BELAJAR DARI LELUHUR TENTANG PRANATA MANGSA
Jauh sebelum teknologi pertanian diterapkan, nenek moyang bangsa kita sudah menfenal teknik penanggalan dalam bercocok tanam. Teknik ini mengajarkan para petani untuk lebih sensitif terhadap perubahan alam yang terjadi. Alhasil panenan berbagai komoditas yang diusahakan pada masa itu dapat lebih konsisiten dan memberikan hasil yang memuaskan bagi petani. Tak ayal kitab Arjunawiwaha juga mengisahkan bagaimana majunya sektor pangan pada masa itu menjadi salah satu pilar penopang jayanya kerajaan Majapahit.
PERPADUAN ILMU DAN PENGALAMAN
Pranata mangsa adalah sistem penanggalan yang menjadikan alam sebagai petunjuk tentang apa-apa yang harus petani lakukan dan berikan pada pertanaman. Sistem ini melatih kecermatan dan kepekaan indra petani untuk mengamati, merasakan, dan membaca alam. Untuk memahami pranata mangsa indra harus lihai menanggapi berbagai macam perubahan yang terjadi di alam. Kicau burung, desir angin, maupun cahaya matahari dapat menjadi petunjuk bagi petani Penggunaan sistem penanggalan ini adalah sebuah teknologi yang benar-benar brilian. Kalender pranata mangsa menunjukkan adanya korelasi antara biologi, kosmologi, klimatologi, dan sosiologi masyarakat pedesaan. Secara langsung, teknik ini mengharmonisasikan antara manusia dengan alam, persis seperti dasar konsep ekologi, dimana keberadaan manusia adalah bagian penting dalam sebuah ekosistem yang patut mengerti bagaimana alam, seperti apa kondisi alam, dan apa yang harus dilakukan.
Pranata mangsa mengenal siklus tahunan dalam bertani. Dalam siklus ini terdapat 12 mangsa atau waktu dengan simbol berbeda-beda. Keduabelas mangsa itu diantaranya kasa (bintang sapi gumarah), karo (tagih), katelu (lumbung) dan sebagainya. Nama tiap mangsa sebenarnya dibuat berbeda-beda berdasarkan karakter alam yang terjadi. Watak mangsa kasa misalnya, dengan rentang waktu 22 Juni – 1 Agustus dimana alam mencirikan gugurnya dedaunan, mengeringnya kayu, dan telur serangga menetas maka saatnya bagi petani untuk membakar jerami dan mulai menanam palawija.
Unik, klasik, antik dan memang begitulah kesan ketika membaca pranata mangsa tetapi keunikan tersebut yang membuat pertanian pada masa lampau sukses pada eranya
Zaman dahulu, dengan hanya modal sistem pranata mangsa, pertanian di Nusantara pernah sangat maju. Sriwijaya dan Majapahit merupakan bukti nyata betapa negeri ini pernah benar-benar berdaulat atas pangan berbasis pangan lokal yang tersedia, berdasar potensi lokal yang ada. Kejayaan itu termaktub dalam kitab Arjunawiwaha dan prasati Kamalagi. Bila kita cermati menggunakan pranata mangsa berarti sistem pertanaman kita akan lebih tertata dan teratur. Kedua, sistem ini mengajarkan kita kapan waktu yang tepat untuk melakukan aktifitas tani dari mulai pengolahan lahan, penanaman, hingga terdengar kicauan burung yang memberi makan anaknya, tanda waktu panen segera tiba. Alam adalah petunjuk dan sahabat petani. Ketiga, banyak sekali kearifan lokal sebagai turunan dari sistem penanggalan pranata mangsa sebagai hasil dari ilmu titen nenek moyang.
MELUPAKAN DAN BANYAK TIDAK PAHAM PRANATA MANGSA
Era ini, sistem pranata mangsa mulai dilupakan oleh petani muda. Walau begitu sampai saat ini pemanasan global memang tak dapat dipungkiri menjadi faktor primordial dalam pertanian kita. Pemanasan global merubah kodrat alam menjadi menyimpang, kemarau jadi hujan, musim hujan beralih ke kemarau. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi petani untuk menentukan apa yang harus dilakukan dalam budidaya, menyulitkan petani untuk merunut pada pranata mangsa, menyulitkan petani mencermati alam. Kacaunya kondisi alam memang dapat diakali dengan peningkatan intensifikasi melalui berbagai usaha, tetapi lihat kondisi saat ini dimana global warming justru makin diperparah dengan maraknya mekanisasi pertanian sebagai dampak negatif intensifikasi pertanian yang tidak sehat dan non eco-saving. Pencemaran makin marak, bahan kimia makin bertebaran, kondisi air yang makin buruk, yang berakibat fatal terhadap ekosistem. Bukti nyata dapat kita saksikan dilapangan, langkanya beberapa jenis burung di areal persawahan, menurunnya kualitas tanah, hingga cemaran pestisida kimia pada berbagai sayur mayur yang kita konsumsi.
Era serba digital dan era globalisasi saat ini ternyata menuntut para pelaku tani menjadi berwawasan internasional. Tak terkecuali bibit yang ditanam (yang bahkan Indonesia masih dominan impor), pupuk yang digunakan, bahkan cara tanam pun mulai mengadopsi asing.
Petani mulai mengesampingkan indegeneous knowledge.
Kearifan lokal dari leluhur yang mana didapatkan dari pengalaman nenek moyang mulai ditinggalkan. Seperti yang diutarakan Robert Chambers bahwa masyarakat kita memiliki keunggulan yaitu kemampuan mempelajari dari pengalaman. Padahal justru dari pengalaman inilah masyarakat kita pada masa lalu mengetahui permasalahan yang kita hadapi sekaligus solusinya. Benih lokal apa yang cocok ditanam di area ini, pupuk apa yang baik untuk tanaman di daerah ini, menggunakan apa pengendalian hama yang berdasar kaidah lingkungan dan sebagainya.
MELESTARIKAN BUDAYA LUHUR
Sejatinya ada beberapa musabab yang menjadikan pranata mangsa mulai ditinggalkan, Era globalisasi yang mendorong masyarakat kita untuk lebih open minded, termasuk petani, sehingga mulai melunturkan budaya ketimuran kita yang cenderung ekspresif dengan mengkiblat pada budaya barat yang cenderung progresif. Globalisasi juga menjadi faktor kunci yang menggerogoti sistem pranata mangsa, sehingga musim kita menjadi agak semrawut. Padahal sejatinya masih terdapat korelasi yang nyata antara gejala alam yang tersebut pada pranata mangsa dengan kondisi saat ini.2 Namun mungkin inilah penyebab dimana pranata mangsa mulai redup dan bahkan dampaknya sektor pertanian dianggap kurang potensial lagi. Berbeda 180° dengan masa lalu dimana bertani memang dianggap sebagai jalan hidup, sumber pokok pencaharian, dan sektor dimana kita bisa mengambil manfaat dengan penyelarasan diri dengan alam berupa hasil tani. Saat ini pertanian dianggap pekerjaan yang tergolong rendah, parameter kemiskinan, dan indikator ketidakberdayaan.
Akhirnya, banyak petani yang mulai kehilangan jiwanya sebagai petani. Idealisme tentang marwahnya menjadi petani termasuk idealisme petani sebagai bagian dari alam dan implikasinya yang harus bersahabat dengan alam, seperti yang diajarkan dalam pranata mangsa, bukan justru memerintah alam dalam bertani. Sudah saatnya buku lama itu kita buka kembali, kita gali berbagai macam kearifan lokal dalam sistem budidaya, kita terapkan berbagai macam local wisdom (kearifan lokal) masyarakat desa yang terbungkus apik dalam kesederhanaan dan kesahajaan pranata mangsa.
Harapannya adagium kuno Negara gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, murah sandang murah pangan benar-benar akan terwujud di Mbumi Nuswantara.
NGGEGE MANGSA (MONGSO)
Nggege mangsa / mongso artinya, jangan mempercepat musim atau waktu. Makna sejatinya adalah, jangan memaksakan diri dalam memperoleh hasil sebelum waktunya, karena apa yang didapat pasti tidak memuaskan.
Nggege Mongso yaitu berbuat sebelum tiba waktunya atau bertindak sebelum sanggup.
OJO NGGEGE MONGSO
Ojo nggege mongso.
Yen to durung titi wanci.
Sumabaro sawetoro wektu.
Ojo njur kesusu, keburu napsu
Yen durung kuwowo nepake saliro.
Tumindako kalawan angon wayah.
MONGSO
Menurut Mangunsuwito kata Mongso di dalam bahasa Jawa baru antara lain memuat arti waktu, musim.
Salah sebuah kata jadiannya adalah mangsan, yang berarti musiman, ada kalau pada musimnya.
Arti demikian seperti tergambar pada sebutan :
1. Mongso ketigo (musim kemarau).
2. Mongso labuh (masa awal musim hujan).
3. Mongso duren (musim durian).
4. Mongso panen (waktu panen).
5. Mongso pagebluk (waktu pendemi), dan sebagainya.
Dalam bahasa Jawa kuna dan Tengahan juga terdapat kata mangsa, namun tidak berarti : waktu atau musim, alih-alih menunjuk pada : daging, makanan, atau tanaman tertentu mungkin sebangsa pohon maja (Zoetmulder, 1995 : 651-2).
Istilah mangsa dalam arti waktu, antara lain tergambar pada kata gabung titi mongso, yakni kata sama arti, sehingga kata gabung yang berupa kata benda ini diartikan dengan masa, waktu.
Bisa juga istilah mongso diganti dengan kata wanci, yang bersinonim arti, menjadi titi wanci.
Bahkan, budayawan ada dalam syair lagunya, menambah satu kata lagi yang juga sana arti, yaitu kata kolo, menjadi titi kolo mongso.
Wong takon wosing dur angkoro
Antarane riko aku iki.
Sumebar ron ronaning koro
Janji sabar, sabar sak wetoro wektu
Kolo mangsane, ni mas
Titi kolo mongso
Pamujiku dibiso
Sinudo kurban jiwanggo
Pamungkase kang dur angkoro
Titi kolo mongso
Apabila kata mangsa ditambahkan kata bodo menjadi mangsa bodo (moso bodo, mangsa bodhon), maka artinya justru mengarah pada terserah kamu saja atau disebut juga masa bodoh.
Perkataan ini bersinonim dengan mangsa borong, dalam arti terserah.
Dalam arti waktu atau musim, istilah mangsa (mingso) berkenaan dengan hitungan, tepatnya perhitungan waktu. Dalam bahasa Jawa, Baru perhitungan waktu itu dinamai dengan Pranoto mongso (bahasa Indonesia pranata mangsa), yaitu perhitungan waktu yang didasarkan pada keteraturan musim.
Pranata mangsa merupakan sistem penanggalan atau sistim kalender yang berhubungan dengan bercocok tanam ataupun penangkapan ikan.
Kalender Pranata Mangsa disusun berdasar peredaran Matahari, yang satu siklus (setahun) terdiri atas 365 atau 366 hari.
Kalender ini memuat berbagai aspek fenomenologi dan gejala alam lain yang dimanfaatkan sebagai suatu pedoman dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana, seperti kekeringan, wabah penyakit, serangan atau gangguan tanaman, banjir, dan sebagainya yang mungkin dapat timbul pada waktu-waktu tertentu.
Berdasarkan perhitungan yang terbilang pelik (nylimet, klenik) ini, maka fase-fase di dalam bercocok tatanam dan mencari ikan bisa dilakukan dengan tepat waktu.