KUMPULAN BERBAGAI VERSI CERITA & MITOS TENTANG SEJATINYA SABDO PALON NOYO GENGGONG
SABDO PALON (VERSI 1)
Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya, penasehat spiritual dan pandhita sakti kerajaan Majapahit. Dari penelusuran secara spiritual, Sabdo Palon itu sejatinya adalah beliau : Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu.
Dang Hyang Nirartha adalah anak dari Dang Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang Angsokanatha (penyusun Kakimpoi Sutasoma dimana di dalamnya tercantum Bhinneka Tunggal Ika). Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha yang kemudian beralih menjadi pendeta Syiwa.
Beliau juga diberi nama Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh, beliau juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Dalam Dwijendra Tattwa dikisahkan sebagai berikut :
Pada Masa Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran dan menanggulangi masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu dengan nama Dharma Yatra.
Di Lombok Beliau disebut Tuan Semeru atau guru dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur.
Dengan kemampuan supranatural dan mata bathinnya, beliau melihat benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah bencana alam Pagunungan Anyar). Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali.
Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke Blambangan.
Beliau pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa.
Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekimpoi.
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat adalah : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dan lain-lain. Akhirnya Dang Hyang Nirartha menghilang gaib (moksa) di Pura Uluwatu.
(Moksa = bersatunya atman dengan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad).
SABDO PALON (VERSI 2)
Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya, penasehat spiritual dan pandhita sakti kerajaan Majapahit. Dari penelusuran secara spiritual, Sabdo Palon itu sejatinya adalah beliau : Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu.
Dari referensi lain Dang Hyang Nirartha adalah anak dari Dang Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang Angsokanatha (penyusun Kakawin Sutasoma dimana di dalamnya tercantum Bhinneka Tunggal Ika). Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha yang kemudian beralih menjadi pendeta Syiwa. Beliau juga diberi nama Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh, beliau juga dikenal sebagai seorang sastrawan.
Dalam Dwijendra Tattwa dikisahkan sebagai berikut :
Pada Masa Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran dan menanggulangi masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu dengan nama Dharma Yatra.
Di Lombok Beliau disebut Tuan Semeru atau guru dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur.
Dengan kemampuan supranatural dan mata bathinnya, beliau melihat benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah bencana alam Pagunungan Anyar). Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke Blambangan.
Beliau pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat adalah : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dan lain-lain. Akhirnya Dang Hyang Nirartha menghilang gaib (moksa) di Pura Uluwatu. (Moksa = bersatunya atman dengan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad).
Setelah mengungkapkan bahwa Sabdo Palon sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha.
PESAN DANG HYANG NIRARTHA
10 (sepuluh) pesan dari beliau Dang Hyang Nirartha sebagai berikut :
Bait / Pupuh 5.
Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin yadnyane satus, baan suputra satunggal.
Ada sebenarnya ucapan ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun telaga, banyaknya seratus, kalah keutamaannya itu, oleh orang yang melakukan korban suci sekali, korban suci yang seratus ini, kalah oleh anak baik seorang.
Bait / Pupuh 6
Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru prabhu, guru tapak tui timpalnya.
Ayahnda memberitahumu anakku, tata cara menjadi anak, jangan durhaka pada leluhur, orang yang disebut guru, tiga banyaknya yang disebut guru, guru reka, guru prabhu, dan guru tapak (yang mengajar) itu.
Bait / Pupuh 8
Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara katanjung, bacin tuara bakat ingsak.
Lebih baik hati-hati dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan ternoda keturunannya, tak ada yang akan mencaci maki, lebih baik hati-hati dalam berjalan, sebab kaki tak akan tersandung, dan tidak akan menginjak kotoran.
Bait / Pupuh 10
Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane patut, da jua ulah malihat.
Mulai sekarang lakukan, lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku yang benar, seperti menggunakan mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan tingkah laku yang benar, jangan hanya sekedar melihat.
Bait / Pupuh 11
Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya.
Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar kata-kata yang benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal didengarkan.
Bait / Pupuh 12
Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang.
Jangan segalanya dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar bisa melaksanakannya, kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara sembarangan, hal yang benar hendaknya diucapkan.
Bait / Pupuh 13
Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa mangulah laku, katanjung bena nahanang.
Memiliki tangan jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran, begitu pula dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang menahan (menderita) nya.
Bait / Pupuh 14
Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi manandur, joh pare twara mupuang.
Kebenaran hendaknya diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya berbuat baik, ibaratnya bagai bercocok tanam, tata cara dalam bertingkah laku, kalau rajin menanam, tak mungkin tidak akan berhasil.
Bait / Pupuh 15
Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan, masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah.
Pilihlah perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak berbelanja, juga masih memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama halnya dengan memilih tingkah laku.
Bait / Pupuh 16
Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija aba tuara laku, keto cening sujatinnya.
Maknanya:
Pilihlah tingkah laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul hina nilainya, ditambah lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di bawa tak akan laku, begitulah sebenarnya anakku.
PENELUSURAN SPIRITUAL
Penelusuran secara spiritual dapatlah disimpulkan :
Jadi yang dikatakan Putra Betara Indra oleh Joyoboyo, Budak Angon oleh Prabu Siliwangi, dan Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru.
Pertanyaannya sekarang adalah Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari tanda-tanda yang telah terjadi dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ?
Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab persoalan ini. Sangat sensitif. Ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskitho, ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya.
Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Tidak perlu banyak perdebatan, karena Sabdo Palon yang telah menitis kepada seseorang itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo. Secara fisik seseorang itu ditandai dengan memegang sepasang pusaka Pengayom Nusantara hasil karya beliau Dang Hyang Nirartha.
Kesimpulan akhirnya adalah : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur Nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama ini, yaitu beliau yang dinamakan Satriyo Piningit.
Jadi, Satrio Piningit adalah seorang Satrio Pinandhito yaitulah Sabdo Palon sebagai Sang Pamomong (Sabdo Palon) dikenal juga dengan nama Semar Ponokawan.
Pemegang pusaka Sabdo Palon berada di Sabdo Palon (?), tepatnya di daerah SP (?) = dimana terdapat SP (?) = dengan nama SP dan SP (?) .
SP (Sabdo Palon / Satriyo Piningit).
Satrio Piningit tidak akan sekedar mengaku-aku bahwa dirinya adalah seorang Satrio Piningit. Namun beliau akan membuktikan banyak hal yang sangat fenomenal untuk kemaslahatan rakyat negeri ini. Kapan waktunya ? Hanya Gusti Kang Mubeng Dumadi / Gusti Allah yang tahu.
Dari apa yang telah saya ungkapkan sejauh ini mudah-mudahan membawa banyak manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah carut-marut keadaan negeri ini akan datang cahaya terang di depan kita.
NASEHAT SABDO PALON NAYA GENGGONG UNTUK RAJA MAJAPAHIT V
Sabdo Palon dan Naya Genggong adalah tokoh legendaris yang dianggap sebagai pandita dan penasehat Raja Brawijaya V, penguasa terakhir yang beragama Buddha dari kerajaan Majapahit.
Untuk diketahui, Sabdo Palon dan Naya Genggong bukanlah nama asli, tetapi gelar yang diberikan sesuai dengan karakter tugas yang diemban. Dalam Serat Darmo Gandul, Sabda Palon diartikan sebagai kata-kata dari namanya.
Sabdo Palon memiliki dua makna, sabdo berarti seseorang yang memberikan masukan atau ajaran, dan palon yang berarti pengancing atau pengunci kebenaran yang bergema dalam ruang semesta.
Sementara Naya Genggong memiliki makna naya berarti nayaka atau abdi raja dan genggong yang bermakna mengulang-ulang suara. Naya Genggong adalah seorang abdi yang berani mengingatkan raja secara berulang-ulang tentang kebenaran.
Disebutkan dalam buku Brawijaya Moksa Detik-Detik Akhir Perjalanan Hidup Prabu Majapahit, saat itu situasi dan kondisi Kerajaan Majapahit mengalami kemerosotan dalam bidang moral karena banyak sekali pejabat kerajaan dan putra pembesar Majapahit diketahui telah banyak mengumbar hawa nafsunya.
Semuanya termenung dalam kesedihan dan keprihatinan. Mereka berdua nampak memeras otak bagaimana cara menyelesaikan masalah yang dihadapi Majapahit.
Prabu Brawijaya V mengumpulkan mereka dalam suatu pasewakan agung di Majapahit. Kakang Sabda Palon dan Naya Genggong, bagaimana kalau menurut pandangan kalian untuk menyelesaikan masalah ini ? tanya Sang Baginda Raja.
Sabda Palon memberikan sarannya, Gusti Prabu, kalau berkenaan dengan kemerosotan atau kebejadan moral, maka harus didatangkan ahlinya, yaitu para bikhu, pandhita, brahmana atau resi agar menggembleng mereka. Soal mekanismenya, hal itu kami serahkan Gusti Prabu.
Berkenaan dengan situasi Majapahit sekarang ini memang memerlukan pemikiran dan tindakan nyata yang serius, sahut Naya Genggong.
Semua bikhu, pandhita, dan brahmana ini diharapkan agar mendidik para nayaka praja serta putra pejabat agar menghentikan tindakannya.
Tak hanya masalah moral, Kerajaan Majapahit juga diterpa soal isu ekonomi yaitu datangnya masa paceklik lebih awal dari perkiraan sebelumnya.
Menyangkut paceklik karena kemarau panjang pun juga harus mendatangkan ahli pertanian bagaimana membuat sistem pengairan yang bagus, sehingga persawahan dapat ditanami lagi oleh para petani, ujar Sabda Palon.
Baiklah, aku dapat menerima saran dan pandanganmu, Kakang Sabda Palon dan Naya Genggong, kata Prabu Brawijaya V.
Prabu Brawijaya V langsung memerintahkan Tumenggung Supa untuk mendatangkan para bikhu, pandhita, brahmana atau resi supaya memberikan pencerahan kepada para nayaka praja dan para putra pejabat Majapahit.
Tak lupa juga Tumenggung Supa mencari ahli pertanian andal agar mengantisipasi masalah paceklik yang menimpa Majapahit.
MESTERI SABDO PALON
Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan ini akhirnya dapat dirunut secara logika historis.
Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ? Karena kata Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V (memerintah tahun 1453 – 1478) tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sebagai berikut :
164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)
173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan, itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya, semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi).
VERSI SERAT DARMAGANDHUL (1)
Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan netralitas yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.
Dalam serat Dharmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan berikut ini :
Sabdo Palon :
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”
(“Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya (Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”)
Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
“…, hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”
(“…, itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”). Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai “Manik Maya” atau “Semar”.
“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”
(“ Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”)
Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :
Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..
….., dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”
(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)
Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun 2007, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita, walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam wasiat leluhur sangat toleransif sifatnya. Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa suara tanpa rupa. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah mencolo putro, mencolo putri, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok Begawan atau Pandhita. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep menitis dan Cokro Manggilingan.
Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami bahwa Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya merupakan sosok Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan :
“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”
(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya).
Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti. Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah untuk melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya kepada “tuan”nya. Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, dan lain-lain.
Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :
“….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.”
(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”
“….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.”
(“….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya).
Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada saat nanti datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua (bisa jadi mbah, aki, ataupun eyang) yang memegang teguh kawruh Jawa akan mengajarkan dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit dan Begawan Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :
“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
(Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah seberang).
Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo Palon berikut ini.
RAMALAN SABDO PALON
Karena Sabdo Palon tidak berkenan berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan sabdanya sebagai berikut :
3.
Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula pisahan.
(Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah).
4.
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda kula sebar tanah Jawa.
(Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa).
5.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.
(Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya).
6.
Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta kaowahan.
(Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi).
7.
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.
(Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia).
8.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang akarya.
(Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya).
Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo. Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang.
Dalam dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul Semar Ngejawantah.
Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi tahun lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi yang tertinggi : Awas Merapi. Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar bergerak ke arah Barat Daya. Pada tanggal 13 Mei 2006 tahun yang lalu adalah malam bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama Sabdo Palon Noyo Genggong adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari bumi sap pitu dan langit sap pitu yang berasal dari Yang Satu, Gusti Allah. Sedangkan angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan Sad Kahyangan Jagad. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi (menitis).
SABDO PALON NOYO GENGGONG ADALAH SIMBOL MASA PERALIHAN ZAMAN
Makna sengkala ini adalah sirna hilanglah kemakmuran bumi Ada yang mengatakan bahwa candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi atau Brawijaya V raja ke-11 Majapahit oleh Girindrawardhana.
Majapahit ditandai dengan candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi.
“Padahal Brawijaya V sebenarnya tidak gugur, ketika Keraton majapahit diserang, Brawijaya V lolos dari kepungan prajurit Girindrawardhana. Dia menyamar sebagai pendeta Budha, kabur bersama abdi dalemnya Sabdopalon Noyogenggong. Mereka mempunyai tujuan ke Gunung Lawu. Sehingga Brawijaya dikenal dengan nama Eyang Lawu.
Sabdopalon itu abdidalem yang sakti mandraguna. Sabdopalon akan pergi selama 500 tahun. Kemudian, Sabdo Palon menyatakan janjinya akan datang kembali di bumi Tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda tertentu.
Tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul, Semar Ngejawantah.
Secara hakekat nama Sabdo Palon Noyo Genggong adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu Hindu Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat.
Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan Sad Kahyangan Jagad. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi.
VERSI KAWRUH JAWA
Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana menitisnya dewa ke bumi.
Hal ini berhubungan dengan ramalan Sabdopalon tentang tanah Jawa. Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong. Mereka berbicara, Sabdopalon mengatakan, kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa.
REINKARNASI SABDO PALON NOYO GENGGONG
Dua pendeta penasihat sekaligus punakawan kerajaan Majapahit ini memang bukan tokoh sembarangan. Selama ini ditafsirkan sebagai makhluk halus. Wadag atau tubuhnya memang sebagaimana lazimnya orang biasa. Roh halus atau roh gaibnya yang luarbiasa, ia mampu bereinkarnasi ribuan kali sejak manusia pertama tinggal di bumi.
Sebagai pendeta Buddha Jawa (Jowo Sanyoto, agama negara Majapahit) utama di kerajaan Majapahit ilmu agamanya sempurna bahkan lebih sempurna dibanding para pengikut utama Dalai Lama di Tibet. Dari jaman ke jaman Sabdo Palon terus-menerus berganti raga (wadag), yakni pada saat raganya memang sudah tua dan meninggal dunia.
Wadag baru pilihan itu tidak atas kemauan pribadi roh Sabdo Palon akan tetapi atas kehendak Sang Hyang Wenang ing Jagad.
Jadi sebenarnya walau Majapahit runtuh, Sabdo Palon dan pendahulunya Noyo Genggong tidak pernah murca atau hilang, dia hidup sebagai manusia biasa di bumi manusia ini. Silsilah Sabdo Palon dalam 2500 tahun terakhir mengayomi tanah Jawa, dan bumi bagian Selatan (Man Yang) adalah sebagai berikut : Semar, Humarmoyo, Manikmoyo, Ismoyo, Noyo Genggong, Sabdo Palon.
Ramalan Sri Aji Joyoboyo kedelapan bahwa Sabdo Palon akan kembali ke Nusantara, tentu ditafsirkan Sabdo Palon kelak berkiprah kembali sebagai pendamping dan penasihat daripada pemimpin negeri suatu kerajaan.
Tatkala Majapahit pada era keruntuhannya sekitar 1478, di hadapan Prabu Brawijaya yang berganti haluan memeluk Islam sedangkan Sabdo Palon tetap bertahan sebagai titah dengan Jowo Sanyoto sebelum murca (lenyap) Sabdo Palon berjanji, Yang Mulia, kita ditakdirkan untuk berpisah, tetapi harap Yang Mulia ingat limaratus tahun lagi aku akan kembali ke marcapada bumi Nusantara untuk menjalankan titah-Nya.
Tepat waktu sebagaimana dijanjikan Sabdo Palon maka pada 1978 (500 tahun sejak Majapahit runtuh berikut murcanya Sabdo Palon) seorang penduduk biasa Jawa Tengah wadagnya dipergunakan oleh Sabdo Palon lengkap dengan Jowo Sanyoto-nya. Sabdo Palon yang satu ini membawa ajaran dalam kitab suci Adam Makna (bukan Betaljemur Adam Makna). Salah satu isi kitab itu ialah penjabaran daripada abjad huruf Jawa ho no co ro ko do to so wo lo po dho jo yo nyo mo nggo bo tho ngo (yang bagi orang Sunda sangat penting sekali, ilmu tertinggi dalam dunia kebathinan dan falsafah di Nusantara). Sabdo Palon berganti wadag lagi. Kehadiran kembali Sabdo Palon dengan melalui reinkarnasi berabad pada sosok manusia pilihan itu atas kehendak dan kuasa Sang Hyang Wenang ing Jagad.
Semasa jaman Majapahit dalam wasiatnya Sabdo Palon mengatakan, "Hanya atas kehendak Sang Hyang Wenang ing Jagad yang maha menentukan manusia pilihan sebagai wadag baru Sabdo Palon." Prosesnya perpindahan Sabdo Palon ke wadag baru berbeda dengan reinkarnasi pendeta Buddha Tibet. Sabdo Palon memasuki tubuh remaja atau dewasa yang telah ditakdirkan Sang Hyang Wenang ing Jagad meninggal dunia dan atas kehendakNya pula tubuh tersebut hidup kembali sebagai reinkarnasi Sabdo Palon baru dengan nama baru. Pada reinkarnasi pendeta Tibet terjadi sejak dalam kandungan ibunya, hingga lahir ke dunia sebagai bayi reinkarnasi pendeta Si Fulan atau Si Suto
Pada jaman Jepang, Sabdo Palon sebelumnya, yang kini bersemayam dalam titisannya, turut bersama balatentara Dai Nippon menyerbu Jawa, membebaskan tanah Jawa dari bangsa kulit putih. Akan tetapi naas di Singapura pesawat tempur Zero yang ditumpangi Sabdo Palon tertembak oleh musuh, seluruh awak tewas, tatkala itulah meloncatlah roh Sabdo Palon dari tubuh seseorang yang tewas dalam pesawat tersebut (orang Jepang). Sabdo Palon yang memang hendak ke tanah Jawa konon mendarat seorang diri di kaki Gunung Merapi. Pesawat naas itu berangkat dari salah satu kota Jepang.
Kejayaan Nusantara dalam ramalan Sri Aji Joyoboyo akan terjadi tatkala munculnya kembali Sabdo Palon dan Noyo Genggong. Sabdo Palon.
Kejayaan Nusantara yang lebih dahsyat daripada kerajaan Majapahit terwujud bila dunia mengalami goro-goro besar semacam perang dunia dahsyat atau bencana alam berskala besar, misalnya jatuhnya benda angkasa, meletusnya gunung berapi, dan lain-lain. Usai goro-goro terjadi maka dunia akan kembali seperti sediakala. Pada saat itulah tatanan politik dunia baru akan terbentuk dan jauh berbeda dari peta dunia modern sebelumnya. Pasca goro-goro itulah di Nusantara akan muncul Ratu adil dan Sabdo Palon berdampingan menentukan nasib Nusantara dan bumi bagian selatan (Man Yang) dalam satu tata pusat pemerintahan baru.
Kapankah terjadinya goro-goro besar dan munculnya ratu adil ?
Pertanyaan itu akan terjawab setelah ada jawaban atas pertanyaan berikut, Siapakah yang kini dipilih oleh Sang Hyang Wenang ing Jagad menjadi manusia pilihanNya sebagai wadag terbaru daripada reinkarnasi Sabdo Palon ?
SABDO PALON NOYO GENGGONG SANG AMONG ROGO, KONTROVERSI SERAT DARMOGANDHUL (2)
Sabdo Palon Noyo Genggong Sang Among Rogo (Ramalan Jawa Kuno Tentang Kejayaan Nusantara)
Sabdapalon & Nayagenggong adalah pandita dan penasehat Brawijaya V, penguasa terakhir yang beragama Hindu dari kerajaan Majapahit di Jawa (memerintah sekitar tahun 1453–1478). Tidak diketahui apakah tokoh ini benar-benar ada, namun namanya disebut dalam beberapa serat, diantaranya adalah Serat Darmagandhul (ditulis 1900 Masehi). Serat Darmagandhul adalah suatu kesusastraan Jawa Baru berbahasa Jawa ngoko yang kental dengan misi Nasrani dan adu domba pemerintah Belanda. Isi Serat Darmagandhul terkesan seolah berusaha membenturkan penghayat Kejawen dengan Islam melalui misi Kristen.
Tidak jelas siapa penulis kitab ini, serat Darmagandul merupakan kitab kontroversial yang mengambil ide cerita dari Serat Babad Kadhiri (serat yang ditulis sekitar tahun 1873 atas prakarsa pemerintah Belanda). Meskipun merupakan hasil plagiasi dari Babad Kadhiri, namun Serat Darmagandul tampaknya ditulis berdasarkan motif tertentu yaitu keberpihakan pengarangnya terhadap pemerintah kolonialis Belanda dan kecenderungan terhadap keberadaan misi Kristen di tanah Jawa. Unsur Kristen dalam serat ini boleh dikatakan dominan dengan menggunakan simbolisasi wit katvruh dan berbagai cerita yang berasal dari Bibel.
Dalam Serat tersebut, disebutkan bahwa Sabda palon tidak bisa menerima sewaktu Brawijaya digulingkan pada tahun 1478 oleh tentara Demak dengan bantuan dari Walisongo (walaupun sebenarnya dalam sumber-sumber sejarah dinyatakan bahwa Brawijaya digulingkan oleh Girindrawardhana).
Menurut Kitab Jangka Sabdo Palon (1135-1157 Masehi), ia lalu bersumpah akan kembali setelah 500 tahun, saat korupsi merajalela, kemerosotan moral, dan bencana melanda. Bertujuan untuk mengembalikan kegemilangan tanah Jawa, kejayaan agama dan kejayaan kebudayaan luhur Nusantara yang mulai berangsur surut, terkubur hilang dan terlupakan (dalam Serat Jangka Jayabaya Sabdo Palon, agama orang Jawa disebut agama Budi/Buda). Serat Damarwulan dan Serat Blambangan juga mengisahkan tokoh ini.
Pada tahun 1978, Gunung Semeru meletus dan membuat sebagian orang percaya atas ramalan Sabdapalon tersebut. Tokoh Sabdapalon dihormati di kalangan revivalis Hindu di Jawa serta di kalangan aliran tertentu penghayat Kejawen. Patung untuk menghormatinya dapat dijumpai di Candi Cetho, Jawa Tengah. Cetho ini berarti "mengerti, jelas, paham" Candi Cetho adalah bangunan sejah jaman prasejarah dengan struktur punden berundak, kemudian direnovasi seiring berubahnya keyakinan masyarakat sekitar khususnya waktu itu adalah jaman Majapahit.
Candi ini adalah tempat Prabu Brawijaya ke V melakukan penyucian diri dan semedi setelah turun tahta dan melepaskan diri dari duniawi, kepangkatan, drajat, martabat dll. untuk madek pandhita atau menjadi pandhita. Sabdapalon dan Nayagenggong bersama pasukan Majapahit mengantar Prabu Brawijaya ke tempat ini. Sabdo Palon seringkali dikaitkan dengan satu tokoh lain, Nayagenggong, sesama penasehat Brawijaya V.
Konon, Sabdo Palon dan Naya Genggong bukanlah nama asli dari sang abdi, melainkan gelar yang diberikan sesuai dengan karakter tugas yang diemban. Sabdo Palon memiliki dua makna, sabdo berarti seseorang yang memberikan masukan atau ajaran, dan "palon" yang berarti kebenaran yang bergema dalam ruang semesta. Jika disatukan, "Sabdo Palon" adalah seorang abdi yang memberi nasehat untuk menyuarakan atau menggemakan kebenaran.
Sementara Naya Genggong, naya berarti nayaka atau abdi raja dan genggong yang bermakna mengulang-ulang suara. Naya Genggong adalah seorang abdi atau penasehat raja yang mengingatkan dan menyeru secara berulang-ulang tentang kebenaran.
Sebenarnya tidak jelas apakah kedua tokoh ini orang yang sama atau berbeda. Ada yang berpendapat bahwa keduanya merupakan penggambaran dua pribadi yang berbeda pada satu tokoh. Secara hakekat nama Sabdo Palon Noyo Genggong adalah simbol dua substansi ajaran yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha).
Dalam bait-bait terakhir Serat Jangka Jayabaya Sabdo Palon (1135–1157) Sabda Palon juga disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Bathara Indra (berhubungan dengan ramalan Joyoboyo).
Berikut isinya :
"mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah prentah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong."
Artinya : …..; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula Weda; tajamnya tri tunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong.
Nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.
Artinya: menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi.
Selanjutnya, Sabda Palon lebih di kenal dengan sebutan Mbah Semar (Punokawan). Mitologi Sabda Palon Titisan Shang Hyang Bhatara Ismaya. Mitologi ini sebenarnya memiliki makna bahwa para penguasa yang diasuh (dimong) Sabda Palon itu merupakan penguasa yang memiliki kedaulatan spiritual, yaitu penguasa yang Agung Binathara. Penguasa yang dipatuhi oleh seluruh rakyatnya dan disegani oleh penguasa-penguasa negara lain.
Cerita yang banyak diyakini oleh para ahli kebatinan (Kejawen), tugas Sabda Palon terakhir adalah ngemong Prabu Brawijaya di Majapahit. Lantas Sabda Palon lebih memilih berpisah dengan momongannya, karena Prabu Brawijaya pindah agama, dari Agama Siwa-Buddha (campuran Jawa-Hindu-Buddha) menjadi Islam yang datang dari Arab.
Dengan begitu, Prabu Brawijaya dianggap telah kehilangan kedaulatan spiritual-nya. Sabda Palon memilih mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai pamong raja kemudian bertapa tidur di pusat kawah Gunung Merapi selama 500 tahun. Selama Sabda Palon bertapa itu, tanah Jawa tidak akan memiliki kedaulatan lagi, serta tidak dihormati oleh bangsa-bangsa lain.
Sejak jaman Demak hingga Mataram Islam, para Sultan perlu memohon legitimasi kekuasaannya kepada ulama Mekah, sedang para Sultan dari wilayah Sumatera dan Banten serta banyak lagi dari Indonesia Timur, memohon legitimasinya dari Daulah Ottoman Turki. Kesultanan Aceh, sebelum perang melawan Belanda, sebenarnya adalah salah satu wilayah Kesultanan Turki. Setelah itu Jawa dan Nusantara dijajah Belanda, Inggris dan Jepang.
Meskipun dapat dikaji seperti itu, tetapi sebaiknya cerita mitologi Jawa tentang Sabda Palon itu tidak diartikan sebagai penolakan Jawa terhadap Islam. Karena tidak ada ceritanya peradaban dan kebudayaan Jawa menolak masuknya paham agama apa pun dari luar. Bahkan orang-orang Jawa semenjak jaman purba animisme dinamisme, jaman Kapitayan-Kejawen, era Hindu/Budha hingga jaman Islam berkembang dapat mendukung ajaran dari luar dengan adanya akulturasi dan asimilasi budaya sehingga agama-agama yang masuk itu mencapai ke-emasannya di tanah Jawa.
Tuntunan Jawa tentang penyembahan pribadi kepada Yang Maha Kuasa dibebaskan. Terserah kepada pilihan, sesuai dengan keyakinan yang dianut pribadi masing-masing. Mau menyembah dengan cara agama dan keyakinan apa saja tidak akan menjadi masalah asal tidak melanggar hukum serta nilai-nilai moral luhur yang berlaku di masyarakat Jawa. Paham dasar yang harus dilaksanakan setiap manusia adalah ketika hidup bermasyarakat, bergaul dengan semua eksistensi makhluk ciptaan Tuhan yaitu haruslah tetap dengan berdasarkan prinsip keselarasan, keharmonisan, kerukunan dan perdamaian.
Cerita Sabda Palon itu apabila benar-benar di resapi dengan sungguh-sungguh, menggambarkan krisis kepercayaan kepada Prabu Brawijaya dalam mengelola kedaulatan yang digenggamnya. Sebab Prabu Brawijaya yang berkedudukan sebagai maharaja (diugung raja brana lan kuwasa) lupa melaksanakan amanah kedaulatannya dengan benar.
Prabu Brawijaya terakhir memiliki selir yang banyak sekali, maka anaknya juga sangat banyak. Semua anak-anak itu lalu diberi “kedudukan” untuk mengurus pemerintahan negara Majapahit. Pemimpin negara tidak mampu mengelola negara dengan bijak. Menyebabkan pemimpin kehilangan kewibawaan di mata rakyat, oleh sebab itu rakyat Majapahit mengalami krisis kepercayaan dan pemberontakan. Negara besar itu menjadi ringkih. Akhirnya ketika para Bupati Pesisir membantu Demak berperang dengan Majapahit, rakyat Majapahit tidak ikut membela dan tidak ikut mempertahankannya.
Sabda Palon, bisa dimaknai sebagai simbol atau personifikasi kesetiaan rakyat kepada rajanya, kesetiaan kepada pemimpin negaranya atau kepada pemerintahnya. Sabda Palon memilih berpisah dengan Prabu Brawijaya, berarti rakyat sudah kehilangan kesetiaannya kepada raja Majapahit itu. Istilahnya terjadi pembangkangan dan krisis kepercayaan terhadap kepemimpinan raja, rakyat tidak bersedia membela dan mempertahankan kerajaan ketika suatu saat menghadapi ancaman.
Cerita itu disamarkan dengan pernyataan, bahwa Sabda Palon akan bertapa tidur selama 500 tahun. Cerita itu juga memuat pengertian, bahwa 500 tahun setelah runtuhnya Majapahit, rakyat Jawa (Nusantara) akan tumbuh kembali kesadarannya sebagai bangsa terjajah dan akan memiliki kesetiaan kembali kepada pemimpin bangsanya. Munculnya rasa kebangsaan dan kesetiaan terhadap tanah air itu digambarkan tidak dapat dibendung seperti meletusnya Gunung Merapi.
Berikut ini ramalan Sabda Palon yang sudah di terjemahkan dari bahasa Jawa Kuno ke bahasa Indonesia.
1. Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara Majapahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.
2. Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: “Sabda-Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.”
3. Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dah Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.
4. Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Buda lagi, saya sebar seluruh tanah Jawa.
Kira-kira dari bait dibawah inilah, kejadian meletusnya gunung Merapi yang sebelumnya di sebutkan sebagai tempat bertapanya Sabda Palon di sangkut pautkan.
5. Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.
6. Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda. Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.
7. Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.
8. Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.
9. Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.
10. Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbulah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal.
11. Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan laparnya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.
12. Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang.
13. Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya.
14. Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.
15. Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncul lah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.
16. Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.
Ramalan ini bukan hal yang baru lagi namun masih menyisakan tanya dan rasa penasaran. Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke (menitis) ke bumi.
Kewajiban kita sebagai entitas makhluk ciptaan Tuhan yang berbudi pekerti luhur adalah turut aktif menebar kebaikan juga keluhuran budi pekerti di atas muka bumi dan seluruh jagad raya, dengan cara memelihara dan melestarikan keselarasan (keharmonisan) antar sesama makhluk, dan mejauhkan diri dari perselisihan. Berbudi pekerti yang luhur jauh dari sifat angkara yang tercela.
Sekian dari kami, mudah-mudahan artikel di atas bermanfaat bagi kita semua. Terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah keadaan negeri yang krisis kepercayaan ini akan datang cahaya terang di depan kita.
SEKILAS CERITA SABDO PALON NOYO GENGGONG
Sabdo Palon dan Noyo Genggong, dua sosok tokoh di tanah Jawa Masa Kejayaan Majapahit yang di anggap sebagai pandita dan penasehat Brawijaya V, saat penguasa terakhir Majapahit. Sebagian lagi berpendapat dua orang tersebut merupakan cerita fiksi penuh hikmah pengajaran yang dikarang oleh R. Ng. Ranggawarsita, yang menyamarkan nama beliau menjadi Ki kalam Wedi.
Serat Darmo Gandul menyebut nama Sabdapalon, yang berarti Sabda, artinya : Kata-kata, sedangkan Palon artinya : Kayu Pengancing Kandang. Kemudian Naya artinya Pandangan, terakhir Genggong : Artinya Langgeng tidak berubah.
Sabda secara umum diartikan : Perkatan Suci ,” yang hanya dapat disampaikan oleh Nabi, Rasul atau Tuhan. Jika diartikan, Sabdopalon Noyo Genggong bukanlah perwujudan nama melainkan perkatan suci yang digunakan sebagai kancing atau pengunci (pandangan) pemikiran yang bersifat kekal (Pandangan Hidup). Jika dikerucutkan lagi, yang disebut Sabdopalon Noyo Genggong adalah ajaran Wahyu atau Agama.
Sabdapalon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan Brawijaya V yang saat itu telah menginjak masa renta dan baru memeluk Agama Islam atas arahan Kali Jaga. Ketika ditanya perginya akan ke mana? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, (Anglela Kalingan Padang).
Yang dimaksud “meliputi sekalian wujud” adalah kata-kata (Ma’rifat Tentang Sifat Ketuhanan) Ini adalah kata kiasan menggambarkan (Sifat dan bukan Perwujudan Sabdopalon)
Kedatangan Sabdopalon Noyogenggong disebut sebut sebagai masa kehancuran pulau Jawa. Kadang disebut dengan (Sabdo Palon Nagih Janji).
Serat Darmo Gandul menyebut, Sanget-sangeting sangsara, Kang tumuwuh tanah Jawi, Sinengkalan taunira, Lawang Sapta Ngesthi Aji, Upami nabrang kali, Prapteng tengah-tengahipun, Kaline banjir bandang, Jerone nyilepake jalmi, Kathah sirna manungsa kathah pralaya.
Artinya, Sangat-sangatnya sengsara yang timbul di Tanah Jawa, ditandai pada tahun Sembilan Tujuh Delapan Satu (9781). Seumpama menyeberang sungai, sampai di tengah-tengahnya, sungainya banjir bandang. Dalamnya menenggelamkan manusia. Banyak manusia mati, banyak bencana.
Serat Darmo Gandul sendiri banyak perkatan tendensius apriori akan sebuah ajaran tertentu dan mendiskreditkan ajaran lainnnya. Serat ini dinilai banyak gubahan yang diperuntukkan kepentingan politik pada jamannya.
Kemudian Sabdopalon berkata dalam serat Darmo Gandul, “Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya,
Sabdopalon mengklaim berusia 2003 tahun dan mengaku menjadi Dhang Hyang (Danyang) Kerajaan Majapahit, dan tak berubah agamanya dari era sebelumnya.
Sedangkan pada masa Sekutrem hanya ada dan ditemukan pada kisah pewayangan.
Serat Darmo Gandul seolah mengetahui kejadian pada era Majapahit bahkan era sebelumya. Padahal, Serat Darmagandul baru ditulis pada 16 Desember 1900 M. Sebagian ahli berpendapat, serat Darmo Gandul asli milik Ronggowarsito telah digubah oleh penguasa Belanda.
VERSI KONTROVERSI G.W.J DREWES DAN PHILIP VAN AKKEREN
Hasil tulisan dua orang akademisi dan orientalis Belanda yaitu G. W. J. Drewes dan Philip van Akkeren. Hal ini dapat dilihat dari isi Serat Darmagandul, salah satunya ditemukan kalimat sebagai berikut :
LAMUN SENENG BUKTI WOH WIT KADJENG KAWRUH ANYEBUTO ASMANE DJENG NABI, ISA KANG KINAOT MITURUTA GUSTI AGAMANE
Artinya, Jika suka dengan bukti, buah pohon kayu pengetahuan, (Maka) sebutlah nama beliau Nabi Isa yang termuat, turutilah agamanya,)
Agama Nabi Isa adalah agama Samawi, seperti halnya yang tertulis dalam kitab Al Qur’an.
Perlu diketahui bahwa cerita Sabda Palon dalam Serat Darmagandul tersebut telah mengambil ide cerita sepenuhnya dari Serat Babad Kadhiri yang ditulis pada 1832 M. Namun demikian, terkait dengan kutukan bernuansa ramalan dari Sabda Palon bahwa agama Kawruh akan menggantikan ajaran Islam.
SABDO PALON NOYO GENGGONG PENGUASA TANAH JAWA (1)
Siapa Sabdo Palon dan Naya Genggong, yang juga turut memberi ramalan tentang hari depan tanah Jawa selain Prabu Jayabaya.
Bahkan, nama Sabdo Palon dan Naya Genggong dari dulu jauh lebih santer diperbincangkan ketimbang Prabu Jayabaya.
Namun Sabdo Palon dan Naya Genggong merupakan dua sosok misterius, berbeda dengan Prabu Jayabaya yang riwayatnya bisa ditelusuri secara pasti sebagai raja Kediri.
Bahwa Sabdo Palon dan Naya Genggong adalah punakawan atau penasehat spiritual dari Prabu Kerthabhumi atau Brawijaya V, penguasa terakhir Majapahit.
Dalam Serat Sabdo Palon, memuat perbincangan terakhir antara kedua sosok tersebut dengan sang prabu mengenai masa depan bumi Jawa. Untuk kemudian, pergi meninggalkan tanah Jawa.
Namun ada juga yang menyebut keduanya menuju Jawa bagian selatan, antara moksa di Gunung Merapi atau Gunung Tidar yang menjadi tempat Syekh Subakir dalam menumbali tanah Jawa.
Diceritakan pada masa dahulu, Pulau Jawa terkenal angker dan dikuasai roh halus Ki Semar Badrayana. Sampai kemudian datang Syekh Subakir, yang diutus sultan Turki Sultan Muhammad I untuk syiar Agama Islam di tanah Jawa.
Saat itu, tanah Jawa merupakan sebuah tempat yang dalam pengaruh magis begitu kuat. Mulai dari jin hingga setan, menghuni setiap sudutnya yang saat itu masih berbentuk hutan belantara.
Sesampainya di Pulau Jawa, Syekh Subakir langsung menuju ke Gunung Tidar yang diyakini sebagai titik pusat dari tanah Jawa. Di puncak gunung ini, Syekh Subakir memasang tumbal berupa batu hitam yang sudah dirajah.
Dari sinilah Syekh Subakir dikenal sebagai orang yang berhasil menumbali Pulau Jawa, yang terkenal angker dan wingit pada dahulu kala.
Namun kedatangan Syekh Subakir dalam melakukan syiar Islam di Pulau Jawa itu, mendapat rintangan dari Ki Semar Badrayana sebagai roh halus sebagai danyang atau penguasa wilayah.
Hingga keduanya terlibat pertempuran. Namun karena sama-sama kuat, Syekh Subakir dan Ki Semar Badrayana akhirnya membuat kesepakatan melalui sebuah perjanjian yang disebut Sabdo Palon.
Berikut empat perjanjian Sabdo Palon, antara Syekh Subakir dan Ki Semar Badrayana:
1. Penyebaran ajaran Islam tidak boleh dilakukan dengan cara paksaan apalagi dengan jalan peperangan.
Penyebaran Islam di tanah Jawa harus dilakukan dengan cara halus dan memberikan keleluasaan bagi penduduk Jawa untuk memilih masuk ke dalam agama Islam atau tetap meyakini kepercayaan sebelumnya.
2. Akulturasi antara Islam dengan budaya Jawa dalam pendirian tempat peribadatan. Meskipun tempat peribadatan tersebut dari luar memiliki gaya asli Jawa, namun di dalamnya ajaran-ajaran Islam disebarluaskan.
3. Kerajaan Islam diperbolehkan berdiri di tanah Jawa. Tapi, raja pertama haruslah anak campuran. Maksudnya orang tua sang raja memiliki campuran agama. jika bapak Hindu, ibu Islam. Sebaliknya jika bapak Islam, ibu Hindu.
4. Tidak boleh mengubah orang Jawa menjadi orang yang kearab-araban. Biarkanlah padi tetap ditanam di sawah dan kurma tetap ditanam di padang pasir.
Lalu seperti apa wujud Ki Semar Badrayana, yang dari namanya sangat familiar yang dalam tokoh pewayangan dikenal dengan nama Semar.
Wujud fisiknya, sangat unik dengan tubuhnya yang bulat, mata sembab tetapi selalu tersenyum. Meski berwajah tua, namun potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita.
Tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1437.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama Sadewa dari keluarga Pandewa, dengan peran tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
KISAH SABDO PALON PENJAGA TANAH JAWA (2)
Kisah Sabda Palon, Sang Penjaga Tanah Jawa
Nama Sabda Palon sering disebut dalam Serat Darmagandhul dan Jangka Jayabaya atau ramalan Jayabaya.
Dalam Serat Darmagandhul disebutkan Sabda Palon merupakan penasihat spiritual yang berilmu tinggi dari Raja Brawijaya V, raja Majapahit terakhir. Konon karena kedigjayaannya dia bisa memerintah seluruh makhluk halus di tanah Jawa.
Di kitab kesusastraaan Jawa karya Ki Kalamwidi tersebut juga disebutkan kalau Sabda Palon merupakan sosok yang sama dengan tokoh pewayangan bernama Semar atau Manik Maya yang telah ada sejak ribuan tahun lalu.
Sehingga konon sosok Sabda Palon ini juga merupakan makhluk gaib yang menjadi pelindung dan penjaga raja-raja di tanah Jawa sejak 525 tahun sebelum masehi (SM) yang bisa menitis kepada seseorang.
Sang Manik Maya ini juga disebut-sebut dapat membuat kawah air panas di atas sejumlah gunung berapi di tanah Jawa bergolak.
Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar.
Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur serta berjalan pada jalan kebaikan.
Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa suara tanpa rupa.
Secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah mencolo putro, mencolo putri, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa.
Dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep menitis.
Namun kisah kedekatan sang penasihat spritual ini dengan Raja Brawijaya V akhirnya berakhir saat sang raja memutuskan untuk memeluk agama Islam.
Sehingga Sabda Palon meninggalkan raja yang dijaganya selama ini.
Namun Sabda Palon bersumpah akan kembali lagi 500 tahun setelah meninggalkan Raja Brawijaya V untuk kembali menjadi penjaga bagi tanah Jawa.
Sedangkan dalam dalam bait-bait terakhir ramalan Jayabaya (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut mengenai Sabda Palon yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra yang menguasai seluruh ajaran, memotong tanah Jawa kedua kali dan mengerahkan jin dan setan serta seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda.
Dalam beberapa literatur Sabda Palon itu sejatinya juga diyakini sebagai Dang Hyang Nirartha atau Mpu Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu, Bali.
Dang Hyang Nirartha adalah anak dari Dang Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang Angsokanatha (penyusun Kakawin Sutasoma dimana di dalamnya tercantum Bhinneka Tunggal Ika).
Dang Hyang Nirartha adalah seorang pendeta Buddha yang kemudian beralih menjadi pendeta Syiwa.
Dia juga diberi nama Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang juga dikenal sebagai seorang sastrawan.
Dengan kemampuan supranatural dan mata batinnya, Sabda Palon mampu melihat benih-benih keruntuhan Kerajaan Majapahit.
Lalu Sabda Palon benar-benar meninggalkan raja yang diasuhnya selama ini, saat Brawijaya V memutuskan memeluk agama Islam.
Akhirnya Sabda Palon mendapat petunjuk untuk pergi ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali.
Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke Blambangan (Banyuwangi).
Sabda Polon konon pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun Saka 1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin Dalem Waturenggong.
Dang Hyang Nirartha ini dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan).
Ada pula cerita yang mengisahkan Sabda Palon adalah seorang makhluk gaib yang menjaga Gunung Tidar di Magelang.
Sehingga Sabda Palon terlibat pertarungan dengan Syekh Subakir ulama besar yang diutus Kesultanan Turki Ustmaniyah untuk membersihkan tanah Jawa dari pengaruh-pengaruh gaib yang mengganggu proses penyebaran agama Islam.
MURCANE SABDO PALON NOYO GENGGONG
Ramalan Jayabaya Pertama yang Terjadi di Indonesia Murcane Sabdo Palon Noyo Genggong, Kisah Majapahit Memeluk Islam.
Sri Aji Joyoboyo yang hidup pada abad keduabelas masehi memprediksi agama Hindu-Budha berkembang 1000 tahun di Nusantara beserta kejayaan bagi kerajaan yang memeluk agama tersebut.
Seiring dengan perkembangan Hindu-Buddha di Tanah Jawa dan Nusantara juga lahir pula seorang utusan-Nya pembawa Islam pada 571 Masehi di Mecca yakni Rasulullah Muhammad SAW, sang penerima firman Allah s.w.t. tersusun dalam Al-Qur'an yang mahasuci didampingi Hadist Nabi yang dimuliakan.
Menurut Buku Ramalan Jayabaya ini, Usai 1000 tahun berkembang Hindu-Buddha maka sudah pada tempatnya giliran bagi yang lain, yakni akan digantikan oleh Islam sebagai agama negara bagi kerajaan di Jawa dan Nusantara.
Sri Aji Joyoboyo juga menyatakan Dang Hyang Tanah Jawi Sabdo Palon dan pendahulunya Noyo Genggong akan murca dari marcapada selama perkembangan agama Islam pada abad ke-15 masehi (1400-an) yang ditandai dengan bangkitnya kerajaan Islam di Jawa.
Sabdo Palon tidak akan mencampuri Islam dan perkembangannya di Jawa dan Nusantara demi membikin manusianya jadi manusia seutuhnya, komplit, dan sempurna. Maka terimalah, sudah menjadi takdir kerajaan Hindu-Buddha yang gemilang Majapahit berganti kerajaan Islam pertama di Nusantara Demak.
Sayangnya karena baru berdiri kerajaan Demak yang tidak memiliki angkatan laut sekuat Majapahit harus berhadapan dengan kekuatan unggul dari Eropa sehingga hanya dapat sedikit menahan masuknya pelaut bersenjata Portugis, bahkan Portugis berhasil memasuki Nusantara tanpa menemui lawan tangguh di medan laut.
Kemudian berturut-turut bangsa Barat berikutnya Belanda sangat cerdik untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan sisa Majapahit sehingga saling bertempur satu sama lain.
Selanjutnya Belanda tinggal memetik hasilnya yakni menguasai kedua belah pihak dalam segala hal, terutama mengandalkan keunggulan kekuatan laut dan persenjataan maju yang berhasil dikembangkan Eropa, mesiu atau senjata api mulai ukuran senapan hingga meriam.
Dengan demikian kekalahan kerajaan Islam terhadap gempuran bangsa Eropa bukanlah menjadi tanggung jawab danghyang tanah Jawi Sabdo Palon Noyo Genggong. Dan andaikata kerajaan Islam atau negara yang menjunjung Islam memperoleh kejayaan maka itu pun bukan melalui campur tangan sang pepunden Nusantara.
Tiap-tiap masa sebuah kerajaan bangkit dan hancur mengalami hal yang sama dengan siklus bintang. Dan semua kerajaan di Jawa mengakui Semar sebagai penguasa gaib dari dunia gaib dengan kemampuan khususnya mengejawantah sebagai manusia biasa. Semar bisa berperan sebagai abdi, punakawan, dan bahkan penasihat utama negara.
Tokoh ini selalu turut hadir bersama jatuh-bangunnya kehidupan sederhana maupun sebuah pemerintahan rumit dalam kerajaan. Dan Semar yang terakhir dalam siklus perkembangan 1000 tahun Hindu-Buddha adalah Sabdo Palon Noyo Genggong.
Majapahit yang jaya di laut dan di bumi Selatan, sementara Tiongkok yang berada di bumi Utara adalah pengimbang tatanan politik dunia pada masa itu.
Bumi Selatan ada dalam genggaman Majapahit dan dengan keruntuhan Majapahit maka tatanan politik dunia menjadi jomplang dan dengan mudah pula bangsa Barat berkulit putih mengkolonisasi bumi selatan mulai dengan Afrika, Amerika Latin, dan Asia Selatan menjadi jalur tanpa ada penjagaan laut yang kuat.
Kehancuran Majapahit oleh berkembangnya Islam yang masuk ke Jawa adalah sebuah siklus sejarah perkembangan kelas, dan perjuangan kelas.
Sabdo Palon Noyo Genggong tahu bahwa Islam harus berkembang di Jawa dan Nusantara maka dari itu ia bersiap-siap untuk murca dari peranannya mengawal takhta dalam kurun 1000 tahun terakhir.
"Murcane Sabdo PalonNoyo Genggong" Ramalan Jayabaya pertama memang menjadi kenyataan tatkala Raja Majapahit yang terakhir Brawijaya memilih meninggalkan agama negara sendiri dan memeluk Islam.
Dengan sendirinya Sabdo Palon memutuskan untuk menghilang atau murca dengan cara baik-baik dari hadapan Sri Brawijaya,
"Yang Mulia, kami tidak akan melawan perkembangan sejarah, sejarah yang terus berkembang maju tak pernah mundur seinci pun itu, dan di hadapan Yang Mulia maka Kami beijanji akan kembali kelak di mana bumi manusia mengalami gonjang-ganjing dan segalanya harus dimulai dari awal lagi. Demi melindungi Tanah Jawa dan Nusantara serta bumi selatan.
Demikian ucapan terakhir sebagai kata pamit Sabdo Palon. Majapahit tak pelak lagi meluncur menemui kehancurannya, atas kehendak takdir sejarah.
SABDO PALON NOYO GENGGONG DALAM CERITA PERTEMUAN ANTARA PRABU BRAWIJAYA, SUNAN KALIJAGA DAN SABDO PALON
Sabdo berarti kata-kata, palon kayu pengancing kandang, noyo pandangan, genggong langgeng tidak berubah.
Disini di ceritakan Bagaimana Prabu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan Sabdo Palon.
Sebuah awal akan di mulainya Kehancuran Jawa yang akan datang, yang sekarang sudah mulai terbukti kebenarannya.
Prabu Brawijaya melarikan diri ke Bali (Klungkung) setelah Majapahit jatuh di tangan Raden Patah anaknya sendiri yang sudah masuk Islam sekarang sudah sampai di Blambangan.
Akhirnya Sunan Kalijaga berhasil menemui beliau dan terjadilah percakapan :
Sunan Kalijaga : kini putra paduka ingat bahwa paduka lolos dari istana dan tidak keruan tinggal dimana. Paduka dimohon kembali ke Majapahit, tetaplah menjadi raja, dijunjung para punggawa, menjadi pusaka dan pedoman yang dijunjung tinggi anak cucu dan para sanak saudara, dihormati dan dimintai restu keselamatan semua di bumi. Apabila paduka berkenan memegang tahta lagi, paduka ingin tinggal di gunung mana paduka tinggal, putra paduka memberi busana dan makanan untuk paduka, tetapi mohon pusaka kraton di tanah Jawa, diminta dengan tulus.
Prabu Brawijaya berkata : aku muak bicara dengan santri mereka bicara dengan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya. Menunduk dimuka tetapi memukul dibelakang. Kata-katanya hanya manis dibibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata , agar buta mataku ini. Dulu-dulu aku beri hati, tapi balasannya seperti kenyung buntut.
Sunan Kalijaga : apabila prabu tidak bersedia mengikuti saranku lebih baik bunuh saja hamba.
Prabu Brawijaya : Sahid duduklah dulu kupikir baik-baik kupertimbangkan saranmu, benar dan salahnya, baik dan buruknya, karena aku khawatir omongmu itu bohong saja. Seumpama aku ke Majapahit Si Patah bencinya tidak sembuh punya ayah Buda kawak kafir kufur, kemudian aku ditangkap, dikebiri, disuruh menunggu pintu belakang, pagi sore dibokongi sembahyang, apabila tidak tahu kemudian dicuci di kolam digosok dengan ilalang kering. Coba pikirlah Sahid alangkah sedih hatiku orang sudah tua renta,lemah tak berdaya kok akan direndam dalam air.
Sunan Kalijaga : mustahil jika demikian besok hamba yang tanggung, tidak mungkin putra paduka berlaku demikian. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak paduka, namum lebih baik paduka berkenan berganti syarat Rasul dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika paduka tidak berkenan itu tidak masalah. Toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu tetap kafir namanya.
Terjadi percakapan Teologi dan Sunan Kalijaga berbicara banyak-banyak agar Prabu Brawijaya berkenan pindah agama, jika paduka memeluk Islam, manusia Jawa tentu kemudian Islam semua, setelah itu prabu Brawijaya mengucapkan kalimat syahadat.
Setelah kejadian itu minta potong rambut, tetapi belum lahir bathin rambut paduka belum bisa terpotong.
SETELAH POTONG RAMBUT
Prabu Brawijaya : kamu berdua kuberi tahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buda dan memeluk agama Islam. Kalau kalian mau, kalian akan kuajak pindah agama Rasul dan meninggalkan agama Budha.
Sabdo Palon : hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa. Hamba tidak tidur sampai 200 tahun. Selama tidur hamba selalu ada perang saudara, manusia yang nakal membunuh bangsanya sendiri, sampai sekarang umur hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menepati agama Buda. Baru paduka berani meninggalkan pedoman leluhur Jawa. Jawa artinya tahu. Mau menerima berarti Jawan. Kalu hanya ikut-ikutan akan membuat celaka muksa paduka kelak.
Halilintar bersahutan menyambut perkataan Wikutama (Sabdo Palon). Prabu Brawijaya disindir oleh Dewata karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan dunia ditambah tiga hal :
1. Rumput Jawan.
2. Padi Randanunut dan.
3. Padi Mriyi.
Prabu Brawijaya : bagaimana niatmu, mau apa tidak meninggalkan agama Budha masuk agama Rasul.
Sabda Palon : paduka masuklah sendiri. Hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu. Menginjak-injak hukum, menginjak-injak tatanan. Jika hamba pindah agama pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua memuji diri sendiri. Mati yang utama itu sewu satus telung puluh . Artinya satus itu putus, telu itu tilas, puluh itu pulih, wujud kembali, wujudnya rusak, tetapi yang rusak berasal dari ruh.
Prabu Brawijaya : ”ciptaku menempel pada orang-orang yang lebih”.
Sabdo Palon : itu manusia tersesat, seperti kemladeyan menempel di pohon besar, tidakpunya kemuliaan sendiri hanya numpang. Itu bukan mati yang utama. Tapi matinya manusia nista, sukanya menempel, ikut-ikutan, tidak memiliki sendiri, jika diusir gentayangan menjadi kuntilanak.
Prabu Brawijaya : aku akan kembali kepada suwung, kekosongan, ketika aku belum maujud apa-apa, demikianlah tujuan matiku kelak.
Sabda Palon : itu matinya manusia tidak berguna, ketika hidupnya seperti hewan, hanya makan, minum dan tidur. Demikian hidupbisa gemuk kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang hidup dalam mati.
Prabu Brawijaya : aku menunggui tempat kubur, apabila sudah hancur luluh menjadi abu.
Sabdo Palon : itulah matinya orang bodoh, menjadi setan kuburan, menunggui daging di kuburan, daging sudah luluh menjadi tanah, tidak mengerti ruh baru. Itu manusia bodoh.
Prabu Brawijaya : aku akan muksah dengan ragaku.
Sabdo Palon : kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk kebanyakan daging.
Prabu Brawijaya : aku tidak punya kehendak apa-apa, tidak bisa memilih, terserah Yang Maha Kuasa. Dimanakah Tuhan Yang Sejati ?
Sabdo Palon : tidak jauh tidak dekat, paduka bayangannya sendiri. Paduka wujud sifat sukma. Sejatinya tinggal budi, hawa, dan badan.
Prabu Brawijaya : apa kamu tidak mau masuk agama Islam ?
Sabdo Palon : ikut agama lama, kepada agama baru tidak.
Kenapa paduka berganti agama tidak bertanya kepada hamba ? Apakah paduka lupa nama hamba Sabdo Palon ?. Sabdo atinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya. Sungguh jika sudah berganti agama Islam,meninggalkan agama Buda, keturunan paduka akan celaka, Jawa tinggal jawan, artinya hilang, suka ikut bangsa lain. Paduka besok saksikan banyak manusia sua menipu, berani bertindak nista, dan suka bersumpah. Besok setelah bertaubat ingat kepada agama Buda lagi dan kemudian mau makan buah pengetahuan, Dewa kemudian memaafkan, hujan kembali seperti jaman Budha.
Prabu Brawijaya : aku menyesal masuk Islam dan meninggalkan agama Buda. Ia masuk agama Islam karena istrinya putri Cempa yang mengatakan orang agama Islam itu kelak apabila mati akan masuk surga yang melebihi surganya orang kafir.
Sabdo Palon : sejak jaman kuna, bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya untuk wadah, tidak berwenang mulai kehendak. Aku akan memisahkan diri dengan paduka.
Prabu Brawijaya : kamu cela tanpa guna, karena sudah terlanjur, sekarang hanya kamu yang kutanya,masih tetapkah tekadmu? Aku masuk agama Islam disaksikan oleh Si Sahid, sudah tidak bisa kembali lagi ke agama Buda. Kamu mau pergi kemana ?
Sabdo Palon : tidak pergi, tetapi tidak berada di situ, hanya menepati yang namanya Semar, artinya melingkupi sekalian wujud, anglela kalingan padang.
Prabu Brawijaya : ”Aku bersumpah besok apabila ada orang Jawa tua, berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdo Palon. Orang tua itu akan diajari benar salah”. Besok gantilah Negara Blambangan dengan nama Negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdo Palon ke tanah Jawa membawa asuhannya.
Setelah meninggal Prabu Brawijaya, Raden Patah datang ke kubur ayahnya sendiri terdengar suara yang memekikkan telinga ”Habis cinta kasihku kepada anak enakanlah makan dan tidur. Ada gajah digertak seperti kucing, walaupun mati wujudku, tetapi ingatlah besok, apabila sudah agama Kawruh, besok akan ku balas. Kuajari tahu benar dan salah, cara memangku kerajaan, makan babi seperti jaman Majapahit”.
Sunan Kalijaga diampuni oleh Allah, dengan pasemon adanya orang-orang yang punggungnya sampai ke punuk disisipi tatal kayu jati. Maksudnya punukmu panakna, ilmu sejati itu tidak usah berguru kepada orang berilmu Islam.
Tambahan catatan :
BAIT TERAKHIR RAMALAN JAYA BAYA
140.
polahe wong Jawa kaya gabah diinteri
endi sing bener endi sing sejati
para tapa padha ora wani
padha wedi ngajarake piwulang adi
salah-salah anemani pati
tingkah laku orang Jawa seperti gabah ditampi
mana yang benar mana yang asli
para pertapa semua tak berani
takut menyampaikan ajaran benar
salah-salah dapat menemui ajal.
141.
banjir bandang ana ngendi-endi
gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni
gehtinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni
marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti
banjir bandang dimana-mana
gunung meletus tidak dinyana-nyana, tidak ada isyarat dahulu
sangat benci terhadap pendeta yang bertapa, tanpa makan dan tidur
karena takut bakal terbongkar rahasianya siapa anda sebenarnya
142.
pancen wolak-waliking jaman
amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan
sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni
wong dora padha ura-ura
beja-bejane sing lali,
isih beja kang eling lan waspadha
sungguh zaman gonjang-ganjing
menyaksikan zaman gila
tidak ikut gila tidak dapat bagian
yang sehat pada olah pikir
para petani dibelenggu
para pembohong bersuka ria
beruntunglah bagi yang lupa,
masih beruntung yang ingat dan waspada
143.
ratu ora netepi janji
musna kuwasa lan prabawane
akeh omah ndhuwur kuda
wong padha mangan wong
kayu gligan lan wesi hiya padha doyan
dirasa enak kaya roti bolu
yen wengi padha ora bisa turu
raja tidak menepati janji
kehilangan kekuasaan dan kewibawaannya
banyak rumah di atas kuda
orang makan sesamanya
kayu gelondongan dan besi juga dimakan
katanya enak serasa kue bolu
malam hari semua tak bisa tidur
144.
sing edan padha bisa dandan
sing ambangkang padha bisa
nggalang omah gedong magrong-magrong
yang gila dapat berdandan
yang membangkang semua dapat
membangun rumah, gedung-gedung megah
145.
wong dagang barang sangsaya laris, bandhane ludes
akeh wong mati kaliren gisining panganan
akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara.
orang berdagang barang makin laris tapi hartanya makin habis
banyak orang mati kelaparan di samping makanan
banyak orang berharta namun hidupnya sengsara
146.
wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil
sing ora abisa maling digethingi
sing pinter duraka dadi kanca
wong bener sangsaya thenger-thenger
wong salah sangsaya bungah
akeh bandha musna tan karuan larine
akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe.
orang waras dan adil hidupnya memprihatinkan dan terkucil
yang tidak dapat mencuri dibenci
yang pintar curang jadi teman
orang jujur semakin tak berkutik
orang salah makin pongah
banyak harta musnah tak jelas larinya
banyak pangkat dan kedudukan lepas tanpa sebab.
147.
bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret
sakilan bumi dipajeki
wong wadon nganggo panganggo lanang
iku pertandhane yen bakal nemoni
wolak-walike zaman.
bumi semakin lama semakin sempit
sejengkal tanah kena pajak
wanita memakai pakaian laki-laki
itu pertanda bakal terjadinya
zaman gonjang-ganjing
148.
akeh wong janji ora ditepati
akeh wong nglanggar sumpahe dhewe
manungsa padha seneng ngalap,
tan anindakake hukuming Allah
barang jahat diangkat-angkat
barang suci dibenci.
banyak orang berjanji diingkari
banyak orang melanggar sumpahnya sendiri
manusia senang menipu
tidak melaksanakan hukum Allah
barang jahat dipuja-puja
barang suci dibenci.
149.
akeh wong ngutamakake royal
lali kamanungsane, lali kebecikane
lali sanak lali kadang
akeh bapa lali anak
akeh anak mundhung biyung
sedulur padha cidra
keluarga padha curiga
kanca dadi mungsuh
manungsa lali asale.
banyak orang hamburkan uang
lupa kemanusiaan, lupa kebaikan
lupa sanak saudara
banyak ayah lupa anaknya
banyak anak mengusir ibunya
antar saudara saling berbohong
antar keluarga saling mencurigai
kawan menjadi musuh
manusia lupa akan asal-usulnya
150.
ukuman ratu ora adil
akeh pangkat jahat jahil
kelakuan padha ganjil
sing apik padha kepencil
akarya apik manungsa isin
luwih utama ngapusi.
hukuman raja tidak adil
banyak yang berpangkat, jahat dan jahil
tingkah lakunya semua ganjil
yang baik terkucil
berbuat baik manusia malah malu
lebih mengutamakan menipu
151.
wanita nglamar pria
isih bayi padha mbayi
sing pria padha ngasorake drajate dhewe.
wanita melamar pria
masih muda sudah beranak
kaum pria merendahkan derajatnya sendiri.
Bait 152 sampai dengan 156 tidak ada (hilang dan rusak)
157.
wong golek pangan pindha gabah den interi
sing kebat kliwat, sing kasep kepleset
sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik
sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati
nanging sing ngawur padha makmur
sing ngati-ati padha sambat kepati-pati.
tingkah laku orang mencari makan seperti gabah ditampi
yang cepat mendapatkan, yang lambat terpeleset
yang besar beramai-ramai membuat yang kecil terjepit
yang angkuh menengadah, yang takut malah mati
namun yang ngawur malah makmur
yang berhati-hati mengeluh setengah mati.
158.
cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring
melu Jawa sing padha eling
sing tan eling miling-miling
mlayu-mlayu kaya maling kena tuding
eling mulih padha manjing
akeh wong injir, akeh centhil
sing eman ora keduman
sing keduman ora eman.
cina berlindung karena dilempari lari terbirit-birit
ikut orang Jawa yang sadar
yang tidak sadar was-was
berlari-lari bak pencuri yang kena tuduh
yang tetap tinggal dibenci
banyak orang malas, banyak yang genit
yang sayang tidak kebagian
yang dapat bagian tidak sayang.
159.
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun
sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu
bakal ana dewa ngejawantah
apengawak manungsa
apasurya padha bethara Kresna
awatak Baladewa
agegaman trisula wedha
jinejer wolak-waliking zaman
wong nyilih mbalekake,
wong utang mbayar
utang nyawa bayar nyawa
utang wirang nyaur wirang.
selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun
(sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu)
akan ada dewa tampil
berbadan manusia
berparas seperti Batara Kresna
berwatak seperti Baladewa
bersenjata trisula wedha
tanda datangnya perubahan zaman
orang pinjam mengembalikan,
orang berhutang membayar
hutang nyawa bayar nyawa
hutang malu dibayar malu.
160.
sadurunge ana tetenger lintang kemukus lawa
ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener
lawase pitung bengi,
parak esuk bener ilange
bethara surya njumedhul
bebarengan sing wis mungkur prihatine manungsa kelantur-lantur
iku tandane putra Bethara Indra wus katon
tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa.
sebelumnya ada pertanda bintang pari
panjang sekali tepat di arah Selatan menuju Timur
lamanya tujuh malam
hilangnya menjelang pagi sekali
bersama munculnya Batara Surya
bebarengan dengan hilangnya kesengsaraan manusia yang berlarut-larut
itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak
datang di bumi untuk membantu orang Jawa
161.
dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan
wetane bengawan banyu
andhedukuh pindha Raden Gatotkaca
arupa pagupon dara tundha tiga
kaya manungsa angleledha
asalnya dari kaki Gunung Lawu sebelah Timur
sebelah timurnya bengawan
berumah seperti Raden Gatotkaca
berupa rumah merpati susun tiga
seperti manusia yang menggoda
162.
akeh wong dicakot lemut mati
akeh wong dicakot semut sirna
akeh swara aneh tanpa rupa
bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis
tan kasat mata, tan arupa
sing madhegani putrane Bethara Indra
agegaman trisula wedha
momongane padha dadi nayaka perang
perange tanpa bala
sakti mandraguna tanpa aji-aji
banyak orang digigit nyamuk,
mati banyak orang digigit semut, mati
banyak suara aneh tanpa rupa
pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar
tak kelihatan, tak berbentuk
yang memimpin adalah putra Batara Indra,
bersenjatakan trisula wedha
para asuhannya menjadi perwira perang
jika berperang tanpa pasukan
sakti mandraguna tanpa azimat
163.
apeparap pangeraning prang
tan pokro anggoning nyandhang
ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang
sing padha nyembah reca ndhaplang,
cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang
bergelar pangeran perang
kelihatan berpakaian kurang pantas
namun dapat mengatasi keruwetan orang banyak
yang menyembah arca terlentang
cina ingat suhu-suhunya dan memperoleh perintah, lalu melompat ketakutan
164.
putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu
hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti
mumpuni sakabehing laku
nugel tanah Jawa kaping pindho
ngerahake jin setan
kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo
kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda
landhepe triniji suci
bener, jejeg, jujur
kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong
putra kesayangan almarhum yang bermukim di Gunung Lawu
yaitu Kyai Batara Mukti, ya Krisna, ya Herumukti
menguasai seluruh ajaran (ngelmu)
memotong tanah Jawa kedua kali
mengerahkan jin dan setan
seluruh makhluk halus berada dibawah perintahnya bersatu padu
membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda
tajamnya tritunggal nan suci
benar, lurus, jujur
didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong
165.
pendhak Sura nguntapa kumara
kang wus katon nembus dosane
kadhepake ngarsaning sang kuasa
isih timur kaceluk wong tuwa
paringane Gatotkaca sayuta.
tiap bulan Sura sambutlah kumara
yang sudah tampak menebus dosa
dihadapan sang Maha Kuasa
masih muda sudah dipanggil orang tua
warisannya Gatotkaca sejuta
166.
idune idu geni
sabdane malati
sing mbregendhul mesti mati
ora tuwo, enom padha dene bayi
wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada
garis sabda ora gentalan dina,
beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira
tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa
nanging inung pilih-pilih sapa
ludahnya ludah api
sabdanya sakti (terbukti)
yang membantah pasti mati
orang tua, muda maupun bayi
orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi
garis sabdanya tidak akan lama
beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta menaati sabdanya
tidak mau dihormati orang se tanah Jawa
tetapi hanya memilih beberapa saja
167.
waskita pindha dewa
bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira
pindha lahir bareng sadina
ora bisa diapusi marga bisa maca ati
wasis, wegig, waskita,
ngerti sakdurunge winarah
bisa pirsa mbah-mbahira
angawuningani jantraning zaman Jawa
ngerti garise siji-sijining umat
Tan kewran sasuruping zaman
pandai meramal seperti dewa
dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggah anda
seolah-olah lahir di waktu yang sama
tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati
bijak, cermat dan sakti
mengerti sebelum sesuatu terjadi
mengetahui leluhur anda
memahami putaran roda zaman Jawa
mengerti garis hidup setiap umat
tidak khawatir tertelan zaman
168.
mula den upadinen sinatriya iku
wus tan abapa, tan bibi, lola
awus aputus weda Jawa
mung angandelake trisula
landheping trisula pucuk
gegawe pati utawa utang nyawa
sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan
sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda
oleh sebab itu carilah satria itu
yatim piatu, tak bersanak saudara
sudah lulus weda Jawa
hanya berpedoman trisula
ujung trisulanya sangat tajam
membawa maut atau utang nyawa
yang tengah pantang berbuat merugikan orang lain
yang di kiri dan kanan menolak pencurian dan kejahatan
169.
sirik den wenehi
ati malati bisa kesiku
senenge anggodha anjejaluk cara nistha
ngertiyo yen iku coba
aja kaino
ana beja-bejane sing den pundhuti
ateges jantrane kaemong sira sebrayat
pantang bila diberi
hati mati dapat terkena kutukan
senang menggoda dan minta secara nista
ketahuilah bahwa itu hanya ujian
jangan dihina
ada keuntungan bagi yang dimintai
artinya dilindungi anda sekeluarga
170.
ing ngarsa Begawan
dudu pandhita sinebut pandhita
dudu dewa sinebut dewa
kaya dene manungsa
dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh
gawang-gawang terang ndrandhang
di hadapan Begawan
bukan pendeta disebut pendeta
bukan dewa disebut dewa
namun manusia biasa
bukan kekuatan lain diterangkan jelas
bayang-bayang menjadi terang benderang
171.
aja gumun, aja ngungun
hiya iku putrane Bethara Indra
kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan
tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh
hiya siji iki kang bisa paring pituduh
marang jarwane jangka kalaningsun
tan kena den apusi
marga bisa manjing jroning ati
ana manungso kaiden ketemu
uga ana jalma sing durung mangsane
aja sirik aja gela
iku dudu wektunira
nganggo simbol ratu tanpa makutha
mula sing menangi enggala den leluri
aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu
beja-bejane anak putu.
jangan heran, jangan bingung
itulah putranya Batara Indra
yang sulung dan masih kuasa mengusir setan
turunnya air brajamusti pecah memercik
hanya satu ini yang dapat memberi petunjuk
tentang arti dan makna ramalan saya
tidak bisa ditipu
karena dapat masuk ke dalam hati
ada manusia yang bisa bertemu
tapi ada manusia yang belum saatnya
jangan iri dan kecewa
itu bukan waktu anda
memakai lambang ratu tanpa mahkota
sebab itu yang menjumpai segeralah menghormati,
jangan sampai terputus, menghadaplah dengan patuh
keberuntungan ada di anak cucu
172.
iki dalan kanggo sing eling lan waspada
ing zaman kalabendu Jawa
aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa
cures ludhes saka braja jelma kumara
aja-aja kleru pandhita samusana
larinen pandhita asenjata trisula wedha
iku hiya pinaringaning dewa.
inilah jalan bagi yang ingat dan waspada
pada zaman kalabendu Jawa
jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa
yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga
jangan keliru mencari dewa
carilah dewa bersenjata trisula wedha
itulah pemberian dewa
173.
nglurug tanpa bala
yen menang tan ngasorake liyan
para kawula padha suka-suka
marga adiling pangeran wus teka
ratune nyembah kawula
angagem trisula wedha
para pandhita hiya padha muja
hiya iku momongane kaki Sabdopalon
sing wis adu wirang nanging kondhang
genaha kacetha kanthi njingglang
nora ana wong ngresula kurang
hiya iku tandane kalabendu wis minger
centi wektu jejering kalamukti
andayani indering jagad raya
padha asung bhekti.
menyerang tanpa pasukan
bila menang tak menghina yang lain
rakyat bersuka ria
karena keadilan Yang Kuasa telah tiba
raja menyembah rakyat
bersenjatakan trisula wedha
para pendeta juga pada memuja
itulah asuhannya Sabdopalon
yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur segalanya tampak terang benderang tak ada yang mengeluh kekurangan
itulah tanda zaman kalabendu telah usai berganti zaman penuh kemuliaan
memperkokoh tatanan jagad raya
semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi.