STOIKISME FILSAFAT KEHIDUPAN
Bagi sebagian orang, kata ini mungkin masih terasa asing mendengar hingga mengerti tentang istilah Stoikisme.
Filosofi stoikisme dapat mempengaruhi dan membuat seseorang lebih tenang dan bahagia dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Aktivitas apa saja yang bisa dilakukan untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Stoikisme atau juga disebut stoa merupakan suatu aliran filsafat Yunani Kuno yang mulai dikenal pada awal abad ke-3 SM.
Aliran stoikisme didirikan oleh Zeno dari Citium, seorang filsuf Yunani. Selain Zeno, filsuf lain yang terlibat adalah Kleanthes dari Assos dan Chrysippus dari Soli.
MAKNA DAN PENGERTIAN STOIKISME
Stoik berasal dari bahasa Yunani stōïkos, yang berarti dari stoa (serambi, atau beranda). Hal ini mengacu pada Stoa Poikile, atau Beranda Berlukis, di Athena, dimana filsuf stoik Zeno dari Citium yang berpengaruh besar terhadap stoikisme pernah mengajar. Dalam istilah awam stoikisme kadang-kadang disebut sebagai menderita dalam kesunyian, dan etika yang terkait dengan hal itu.
Definisi stoikisme menurut kamus Oxford adalah daya tahan terhadap rasa sakit atau kesulitan tanpa mengeluh. Sementara itu, dalam Stanford Encyclopedia of
Philosophy, stoic diambil dari kata teras (stoa poikilê) dari bahasa Yunani. Disebut demikian karena pengikut aliran ini berkumpul di tangga Agora di Athena, tempat berlangsungnya kuliah stoikisme pada zaman itu. Fakta menarik lainnya, orang Yunani kuno sering memberikan nama pada sekolah filsafat tergantung dari tempat mereka bertemu.
Secara umum, stoikisme dipahami sebagai aliran filsafat yang berpandangan bahwa manusia harus mampu mengontrol emosinya agar bisa bersyukur atas apa yang terjadi. Dalam aliran stoikisme ditekankan prinsip bahwa manusia merupakan makhluk yang mudah dipengaruhi emosi. Karena kondisi itu, manusia sering melupakan hal positif yang diterimanya.
PRINSIP-PRINSIP STOIKISME
Pembahasan tentang suatu aliran filsafat tidak akan jauh-jauh dari pembahasan mengenai prinsip-prinsip yang terdapat di dalamnya. Ada beberapa prinsip utama dalam stoikisme yang bisa kamu pelajari, yaitu :
1. Hidup Selaras dengan Alam.
Jika kamu ingin menikmati kehidupan yang lancar, hiduplah selaras dengan alam. Inilah inti dari ajaran stoikisme. Penganut aliran ini meyakini bahwa alam semesta bersifat rasional.
Zeno mempercayai bahwa setiap manusia memiliki daimon yang membuatnya terhubung dengan alam semesta. Mereka yang menjaga harmoni dengan alam akan mengalami kebahagiaan, demikian pula sebaliknya.
2. Kebahagiaan dari Kebaikan.
Penganut stoikisme percaya bahwa kebahagiaan bisa diperoleh dengan mengejar kebaikan, bukan dari kepemilikan atas benda-benda. Pengejaran tersebut melibatkan ujian keinginan, keengganan, dan dorongan dari hati.
Kebaikan dalam paham stoikisme terdiri atas empat bagian, yaitu kebijaksanaan, pengendalian diri, keadilan, dan keberanian. Dengan mengutamakan kebaikan, manusia bisa hidup lebih bahagia.
3. Mengendalikan Pikiran, Bukan Peristiwa Eksternal.
Ketika seseorang bisa melihat suatu peristiwa eksternal dengan cara pandang yang tepat, ia akan merasa lebih mantap dalam menjalani hidup. Banyak hal yang terjadi sering kali berada di luar kontrol dan bukan tergantung pada seorang individu.
Namun, cara menggunakan akal dan membentuk opini terhadap peristiwa tersebut sepenuhnya dapat dikendalikan.
4. Memiliki Sumber Daya Batin untuk Berkembang.
Penganut stoikisme percaya bahwa setiap orang memiliki sumber daya batin yang dibutuhkan untuk berkembang. Dengan sumber daya tersebut, penganut stoikisme dapat menghilangkan emosi yang beracun dan menggantikannya dengan emosi yang baik dan positif. Manusia tidak dilahirkan dalam kondisi rusak, tetapi telah dilengkapi dengan sumber daya.
5. Tidak Mengeluh dan Menyalahkan Orang Lain.
Prinsip yang dipegang oleh penganut stoikisme adalah tidak mengeluh dan menyalahkan orang lain terhadap apa yang terjadi. Mereka mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi karena percaya pada diri rasional yang bersatu.
Ini berarti bahwa hanya mereka yang dapat membiarkan sesuatu yang buruk terjadi, yaitu karena pilihan dan tindakan diri sendiri.
PENERAPAN STOIKISME
Menerapkan filosofi stoikisme dalam kehidupan sehari-hari dapat membuat kualitas hidup lebih meningkat. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan sebagai wujud penerapan filosofi ini, antara lain :
1. Menyadari Banyak Hal Terjadi di Luar Kendali.
Menganut filosofi stoikisme, seseorang bisa menjadi lebih tenang dan bahagia. Hal ini karena penganut stoikisme percaya bahwa peristiwa eksternal bukan hal yang bisa dikendalikan.
Namun, sikap atau respons terhadap peristiwa itulah yang paling penting. Seseorang tidak perlu merasa bersalah karena apa yang terjadi.
2. Menerima Hal yang Tidak Bisa Diubah.
Penting untuk memahami bahwa ada hal-hal di dunia ini yang tidak bisa diubah. Selaras dengan prinsip stoikisme bahwa tugas manusia adalah mengendalikan pikirannya, bukan peristiwa eksternal.
Dengan demikian, hidup akan menjadi lebih tenang dan bisa ikhlas menerima suatu hal tanpa mempermasalahkannya lebih lanjut.
3. Bersikap Positif Akan Membuat Hidup Lebih Bahagia.
Menurut aliran stoikisme, semua hal yang terjadi di dunia ini sebenarnya natural dan netral. Namun, manusia kerap membumbuinya dengan pandangan dan perasaan diri sehingga menjadi terkesan negatif. Nah, setelah mengetahui hal itu, langkah yang perlu dilakukan adalah memandang suatu peristiwa secara positif sehingga hidup pun lebih bahagia.
4. Memilih Bersikap Baik.
Cara untuk merasakan kebahagiaan dengan prinsip stoikisme adalah memilih untuk bersikap baik kepada sesama manusia. Mengejar kebaikan akan membuat seseorang lebih bahagia ketimbang memiliki barang-barang tertentu.
Dengan cara pandang seperti ini, penganut stoikisme akan lebih mengutamakan tindakan kebaikan kepada orang lain daripada bersikap konsumtif.
MANFAAT STOIKISME
Bukan hanya membuat hidup lebih bahagia dan tenang, stoikisme memiliki beberapa manfaat dan pengaruh bagi kehidupan, yaitu :
1. Membuat seseorang lebih mudah untuk mensyukuri kehidupannya. Hal ini karena seseorang terlatih untuk melihat hal positif daripada hal negatif dari suatu peristiwa atau kejadian.
2. Melatih seseorang untuk mengontrol emosi yang dirasakannya sehingga tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
3. Bersikap lebih realistis terhadap apa yang terjadi dan tidak terbawa emosi.
4. Tidak mudah menyalahkan orang lain atas peristiwa-peristiwa buruk. Penganut stoikisme lebih memilih untuk mengubah cara pandang sehingga peristiwa tersebut.
SELAYANG PANDANG STOIKISME
Stoikisme, juga disebut Stoa (bahasa Yunani: Στοά) adalah sebuah aliran atau mazhab filsafat Yunani kuno yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM. Ada pula yang mencatat stoikisme baru resmi pada tahun 108 SM. Setelah Zeno, orang yang paling berjasa mempertahankan sekolah stoa adalah Kleanthes dari Assos dan Chrysippus dari Soli. Cleanthes menyumbangkan gagasan tentang hubungan etika dengan iman atau teologi. Sedangkan Chrysippus menuliskan 705 buku (90%) literatur sebagai doktrin stoikisme, yaitu telaah tentang perbintangan astronomi.
Ajaran sekolah atau mazhab stoa sangat luas dan beragam, tetapi dapat disimpulkan bahwa pijakannya adalah meliputi perkembangan logika (terbagi dalam retorika dan dialektika), fisika, dan etika (memuat teologi dan politik).Pandangan yang mencolok tentang etika adalah bagaimana manusia memilih sikap hidup dengan menekankan apatheia, hidup pasrah atau tawakal menerima keadaannya di dunia. Sikap tersebut merupakan cerminan dari kemampuan nalar manusia, bahkan kemampuan tertinggi dari semua hal.
Stoikisme populer hingga kurang lebih lima abad (3 SM-3 M), selanjutnya mempengaruhi banyak pemikir Kristen, baik dalam dunia akademis maupun sikap hidup. Fokus filsafat stoikisme adalah dalam bidang etika. Stoa memiliki perbedaan tajam dengan gagasan intelektual tua lainnya, yaitu epikureanisme dan skeptisisme. Stoikisme merupakan aliran filsafat yang paling berhasil dan sangat berpengaruh dalam aliran Filsafat Yunani Kuno karena relevansinya terhadap sikap manusia dan sistem pemerintahan saat itu.
TOKOH-TOKOH STOIKISME
Semenjak Zeno dari Citium mendirikan aliran Stoa atau Stoikismenya, muncul beberapa filsuf lainnya yang menjadi tokoh Stoa, misalnya Chrisippus dari Soli, Cleanthes dari Assos, Seneca Muda, Cicero, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Dalam Kamus Filsafat Cambridge, tokoh dan pandangan Stoa dibagi menjadi 3 (tiga) :
1. Stoa Awal, terdiri dari Zeno (334-262SM), Chrisipus (280-206), dan Cleanthes (331-232).
2 Stoa Perantara (Middle Stoicsm), dikembangkan oleh Panaetius (185-110 SM) dan Posidonius (135-50 SM) dari Rhodes, yang mempengaruhi Cicero (106 SM - 43 M).
3. Stoa Akhir Stoa Romawi (Roman Stoicsm) terdapat Cicero (106 SM -43 M), Seneca Muda (1-65M), Epictetus (55-135M), dan Marcus Aurelius (121-180M).
Catatan :
Tahun-tahun hidup dari tokoh Stoa tidak sama dalam beberapa buku, misalnya jika dibandingkan dalam buku the Stoics, terpapar masa hidup Cleanthes (303-233SM), Epictetus (60-117M), dan Seneca Muda (4SM-65M).
Rupanya Zeno muda telah terinspirasi oleh ajaran etika Socrates, khususnya keberanian Socrates dalam menempuh jalan kematian dengan sukarela. Tindakan ini seolah menjadi gambaran ajaran Stoa dalam etika, bahwa seseorang tidak perlu terbawa emosi negatif (pathos), takut misalnya, tetapi bahagia dengan kemerdekaan penuh, termasuk menerima cara kematian.
Prinsip dan ajaran Stoikisme banyak mempengaruhi pemikiran para teolog Kristen dan filsuf di sepanjang abad, bahkan hingga saat sekarang, dan warisan yang menyolok dari filsafat Stoikisme adalah tentang hidup etis dengan moralitas yang baik, seperti diwarisi oleh beberapa pemikir, yaitu :
1. Baruch Spinoza,
2. Joseph Butler,
3. Immanuel Kant, dan.
4. Helmut Richard Niebuhr.
Menurut filsuf Jerman bernama Dilthey, Stoikisme adalah filsafat terkuat dan terlama yang dapat diterima ketimbang filsafat lainnya.
TOKOH ETIKA MODERN STOIKISME
Tokoh etika terkenal dari Amerika yang sangat dipengaruhi oleh cara berpikir Stoa misalnya H. Richard Niebuhr. Selain Niebuhr membangun diskursus etika yang sangat radikal mengakui peran Ilahi dalam berbagai peristiwa kehidupan dunia yang tampak dalam salah satu karyanya berjudul Radical Monotheism, Niebuhr juga sangat menekankan tindakan manusia untuk tidak secara dikotomis memisahkan unsur-unsur alam secara bertentangan, yang kemudian hanya akan melahirkan permusuhan antar manusia. Niebuhr mengajak manusia menyelaraskan diri terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat dengan tidak panik, tidak melakukan perlawanan yang menghasilkan kekerasan, melainkan mengajak manusia bertindak bertanggungjawab mulai dari diri sendiri.
TENTANG HELMUT RICHARD NIEBUHR
Helmut Richard Niebuhr (1894-1962) adalah seorang etikus Kristen Amerika yang paling terkenal karena bukunya Christ and Culture (Kristus dan Kebudayaan - 1951) dan Radical Monotheism and Western Culture (1960). Richard Niebuhr adalah adik dari teolog Reinhold Niebuhr. Ia pernah mengajar selama beberapa dasawarsa di Sekolah Teologi Yale. Teologinya (bersama dengan teologi rekannya di Yale, Hans Frei) telah menjadi salah satu sumber utama dari teologi pasca-liberal, yang kadang-kadang disebut Aliran Yale.
BIOGRAFI HELMUT RICHARD NIEBUHR
Niebuhr dibesarkan di Missouri, sebagai anak dari Gustav Niebuhr, seorang pendeta di Sinode Injili Amerika Utara. Ia belajar di Elmhurst College dan kemudian Seminari Teologi Eden. Ia ditahbiskan sebagai pendeta di Sinode Injili pada 1916. (Sinode ini bergabung pada 1934 dengan (Gereja Reformasi Jerman di Amerika Serikat), yang belakangan membentuk Gereja Injili dan Reformasi yang bergabung pada 1957 dengan Gereja-gereja Kristen Kongregasional untuk membentuk Gereja Kristus Bersatu (United Church of Christ). Niebuhr mengajar di Seminari Teologi Eden dari 1919 hingga 1931, kecuali selama empat tahun antara 1924 hingga 1927, ketika ia menjabat sebagai Presiden Elmhurst College. Ia mengajar di Yale dari 1931 hingga 1962, mengkhususkan diri dalam teologi dan etika Kristen.
PEMIKIRAN HELMUT RICHARD NIEBUHR
Sepanjang hidupnya Niebuhr menaruh perhatian pada kedaulatan Allah yang mutlak dan masalah relativisme historis. Ia menganggap Karl Barth dan Ernst Troeltsch sebagai pemikir-pemikir yang paling besar pengaruhnya dalam hidupnya. Dari Barth ia menerima neo-ortodoksi dan transendensi mutlak Allah. Ia percaya bahwa Allah berada di atas sejarah, bahwa Ia memberikan perintah kepada manusia, dan bahwa seluruh sejarah berada di bawah kendalinya. Niebuhr sering meminjam dari pemahaman Paul Tillich tentang Allah. Ia bersedia menerima gambaran Allah sebagai Yang Ada itu sendiri (Being-itself), Yang Esa, atau Dasar dari Keberadaan (Ground of Being). Dalam hal ini, Niebuhr berdiri di tengah antara konservatisme dogmatis Karl Barth dengan teologi liberal Paul Tillich.
Niebuhr juga menaruh perhatian pada relativisme historis. Allah bersifat mutlak dan transenden, namun manusia tidak. Manusia adalah bagian dari alur dan gerak dunia. Karena itu, cara-cara dalam memahami Allah tidak pernah kekal. Allah selalu dipahami secara berbeda oleh orang-orang pada waktu yang berbeda dalam sejarah dan dalam lokasi-lokasi sosial yang berbeda pula. Teologi Niebuhr memperlihatkan kepekaan yang besar terhadap cara-cara pengungkapan iman yang berbeda-beda dari satu komunitas keagamaan ke komunitas yang lainnya.
Dari latar belakangnya, Niebuhr adalah seorang etikus. Dalam kapasitas ini, keprihatinannya yang terbesar adalah pada cara-cara bagaimana manusia berhubungan dengan Allah, dengan sesamanya, dengan komunitas-komunitas yang ke dalamnya mereka terhisab, dan dengan dunia. Etika teologis Niebuhr dapat digambarkan sebagai etika relasional. Karya etikanya yang terbesar adalah The Responsible Self (Pribadi yang Bertanggung jawab), yang diterbitkan tak lama setelah kematiannya. Buku ini dimaksudkan untuk menjadi benih bagi buku yang jauh lebih besar tentang etika yang tak pernah ditulisnya karena kematiannya yang mendadak. Dalam The Responsible Self, Niebuhr membahas manusia sebagai agen yang menanggapi. Manusia selalu menanggapi suatu pengaruh, baik Allah, orang lain, komunitas, tatanan alam atau sejarah, atau pribadi mereka sendiri.
Karyanya yang paling terkenal adalah Christ and Culture. Buku ini sering dirujuk dalam diskusi-diskusi dan tulisan-tulisan tentang tanggapan Kristen terhadap dunia sekitarnya. Dalam buku ini, Niebuhr menguraikan sejarah tentang bagaimana agama Kristen telah menanggapi kebudayaan. Ia membentangkan 5 (lima) sudut pandang yang banyak diberlakukan :
1. Kristus Melawan Kebudayaan, Kristus dari Kebudayaan, Kristus di Atas Kebudayaan, Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks, dan Kristus Mentransformasikan Kebudayaan.
2. Kristus Melawan Kebudayaan. Bagi orang Kristen yang eksklusif, sejarah adalah kisah tentang gereja atau kebudayaan Kristen yang bangkit dan peradaban kafir yang sedang menuju kematiannya.
3. Kristus di Atas Kebudayaan. Bagi kaum sintesis, sejarah adalah suatu periode persiapan di bawah hukum, nalar, injil, dan gereja untuk persekutuan akhir antara jiwa dengan Allah.
4. Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks. Bagi yang dualis, sejarah adalah masa pergumulan antara iman dan ketidakpercayaan, masa antara pemberian janji kehidupan dan penggenapannya.
5. Kristus Mentransformasikan Kebudayaan. Bagi kaum konversionis, sejarah adalah kisah tentang perbuatan-perbuatan besar Allah dan tanggapan manusia terhadapnya. Kekekalan, bagi kaum konversionis, tidak terutama dipusatkan pada tindakan Allah sebelum waktu atau kehidupan bersama Allah setelah waktu, melainkan lebih pada kehadiran Allah di dalam waktu. Karena itu, kaum konversionis lebih prihatin dengan kemungkinan ilahi dalam pembaruan masa kini daripada dengan pelestarian dari apa yang telah diberikan dalam ciptaan atau mempersiapkan untuk apa yang akan diberikan dalam penebusan akhir.
KARYA-KARYA HELMUT RICHARD NIEBUHR
1. The Social Sources of Denominationalism (1929)
2. The Purpose of the Church and Its Ministry (1956)
3. The Kingdom of God in America (1937)
4. The Meaning of Revelation (1941)
5. Christ and Culture (1951)
6. Radical Monotheism and Western Culture (1960)
7. The Responsible Self (1962)
8. Faith on Earth: An Inquiry into the Structure of Human Faith (1989).
INTI AJARAN STOIKISME
Orang-orang Stoik percaya bahwa emosi negatif yang menghancurkan manusia dihasilkan dari keputusan yang salah, dan bahwa seorang sophis, yaitu orang yang memiliki "kesempurnaan moral dan intelektual," tidak akan pernah mengalami emosi-emosi yang merusak kebahagiaan, misalnya marah berlebihan, panik berlebihan, sedih berlebihan, dsb. Seorang Stoik, seperti kata Epictetus hendaknya tidak banyak bicara tentang ide-ide besar, apalagi kepada orang-orang awam, melainkan bertindak selaras dengan apa yang dipikirkannya tentang kebaikan. Hal ini dibedakan dengan istilah filsuf atau filosof (pecinta kebijaksanaan) yang hanya menyukai ide-ide kebijaksanaan, tetapi biasanya gagal melakukan ide-ide kebijaksanaan itu (sophia). Stoikisme adalah cara hidup yang menekankan dimensi internal manusia, seorang Stoik dapat hidup bahagia ketika ia tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya. Di mata kaum Stoa, Logos Universal (Sang Ilahi) adalah yang menata alam semesta ini dengan rasional, senegatif apa pun kejadian yang menimpa, seorang Stoa yang bijak akan melihat kejadian tersebut sebagai bagian dari tenunan indah ilahi atau Logos. Ia akan menyesuaikan kodrat rasional dirinya sebagai manusia dengan hukum alam (hukum sebab akibat) dari Alam Semesta.
Landasan ajaran Stoa meminjam tiga elemen filsafat yang berkembang di Akademia yang didirikan oleh Aristoteles yakni logika atau rasio, materi atau fisika, dan etika. Tema-tema yang sering dibicarakan terkait dimensi manusia sebagai fokus utama, di antaranya mengenai takdir, kehendak bebas, pemeliharaan Ilahi, dan kejahatan.
Ajaran Stoa yang paling menonjol adalah bagaimana manusia bertindak menurut keteraturan hukum alam yang diselenggarakan yang Ilahi. Kleanthes menulis beberapa versi dalam ekspresi gamblang sebuah daya tarik elemen yang didesakkan oleh imannya,
“ἄγου δέ μ', ὦ Ζεῦ, καὶ σύ γ' ἡ πεπρωμένη,
ὅποι ποθ' ὑμῖν εἰμι διατεταγμένος: ὡς ἕψομαί γ' ἄοκνος· ἢν δέ γε μὴ θέλω κακὸς γενόμενος, οὐδὲν ἧττον ἕψομαι.
Terjemahan harfiah dalam bahasa Indonesia :
Bimbing aku, oh Zeus, bimbing aku, wahai penciptaku Hingga di tempat di mana Engkau akan menghantarku Aku tidak akan lari darimu, namun mengikutimu, dan seandainya hatiku berontak, Aku tetap akan ikut dikau (Kleanthes dari Assos).
Sikap hidup yang menyelaraskan diri dengan kehendak ilahi yang tampak dalam sikap hidup menyelaraskan diri dengan keteraturan alam ini disebut sebagai etika katekontik. Dalam Stoa mula-mula, ajaran Stoa selalu melibatkan peran dewa-dewa dalam miologi Yunani Kuno. Demikian para pemikir etika Kristen yang dipengaruhi filsafat Stoa juga selalu melibatkan Allah dalam konstruksi etikanya.
ETIKA KATEKONTIK
Menurut para Stoik, manusia adalah binatang bernalar, nalar (reason) itu didapatinya dari Yang Ilahi, dan dengan nalar itu, manusia menjadi elemen terpenting bagi Sang Ilahi untuk menyelenggarakan keteraturan dunia. Namun, manusia bukan satu-satunya elemen, ia hanya salah satu bagian dari semesta, ia hanya salah satu organ saja. Eksistensi manusia selalu terkait dengan eksistensi pihak lain, merusak tatanan semesta berarti merusak atau mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Seorang bijak sejati -orang yang hidupnya selaras dengan ide-ide yang ia pelajari-, hendaknya dalam hidup mencari pemenuhan kebutuhan, tidak melupakan relasinya terhadap pihak lain, termasuk Yang Ilahi sebagai penyelenggara tunggal dunia. Seorang yang bijak harus sadar bahwa ia hanya bagian dari rangkaian tak terpisahkan keteraturan dunia, bahwa ia setara posisinya dengan ciptaan lain, dan kepentingan dirinya harus terintegrasi terhadap kepentingan orang atau pihak lain itu. Perspektif kosmik (kesadaran akan alam) harusnya membayangi kehidupan pribadi, walau tidak menggantikannya secara keseluruhan. Rasio atau nalar manusia harus terintegrasi terhadap penyelenggaraan kosmis Ilahi. Jika seseorang bertindak selaras (katekontik) sebagai tindakan yang sejati (katorthomata) sebagai tindakan yang tepat, ia akan merasa bahagia, merdeka, bertindak secara tepat dalam kebaikan, dan hidup dalam harmoni yang sempurna.
STOIKISME DAN POLITIK YUNANI
Tokoh-tokoh Stoa atau para Stoik, dalam etika politik terbagi dalam dua golongan, yang anti-politik atau menjauhi keterlibatan politik, dan yang terlibat aktif dalam politik. Kedua kelompok tersebut memiliki pandangan yang berbeda. Bagi yang menjauhi dunia politik, alasan mereka adalah karena muak dengan perilaku elit politik, dan meyakini bahwa hukum yang patut ditaati bukanlah hukum negara, melainkan hukum alam yang diatur oleh sang ilahi. Selain itu, mereka masih sangat dipengaruhi oleh aliran Sinisisme yang mengecam keras pemerintahan tiran kala itu. Sedangkan yang memilih terlibat dan berkarier dalam dunia politik, Cicero misalnya, mengatakan bahwa tugas politik terdapat tugas suci yang dibebankan oleh Tuhan kepada manusia, ganjarannya adalah sorga. Dalam relasi dengan manusia lain, kita tak butuh hukum politik, tetapi harus hidup dalam persahabatan dan kekeluargaan dengan semua makhluk, seperti kutipan Plutarch (Moralia, 329A) dari Politeia karya Zeno.
Kita seharusnya hidup tidak dalam kota-kota atau wilayah yang terorganisasi, masing-masing kelompok dibedakan oleh pandangan kebaikan sendiri, tetapi seharusnya berpikir semua orang adalah warga dan anggota, dan seharusnya ada satu jalan hidup dan satu tatanan, seperti segerumbul rumput menyatu di padang Zeno dari Citium
Alasannya sederhana, para Stoik awal menolak sistem pemerintahan kala itu, pemerintahan yang sangat tirani. Para Stoik awal juga menolak sistem dan ajaran pendidikan yang mengabaikan pentingnya hidup bersama dalam persahabatan, persaudaraan, dan anti permusuhan. Setiap sistem politik agaknya mereka tolak, bahkan penggunaan mata uang pun mereka tidak anjurkan.
Sedangkan para Stoik yang kemudian, misalnya Cicero, Seneca Muda, dan Markus Aurelius justru terlibat dalam kancah politik, Cicero adalah salah satu anggota dewan Kota, Seneca pernah jadi penasihat Kaisar Nero, dan Marcus Aurelius adalah seorang Kaisar. Jadi, Stoa memang memiliki paradoks ajaran dalam berpolitik, ada yang anti-politik, dan ada pula yang justru dalam lingkaran politik.
Bagi Seneca, Cicero, dan Marcus Aurelius, seseorang yang memiliki jabatan politik harus memiliki integritas diri. Pemerintahan yang baik seharusnya bukan hanya dihuni orang-orang yang tahu kebijaksanaan -seperti pernah digagas oleh Plato dalam sistem pemerintahan Aristokrasi-, melainkan harus juga seorang sophis, yaitu orang yang benar-benar melakukan kebijaksanaan. Marcus Aurelius sendiri mengarang buku berjudul Meditations hingga 4 jilid yang berisi pentingnya seorang pejabat publik melakukan perenungan diri supaya dalam memerintah ia memiliki ketenangan batin, dan berjiwa pengorbanan. Jadi, Stoa memang memiliki paradoks ajaran dalam berpolitik, ada yang anti-politik, dan ada pula yang justru dalam lingkaran politik.
ETIKA STOIKISME
Etika Stoikisme berpijak pada prinsip bahwa kebajikanlah (virtue) yang baik, selain hal itu, buruk adanya. Hal-hal lain sifatnya netral saja (Inggris: indifferent, Yunani: adiaphora), walaupun beberapa di antaranya, misalnya kesehatan, kemakmuran, kehormatan secara alamiah dianjurkan, sedangkan yang berseberangan dari itu tidak dianjurkan. Misalnya, kepemilikan pribadi sama sekali tidak dianjurkan karena tidak selaras dengan prinsip manusia yang ingin bahagia. Jika manusia tidak sadar terhadap godaan hal-hal yang netral itu, ia dapat terjebak pada tindakan menghalalkan cara untuk mencapai hal-hal yang netral, atau ia justru tidak bahagia ketika diperalat hal-hal yang netral itu. Misalnya, seseorang yang mengejar harta benda terus menerus, sesungguhnya ia tak lagi dapat bahagia, karena dirinya telah dikuasai hal-hal yang seharusnya tidak merintanginya untuk berbahagia. Pertarungan paling sengit adalah mengenai kebijaksanaan dan pengendalian diri manusia melawan kesenangan pribadi.
Selain Stoa menolak pengaruh hal-hal yang bersifat eksternal (kekayaan, kesehatan, reputasi), Stoa juga menolak pengaruh hal-hal yang membengkokkan nalar, misalnya takut terhadap kematian, takut kepada Dewa atau Tuhan, dan peristiwa-peristiwa buruk yang akan mengganggu kebahagiaan. Caranya adalah, bukan memutus hubungan terhadap hal-hal yang menakutkan itu, melainkan dengan meluruskan nalar kita supaya tidak dikendalikan oleh emosi-emosi yang muncul dari hal-hal itu. Kebahagiaan tidak dapat direnggut oleh peristiwa-peristiwa tersebut, walaupun kita tidak dapat mengendalikan semua peristiwa di tangan kita. Dengan memperbaiki nalar, kita mampu mengendalikan perilaku kita dalam menghadapinya. Ketakutan ketika menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak kita harapkan sebenarnya lebih besar daripada akibat-akibat menakutkan yang akan ditimbulkan peristiwa-peristiwa itu sendiri.
STOIKISME DALAM FILOSOFI HIDUP UNTUK MENDAPATKAN KEBAHAGIAAN
Siapa yang tidak ingin bahagia? Pasti semua orang ingin merasakan kebahagiaan terus menerus dalam hidupnya. Namun, kebahagiaan tidak akan datang dengan sendirinya dan tidak bisa dikendalikan, maka dari itu kita harus bisa menciptakan cara agar dapat bahagia. Kalau berbicara tentang kebahagiaan, sangat erat dengan fokus terhadap hal yang kita tidak bisa kendalikan, contohnya seperti tanggapan dari orang lain.
Kini, banyak orang lebih sering fokus ke hal yang tidak bisa kita dikendalikan, daripada yang bisa dikendalikan. Hal tersebut sulit untuk memunculkan kebahagiaan, karena kunci untuk memiliki hidup bahagia adalah memusatkan diri pada hal-hal yang bisa dikendalikan dan bukan sebaliknya. Untuk memiliki kebahagiaan yang nyata, ada ilmu yang mengkaji hal seperti itu. Namanya adalah stoik/stoikisme yang merupakan bagian dari ilmu filsafat.
STOIKISME
Stoikisme adalah sebuah ilmu filsafat dari jaman Yunani Kuno yang didirikan oleh Zeno dari Citium pada awal abad 3-SM. Stoikisme dapat dibilang merupakan salah satu ilmu filsafat pertama yang memiliki sifat universal, karena para filsuf sebelumnya selalu memandang Yunani sebagai bangsa dengan peradaban tertinggi.
Menurut filosofi stoikisme, semua hal dalam hidup bersifat netral, tidak ada yang baik dan tidak ada yang buruk. Hal-hal yang menjadikan baik atau buruknya suatu hal adalah interpretasi kita terhadap hal tersebut. Para filsuf stoik menganggap bahwa kebahagiaan itu tidak seharusnya dikejar, dan diharuskan lebih fokus untuk mengurangi emosi negatif yang dimiliki, sehingga dapat lebih mampu untuk mengendalikan perilaku dalam menghadapi emosi tersebut.
Menurut konsep stoikisme, untuk menuju hidup bahagia didasarkan pada beberapa prinsip, yaitu memiliki kemampuan untuk melihat diri sendiri dan manusia lain secara objektif, mencegah diri sendiri agar tidak dikendalikan oleh rasa ingin bahagia atau takut terhadap rasa sakit dan penderitaan, serta membuat perbedaan antara kekuatan yang ada dan tidak ada. Dapat dipelajari dari konsep ini bahwa kita tidak bisa mengendalikan apapun yang terjadi dari luar diri, dan kita sebaiknya fokus untuk mengendalikan yang bisa kita kendalikan.
CARA MEMBENTUK POLA PIKIR STOIKISME
Untuk dapat menerapkan pola pikir stoikisme, ada beberapa cara agar kamu bisa membentuk pola pikir tersebut.
Ada beberapa cara :
1. Membedakan Hal yang Bisa Diubah dan Tidak Bisa Diubah.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam stoikisme kita tidak bisa mengendalikan hal yang terjadi di luar kendali dan mengendalikan yang bisa dikendalikan. Daripada memikirkan hal-hal yang tidak bisa dicapai, sebaiknya memikirkan hal yang dimiliki sekarang dan mensyukurinya.
2. Biasakan Diri untuk Menyusun Jurnal.
Dengan menyusun jurnal harian, maka kita bisa membekali diri dengan kejadian di masa lampau dan menjadi lebih baik serta bahagia di masa datang. Jurnalnya bisa diisi dengan hal seperti pengalaman pribadi, kata-kata, maupun mengutip kata-kata bijaksana.
3. Mempersiapkan Diri dan Sabar dalam Menghadapi Masalah.
Hidup tidak selalu bahagia dan pasti akan ada momen di mana akan ada saatnya mengalami rasa terpuruk atau terjatuh. Dalam ilmu stoikisme pun harus siap dengan pandangan bahwa hidup tidak mungkin akan selalu menyenangkan dan nyaman.
Banyak momen buruk yang mungkin akan menghampiri kita, maka dari itu berusahalah mempersiapkan diri untuk menghadapi momen tersebut, dan membiasakan diri untuk tetap kuat dalam menghadapi skenario terburuk yang bisa terjadi.
4. Setiap Hal Buruk yang Hadir Merupakan Sumber Kebahagiaan.
Hidup akan terasa sulit jika kita hanya berfokus kepada kesulitannya saja. Jadi daripada memikirkan hal yang buruk, alangkah baiknya jika kita lebih banyak memikirkan tentang hal baik. Dalam konsep stoikisme, kebahagiaan tidak datang sendiri, namun harus diciptakan. Jadi, ada baiknya lebih banyak memikirkan hal yang membahagiakan saja.
5. Kita Semua Hanya Butiran Kecil di Alam Semesta.
Inti dari konsep stoikisme itu sederhana, yaitu kita semua hanya makhluk yang sangat kecil di alam semesta ini. Begitu pula hal-hal negatif yang kita hadapi, semuanya seperti butiran kecil. Jadi, kenapa tidak mengganti hal-hal negatif itu menjadi hal-hal lebih baik yang akan membawa kebahagiaan untuk diri sendiri.