CERITA TOGOG, SEMAR DAN BETHARA GURU (BERBAGAI VERSI DAN PENDAPAT)
Di Kahyangan Jonggringsaloka sana, Sanghyang Tunggal sedang gelisah menantikan kelahiran putra mahkota dari permaisurinya, Batari Wirandi. Ia membayangkan anaknya itu kelak menjadi lelaki yang tangguh sehingga layak mewarisi tahta di Kahyangan Jonggringsaloka.
“Aaaaahhh…” terdengar teriakan Batari Wirandi. Bergegas Sanghyang Tunggal masuk untuk melihat banyinya. Namun pemandangan yang ia saksikan tidak sesuai harapan. Sanghyang Tunggal tidak menemukan bayi di situ. Tetapi ada telor seukuran bayi. Sebagai dewa yang punya kewaskitaan, Sanghyang Tunggal yakin ini adalah sebuah pertanda tertentu untuk dirinya.
Lalu ia segera menghadap leluhurnya, Sanghyang Wenang. Oleh Sanghyang Wenang, Sanghyang Tunggal diberi air bertuah yang disebut Tirta Kamandalu untuk dibalurkan ke telor yang dilahirkan sang permaisuri.
Sekembalinya dari menghadap Sanghyang Wenang, Sanghyang Tunggal segera melakukan apa yang diperintahkan lengkap dengan bacaan mantranya. Ajaib! Telor itu berubah menjadi tiga bayi laki-laki yang gagah. Satu bayi berasal dari kulit telor, satu lagi dari putih telor, dan terakhir dari kuning telor. Bayi pertama diberi nama Antaga (kelak diberi nama Togog), bayi kedua diberi nama Ismaya (kelak diberi nama Semar), dan bayi ketiga diberi nama Manikmaya (kelak diberi nama Batara Guru). Kini Sanghyang Tunggal telah memiliki pewaris tahta Kahyangan Jonggringsaloka. Namun masalahnya adalah siapa dari ketiga putranya yang paling layak menerimanya.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Antaga, Ismaya dan Manikmaya telah menjelma menjadi sosok yang dewasa. Namun Sanghyang Tunggal belum juga menentukan siapa yang berhak mewarisi tahta, padahal kini Sanghyang Tunggal sudah lanjut usia.
Disebabkan belum ada kepastian, terjadilan intrik-intrik politik di antara Antaga, Ismaya dan Manikmaya demi berebut tahta. Mereka saling bertengkar dan bertarung. Bahkan hampir saling bunuh. Untunglah ketika peristiwa itu terjadi, Sanghyang Tunggal memergokinya.
Tahta tetap harus diwariskan ke salah satu dari mereka. Maka Sanghyang Tunggal menguji mereka untuk menentukan siapa yang layak mewarisi tahta. Mereka pun menyatakan kesanggupannya. Sanghyang Tunggal menantang mereka untuk menelan dan memuntahkan kembali Gunung Mahasamun (simbol dari keserakahan). Siapa yang berhasil menelan dan memuntahkan kembali Gunung Mahasamun, maka ia berhak menjadi penguasa Kahyangan Jonggringsaloka menggantikan Sanghyang Tunggal.
Antaga sebagai saudara tertua maju pertama kali. Ia mengucapkan mantra-mantra sambil menggerakkan tangan ke arah Gunung Mahasamun di hadapannya. Seketika Gunung Mahasamun mengecil dan Antaga mulai memasukkannya ke dalam mulutnya. Namun sayang, Gunung Mahasamun meledak saat sudah di dalam mulut Antaga. Antaga gagal!
Selanjutnya giliran Ismaya. Dengan kesaktiannya ia berhasil menelan Gunung Mahasamun. Namun ketika akan memuntahkannya, ia selalu gagal. Ia mulai panik. Keringat bercucuran. Tubuhnya terasa berat. Pandangannya jadi kabur. Ismaya pingsan dan itu artinya gagal!
Antaga dan Ismaya tergeletak tidak sadarkan diri. Menyaksikan pemandangan itu, Sanghyang Tunggal merasa sedih. Sementara Manikmaya tidak bisa berkata sepatah kata pun. Ia sangat syok melihat kondisi kedua kakaknya. Ia tidak jadi ambil bagian dalam perebutan tahta itu.
Sosok Antaga berubah. Matanya juling, perutnya agak besar dengan mulut yang lebar. Demikian juga dengan Ismaya. Matanya sipit, perutnya besar, dan giginya banyak yang copot, hanya menyisakan beberapa saja. Antaga dan Ismaya telah kehilangan ke-dewa-annya. Kini mereka menjadi layaknya manusia yang tinggal di Marcapada.
Dengan kesaktiannya, Sanghyang Tunggal menyadarkan Antaga dan Ismaya dari kondisi pingsan. Kini Antaga, Ismaya dan Manikmaya menyadari keserakahan mereka berebut tahta. Mereka memohon ampun kepada Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal pun mengampuni mereka.
“Antaga, karena kamu telah menelan Gunung Mahasamun dan meledakkannya di dalam dirimu, maka kamu akan terbebas dari sifat serakah. Dan kamu Ismaya, karena telah menelan dan tidak dapat mengeluarkan Gunung Mahasamun maka kamu tidak dapat mengumbar sifat serakah dari dalam dirimu. Artinya kamu pun telah terbebas dari sifat serakah” tutur Sanghyang Tunggal.
Sanghyang Tunggal menugaskan Antaga untuk mengabdi di Tanah Sabrang, yakni tempat bangsa raksasa dan manusia yang berwatak angkara murka. Antaga bertugas menuntun dan memberi petunjuk kepada mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Antaga diberi nama baru yakni Togog.
Ismaya ditugaskan untuk mengabdi kepada para kesatria dan raja yang berbudi pekerti luhur. Ismaya bertugas membimbing mereka agar tetap berada di jalan yang benar. Ismaya diberi nama baru yakni Semar.
Adapun Manikmaya ditugaskan menjadi penguasa di tiga dunia, yakni kahyangan, bumi dan dunia siluman. Tugas utamanya adalah menjadi pimpinan para dewa di seluruh kahyangan. Manikmaya diberi nama baru yakni Batara Guru.
Ketiganya menjalani tugas yang diberikan oleh Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal memberikan pengertian bahwa ini merupakan suratan takdir yang tidak bisa diubah. Maka tidak ada pilihan lain selain menjalaninya.
AL KISAH SEMAR, TOGOG, DAN BATHARA GURU (1)
Surga dan bumi dalam kisah pewayangan dikuasai oleh Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Wenang memiliki putra bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal memperistri Rekathawati. Pada suatu hari, Dewi Rekathawati bertelur. Seketika itu telur tersebut terbang ke hadapan Sang Hyang Wenang. Setiba di hadapan Sang Hyang Wenang, telur tersebut menetas sendiri dan terwujudlah tiga makhluk antropomorfis. Yang muncul dari kulit telur dinamai Tejamantri, putih telur menjadi Ismaya, dan kuning telur menjadi Manikmaya.
Pada suatu hari, ketiganya membicarakan masalah siapa yang akan menggantikan kekuasaan ayah mereka. Manikmaya menyarankan diadakan pertandingan menelan gunung dan memutahkannya kembali. Tejamantri sebagai yang tertua melakukannya dulu tetapi gagal yang berakibat mulutnya sobek.
TOGOG (1)
Togog alias Tejamantri adalah punakwan yang ditugasi untuk mengawasi, membimbing dann menjadi pamong bagi para raksasa serta mereka yang bersifat jahat. Togog sebenarnya adalah seorang dewa. Sebagai seorang dewa ia bernama Sang Hyang Antaga.
Togog bersaudara dengan Sang hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Menurut serat paramayoga, ibunya bernama Dewi Rakti. Namun dalam pewayangan, ibu ketiga dewa itu adalah Dewi Rekatawati.
Sewaktu lahir, sebenarnya ketiga dewa itu lahir dalam bentuk satu telur. Telur itu kemudian oleh Sang Hyang Tunggal dicipta menjadi tida orang putera. Sang Hyang Antaga terjadi dari kulit telurnya dan dianggap sebagai anak sulung. Sang Hyang Ismaya tercipta dari putih telurnya dan Sang Hyang Manikmaya dari kuning telurnya.
Setelah dewasa. Ketiga putera Sang Hyang Tunggal itu memperebutkan hak penguasa alam kahyangan. Karena tidak ada yang mau mengalah, akhirnya Sang Hyang Tunggal menentukan, siapa diantara ketiganya yang sanggup menelan Gunung Mahameru dab kemudian memuntahkan kembali, ialah yang berhak atas kekuasan alam kahyangan.
Sebagai anak sulung, Sang Hyang Antaga berhak yang pertama membuktian kesaktiannya. Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, ia mencoba menelan gunung itu. Namun celaka, gunung nya tidak bisa ditelan dan justru mulutnya robek.
Giliran kedua, sang Hyang Ismaya berhasil menelan Gunung Mahameru, namun ternyata tidak sanggup memuntahkannya kembali. Usaha untuk mengeluarkan gunung itu dari duburnya pun sia-saia.
Akhirnya, Sang Hyang Tunggal memutuskan sang Hyang Manikmaya menjadi penguasa para dewa kahyangan. Sedangkan Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya harus turun ke dunia dan hidup sebagai manusia. Sang Hyang Antaga lebih memakai nama Togog, sedangkan Sang Hyang Ismaya memakai nama Semar.
Dalam melaksanakan tugasnya, Togog selalu berusaha menyadarkan majikannya agar jangan tergelincir dalam dosa dan perbuatan buruk. Namun jika nasihatnya tidak didengar, ia akan menjerumuskan majikannya dengan berbagai pujian dan sanjungan.
Ismaya kemudian maju dan berhasil menelannya tetapi tidak berhasil memuntahkannya. Insiden ini menyebabkan terjadinya gara-gara atau bencana. Sang Hyang Wenang segera datang dan mengambil keputusan. Beliau mengatakan bahwa pada waktunya, Manikmaya akan menjadi raja para dewa, penguasa surga di Kahyangan. Manikmaya juga akan mempunyai keturunan yang menjadi penduduk bumi. Ismaya dan Tejamantri harus turun ke bumi untuk memelihara keturunan Manikmaya. Keduanya hanya boleh menghadap Sang Hyang Wenang apabila Manikmaya bertindak tidak adil. Sejak itu Sang Hyang Wenang mengganti nama mereka. Manikmaya menjadi Bathara Guru, Tejamantri menjadi Togog, dan Ismaya menjadi Semar. Karena sebuah gunung pernah ditelan Ismaya maka bentuk tubuh Smer menjadi besar, gemuk, dan bundar.
TOGOG (2)
Togog adalah tokoh wayang yang digunakan pada lakon apapun juga di pihak raksasa. Ia sebagai pelopor petunjuk jalan pada waktu raksasa yang diikutinya berjalan ke negeri lain. Pengetahuan Togog dalam hal ini, karena ia menjelajah banyak negeri dengan menghambakan dirinya, dan sebentar kemudian pindah pada majikan yang lain hingga tak mempunyai kesetiaan. Karena itu kelakuan Togog sering diumpamakan pada seseorang yang tidak setia pada pekerjaannya dan sering berganti majikan.
Ia bersahabat dengan Semar dan terhitung lebih tua Togog daripada Semar, maka Semar memanggil Togog dengan sebutan Kang Togok.
Di mana Togog menghamba tentu dipercaya oleh sang majikan untuk memerintah bala tentara yang akan berangkat ke negeri lain. Waktu ia mendapat perintah untuk memberangkatkan bala tentara tersebut, dalang akan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:
Tersebutlah lurah Wijayamantri (Togog) telah tiba di tempat para raksasa berkumpul, memerintahkan kepada Klek-engklek Balung atandak untuk bersiap akan berjalan ke negeri Anu, tetapi perintah itu tak didengar, maka naiklah ia ke panggung, memukul barang sebagai pertanda.
Adapun benda yang digunakan ialah genta, keleleng, gubar, beri dan lonceng agung sebesar lumbung. Setelah dipalu dan para raksasa segera bersiap senjata dan kendaraan yang berbentuk senuk, memreng, blegdaba, bihal, badak dan singa yang mengaum dan meraung mendatangkan ketakutan pada banyak orang.
Ucapan Engklek-engklek Balung atandak: Marilah teman berdandanlah, akan pergi ke negeri Anu. Dan kemudian disahuti oleh temannya: Ikut-ikutlah,, yangan ketinggalan perabot kita, tekor tempat darah, pisau pemotong hati.
Sangat riuh suara raksasa itu, setelah berkumpul, suara binatang, kendaraan meraung-sung berbareng dengan suara yang mengendarai meraung juga, terdengar seperti guruh musim ke empat.
Lurah Wijayamantri turun dari panggung, lalu menghadap kepada majikannya. Bragalba bertanya: Sudahkah lurah Wijayamantri mengundang bersiap sejawat raksasa semuanya?.
Wijamantri: Sudah Kyai, sewaktu-waktu berangkat telah bersiap.
Bragalba: Marilah sekalian berangkat pada waktu pagi. Dijawab: Marilah, marilah. Diiring dengan gamelan, ketika gamelan berhenti, Togog, berkata kepada Bilung: Bilung, bagaimanakah ini?. Tadi kata pemimpin saya diangkat sebagai pemimpin, tetapi yangan pula saya dapat memimpin hingga sampai ke negeri yang dituju, sekarang saja selalu terbelakang. Tetapi keduanya lalu menyusul juga.
Rombongan raksasa ini berjumpa dengan duta seorang raja, terjadilah tanya jawab maksud masing-masing dan karena bertentangan maka terjadi peperangan. Hal ini yang disebut perang gagal, yaitu perang yang tak ada hasilnya apa-apa, tidak ada yang mati, keduanya hanya bersimpang jalan.
BENTUK WAYANG
Togog bermata keran (juling), hidung pesek, mulut mrongos (jongang), tak bergigi, kepala botak, rambut hanya sedikit di tengkuk. Bergelang. Kain slobog, (nama batik), berkeris dan berwedung. Togog bersuara besar, cara menyuarakannya dengan suara dalam leher dibesarkan.
BATHARA ISMAYA
(Semar, Sang Hyang Ismaya, Karakter Bijak)
Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sang Hyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Tetapi ada juga cerita yang menyebutkan bahwa semar merupakan titisan Sang Hyang Ismaya yang melakukan jalan kematian. Suatu ketika, Semar mendapat titah untuk turun ke dunia oleh Sang Hyang Tunggal. Oleh karena itu, Sang Hyang Ismaya yang semula berwajah tampan dan bertubuh apik berubah menjadi buruk rupa. Akan tetapi, sebelum turun ke dunia, Semar meminta seorang kawan. Dan Sang Hyang Tunggal bersabda bahwa Semar akan ditemani oleh Bagong yang tercipta dari bayangannya sendiri. lantas, turunlah mereka semua ke dunia. Dalam cerita selanjutnya, semar menolong petruk dan gareng dalam suatu pertempuran hebat keduannya. Mereka di obati dan diangkat menjadi anak. Jadilah mereka berempat dalam suatu kelompok bernama PUNAKAWAN.
AL KISAH SEMAR, TOGOG, DAN BATHARA GURU (2)
Versi ini menyebutkan bahwa alam semesta muncul sebagai sesuatu yang tercipta sekaligus. Diceritakan bahwa sebutir telur yang dipegang Sang Hyang Wenang menetas dengan sendirinya dan tampaklah langit, bumi, dan cahaya (teja), serta dua makhluk anthroporphis, Manik dan Maya. Kalau versi pertama dan kedua dibandingkan ada persamaannya. Ismaya dari versi pertama dan Maya dari versi kedua, terjadi dari putih telur dan keduanya memelihara bumi. Manikmaya atau Manik merupakan transformasi dari kuning telur dan keduanya menjadi raja para dewa di Surga. dalam kedua versi itu Manikmaya dan Manik menjadi Bathara Guru yang keturunannya tersebar di surga dan di bumi, sedangkan Ismaya dan Maya dinamakan Semar dan dijadikan pelindung bumi.
Namun ada juga yang berasal dari beberapa kitab seperti berikut ini :
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan,penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sang Hyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sang Hyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskankepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru.
Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh parakesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan,Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernamaSanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yangkemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi namaIsmaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismayamerasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhtakahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru.
Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukansebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus.Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulatbernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunanBatara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya.Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadisosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versiini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan,Sanghyang Tunggal me miliki empat orang putra bernama Batara Puguh, BataraPunggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bah-watakhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini mem buat ketiga kakaknyamerasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatantersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketigaputranya menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog, Pung-gungmenjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai peng-asuh keturunan Samba,yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunankarena hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dandiangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan,Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama.Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggaldengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian,yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelmamenjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasaldari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnyadiberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karenamasing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan.
Keduanya pun mengadakan perlombaan menelangunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namunjustru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya me-lebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu memakan gunung itu sedikit demi sedikit.
Setelah melewati beberapa hari seluruh bagiangunung pun ber-pindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan.Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murkamengetahui ambisi dan keserakahan kedua pu-tranya itu. Mereka pun dihukummenjadi pengasuh keturunan Ma-nikmaya, yang kemudian diangkat sebagai rajakahyangan, bergelar Batara Guru.
Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia.Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
CERITA SEMAR, TOGOG DAN BATHARA GURU (VERSI WAYANG KULIT TRILOKA)
Cerita Singkat Wayang Kulit Triloka, Lahirnya Semar, Togog, dan Bathara Guru dari Sebuah Telur
Cerita Wayang Purwo :
Lahirnya Ismaya atau Semar, Antaga atau Togog atau dan Manikmaya atau Bathara Guru dari Sebuah Telur
Menengok kisah penguasa dalam dunia wayang yaitu Manikmaya, Ismaya dan Antaga.
Pada dasarnya mereka bertiga berasal dari satu telur yang dihidupkan oleh Sang Hyang Tunggal penguasa Suralaya.
Telur tersebut pecah, bagian kulit menjadi Antaga, bagian putih telur menjadi Ismaya dan bagian kuning telur menjadi Manikmaya.
Ketika menginjak dewasa mereka bertiga dipanggil Hyang Tunggal untuk menghadap perlu ingin diserahi tahta Kahyangan Suralaya.
Ketiga putra Hyang Tunggal itu sama umur dan tidak ada yang lebih tua, semua pandai dan cerdas, tidak ada yang lebih bodoh.
Tak ada yang lebih unggul, semua sama semua rata, sehingga membuat Hyang Tunggal kerepotan memilih siapa yang pantas menggantikan kedudukannya, akhirnya ya hanya diam, tak bicara, tak berkata-kata.
Antaga mengutarakan pendapatnya bahwa yang paling tua adalah dirinya, karena dia adalah kulit yang melindungi isi telur, jadi terlihat paling awal dan paling dulu daripada isinya, artinya dialah yang tertua dan sangat pantas menduduki tahta Suralaya memimpin Manikmaya dan Ismaya.
Ismaya merasa tidak berkenan atas usulan Antaga, karena keberadaan mereka bertiga memang bareng, dan tak seharusnya Antaga berani bilang lebih tua, lantaran dia jadi kulit.
Kulit tanpa isi apa guna kulit, mereka itu adalah satu rangkaian, satu kekuatan, satu keselarasan dan tidak ada urutan atau strata.
Antaga merasa pendapatnya dihina, diapun marah dan mengajak bertengkar Ismaya. Malu dianggap cemen, Ismayapun menerima tantangan tersebut.
Meskipun telah diperingatkan oleh orang tuanya, tetapi mereka berdua terlanjur beram dan marah, akhirnya mereka melanjutkan pertengkarannya.
Duel dua makhluk, sama hebatnya, akhirnya mereka memutuskan untuk berlomba makan gunung.
Antaga yang penuh ambisi langsung saja menelan gunung dan akibatnya mulutnya lebar dan dalam dunia pewayangan sekarang dikenal dengan Togog.
Sementara Ismaya lebih menggunakan jurus “sedikit-sedikit lama-lama jadi buki”, gunung pun habis dimakan,
sayang dia tidak mampu mengeluarkan gunung yang terlanjur ada di perutnya, akibatnya perutnya melingkar bulat, dan kita sering mengenalnya dengan Semar.
Perselisihan dua makhluk, sama hebatnya, akhirnya mereka memutuskan untuk berlomba makan gunung.
Antaga yang penuh ambisi langsung saja menelan gunung dan akibatnya mulutnya lebar dan dalam dunia pewayangan sekarang dikenal dengan Togog.
Sementara Ismaya lebih menggunakan jurus “sedikit-sedikit lama-lama jadi buki”, gunung pun habis dimakan, sayang dia tidak mampu mengeluarkan gunung yang terlanjur ada di perutnya, akibatnya perutnya melingkar bulat, dan kita sering mengenalnya dengan Semar.
Alhasil mereka berdua mendapat murka ayahnya dan diberi tugas di dunia, Togog menjadi punakawan para satriya yang berwatak jelek, dan Semar menjadi punawakan satriya yang berwatak baik. Manikmaya menjadi pewaris tunggal kahyangan Suralaya yang membawahi Triloka.
Manikmaya adalah simbol dari alam karamean (pikiran) bisa di bilang Guruloka, sedangkan Ismaya adalah alam pelereman (hati) Janaloka dan Togog adalah simbol alam kasengseman (nafsu) Indraloka.
Ketiga unsur ini ada dalam diri kita manusia. Guruloka (alam pikir) bermain dengan logika, dogmatis, keras, dan harus, tidak mudah tergiur oleh pendapat orang lain.
Janaloka (alam hati) penuh keinginan, dan Indraloka adalah alam nafsu penuh dengan keindahan dan kenikmatan.
Udah lazim bila orang yang cerdas itu dibilang lebih intelektual, dan banyak orang yang suka jika disebut intelektual, golongan ini cenderung dikuasai oleh orang barat kayaknya, sedangkan yang berdasar keinginan dan pertimbangan adalah orang yang berhati-hati, cenderung pelan bertindak, mungkin itu orang jawa,,,he he he he,,, karena mengidolakan tokoh Semar dan yang lebih ngeri adalah ketika diperbudak oleh nafsu birahi, karena kesengsem dengan kehidupan dunia, lebih mementingkan kepentingan dunia, umum sekali ini sifatnya.
Mana yang lebih kuat itulah yang menjadi raja, kadang pikiran, kadang hati dan kadang nafsu.
Selain itu bisa juga Triloka itu terdiri dari alam rahim, alam kelahiran (kehidupan), dan alam kematian.
Perjalanan triloka ini bisa kita dapati dalam ritual mbubak kawah yang sampai sekarang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa.
Mbubak Kawah artinya mengenalkan kembali asal muasal manusia dari tidak ada, kemudian ada dan kembali tidak ada.
Ritual ini dipimpin oleh seorang juru Bubak yang biasanya merupakan sesepuh dari wilayah tempat dilakukannya ritual tersebut.
Ritual ini dilakukan oleh orang yang punya hajat menikahkan anaknya, dan baru pertama kali mempunyai hajatan tersebut.
SEMAR, HYANG ISMAYA DAN TOGOG (Versi : Prof. Dr. Slamet Muljana)
Hampir semua orang-orang yang sudah sepuh dari suku jawa mengenal sosok Semar.
Semar merupakan tokoh Punakawan dalam pewayangan, selain mengetahui dari pewayangan, adapula yang mengenalnyamelalui dunia mistis dan juga kebatinan.
Namun, generasi sekarang banyak yang tidak tau mengenai Semar yang dikatatakan sebagai pamomong tanah Jawa.
Dalam cerita wayang, Semar dikatakan sebagai tokoh asli Indonesia karena tidak ditemukan dalam cerita Mahabharata atau Ramayana dari India. Lantas, apakah sama antara Semar dan juga Hyang Ismoyo yang makamnya ada di Gunung Tidar.
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Asal-usul Semar juga memiliki beberapa versi, namun semua percaya Semar sebagai dewa turun dari langit dan menyatu dengan kehidupan manusia. Semar memiliki tugas membimbing manusia untuk memiliki budi pekerti dan menjunjung tinggi kebenaran. Karena tugasnya, Semar juga disebut sebagai dewa pamonging satriya, sinamar dadi kawula (dewa pengasuh kesatriya yang menyamar sebagai hamba). Seperti dikisahkan dalam kitab-kitab Manikmaya, Kandha dan Paramayoga, Semar berasal dari alam kadewatan (jagad dewa).
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, putera Sang Hyang Wenang yang bernama Sang Hyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati. Sepasang suami-isteri tersebut melahirkan putera berupa sebuah telur ajaib, yang melesat ke hadapan kakeknya, Sang Hyang Wenang. Oleh sang kakek telur ajaib tersebut disabda-cipta menjadi tiga dzat hidup yang bersifat dewa.
Bagian kulit dari telur yang keras menjadi Sang Tejamantri/Antaga, bagian putih telur menjadi Sang Ismaya, dan bagian kuning telurnya menjadi Sang Manikmaya. Dalam sayembara memakan gunung, Sang Tejamantri dan Sang Ismaya kalah melawan Sang Manikmaya. Sehingga mereka berdua harus turun ke Arcapada untuk menjadi pengasuh manusia-manusia keturunan Sang Manikmaya.
Di Arcapada, Sang Tejamantri/Antaga beralih rupa dan nama menjadi Togog yang mengasuh manusia-manusia yang bersifat serakah. Sedangkan Sang Ismaya beralih rupa dan nama menjadi Semar yang menjadi pamomong kesatriya-kesatriya berdarah biru yang bergelimang wahyu.
Togog dikisahkan selalu gagal membujuk majikannya untuk bersikap dan berbuat baik dan benar. Dan Semar berhasil membimbing asuhannya ke arah perbuatan benar dan luhur. Semar berhasil membimbing asuhannya ke arah perbuatan benar, bijaksana dan luhur.
SEMAR, HYANG ISMAYA DAN TOGOG (Versi : Haryono Haryoguritno)
Menurut Haryono Haryoguritno, ahli Budaya Jawa dari Lembaga Javanologi Jakarta, dalam makalahnya Semar, siapa dan di mana dia ? juga membeberkan, dalam pandangan aliran kepercayaan di Jawa ada yang meng-kiblat-kan ajaran-ajarannya kepada ketokohan Semar.
Dalam pengembaraan spiritual mencari tempat sangkan paraning dumadi, sebagian orang Jawa secara spiritual sempat bertemu dengan tokoh Semar. Hal ini karena pengaruh mitologi dunia pewayangan yang cukup berpengaruh dalam menciptakan kerangka pemikiran mistis orang Jawa.
Sisa-sisa faham anismisme dan dinamisme juga sangat berpengaruh terhadap keyakinan ini. Sehingga muncul pemahaman, Semar adalah nenek moyang orang Jawa Purba yang roh-rohnya telah menjadi danyang yang mengawal kawasan Pulau Jawa dan seluruh Nusantara berikut penghuninya sampai akhir jaman nanti. Karena itu dia ada kemungkinan untuk bisa dan terus ‘hadir’ pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Di daerah Magelang, sejarah awal masuknya agama Islam ke tanah Jawa juga tidak terlepas dari kisah legenda yang ada di tengah masyarakat daerah ini, yaitu peran ulama Syekh Subakir, Syekh Jumadil Qubro, Syekh Maulana Maghribi, dan kerabatnya yang bertemu dengan Ki Semar di puncak sebuah gunung. Menurut riwayatnya, sebelum Pusaka Kalimasada ditanam di puncak Gunung Balak, Syekh Subakir bermusyawarah dengan Kyai Semar di puncak sebuah gunung. Di puncak gunung inilah peti tempat menyimpan dan membawa Pusaka Kalimasada itu dibuka yang dalam bahasa Jawa: pethi-ne diudhar.
Tempat membuka peti itu kemudian dinamakan Gunung Tidar, Dari puncak gunung Tidar inilah kemudian Pusaka Kalimasada dibawa ke arah timur, sejauh 17 kilometer (yang kini tempat ini bernama Pakis), dan diusung ke puncak sebuah gunung untuk ditanam sebagai tumbal kanggo wong sak alak-alak atau tumbal untuk orang banyak. Itulah sebabnya, tempat menanam tumbal ini sampai kini disebut Gunung Balak. Penanaman Pusaka Kalimasada di puncak gunung Balak oleh Syekh Subakir dan kawan-kawannya, bermakna sebagai penancapan Kalimah Syahadat di jantungnya Tanah Jawa, sebagai tanda masuknya ajaran agama Islam bagi penghuni tanah Jawa. Makam petilasan Hyang Ismoyo Jati di puncak Gunung Tidar berupa sebuah pusara yang di tengahnya berdiri tegak sebuah wujud keris pusaka luk sembilan setinggi kira-kira dua meter. Bilah keris pusaka ini dari bahan tembaga berwarna kuning emas yang dihiasi sembilan buah bintang.
Nama-nama yang ada di puncak Gunung Tidar ini mempunyai makna yang tersamar. Sebutan Hyang, maknanya elinga padha sembahyang (ingat untuk melakukan sholat). Ismaya maknanya aja padha semaya (jangan menunda). Kata jati artinya kabeh ana jati dhirimu (semua ada pada jati dirimu). Sedangkan kata Semar, maknanya Sira Eling Marang Allah lan Rasul (kamu ingat pada Allah dan Rasul).
Di pucuk tugu Puser Tanah Jawa yang berada di tengah lapangan di puncak Gunung Tidar ada tulisan aksara Jawa tiga buah sa. Ini maknanya, sapa salah seleh (barang siapa yang bersalah akhirnya akan ketahuan). Juga bermakna sapa sholat slamet (siapa yang menegakkan sholat akan selamat).
Selain versi tersebut, ada beberapa versi mengenai Semar yang mengatakan bahwa Semar bukanlah Hyang Ismoyo. Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sang Hyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sang Hyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sang Hyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sang Hyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sang Hyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar.
Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Itulah beberapa versi tentang Semar yang merupakan salah satu tokoh pewayangan.
Menurut beberapa Naskah mengatakan bahwa Semar bukanlah Hyang Ismoyo. Ada naskah mengatakan bahwa Hyang Ismoyo adalah cucu dari Semar.
Sulit memang untuk membuktikan sesuatu yang tidak pernah kita lihat secara langsung. Maka dari itu kita hanya bisa berasumsi dengan pendapat dan keyakinan kita masing-masing.