkang mirsa rumaos giris. Bebasanipun singa barong sami
rumeksa, gajah ingkang saweg ngamuk ingkang rumeksa ing wingking, sima gembong
ing ngajeng. Rajane sawer ingkang wonten ing kiwa tengen.
Dados
sinten ingkang mirsa dhateng kita rumaos ajrih kaliyan tresna.
Jim
setan, sesamining tiyang sedaya sami kedhep,paneluhan tuwin hantu bumi sami
lumajeng sipat kuping.
Kaping
37 :
Yen
sumimpen tawa barang kalir,
Upas
bruwang racun banjur sirna,
Temak
kalis sabarang reh,
Jemparing
towok putung,
Pan
angleyang tumibeng siti,
Miwah
saliring braja,
Tan
tumama mring sun,
Cendhak
cupet dawa tuna,
Miwah
sambaing setan tenung padha bali,
Kedhep
wedi maring wang.
Kawedaraken
suraosipun makaten :
Tumprap
ingkang anggadhahi ngelmi wau, sanadyan mboten kaesthi, ugi sampun anggadhahi
daya tawa sakaliring upas, racun trawang sedaya sami sirna wisanipun. Ing
wusana saget kalis dhateng samukawis sipat damel.
Upami
dipun jemparing, dipun towok, sami putung lajeng sami angleyang dhawah ing
siti. Tuwin sakkathahing dedamel boten tumama dhateng badhan kita .
Ingkang
dedamelipun celak cupet, ingkang panjang mboten dumugi, tuwin tumprap setan,
tenung sami wangsul piyambak. Sami rumaos ajrih asih dhateng kita.
Kaping
38 :
Ana
peksi mangku bumi langit,
Manuk
iku indah warnanira,
Sagoro
erob wastane,
Uripe
manuk iku,
Amimbuhi
ing jagad iki,
Warnanipun
sekawan,
Sikile
wawolu,
Kulite
iku sarengat,
Getihipun
tarekat ingkang sejati,
Ototipun
hakekat.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Ana
peksi mangku bumi langit,
Ingkang
ngaten menika sualaning ngelmi,
Katranganipun
: Ingsun : inggih punika panguaosipun amurba bumi tuwin langit.
Manuk
iku indah warnanira,
Katranganipun
: Wujuding cahya nukat Gaib (wiji ingkang samar).
Sagoro
erob wastane,
Katranganipun
: Dumunung ing jagad sunya ruri.
Uripe
manuk iku, Amimbuhi ing jagad iki,
Katranganipun
: Ingsun wau gesangipun saged murakabi ing jagad sak isinipun sadaya.
Warnanipun
sekawan,
Katranganipun
Anasir 4 prakawis ingkang minangka embanan.
Sikile
wawolu,
Katranganipun
: Roh ilapi punika, Anggadhahi sorot 8 prekawis ingih punika : Cahya :1.
cemeng,2. abrit, 3. Jene, 4. pethak, 5. ijem. 6. ijem nem, 7. jambon, 8. wungu.
Kulite
iku sarengat,
Katranganipun
: Anedhahaken praboting ngelmi kedah mawi sarengat (tumindak raga).
Getihipun
tarekat ingkang sejati,
Katranganipun
: praboting ngelmi kedah mawi tarekat (lampahinh manah).
Ototipun
hakekat,
Katranganipun
: praboting ngelmi kedah mawi tarekat (lampahinh jiwa).
Kaping
39 :
Dagingipun
makripat sejati,
Cucukipun
sejatining sadad,
Eledan
tokid wastane,
Ana
dene kang manuk,
Pupusuhe
supiyah nenggih,
Amperune
amarah,
Mutmainah
jantung,
Luamah
wadhuke ika,
Manuk
iku anyawa papat winilis,
Nenggih
manuk punika.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Dagingipun
makripat sejati,
Katranganipun
: Praboting ngelmi kedah mawi makripat (lampahing raos).
Cucukipun
sejatining sadad,
Katranganipun
: Kapitadosanipun panggalih angesthi kempaling kawula-gusti.
Eledan
tokid wastane,
Katranganipun
: Dedasaring tekatipun mawi tokid.
Ana
dene kang manuk,
Pupusuhe
supiyah nenggih,
Katranganipun
: Wondene praboting manungsa ; hawa nepsu.
1.
panggenanipun ing limpa.
Amperune
amarah.
Katranganipun
:
2.
Amarah : pamanggenipun ing rempelo.
Mutmainah
jantung.
Katranganipun
:
3.
Mutmainah : pamanggenipun ing ginjel.
Luamah
wadhuke ika.
Katranganipun
:
4.
Aluamah : Pamanggenipun ing wadhuk.
Manuk
iku anyawa papat winilis,
Nenggih
manuk punika.
Katranganipun
: Manungsa punika anggadhahi roh 4 perkawis inggih punika : 1. Roh Jasmani, 2.
Roh Nurani, 3. Roh Nabati, 4. Roh Hewani.
Kaping
40 :
Uninipun
Jabarail singgih,
Socanipun
punika kumala,
Anetra
wulan srengege,
Napas
Nurani iku,
Grananipun
tursina nenggih,
Angaup
soring aras,
Karma
kalihipun,
Ing
gunung arpat punika,
Uluwiyah
ingloh kalam wastaneki,
Ing
gunng manik maya.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Uninipun
Jabarail singgih,
Katranganipun
: Manungsa punika pangandikanipun ingkang rumeksa Jabarail.
Socanipun
punika kumala,
Katranganipun
: Manikipun manik kumala inggih punika jumenengipun sang guru jati.
Anetra
wulan srengege,
Katranganipun
: Ingkang jumeneng wonten ing netra punika cahya Nur Muhammad.
Napas
Nurani iku,
Katranganipun
: Roh nurani punika pamanggenipun ing napas.
Grananipun
tursina nenggih,
Tegesipun
: Grana punika ibaratipun gunung Tursina.
Angaup
soring aras,
Tegesipun
: Dumunung sangandhaping pangarasan.
Karma
kalihipun,
Ing
gunung arpat punika,
Katranganipun
: Karna kalih punika ibaratipun redi Arpat.
Uluwiyah
ingloh kalam wastaneki,
Ing
gunng manik maya.
Katranganipun
: Uluwiyah punika papan wiyar ingkang padhang, ingkang jumeneng kawastanan
ingsun.
Kaping
41 :
Ana
kidung akadang premadi,
Among
tuwuh ing kawasanira,
Nganakaken
sakciptane,
Kakang
kawah punika,
Kang
rumeksa ing wak mami,
Anekaaken
sedya,
Ing
kawasanipun,
Adhi
ari-ari,
Kang
mayungi ing laku kawasaneki,
Anekaaken
pangarah.
Kawedharaken
suraosipun makaten:
Wonten
puji tumprap dhateng sedherek kita piyambak. Menggah kuawajibanipun amomong
dhateng gesang kita. Inggih punika ingkang saget angawontenipun sacipta kita.
Kadosta
: Kakang kawah punika ingkang rumeksa ing badan kita. Anggadhahi panguaos saget
andhatengaken ing karsanipun. Adhi ari-ari punika kuaosipun angayomi ing
salampah-lampah kita, saget andhatengaken ing panggayuh kita.
Kaping
42 :
Punang
getih ing raina,
Ngrerewangi
Allah kang kuwasa,
Andadeaken
kersane,
Puser
kawasanipun,
Nguyu-uyu
sabawa mami,
Nuruti
ing panedha,
Kawasani
reku,
Jangkep
kadangingsun papat,
Kalimane
pancer wus dadi sawiji,
Tunggal
sawujuding wang.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Dene
tumprap erah, atas kuasanipun Gusti Allah, ing sarinten dalunipun angrerencangi
andadosaken punapa ingkang sakersanipun. Tumprap puser kuasanipun nguyun-uyun
ing sak solah bawa kita, inggih punika anuruti ing panyuwun kita. Sampun
jangkep panguasanipun sedherek kita sekawan. Jangkepipun gangsal dumunung ing
pancer sampun dados satunggal kempal kaliyan wujud kita.
Kaping
43 :
Yeku
kadangingsun kang umijil,
Saking
marga ina sareng samya,
Sadina
awor enggone,
Sakawan
kadangingsun,
Ingkang
ora umijil saking,
Marga
ina punika,
Kumpule
lan ingsun,
Dadya
makdum sarpin sira,
Wewayangan
ing dad samya dadya kanthi,
Saparan
datan pisah.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Sederek
kita ingkang sekawan, inggih punika : ingkang lair sareng sedinten saking ing
marga ina (Baga). Wondene ingkang mboten medal ing marga ina piyambakipun dados
makdum sarpin. Jumenengipun dados wewayangan kita, sedaya wau saget dados rencang,
dhateng pundi purug kita mboten pisah.
Kaping
44 :
Yen
angidung poma den memetri,
Memule
sega golong lima,
Takir
ponthang wewadhahe,
Ulam-ulamanipun,
Ulam
Tasik rawa lan kali,
Ping
pat iwak bengawan,
Mawa
gantal ku,
Rong
supit binungkus samya,
Apan
dadi nyawungkus arta sadhuwit,
Sawungkuse
punika.
Kaping
45 :
Tumpangnya
neng ponthangnya,
Dadya
limang wungkus semi ponthang lima,
Simung
sekar cempakane,
Loro
saponthangipun,
Kembang
boreh dupa ywa lali,
Memetri
ujub ira,
Donganira
Mahmud,
Poma
dipun lakonana,
Saben
dina nuju kelairan neki,
Agung
sawabe ika.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Sinten
ingkang nindaaken pujian angesti dhateng sedherekipun piyambak wau, manawi
ngleresi dinten tingalanipun, mugi damel kawilujengan, memetri utawi amemule
sekul golong gangsal jodho dipun wadhahi takir ponthang dados gangsal takir.
Dene ulam-ulamipun, ulam loh ingkang wedalan : Tasik, lepen,tuwin bengawan.
Sarta mawi sekar gantal kalih supit dipun wungkusi dados gangsal. Ing
sawungkusipun dipun sukani arta sabribil, lajeng katumpangaken ing takir
pontang wau. Tuwin malih dipun sukani sekar cempaka. Mugi sami dipun lampahono
ageng sawabipun.
Kaping
46 :
Balik
lamun nora den lakoni,
Kadangira
pan padha ngrencana,
Temah
ura sak ciptane,
Sasedyanira
wurung,
Lawan
luput sak ngarah neki,
Akarepira
wigar,
Gagar
datan antuk,
Saking
kurang temenira,
Madhep
laku iku den awas den eling,
Tamat
ingkang kidungan.
Kawedharaken
suraosipun makaten :
Kosok
wangsulipun manawi mboten dipun lampahi wilujengan wau, sedherek gangsal lajeng
angrencana.
Amargi
mboten dipun sumerapi inggih punika saget kedadosan pikiranipun lajeng ura
mboten kanten-kantenan. Ing wusana punapa ingkang dipun gayuh lepat, tuwin
punapa kersanipun wigar, mboten saget dumugen.
Menggah
kedadosan ingkang makaten wau namung saking kirang temenipun dating piwulang.
Mila ngagesang wajib madhep manteb dhateng lampah, nanging kedah kanthi lampah
awas tuwin enget.
Dugi
samanten sampun tamat ingkang kawastanan.
Sumber
Referensi :
SERAT
KIDUNGAN KAWEDAR
KIDUNG
KAWEDAR SAKING AKSARA JAWI KASALIN,
KABABAR
AKSARA LATIN
KIDUNGAN
PUNIKA SERAT KINA PRALAMBANG
NGELMI
ISLAM INGKANG SEJATI, TUWIN
MINONGKO
WEWARAH TUWIN PAMUJINING
KAWULO
DHATENG GUSTI, IKETANIPUN
KANJENG
SUNAN KALIJAGA
WALIYULLAH
NUSA JAWI
KASAMBETAN
IKETANIPUN
KYAI
RONGGO SUTRASNO
PUJONGGO
AGENG
KERATON
DALEM SURAKARTA HADININGRAT
KAWEDARAKEN
DENING : R. WIRYA PANITRA KUSUMA DININGRAT, SURAKARTA
Penerbit
: TAN KOEN SWI
KEDIRI
1912