AJA NGGEGE MANGSA
Tegese aja seneng ngowah-owahi mangsa (adat sing wis gumathok). Kang diarani mangsa ing paribasan iki ana gandheng cenenge karo takdir sing wis ginaris dening Gusti Allah.
Mula, kedadeyan ing donya prayogane aja dipeksa, dicepetake, utawa dialonake. Tembung liya, sakabehing kahanan ing donya anggone mawujud duwe wektu dhewe-dhewe kang wis ditemtokake dening Kang Murbeng Jagad.
Paribasan tuwuh saka kapitayan, menawa kabeh kedadeyan ing donya duwe gandheng ceneng sing ora karuan akehe karo kahanan sakiwa tengene. Lan uga ora kena diselaki, mawujud lan orane kedadeyan mau jalaran saka keparengane Gusti Kang Maha Kuwasa. Kayata, kelahirane bayi.
Sepira gedhene pangarep-ngarepe wong tuwa murih enggal duwe anak, dheweke kudu sabar. Kudu nunggu titi wancine lair nganti kurang lewih sangang sasi sepuluh dina.
Nyepetake utawa ngrendhetake kelairan utawa ngowahi garise pepesthen bakal nuwuhake rubeda kang ndrawasi tumrap si bayi lan ibune.
Paribasan iki uga isi pitutur murih sadhengah wong gelem sabar. Aja kemrungsung, aja nganti tumindak sing cengkah karo laku jantraning urip. Aja mung mburu nepsu, jalaran apa wae kang kumelip ing donya wis ginaris dening Kang Murbeng Jagad. Manungsa bisane mung nyenyuwun lan ngundi, murih apa kang dijangka bisa kelakon (mawujud) kanthi becik lan murakabi bebrayan. Dene kapan tekane asil kang ditunggu-tunggu ana garise dhewe.
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia :
AJA NGGEGE MANGSA
Artinya jangan memaksakan atau mengubah waktu (yang telah ditetapkan). Dalam hal ini yang dimaksud dengan waktu terkait dengan takdir yang telah digariskan Allah SWT. Jadi, makna peribahasa ini sesungguhnya adalah jangan memaksakan diri dalam memperoleh hasil sebelum waktunya. Maka, kekjadian di dunia sebaiknya jangan dipaksa, dipercepat, atau diperlambat. Dengan kata lain, semua hal di dunia akan terjadi atau terwujud dalam waktu-waktu yang akan ditentukan oleh Tuhan Penguasa Semesta.
Peribahasa ini berangkat dari kepercayaan bahwa terwujudnya suatu peristiwa atau tercapainya cita-cita (kehendak) sangat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor, terutama mengenai ada tidaknya izin atau perkenan dari Tuhan Yang Maha Esa. Terwujudnya keinginan tersebut sering dimaknai dan diungkapkan dalam perhitungan waktu, seperti "wis titi wancine" (waktunya sudah sampai). Contohnya perkara kelahiran bayi. Seberapapun besarnya keinginan orang tua untuk segera mendapatkan anak, mereka harus menunggu sampai lebih kurang sembilan bulan sepuluh hari bayi berada dalam kandungan. Mempercepat atau memperlambat kelahiran bayi dari ketentuan alamiah tersebut akan membahayakan berbagai masalah yang membahayakan, baik bagi si bayi maupun ibunya.
Di sisi lain, peribahasa ini juga menasehati agar orang bersabar dan tidak terburu-buru dalam mencapai cita-citanya. Dengan kata lain, jangan menuruti hawa nafsu belaka. Sebab segala macam keinginan manusia akan dikabulkan oleh Tuhan, asalkan kita memohon dengan sungguh-sungguh dan berusaha keras untuk mewujudkannya.
OJO NGGEGE MONGSO
Dalam renungan imajiner serius tapi santai beberapa hari yang lalu, ketika membandingkan sekilas kualitas kesabaran antara aktivis pejuang (yang bergerak dalam kerja-kerja kemanusiaan) dan pengusaha (yang murni bergelut mengejar profit ekonomi).
Salah satu yang membunuh perjuangan adalah ketergesa-gesaan. Para pengusaha kadang punya kesabaran lebih besar ketimbang para pejuang. Para pengusaha tekun berjuang dan fokus berkiprah di kolam-kolam kecil yang sejak awal dibangunnya sendiri hingga suatu saat juga punya kolam besarnya sendiri.
Tentang bahaya ketergesaan seperti ungkapan sekaligus anjuran penting dalam pitutur luhur Jawa berikut :
Yen to durung titi wancine.
Sumabaro sawetoro wektu.
Ojo njur kesusu, keburu napsu
Yen durung kuwowo nepake saliro.
Tumindako kalawan angon wayah.
Dalam maknanya yang sederhana, pitutur luhur ini menekankan betapa pentingnya manusia punya kesabaran ekstra, mengekang nafsu, tidak tergesa-gesa hingga terjerumus pada kondisi asal bertindak tanpa mengukur kemampuan dan kesiapan diri.
Lebih lanjut, pitutur ini juga mewanti-wanti betapa perlunya memiliki kecermatan dalam menentukan prioritas dan paham kapan waktu yang tepat untuk berbuat dengan didahului pertimbangan yang matang dan cermat.
Berkenaan dengan sejumlah syarat yang mesti dipenuhi dan pantangan yang mesti dihindari dalam setiap tindakan inilah yang secara singkat terangkum dalam ungkapan Jawa Ojo nggege mongso.
Untuk diketahui, kata nggege berasal dari kata ulang age-age, yang memperoleh penyengauan menjadi [ng]age-age, lantas dipersingkat menjadi nggege.
Demi lebih memudahkan pemahaman, bila dikaitkan dengan takdir, sebutan nggege mongso ini bisa berarti mendahului takdir.
Akibatnya, tindakan apa pun yang dilakukan tidak tepat pada waktunya atau belum tiba waktunya, maka yang dihasilkan alih-alih produktivitas, sebaliknya justru menjadi kontra produktif.
Sedangkan kata mongso di dalam bahasa Jawa baru antara lain memuat arti waktu, musim yang salah satu kata jadiannya adalah mangsan, yang berarti musiman atau ada kalau pada musimnya. Arti demikian seperti tergambar pada sebutan mongso ketigo (musim kemarau), mongso labuh (masa awal musim hujan), mongso duren (musim durian), mongso panen (waktu panen), mongso pagebluk (waktu pendemi) seperti saat ini, dan sebagainya.
Istilah mongso ini bisa juga diganti dengan kata wanci, yang bersinonim arti, menjadi titi wanci sebagaimana disebutkan dalam pitutur Jawa di atas.
Perihal ketepatan waktu itulah yang dalam bahasa Jawa acap diistilahkan dengan wis titi mongsone atau wis titi wancine, dalam arti telah tiba waktunya.
Sebaliknya, tergesa-gesa melakukan aktivitas ketika belum tiba waktunya, maka diistilahkan dengan durung titi wancine atau durung titi mongsone. Begitu pula jika melakukan kegiatan ketika sudah lewat waktu, maka sebutannya adalah wis ora titi mongso/wancine maneh, seperti wis ora titi mangsane pelem maneh (sudah tak musim mangga berbuah).
Pada sebutan-sebutan tersebut, siklus waktu digambarkan sebagai mempunyai keteraturan (order time circle). Untuk itu, manusia yang berada di dalamnya perlu menata diri sesuai dengan pola keteraturan yang ada. Jika tidak, maka manusia tersebut akan tergilas roda waktu.
Suatu tindakan yang dilakukan tanpa memerhatikan ketepatan waktunya, asal berbuat di sembarang waktu, di dalam bahasa Jawa Baru diistilahkan dengan ora angon wayah. Kata angon menunjuk pada penggembalaan, dan kata wayah berarti waktu.
Metafor ini memberi gambaran bahwa apa yang hendak dilakukan mestilah digembalakan (dingon), agar tepat waktu, dan sekaligus tepat sasaran, tepat tempat, dan tepat fungsi.
Suatu tindakan yang nggege mongso dengan demikian, masuk ke dalam apa yang diistilahkan dengan ora angon wayah, yang berarti abai terhadap ketepatan waktu.
Pentingnya setiap manusia memiliki kesabaran dan tahu persis kapan waktu yang tepat untuk bertindak, persoalan berikutnya adalah seberapa mudahnya kesabaran itu diwujudkan dalam perilaku keseharian.
Masalahnya, kalau mau jujur, di zaman serba cepat dan di tengah budaya instan, ketika hampir semua orang cenderung uber-uberan untuk saling unggul seperti sekarang, terbayang tak mudahnya bagi sebagian orang untuk bersabar walau sebentar.
Itulah sebabnya mengapa banyak dari mereka akhirnya berperilaku kalap tanpa sadar, dan banyak ketelanjuran tindakan yang pada akhirnya disesali, gara-gara sejak awal memang dilakukan serampangan, terburu nafsu, tanpa dilandasi niat dan nalar yang benar, sebagaimana tergambar dalam kisah Garudeya berikut.
KISAH GARUDEYA
Pada kisah Garudeya, dicontohkan tentang sifat kurang sabar menunggu tiba waktu (tergesa-gesa) dari Dewi Winata. Yakni tentang tiga butir telur yang ditetasinya, yang sebuah di antaranya telah dipecah jauh sebelum tiba waktu menetas, lantaran ia bernafsu untuk segera punya anak. Hasilnya, cuma keluar kilatan cahaya dari cairan telur itu.
Telur kedua, juga dipecah sebelum tiba waktu menetas. Alhasil, lahir anak yang diberi nama Aruna, yang hanya berwujud separuh badan di bagian atas. Adapun bagian bawah, masih belum berbentuk anatomi sempurna.
Tinggallah telur ketiga, yang berkaca pada pengalaman buruk telur pertama dan kedua, dengan lebih sabar ditunggu hingga tiba waktu menetas dengan sendirinya.
Dari telur ketiga inilah akhirnya terlahir makhluk yang beranatomi lengkap (jangkep), berupa manusia setengah burung, yang diberi nama Garuda dan kelak menjadi sosok perkasa.
Tindakan Winata terhadap telur pertama dan kedua dalam kisah di atas itulah contoh tentang perilaku nggege mongso.
PESAN KESABARAN
Mungkin ada baiknya kita renungkan pesan lebih lanjut sang kawan tentang kesabaran.
Jika sesuatu itu baik, ia akan terwujud. Yang paling penting adalah, jangan tergesa. Tiada sesuatu yang baik yang tak terwujud.
Sekali lagi, kesadaran dan anjuran semacam inilah yang dalam falsafah Jawa disebut Ojo nggege mongso. Jangan mendahului waktu. Jangan mendahului takdir.
Bersabarlah, karena Tuhan alam raya ini akan mengatur segala sesuatu dengan sebaik-baiknya.
NGGEGE MANGSA DAN MENGENDALIKAN DIRI
Nggege mangsa keserakahan merengkuh hari esok menjadi hari ini erat berkaitan dengan pengendalian diri. Keterburuan yang melupakan kapasitas diri. Nasihat untuk tetap mengenakan pengendalian diri dalam mencapai maksud ataupun cita-cita tertentu. Tanpa pengendalian diri, rasa nggege mangsa ini rawan dengan tergelincir pada keinginan untuk menghalalkan segala cara. Pengendalian diri membuat orang menghargai proses bukan hanya terfokus pada pencapaian tujuan. Keterburuan membuat jiwa dan tubuh merespon dengan tergopoh, rasa tidak tenang alias kemrungsung, hanya akan membawa kecemasan yang berlebih.
NGGEGE MANGSA DAN RELASI SOSIAL
Setiap kita tercipta sebagai makluk sosial, terikat dalam relasi sosial secara harmoni. Nggege mangsa merengkuh hari esok menjadi hari ini, menyegerakan pencapaian tujuan pribadi berpotensi menabrak pakem relasi sosial. Bermula dari sedikit senggol sana-sini, memupuk rasa permisif tidak apalah sedikit melukai kawan dan berpeluang kehilangan kepekaan rasa empati sosial. Kata nggege mangsa berkonotasi negatif dengan jalan pintas, melanggar ketentuan normatif, memunculkan bibit kecemburuan sosial.
Pernyataan nggege mangsa tidak hanya milik individu perseorangan, bisa saja menjadi rasa komunitas ataupun kelompok atau golongan.
Sinergi rasa ini menghasilkan energi gejolak yang lebih tinggi sambil menggelinding terjadi benturan antar individu dengan daya ungkit kecemasan yang lebih tinggi.Terganggunya relasi sosial yang tidak hanya membawa kecemasan pribadi namun merambah menjadi kecemasan sosial.
NGGEGE MANGSA DAN RELASI DENGAN ALAM
Belajar dari buah chesnut, sikap tidak nggege mangsa mendapat dukungan positif dari alam. Pohon melontarkan bijinya secara alamiah dan manusia tinggal mengumpulkan biji masak siap olah saja. Ketidakserakahan dikawal secara alami dengan biji terpelanting ke tempat tersembunyi dan akan tumbuh menjadi tumbuhan baru untuk menjamin keberlanjutan penyediaan pangan.
OJO NGGEGE MONGSO BELAJAR DARI BUAH CHESNUT
Nggege mangsa hanya akan membawa kecemasan.
Keserakahan merengkuh hari esok menjadi hari ini hanya akan membawa kecemasan. Teringat akan nasihat para sesepuh Aja nggege mangsa alias jangan mendahului waktu. Nggege mangsa hanya akan membawa kecemasan yang menjauhkan diri dari rasa tentram.
Belajar tidak nggege mangsa dari buah chesnut.
Pembelajaran alam tentang pantangan nggege mangsa dari kebun, bisa dilihat dari buah chesnut atau buah Sarangan, buah berangan (Malaysia), kuri (Jepang). Buah tanaman yang termasuk genus/marga Castane atau Castanopsis dan terpengaruh dari Bahasa Belanda, biasa juga disebut sebagai buah kastanya. Buahnya berupa cupak (buah berkulit duri tajam) yang berperan sebagai penjaga, saat buah masih muda duri tajamnya bisa melukai tangan. Duri tajam tersebut seolah isyarat, jangan dekati aku, belum waktunya aku dipanen.
Kemudian memecah setelah tua dan biji berserakan di bawah pohon kita tinggal mengumpulkannya. Penyelenggaraan Illahi yang sungguh indah, betapa setiap titah diajarkan untuk bersabar tidak nggege mangsa, biarkan buah dan biji berproses secara alami setelah siap disantap dia memberikan dirinya secara mudah. Biji dengan kandungan gizinya yang kaya protein nabati dan lemak tak jenuh menjadi sarana kemakmuran bersama. Biji yang memecah sebagian melenting ke tempat yang tak terjangkau oleh pengumpul dan secara alami akan tumbuh menjadi tanaman muda, pengaturan populasi agar tidak punah.
Catatan :
Chestnut adalah kacang-kacangan dari tumbuhan dalam genus Castanea. Kacang kastanye ini memiliki manfaat salah satunya meningkatkan kinerja otak. Kandungan vitamin C dalam kastanye lebih tinggi dibandingkan jenis kacang lainnya, sehingga dapat meningkatkan sistem imun lebih baik.