FILSAFAT JAWA
Filsafat Jawa itu dihayati, dirasakan dan dilakukan dalam keseharian hidup orang Jawa. Filsafat Jawa sangat aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat Jawa merupakan jenis pengetahuan melalui pengujian kritis terhadap nilai-nilai tradisional yang telah berkembang selama ribuan tahun. Nilai tradisional tersebut dapat berupa sesanti, pasemon, sanepa, isbat, perlambang, pralampita, wangsalan, parikan, panyandra, paribasan, bebasan, seloka, adat istiadat serta kepercayaan. Pemikiran filsafat Jawa bersifat mengakar yang mencoba memberi jawaban menyeluruh terhadap hakikat kebenaran yang sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik.
Filsafat Jawa merupakan ajaran luhur warisan leluhur ini menyajikan dan menguraikan ajaran luhur warisan leluhur, diantaranya dalam bentuk Paribasan, pasemon, sesanti. Paribasan, pasemon, sesanti.
Ajaran luhur ini tidak harus urut, tetapi dapat langsung pada masalah yang diinginkan.
Sebagai contoh : Laku hambeging candra (Meniru perilaku rembulan). Ajaran ini merupakan ajaran asta brata, artinya bahwa seorang pemimpin harus memberi penerangan yang menyejukkan seperti bulan bersinar terang benderang namun tidak panas. Bulan menyinari bumi di kala malam yang gelap, maknanya pemimpin harus tahu saat yang tepat untuk bertindak.
Filsafat Jawa adalah ilmu yang mempelajari tentang filsafat yang bertumpu pada pemikiran-pemikiran yang berakar pada budaya Jawa. Filsafat Jawa sebenarnya juga tergolong pada filsafat Timur, yang umumnya berdasarkan pada pemikiran para filsuf di India dan Tiongkok, meskipun saat ini filsafat Jawa belum diakui sebagai bagian dari filsafat Timur tetapi pada dasarnya filsafat Jawa memiliki kesamaan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam filsafat India.
Filsafat jawa adalah landasan hidup orang jawa dalam melangkah, yang merupakan bagian dari ilmu (kawruh) kejawaan yang abstrak. Filsafat jawa itu sebuah konsep abstrak tentang pandangan hidup. Itulah sebabnya, tidak akan sia-sia apabila konsep itu diterapkan dalam hidup sehari-hari. Ilmu filsafat Jawa adalah dunia simbolik jawa yang diaplikasikan dalam kehidupan orang jawa sehari-hari. Hidup sehari-hari adalah realitas ,bukan utopia. Oleh sebab itu landasan filsafat perlu di implementasikan ke dalam hidup.
Dalam menghadapi kehidupan yang semakin bermateri dan tidak menentu ini, mungkin ada baiknya kalau kita mencoba merenung, menggali kembali ajaran ajaran bijak generasi pendahulu kita yang mungkin akan sangat berguna bagi kehidupan sekarang ini. Ajaran filosofi jawa sudah saatnya diterapkan dalam budaya tindakan. Ajaran yang bukan hanya diperuntukan untuk masyarakat Jawa saja, tetapi juga bisa bermanfaat bagi siapapun yang ingin mempelajarinya.
Ungkapan filosofi aja dumeh, aja gumunan, aja kagetan yang artinya jangan merasa paling super, jangan mudah kagum terhadap fenomena yang aneh, jangan gampang terkejut. Ketika melihat kejadian yang menakjubkan selalu heran, lalu ingin memiliki.
Filsafat Jawa seperti halnya filsafat lainnya, pada dasarnya bersifat universal. Jadi filsafat Jawa meskipun dilahirkan dari hasil kebudayaan Jawa tetapi sebenarnya bisa berguna bagi orang-orang di luar Jawa juga. Meski bersifat universal, filsafat Jawa atau filsafat Timur pada umumnya memiliki perbedaan dengan filsafat Barat. Dalam filsafat Timur, termasuk juga filsafat Jawa tujuannya adalah untuk mencapai kesempurnaan, sementara filsafat Barat tujuannya adalah kebijaksanaan.
SEJARAH DAN ASAL-USUL
Hanacaraka, asal usul dari kebangkitan filsafat Jawa.
Kemunculan filsafat Jawa juga tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh ajaran Hindu dan Buddha, oleh karenanya filsafat Jawa tidak dapat dipisahkan dari filsafat India. Filsafat Jawa tumbuh seiring dengan kemunculan Aksara Jawa atau yang juga dikenal sebagai Hanacaraka. Kemunculan Hanacaraka membuat kesusastraaan Jawa juga semakin berkembang. Pada masa-masa itu muncul berbagai pujangga-pujangga hebat seperti Empu Kanwa yang menulis Kakawin Arjunawiwāha, Empu Prapañca yang menulis Kakawin Nagarakretagama, Empu Tantular yang menulis tentang Kakawin Sutasoma, dan masih banyak lagi.
Sejarah Hanacaraka muncul dan terkait dengan kisah Aji Saka dan kedatangannya dari Hindustan. Oleh karena itu maka tidak mengherankan bila ditemukan adanya nama-nama tempan atau nama orang Jawa yang mirip dengan nama-nama tempat atau nama orang India. Kisah Aji Saka ini sampai sekarang masih dipegang teguh oleh Suku Jawa dan menjadi inspirasi bagi kehidupan batin dan rohani orang Jawa.
DIMENSI
Seperti halnya filsafat pada umumnya, filsafat Jawa juga memiliki dimensi-dimensi yang meliputinya, antara lain dimensi metafisika, dimensi ontologi, dimensi epistemologi, dan dimensi aksiologi. Penggolongan dari setiap dimensi filsafat tersebut disesuaikan dengan cabang-cabang dalam ilmu filsafat, yakni tentang ilmu pengetahuan, tentang ada dan sebab pertama, tentang materi, dan tentang norma-norma.
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa filsafat Jawa mengutamakan pada aspek kesempurnaan hidup lebih tepatnya kesempurnaan batin. Dalam filsafat Jawa, kesempurnaan itu bisa didapatkan manusia dengan cara berpikir dan merenungkan kaitan dirinya dengan Tuhan. Karena dalam filsafat Jawa yang menjadi tujuan adalah kesempurnaan hidup, maka setiap bidang dan dimensi yang ada dalam filsafat harus menyatu, tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
NILAI YANG TERKANDUNG
Dikarenakan filsafat Jawa bertujuan pada kesempurnaan hidup, maka ia memiliki nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Nilai-nilai yang ada dalam filsafat Jawa tidak hanya sebagai ilmu pengetahuan semata, tetapi juga menjadi filosofi dan falsafah dalam menjalani kehidupan. Berikut ini adalah beberapa nilai yang terkandung dalam filsafat Jawa.
1. Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa, maknanya jangan sombong, harus berempati dan memahami orang lain.
2. Migunani tumraping liyan, maknanya berbuat baik kepada orang lain, nanti orang lain akan berbuat baik kepadamu.
3. Eling sangkan paraning dumadi, maknanya selalu ingat asal-usul dan cita-cita dalam hidup.
4. Urip iku urup, maknanya hendaknya memberi manfaat pada lingkungan sekitar kita.
5. Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti, maknanya setiap keburukan pasti akan kalah dengan kebaikan.
6. Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha, maknanya jangan besar kepala jika sedang beruntung atau menang.
7. Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan, maknanya jangan mudah tersinggung.
8. Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman, maknanya jangan terkejut, tetap tenang.
FILSAFAT JAWA DALAM CERITA PEWAYANGAN
Dalam cerita pewayangan ada yang namanya Jagad Ageng (alam semesta) dan jagad alit (yang ada dalam tubuh manusia). Bahkan bagi pelaku spiritual juga sudah memahami adanya jagad alit dan jagad ageng. Berkaitan dengan menggulung jagad ageng ke dalam jagad alit, maka para pelaku spiritual juga akan memahami bahwa sosok pandhawa lima yang disebutkan diatas juga terdapt dalam diri kita. Susetya (2006 :49) pernah menafsirkan bahwasannya pandhawa lima sebagai simbol rukun islam. Tafsir demikian juga boleh boleh saja. Bisa juga diartikan bahwa pendhawa lima merupakan simbol yang diberikan gusti allah pada manusia. Bahkan setiap manusia memiliki pandhawa lima didalam tubuh kita. Pertanyaannya, dimanakah posisi sosok-sosok pandhawa lima itu gambaran dalam tubuh kita ?
Yudhistira sebagai pemimpin pandhawa adalah merupakan simbol dari otak manusia. Hal ini dapat diartikan bahwa manusia itu dipimpin oleh otaknya. Jika ingin hidup tenang dan mulia maka pergunakanlah otak kita untuk berpikir dan mencapai derajat ketenangan dalam hidup. Itulah sebabnya tokoh yudhistira diumpamakan sebagai otak karena merupakan penjelmaan dewa Yama yang bijaksana. Dewa ini mempunyai sifat moral tinggi, suka memaafkan dan mengampuni musuh yang sudah menyerah. Filosofi jawa pun demikian dapat di implementasikan dalam hidup, bahwa otak manusia harus selalu di pergunakan secara bijaksana.
Otak yang bersih, akan mempengaruhi tindakan yang utama karena hidup pun membutuhkan ilmu. Jika manusia ingin mulia dalam hidup, agar mempergunakan otak secara bijaksana dan tidak mengumbar ambisi dalam meraihnya, tetapi gunakan strategi untuk mencapai kemuliaan hidup di dunia.
Werkudara/Bima adalah sosok kedua pandhawa, tokoh ini adalah sosok tinggi besar dan penuh keberanian. Sosok Bima tersebut merupakan simbol dari mata manusia. Apabila seseorang memandang orang lain dengan tajam, maka ia akan tampak lebih berani menghadapi kehidupan ini. Siapa orang yang tak merasa takut jika kita dipelototi orang lain ? Werkudara/Bima diumpamakan sebagai mata karena dia merupakan penjelmaan dewa Bayu, sehingga disebut Bayusuta.
Bima memiliki tubuh tinggi dan berwajah sangar ,namun ia memiliki hati yang sangat mulia. Filosofi tokoh ini menandai bahwa salah satu yang membuat manusia ditakuti adalah mata. Misalnya sedang marah dan melotot, maka orang akan ketakutan melihat sorot matanya. Maka gunakanlah mata dengan bijaksana, mata pula yang menjadi pintu masuk dosa paling banyak. Oleh sebab itu orang yang mampu mengendalikan mata, hidupnya akan enak.
Arjuna adalah sosok yang dikenal sebagai penengah pandhawa. Dimana sosok Arjuna dalam tubuh manusia ? Arjuna dikenal sangat gemar untuk bertapa, menyendiri, dan bersemedi. Ia rajin untuk mengheningkan ciptanya di hutan-hutan belantara. Nah, sosok Arjuna tersebut juga ada dalam diri tepatnya di hati kecil setiap manusia atau yang umum sering disebut hati nurani. Manusia diharapkan untuk selalu mendengarkan hati kecilnya guna memahami kebenaran hidup ini. Hati kecil manusia tidak pernah berbohong, ia akan selalu mengatakan sejujurnya seperti perilaku Arjuna. Arjuna/ Jenaka, diibaratkan sebagai hati nurani karena Arjuna merupakan penjelmaan dewa Indra/ dewa Perang.
Sifat utamanya adalah sering bertapa, tidak pernah berbohong dan senang mendekatkan diri pada Gusti Allah. Filosofinya manusia yang ingin “lurus” harus mendengarkan hati nuraninya yang otomatis membuat kita semakin dekat dengan Gusti Allah. Hati yang menjadi teropong batin. Hati sulit dibohongi, sebab segumpal darah ini ikut menggerakkan batin.
Nakula dan Sadewa adalah sosok pandhawa yang kembar. Hal ini adalah merupakan simbol kembarnya buah zakar manusia laki-laki dan indung telur bagi perempuan.
Tanpa adanya buah zakar maka manusia tidak akan pernah bisa membuahi pasangannya guna memiliki keturunan. Buah zakar sangatlah penting untuk menyebarkan benih benih keturunan manusia. Nakula dan Sadewa diibaratkan sebagai kemaluan karena keduanya merupakan penjelmaan dewa Aswin (dewa pengobatan), yang mempunyai sifat bijaksana menggunakan kelaminnya dan mempunyai kesetiaan untuk melayani pasangan hidup.
Kemudian timbullah pertannyaan jika sosok sosok pandhawa dapat disimbolkan dalam tubuh manusia, bagaimana dengan sosok kurawa ? Seperti diketahui Kurawa adalah berjumlah 100 orang. Sosok Kurawa tersebut dikenal sebagai sosok yang bersifat negatif. Mereka suka menghasut, menimbulkan kebencian, menciptakan rasa iri dan dengki dan lain lain yang memiliki sifat negatif. Dimanakah sosok sosok Kurawa tersebut dalam tubuh manusia ? Sosok Kurawa itu berada dalam nafsu manusia. Nafsu manusia selalu dipenuhi dengan sifat sifat negatif yang senantiasa membuat kerusakan. Manakala manusia dapat menggunakan batin (Yudhistira), dengan awas eling sebagai iman jawa, akan terbebas dari godaan mata, hati(rasa), dan kemaluan.
Jika demikian, pandhawa lima itu adalah ngelmu jawa tentang keselamatan diri. Ngelmu demikian termasuk metafisika Jawa. Yang perlu dicermati dari pandhawa lima yaitu manusia akan bersinar hidupnya bahwa Urip itu urup maksudnya hidup itu bernyala. Hidup kita itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain yang berada disekitar kita, bukankah di al-alqur’an telah di jelaskan pula bahwa manusia yang sebaik baiknya adalah manusia yang bermanfaat bagi sesama. Semakin besar kita bisa memberikan manfaat dan berguna bagi sesama , maka kualitas hidup kita pun juga akan menjadi lebih baik. Ofang hidup demikian dinyatakan sebagai orang yang mampu memayu hayuning bawana, ambrastha dur bangkara artinya manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
Tugas kita selagi hidup dialam fana ini tak lain hanyalah mengusahakan bonum commune yang dalam bahasa politik sering diterjemahkan sebagai kebaikan dan kesejahteraan bersama untuk segenap masyarakat. Orang jawa menyebut dalam istilah karyenak tyasing sesama artinya membuat orang lain senang, bukan sebaliknya membuat orang lain jengkel. Ibarat arah, ke kanan mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan umum dan ke kiri berusaha meminimalisir segala bentuk kejahatan dan wujud keserakahan. Serakah itu getah dari nafsu angkara yaitu sebuah keberanian diri (sura) yang dilandasi kenekatan (dira). Dira adalah watak orang yang ngedir-edirke artinya mengandalkan kekuasaan atau kewenangan. Ungkapan sura dira jaya jayaningrat, lebur dening pangastuti artinya segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan oleh sikap bijak, lembut hati dan sabar.
Ungkapan Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan artinya jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri, jangan sedih manakala kehilangan sesuatu. Dalam sekejap semua milik kita bisa musnah dan hilang ditelan bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, kebakaran dan masih banyak lagi. Memiliki benda itu perlu namun tidak perlu menumpuk, benda atau harta harus diperlakukan sebagai sarana bukan tujuan hidup.
Begitu pula ungkapan Aja milik barang kang melok, aja mangro mundhak kendho artinya jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik dan indah, jangan berpikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat.
Konsep rumput tetangga lebih hijau itu yang sering menyebabkan sikap mangro. Hidup sederhana ini indah, hidup menurut ukuran dan takaran kita sendiri adalah bijaksana dari pada harus hidup penuh kepalsuan layaknya bunyi pepatah lama Besar pasak dari pada tiang. Sekarang ini banyak orang lupa diri lantaran terkena hipnotis hidup enak, mewah dan serba cepat.
UNGKAPAN FILOSOFI ORANG JAWA
Merujuk pendapat Dr. Abdullah Ciptoprawiro dalam bukunya yang bertajuk Filsafat Jawa telah terdapat pola-pola universal yang mendasari filsafat Jawa. Hingga beliau menyimpulkan bahwa pola universal tersebut merupakan usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan.
Filsafat Jawa digunakan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan dapat dilihat dalam pertunjukan wayang dalam lakon Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Dalam lakon tersebut, Begawan Wisrawa mengajarkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepada Dewi Sukesi.
Di lingkup masyarakat Jawa, ilmu filsafat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu diyakini dapat mengubah manusia berwatak raksasa menjadi manusia sempurna. Mengingat ilmu filsafat ini mengajarkan bagaimana manusia yang dikuasai sedulur papat (empat nafsu: aluamah, supiyah, amarah, dan mutmainah) harus mampu mengendalikannya hingga dekat dengan sedulur pancer yakni Tuhan.
Selain untuk mencapai kesempurnaan, filsafat Jawa dapat dijadikan sarana untuk memeroleh kearifan. Kearifan dalam filsafat Jawa dapat dicontohkan dengan etika Jawa yang terdapat pada Serat Pepali Ki Ageng Sela. Menurut Ki Ageng Sela, hidup di dunia harus didasari dengan keutamaan atau keluhuran. Untuk mencapai keluhuran atau keutamaan, manusia harus memerhatikan sembilan sikap, sebagai berikut :
1. Sembada.
Sembada adalah sikap positif manusia yang senantiasa mampu menyelesaikan tugas dan pekerjaannya dengan baik dan tepat pada waktunya. Sehingga seorang yang sembada akan selalu dipercaya orang lain yang memberikan tugas dan pekerjaan. Karenanya, orang yang sembada akan dimudahkan rezekinya.
2. Sabar.
Sabar adalah sikap positif yang menjadi modal bagi manusia untuk mencapai ketenangan hati. Dengan hati tenang, manusia akan mampu mengendalikan nafsunya. Dengan nafsu yang terkendali, manusia akan selamat dari segala bentuk mara bahaya. Dengan sikap sabar, tujuan manusia akan dapat diperoleh pada masa yang tepat. Tidak nggege mangsa.
3. Andhap Asor.
Andhap asor (rendah hati) adalah sikap manusia yang sangat terpuji. Dengan rendah hati, manusia akan dicintai banyak orang. Dengan dicintai banyak orang, manusia akan berpeluang besar di dalam mendapatkan keberhasilan. Mengingat banyak orang akan memberikannya bantuan di dalam meraih keberhasilan.
Sikap rendah hati mencerminkan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi. Karenanya ilmunya yang tinggi, orang tersebut tidak sombong seperti dilukiskan dengan: "Air yang dalam tidak beriak" atau "Padi berisi yang selalu merunduk".
4. Suka.
Suka (suka atau gembira) merupakan sikap manusia yang positif. Dengan rasa suka, manusia akan melakukan aktivitas fisik dan spiritual tanpa beban. Sebab itu, manusia yang selalu bergembira akan awet muda dan sehat baik rohani maupun jasmani.
5. Karep.
Tanpa memiliki karep (keinginan), maka manusia dapat dianggap mati. Karenanya selama masih hidup, manusia niscaya memiliki keinginan baik yang bersifat mulia maupun jahat. Akan tetapi, keinginan manusia yang diajarkan Ki Ageng Sela yakni keinginan untuk berbuat mulia, seperti: menolong kepada sesama, berderma, mendekatkan diri pada Ilahi, dll.
6. Dalan Padhang.
Sikap manusia untuk selalu mencari dalan padhang (jalan terang) merupakan sikap positif. Yang dimaksud mencari jalan terang yakni mencari petunjuik Tuhan, sehingga manusia senantiasa dapat hidup dalam kebajikan. Tidak tersesat di dalam jurang kemaksiatan dan kejahatan yang penuh dosa.
7. Tan Jiguh.
Tan jiguh (tidak ragu-ragu) merupakan sikap positif yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Dengan sikap tidak ragu-ragu atau yakin merupakan modal besar untuk meraih kesuksesan. Dikarenakan sikap yakin merupakan faktor penentu seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang didambakan.
8. Tan Ngutuh.
Tan ngutuh (tahu malu) merupakan sifat luhur yang layak disandang oleh setiap orang. Dengan tahu malu, setiap orang tidak akan melakukan perbuatan hina seperti melakukan maksiat atau mengambil (mencuri) barang orang lain. Selain itu, setiap orang yang tahu malu akan tidak melanggar etika dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
9. Tan Kumed.
Tan kumed(tidak pelit) adalah salah satu sikap positif manusia yang harus dipelihara. Dengan tidak pelit kepada sesama, manusia akan dikenal sebagai dermawan yang selalu memberi pada orang lain tanpa pamrih. Bagi seorang yang suka memberi tidak akan dikurangi, melainkan dilipatgandakan rezekinya. Sebab, siapa yang suka memberi akan menerima. Inilah konsekuensi logis yang jarang diperhatikan oleh beberapa orang.
Ada banyak falsafah hidup orang Jawa yang bisa dijadikan pedoman. Falsafah atau nilai luhur yang dianut orang Jawa dalam menjalani kehidupan memang mempunyai kebijaksanaan tersendiri.
Setiap peradaban dan kebudayaan tentu memiliki falsafah hidup atau nilai-nilai yang dijadikan pegangan oleh kelompok masyarakatnya. Tak terkecuali dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa sudah mengakar kuat di alam pikir dan mempengaruhi cara orang Jawa menyikapi dan menjalani kehidupan. Nilai-nilai yang diturunkan oleh leluhur orang-orang Jawa juga masih relevan digunakan dalam kehidupan modern saat ini.
Falsafah hidup orang Jawa banyak mengandung kebijaksanaan yang mencerminkan mentalitas hingga religiusitas orang-orang Jawa. Berikut adalah beberapa filosofi hidup orang Jawa yang membuat hidup lebih bahagia.
Filosofi-filosofi berikut ini merupakan petuah dan ajaran dari leluhur dan banyak yang sudah terlupakan. Ada baiknya kita sebagai generasi muda memilih dan mengambil pelajaran yang dapat kita petik dari makna filosofi-filosofi tersebut.
Setiap manusia, pasti punya falsafah masing-masing. Falsafah atau filosofi dipegang teguh dalam perjalanan hidup. Indonesia punya banyak sekali falsafah baik dan unik. Salah satunya adalah falsafah atau filosofi hidup orang Jawa.
1. Alon-alon waton kelakon.
Artinya pelan-pelan asal selamat. Kedengarannya simpel ya tetapi sebenarnya filosofi ini memiliki makna yang mendalam. Disini kita diajak untuk selalu berhati-hati, ulet, waspada, dan berusaha dalam menjalani hidup.
2. Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman.
Artinya kita jangan mudah heran, mudah menyesal, mudah terkejut, dan manja. Filosofi ini mengajarkan kita untuk menjadi orang yang dapat menerima semua keadaan. Sehingga kita tidak akan membuat masalah buat diri kita dan diri orang lain.
Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman
Jika diartikan, aja gumunan artinya adalah pengingat agar kita tidak gampang heran terhadap sesuatu. Aja getunan artinya adalah jangan mudah menyesal atau kecewa terhadap apapun. Aja kagetan berarti tidak perlu mudah terkejut terhadap apa yang terjadi dalam hidup. Dan aja aleman artinya adalah jangan manja terhadap cobaan hidup. Filosofi hidup yang satu ini memiliki makna sangat panjang jika dijabarkan. Nilai ini mengajarkan seseorang agar menjadi pribadi yang kesatria, kuat dan bisa menerima semua keadaan dengan lapang dada.
3. Sapa nandur, bakalan ngunduh.
Ini soal karma. Bagi siapa yang mengumpulkan kebaikan maka suatu saat akan mendapatkan hasilnya. Orang yang banyak membantu orang lain, dia akan mendapatkan karma yang baik suatu hari nanti. Kita diajarkan untuk berlomba menanam kebaikan dimanapun kita berada. Ini juga bermakna kerja keras kita yang akan berhasil kelak.
Sapa Nandur, Bakal Ngunduh.
Ini juga bersifat pepeling dan mempunyai makna yang dalam. Sapa nandur bakal ngunduh artinya adalah siapa yang menanam dialah yang akan menuai hasilnya, baik dalam konteks kebaikan atau keburukan.
4. Nerima ing pandum.
Filosofi tersebut artinya menerima segala pemberian. Kita sebaiknya bisa ikhlas dalam menghadapi segala hal yang terjadi didalam hidup kita. Hal ini ditunjukkan khususnya agar kita tidak menjadi orang yang serakah dan menginginkan hak milik orang lain.
Narima ing Pandum
Narima ing pandum bisa diartikan sebagai menerima apa yang sudah digariskan pada kita. Nilai filosofi ini adalah representasi atas betapa orang Jawa mampu bersikap ikhlas dan pasrah kepada Tuhan yang Maha Esa atas apa yang diterimanya dalam hidup.
Sikap ini sangat baik untuk dijadikan pedoman hidup. Pasalnya, apa yang terjadi dalam hidup terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Ini bukan sikap menyerah, tetapi berserah dan menerima ketetapan dengan penuh rasa syukur. Sikap ini juga bisa menjadi kontrol agar kita tidak menjadi manusia serakah.
5. Urip iku urup.
Hidup itu harus menyala. Jika mengikuti filosofi ini, kita diajak untuk membuat hidup kita menyala dengan membantu orang-orang di sekitar kita. Intinya kita harus bisa memberi manfaat baik itu hal kecil maupun hal yang besar.
Urip Iku Urup, singkat, namun mempunyai makna yang luas dan mendalam. Urip iku urup artinya adalah hidup itu harus menyala.
Jika dijabarkan, nilai ini mengarahkan seseorang agar selalu menjadi penerang bagi sesama. Hidup yang menyala artinya adalah hidup yang bermanfaat untuk sesama, khususnya orang-orang di sekitar.
6. Aja kuminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka.
Jangan merasa paling pintar biar kita tidak mau salah arah dan jangan suka mencurangi biar kita tidak mau celaka. Jadi ingat koruptor sama orang yang mencuri ya. Mereka paling pintar dan salah arah, mereka juga mencurangi banyak orang, makanya jadi celaka. Kita harus bisa selalu rendah hati.
Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka
Ini adalah salah satu falsafah hidup orang Jawa yang bersifat pengingat atau pepeling. Aja kuminter artinya adalah menjadi manusia yang merasa paling pintar sendiri.
Jangan menjadi orang yang merasa selalu benar atau paling pandai agar tidak salah arah. Sedangkan aja cidra mundak cilaka artinya adalah jangan curang dalam hidup agar tidak celaka.
7. Sak bejo-bejone wong kang lali isih bejo wong kang eling lan waspodo.
Filosofi ini didapat dari kitab Ronggo Warsita pujangga dari tanah Jawa. Arti dari filosofi tersebut adalah orang yang paling beruntung itu orang yang selalu ingat kepada yang Kuasa dan berhati-hati dalam menjalani hidup. Dalam ya guys maknanya.
8. Ngunduh wohing pakarti.
Semua orang akan mendapatkan akibat dari segala perilakunya sendiri. Jadi, kita tidak perlu menyalahkan dan mencari kesalahan orang lain karena bisa saja itu adalah akibat dari apa yang kita lakukan sendiri. Jadi, kita harus ingat untuk berhati-hati dalam betindak.
Ngunduh Wohing Pakarti.
Ngunduh wohing pakarti secara sederhana bisa diartikan memetik hasil atau buah dari perbuatan sendiri. Kita diajarkan bahwa semua orang pasti akan mendapatkan akibat dari segala perilakunya sendiri.
Oleh karena itu, kita harus selalu ingat dan berhati-hati dalam betindak. Semua hal baik dan buruk pasti akan kita tuai hasilnya di hari depan.
9. Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha.
Menyerbu tanpa bala tentara, menang tanpa merendahkan, kesaktian tanpa ajian, kekayaan tanpa kemewahan merupakan arti dari filosofi ini. Makna dari kata-kata tersebut adalah kita sebaiknya menjadi pemberani meski berjuang sendirian dan selalu menjaga wibawa serta selalu bersyukur.
10. Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana.
Arti dari filosofi ini adalah kehormatan diri berasal dari lisan dan kehormatan raga berasal dari pakaian. Bagi orang Jawa cara berpakaian itu menentukan kehormatan raga dan cara berbicara menunjukkan kehormatan diri seseorang. Penampilan dan ucapan kita mempengaruhi bagaimana orang bereaksi dan menghargai kita.
Ajining Diri Saka Lathi, Ajining Raga Saka Busana
Ajining diri saka lathi artinya adalah kehormatan pribadi seseorang dinilai dari berasal dari lisan atau ucapannya. Sementara ajining raga saka busana artinya adalah kehormatan fisik seseorang dinilai dari apa yang dikenakannya, dalam hal ini adalah sopan santun berpakaian.
Cara berpakaian bagi orang Jawa dapat menentukan kehormatan raga, sedangkan cara berbicara menunjukkan kehormatan 'diri' dari seseorang. Ucapan dan penampilan akan mempengaruhi bagaimana seseorang berinteraksi dan menghargai satu sama lain.
11. Becik kethitik ala ketara.
Filosofi yang satu ini artinya kebaikan akan terlihat dan kejahatan juga akan nampak. Semua perbuatan akan nampak tidak peduli itu baik maupun buruk. Ini adalah ajaran untuk kita agar memperbanyak perbuatan yang baik. Jika berbuat buruk dan disembunyikan, maka suatu saat perbuatan itu juga akan terbongkar.
Becik Ketitik Ala Ketara.
Filosofi yang satu ini memiliki makna bahwa semua kebaikan pasti akan terlihat dan semua keburukan atau kejahatan juga akan tampak pada waktunya.
Filosofi ini mengajarkan kita agar senantiasa memperbanyak perbuatan baik. Terlebih, semua keburukan pasti akan terbongkar dan mendapatkan ganjarannya juga.
12. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha
Ini adalah salah satu filosofi hidup yang mencerminkan sikap kesatria orang Jawa. Ngluruk tanpa bala artinya adalah berjuang tanpa perlu membawa pasukan. Ini bisa direpresentasikan bahwa seseorang haruslah mengandalkan kemampuan dan dirinya sendiri serta harus bertanggung jawab.
Menang tanpa merendahkan artinya adalah menang tanpa merendahkan. Ini berarti kita tidak boleh sombong atau merendahkan sesama ketika dalam keadaan lebih baik atau unggul.
Sekti tanpa aji-aji artinya adalah sakti tanpa ajian. Ini bermakna bahwa seseorang hendaknya tetap berwibawa tanpa harus mengandalkan kekuasaannya.
Sugih tanpa banda artinya adalah Kaya tanpa kemewahan. Bisa diartikan bahwa seseorang tidak boleh bermental miskin, karena kekayaan bukan semata soal materi.
13. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
Datan serik lamun ketaman artinya adalah jangan mudah sakit hati manakala sedang menerima ujian atau musibah. Datan susah lamun kelangan artinya adalah tidak perlu bersedih ketika kehilangan sesuatu.
Filosofi hidup yang satu ini juga mengajarkan kita untuk ikhlas dengan cara yang kesatria. Pasalnya, semua keadaan dalam hidup sudah ditetapkan.
14. Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
Nilai yang satu ini memiliki makna bahwa segala sifat keras hati, angkara murka, hanya bisa dikalahkan oleh kebijaksanaan, hati yang lembut dan sabar.