ISLAM KEJAWEN
Islam kejawen sudah sejak lama menjadi bagian dari masyarakat Jawa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Bagi masyarakat Jawa, Islam kejawen memiliki nilai kebudayaan, filosofis, dan antropologis sekaligus. Kepercayaan yang berakar sejak zaman nenek moyang ini juga menjadi bagian dari kepribadian bangsa Indonesia yang memiliki sisi menariknya tersendiri.
Kejawen dalam arti harfiah bermakna kepercayaan Jawa. Lebih lanjut, istilah ini merujuk pada segala hal yang memiliki hubungan dengan kepercayaan maupun adat-istiadat yang berkembang di masyarakat Jawa. Dari segi filsafat, kejawen menghadirkan ajaran-ajaran tertentu yang tujuannya menggiring manusia untuk memiliki tata krama, nilai-nilai luhur, serta cara pandang ketuhanan yang beradab.
Dengan masuknya berbagai aliran keagamaan di masyarakat Jawa dalam rentang periode yang lama, kepercayaan kejawen mengalami akulturasi dengan berbagai agama lain. Salah satu aliran yang paling populer adalah Islam kejawen. Aliran kepercayaan ini memadukan nilai-nilai agama Islam dengan kebudayaan asli yang telah dimiliki masyarakat Jawa sejak dahulu kala.
Islam kejawen sudah sejak lama menjadi bagian dari masyarakat Jawa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Bagi masyarakat Jawa, Islam kejawen memiliki nilai kebudayaan, filosofis, dan antropologis sekaligus. Kepercayaan yang berakar sejak zaman nenek moyang ini juga menjadi bagian dari kepribadian bangsa Indonesia yang memiliki sisi menariknya tersendiri.
Di sini, kita bisa mengerti lebih dalam apa yang dimaksud dengan kejawen dan macam-macam Islam kejawen yang berkembang. Pahami pula konsep ketuhanan yang diajarkan serta proses bagaimana kepercayaan ini menyebar di tengah-tengah kehidupan masyarakat Jawa.
MEMAHAMI FILOSOFI ISLAM KEJAWEN
Kejawen dalam arti harfiah bermakna kepercayaan Jawa. Lebih lanjut, istilah ini merujuk pada segala hal yang memiliki hubungan dengan kepercayaan maupun adat-istiadat yang berkembang di masyarakat Jawa. Dari segi filsafat, kejawen menghadirkan ajaran-ajaran tertentu yang tujuannya menggiring manusia untuk memiliki tata krama, nilai-nilai luhur, serta cara pandang ketuhanan yang beradab.
Dengan masuknya berbagai aliran keagamaan di masyarakat Jawa dalam rentang periode yang lama, kepercayaan kejawen mengalami akulturasi dengan berbagai agama lain. Salah satu aliran yang paling populer adalah Islam kejawen. Aliran kepercayaan ini memadukan nilai-nilai agama Islam dengan kebudayaan asli yang telah dimiliki masyarakat Jawa sejak dahulu kala.
PERKEMBANGAN ISLAM KEJAWEN
Seiring penyebarannya di masyarakat Jawa, Islam kejawen berkembang menjadi ratusan aliran dan cabang. Beberapa aliran yang masih bertahan hingga saat ini adalah Sapta Dharma, Abangan, Sumarah, Maneges, Pangestu, Kawruh Begia, dan Padepokan Cakrakembang.
Macam-macam Islam kejawen juga dapat dilihat dari keilmuan yang dipelajari oleh para pengikutnya. Cabang keilmuan tersebut meliputi :
1. Ilmu Kanuragan atau Ilmu Kebal yang merupakan ilmu kekuatan serta bela diri dengan melibatkan kekuatan supernatural.
2. Ilmu Kawibawaan atau Pengasihan yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi kejiwaan manusia. Ilmu ini kerap digunakan untuk menciptakan wibawa atau menarik perhatian orang lain dalam hal asmara.
3. Ilmu Trawangan dan Ngrogosukmo, yakni dua tingkatan ilmu yang berhubungan dengan mata batin. Pemilik ilmu Trawangan mampu menajamkan mata batinnya, sedangkan mereka yang sudah mampu mencapai tingkatan Ngrogosukmo akan memiliki kemampuan untuk melepaskan rohnya demi tujuan tertentu.
KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM KEJAWEN
Menurut kepercayaan Islam kejawen, Tuhan digambarkan berada pada hidup manusia dan hidup manusia merupakan bagian dari sifat tuhan. Jadi, dapat dikatakan jika unsur jasmani dan rohani manusia berasal dari Tuhan.
Kepercayaan ini juga meyakini bahwa ada paham kesatuan antara manusia dan Tuhan. Manusia berasal dari Tuhan, maka mereka harus berusaha untuk dapat kembali dengan Tuhan. Paham tersebut dikenal dengan konsep manunggaling kawula gusti, yaitu bersatunya manusia dan Tuhan. Kesatuan kembali antara manusia dan Tuhan di dunia bisa dicapai melalui penghayatan mistik dengan jalan semedi.
Selanjutnya, hubungan antara manusia dan tuhan disebut roro ning tunggal, atau dua menjadi satu: Tuhan yang wajib disembah dan manusia yang wajib menyembah. Konsep ini berbeda dengan ajaran Al-quran.
Tuhan dalam Al-quran bersifat transenden, yakni berada di luar dan mengatasi alam semesta. Sementara itu, Islam kejawen menganggap Tuhan bersifat imanen, yakni berada di dalam diri manusia. Al-quran mengajarkan paham tanzih yang menyucikan Tuhan dari keserupaan dengan makhluknya, sedangkan kejawen menganut konsep tasywih yang berarti keserupaan atau pembauran antara manusia dan Tuhan.
AJARAN ILMU MAKRIFAT
Islam kejawen juga berkaitan erat dengan ajaran ilmu makrifat. Namun, tidak semua orang boleh mengetahui ajaran ilmu ini. Sesuai dengan kepercayaan leluhur kejawen, tidak sembarang orang boleh diajari atau mempelajari ilmu ini karena sangat dirahasiakan.
Kata makrifat sendiri berasal dari bahasa arab yang artinya mengenal atau mengetahui. Jika ditelusuri lebih jauh, maknanya berarti mengenal atau melihat dzat tuhan secara langsung dengan perantaraan mata hati. Jadi, bisa disimpulkan jika makrifat bukan dilakukan dengan perantaraan kesimpulan pemikiran dan bukan berdasarkan atas dalil kitab suci.
Penamaan ilmu makrifat sebenarnya berasal dari ajaran tasawuf. Ajaran ini juga mengajarkan empat tingkat hal: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat seluruhnya termasuk ke dalam perbendaharaan kepustakaan kejawen. Ajaran tersebut selanjutnya menjadi sembah catur, yang terdiri dari sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.
Ilmu makrifat dianggap sebagai ngelmu kasampurna, yakni ilmu yang membuat hidup manusia menjadi sempurna. Ilmu ini diajarkan dengan upacara tertentu dan sesajian sebagai kelengkapannya.
ISLAM KEJAWEN DI KEHIDUPAN MASYARAKAT JAWA
Masuk dan tersebarnya Islam kejawen di masyarakat Jawa tak lepas dari kepercayaan para leluhur. Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Nusantara, khususnya di tanah Jawa, kepercayaan animisme dan dinamisme berkembang pesat. Masyarakat Jawa dari berbagai kasta dan kalangan meyakini adanya roh nenek moyang serta kekuatan magis yang terdapat pada benda, tumbuhan, binatang, dan apa pun yang dianggap memiliki daya sakti.
Seiring waktu, agama dan kebudayaan Hindu masuk dan menyebar dari kaum bangsawan ke golongan awam. Kaum cerdik cendekia yang paham sansekerta kemudian menulis aksara menjadi bahasa Jawa hingga melahirkan kepustakaan Jawa yang terhubung dengan kepercayaan kejawen. Dengan adanya pustaka ini, masyarakat kian mudah menyesuaikan dengan hal baru.
Saat Kerajaan Majapahit runtuh, ajaran Islam menyebar. Namun, kepercayaan animisme dan dinamisme tetap tidak menghilang. Kondisi tersebut akhirnya memunculkan Islam kejawen, yakni ajaran Islam yang berpadu dengan mistikisme Jawa.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, Islam kejawen dalam kehidupan Jawa dianggap sebagai bagian dari kepribadian bangsa Indonesia.
MANUSIA MENURUT ISLAM KEJAWEN
Kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari didunia ini adalah :
Dimana-mana ada manusia, kita sendiri juga mahluk manusia yang tinggal disebuah tempat dari belahan bumi.
Sejak kecil kita bergaul dengan ibu, ayah, kakak, adik, nenek, kakek, saudara, tetangga, teman, yang semuanya mahluk manusia.
Kemanapun kita berada, pergi dan berurusan, tentu berhubungan dengan bangsa kita sendiri, yaitu sama-sama bangsa manusia.
Sebagai orang yang punya perasaan instinktif dan pikirannya selalu jalan, hati kecilnya tentu bertanya : Didunia ini ada begitu banyak manusia yang menjalani kehidupan diberbagai tempat, dikota, didesa, dibeberapa benua, negara, didaerah tropis maupun dipinggir kutub, ada pemukiman manusia.
Perjalanan waktu dan sejarah telah menunjukkan perkembangan manusia, sejak masa primitif sampai era modern ini.Kehidupan telah menunjukkan bahwa mahluk manusia dan mahluk-mahluk lain yang berbadan fisik seperti bermacam hewan, berkembang dan beranak pinak melalui perantaraan induk yang dibuahi pejantannya.
Pada manusia, dengan bunga-bunga kalimat sastra, dikisahkan melalui paduan kasih seorang wanita dan pria terkasihnya, istri dengan suami, terlahirlah buah cinta yang disebut bayi.
PERKEMBANGAN NAMA MANUSIA
Pada zaman dahulu kala, manusia berkomunikasi antar sesama melalui perasaan dan pikiran, istilah asingnya : through their mind. Pada masa mula-mula manusia dibumi, perasaan dan pikiran (mind) para nenek moyang bangsa manusia sangatlah peka, tajam sekali. Dengan melalui rasa dan pikiran dan saling melihat saja, mereka bisa saling mengerti.Memang, dizaman mula tersebut, kekuatan telepati manusia tajam sekali. Ini juga satu anugerah dari alam, dari Gusti.
Lece.
Kemudian, mulai muncul bahasa isyarat, lalu secara bertahap, suara yang keluar dari mulut semakin teratur dan lama-lama bisa dikendalikan sehingga sinkron dengan kehendak yang dikendalikan otak.
Menurut Kejawen, mahluk manusia dimasa itu disebut : Lece, dimana komunikasi masih dengan bahasa isyarat dan lengkingan-lengkingan suara yang belum teratur.
Mudita.
Mudita adalah sebutan untuk orang, ketika orang sudah bisa menyebutkan nama barang-barang yang ada didunia ini dan selanjutnya muncul kata-kata sifat.
Kata-kata yang mulai dipakai adalah benda-benda yang ada disekitarnya, seperti : aku, kamu, nama-nama makanan seperti juwawut, padi; nama-nama buah-buahan, nama-nama binatang seperti ikan, burung, kambing, sapi dsb. Lalu dikenal nama-nama benda alam seperti : tanah, bumi, matahari, langit, air, api, bulan, bintang, angin dsb. Sesudah itu kata-kata yang berhubungan dengan rasa seperti : panas, dingin, terang, gelap, enak, sakit, manis, pahit, kecut, asin dsb.
Jadi sejak ada Mudita, bahasa mulai berkembang. Rupanya, mudita telah diberi kuasa oleh Sang Pencipta, Tuhan, untuk memberi nama semua hal yang ada dialam ini. Orang-orang tua kita berkata, kalau tidak ada mudita , tak ada kata-kata dan bahasa: Kabeh ora kocap. Segala hal tak terucapkan.
Manusia.
Pada perkembangan lebih lanjut, mudita disebut manusia, yaitu mahluk yang punya malu.
Manusia dari manuswa. Manu artinya malu dan swa artinya hewan. Seseorang yang tidak punya rasa malu dikatakan berwatak seperti hewan.
Rupanya peradaban mulai meningkat, manusia punya malu, tidak seperti hewan.
Wong, Wahong.
Menurut pemahaman Kejawen, ketika orang sudah disebut manusia, budaya dan peradaban berkembang lebih cepat.
Ada orang-orang tua bijak yang tajam dan bening rasa hatinya. Melalui mereka, manusia menerima pembelajaran kembali tentang esensi kehidupan.
Manusia, semua mahluk, tetumbuhan, benda dibumi, tidak bisa dipisahkan keberadaannya dari alam, karena merupakan bagian alam.Untuk itu, sejak dulu manusia sadar untuk harus melestarikan, menjaga, merawat alam ini sebaik-baiknya, karena tanpa alam tidak ada eksistensi manusia dibumi ini. Kalau bumi dan alam rusak, hidup dan eksistensi manusia terancam. Ini sebenarnya adalah sebuah pemahaman klasik.
Alam raya beserta segala isinya termasuk manusia berada dalam keadaan seperti ini, setelah melalui proses yang teramat panjang. Keberadaan alam beserta isinya termasuk umat manusia karena dikehendaki dan dicipta oleh Sang Pencipta Alam, yang dalam perkembangannya dipuja dengan asma: Gusti, Pangeran, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Welas Asih ( dan tentu nama-nama Tuhan dalam berbagai agama dan bahasa).
Menurut pemahaman Kejawen, manusia sebelum terlahir didunia ini dengan perantaraan ibu dan bapak, adalah suksma, spirit yang berada dialam asal muasal dibawah kuasa langsung Gusti.
Jadi, manusia adalah suksma, spirit yang memakai pakaian raga fisik dan raga halus untuk menjalani kehidupan didunia ini.Dewa -dewi adalah juga mahluk ciptaan Tuhan yang berujud spirit, yang esensinya adalah cahaya, sama dengan esensi suksma. Oleh karena itu, pinisepuh Kejawen menyebut orang : Wahong, artinya anak keturunan atau berasal dari dewa.Dalam perkembangan bahasa, kata wahong berubah menjadi wong, artinya orang. Lalu kita sering mendengar ungkapan : wong Jawa, wong Sunda, wong Indonesia, wong Asia, wong Amerika dsb.
Tiyang, Ti Hyang.
Dalam bahasa Jawa krama inggil, bahasa halus, wong adalah tiyang dari kata Ti Hyang, berasal dari dewa, spirit.
Dalam kehidupan ini, sangat sedikit orang yang menyadari bahwa dia itu sebenarnya adalah suksma/roh yang berpakaian badan kasar dan badan halus. Padahal ini adalah pemahaman kunci bagi Kejawen dan spiritualitas universal.
Kenalilah dirimu yang sejati.
Pada umumnya, dikarenakan pengaruh kuat dari keperluan materi dan duniawi dalam kehidupan ini, banyak orang yang lupa kehidupan sejati, tidak tahu asal muasalnya dan esensi hidupnya.
Yang hidup adalah suksma/roh yang berada dibadan orang. Kalau suksma/roh kembali ke asal muasal karena berbagai alasan, maka orang itu mati. Sedangkan suksma tetap hidup dan kembali pulang ketempat asal muasal dialam kelanggengan, ada yang memberi istilah : kembali ke haribaan Tuhan.
Tuhan juga tak berwujud fisik, Beliau adalah Sang Pencipta, Sang Suksma Agung.
Yang bisa berkomunikasi dengan cara terhalus dengan Gusti, Sang Suksma Agung, adalah suksma yang berada diraga manusia. Oleh karena itu, seorang manusia seharusnya mengenali diri sejatinya, pribadi sejatinya, yang adalah suksma.
Itulah sebabnya kenapa para spiritualis, orang-orang bijak sering berkata : Kenalilah dirimu sendiri, istilah asingnya Know thyself.
Orang akan memahami dan mengalami kehidupan didunia dengan tentram bahagia (dan tidak larut arus kehidupan yang tidak baik dengan berebut harta, kekuasaan dan berbagai macam akal-akalan yang tidak baik); sesudah dia bisa akrab dengan suksma-nya, yang adalah diri sejatinya, Sang Pribadi, istilah asingnya Higher Self.
Itulah yang dikatakan orang yang telah mendapatkan pencerahan secara spiritual, telah akrab dengan Sang Suksma, Pribadi Sejati, Higher Self, selalu akan sadar akan misi hidupnya dari Gusti, Tuhan, Sang Suksma Agung.
Hidupnya didunia pasti membawa misi yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan jagat ini.
Kenapa suksma berada didunia?
Ini pertanyaan yang menggelitik, yang sejak dulu tidak henti-hentinya dilontarkan.
Suksma mendapat kesempatan dari Tuhan untuk berkiprah didunia dan menjalankan suatu misi, suatu tugas yang mesti dilaksanakan sebaik-baiknya sampai tuntas.
Ungkapan yang lebih lugas menyatakan : Suksma harus sekolah didunia.
Sayangnya, Sang Suksma ketika sudah sampai dibumi dan berujud manusia, menemui banyak hambatan dan goda dalam menjalankan misinya. Hubungan sang suksma dengan kendaraan yang dipakainya, manusia dengan egonya, tidak sinkron. Ini disebabkan si manusia terlalu didominasi oleh elemen-elemen duniawi , maunya hanya memenuhi keinginan materi dan duniawi yang penuh nafsu, meninggalkan esensi spiritualnya.
Menyiasati hal ini, pinisepuh Kejawen tidak bosan-bosannya mengingatkan : Eling lan waspada- Sadar dan waspadalah, siapa dirimu sebenarnya dan apa tugas sejatimu didunia.
Hidup bagai roda berputar.
Ajaran Timur termasuk Kejawen mempercayai bahwa kehidupan seseorang itu seperti roda yang berputar, istilah kebatinannya : Cakra manggilingan.
Artinya, satu saat suksma turun menetap sementara didunia, pada saat lain dia berada dialam suksma, lalu dapat tugas lagi dibumi dan seterusnya ,selalu berputar.
Jadi, spiritualitas Timur percaya kepada adanya inkarnasi dan reinkarnasi.
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah hidup bagai roda, cakra manggilingan diartikan : Jalan hidup seseorang ,satu ketika bisa susah, lain kali mengalami masa jaya, makmur.
Perjalanan suksma, berasal dari mula-mula, kemudian dapat tugas dari Tuhan untuk tinggal dibumi, lalu kembali lagi ke alam mula-mula alamnya suksma, itu merupakan perjalanan yang benar.
Karena ada banyak suksma, sesudah orangnya meninggal, tidak mulus kembali kealam mula-mula. Dia nyasar pulangnya, karena telah membuat kesalahan fatal ketika berada didunia. Dia telah berbuat/membiarkan terjadinya perbuatan yang tidak baik dan melakukan dosa.
Mengenai hal ini, akan kita kupas kemudian.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas dan jelas, kita akan membicarakan tentang terjadinya jagat raya dan bumi ini, tempat mahluk manusia bertempat tinggal.
KODRAT MANUSIA.
Lebih dari ribuan tahun lalu, para ahli pikir Yunani beranggapan bahwa manusia itu adalah hewan yang berakal (animale rationale). Dengan demikian, hakikat jiwa adalah kesadaran atau rasio yang terperangkap badan (jasmani). Keadaan ini mendorong filosof Barat, Arthur Schopenhauer (1788-1868) memunculkan gagasannya tentang esensi atau hakikat manusia. Menurutnya, manusia lahir dari kehendak buta.
Dengan pandangan tersebut, manusia sama dengan menerima nasib secara pasif total. Seakan-akan manusia hadir karena paksaan dari luar dirinya. Maksudnya, bahagia atau menderita, enak atau tidak enak bukan karena usaha manusia melainkan takdir yang menimpa.
Dalam Syekh Siti Jenar (Serambi, 2001), membahas kodrat dari sisi kuasanya dalam pembentukan jasmani. Bukan kodrat manusia yang mencakup nasib hidupnya. Jika kodrat dalam sisi jasmani untuk menyempurnakan kehidupan jasmani, dari sisi kejiwaan juga untuk penyempurnaan jiwa agar Sang Diri bisa kembali lagi kepada-Nya.
Ajaran Syekh Siti Jenar yaitu: "Sapa weruh kembang tepos kaki, sasat weruh reke artadaya, tunggal pancer sesantine, sapa weruh ing panuju, sasat weruh pager wesi, rineksa wong sejagad, kang angidung iku, lamun dipun apaleno, kidung iku den tutug padha sawengi, adoh penggawe ala. Lawan rineksa dening hyang widi, sakarsaning rineksa dening hyang, rineksa ing jalma kabeh."
(Siapa tahu bunga tepus, niscaya tahu makna Artadaya. Yang satu asal dengan hidupnya. Siapa tahu tujuannya, niscaya tahu pagar besi, yang dijaga manusia sedunia. Yang melantunkan kidung dihapalkan, jauhlah perbuatan jahat. Dan dijaga oleh Tuhan. Semua kehendak dikabulkan-Nya, juga dijaga oleh banyak orang).
Bunga tepus merupakan kalimat metafor (perumpamaan), yaitu perumpamaan bagi asal-usul manusia. Diri manusia mula-mula hadir di alam ngare, artinya alam ghaib, berupa lembah atau tanah yang datar (tempat atau keadaan yang penuh ketenteraman). Ngare ini juga disebut Betal Mukaram (Batul Muharram), rumah suci, tempat larangan. Maksudnya, bangunan rumah bagi Sang Diri di alam ngare itu bebas dari segala macam gangguan, godaan dan gejolak nafsu. Inilah yang juga dinamakan Daru al-Salam, suatu tempat yang adanya di sisi Tuhan. Di situ Sang Diri ditemani oleh Allah Sang Pelindung.
Kemudian Sang Diri menerima panggilan dari Allah Yang Maha Pemurah, untuk menerima amanat di Betal Makmur (Baitul Ma'mur), rumah sebagai tempat keinginan. Di alam itu, para malaikat setiap hari berdatangan sambil memancarkan cahaya yang dilengkapi perhiasannya. Mereka menebar bau harum dengan menyebut dan memuji Tuhan dengan diiringi musik surgawi. Di rumah inilah Nabi menerima perintah shalat lima kali sehari ketika mi'raj. Jadi di rumah ini diri manusia bersumpah dan bersaksi sebagaimana dalam QS. Al-A'raf: 172 yang artinya "Bukankah Aku ini Tuhanmu? Benar, dan kami bersaksi."
Di Betal Makmur, Sang Diri sudah menyukma, berkendaraan sukma, berubah astral atau disebut juga wahana jiwa. Wahana ini digunakan untuk dapat membuat kesepakatan tentang kehidupan yang akan dialami di dunia ini. Mereka semua mampu menyadari apa yang akan diembannya, karena diri mereka belum tertutup hawa nafsu. Ada yang membuat kesepakatan untuk menjalani hidup bahagia maupun sengsara.
Pada dasarnya, pembuatan kesepakatan itu untuk melanjutkan proyek kehidupan kita yang belum selesai, yaitu kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita ini asal-usulnya dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Dalam perjalanan kembali, kita mampir di bumi dengan berpakaian raga (jasmani). Istilahnya "di bumi ini kita hanya mampir ngombe", yakni singgah untuk mengambil bekal bagi kehidupan selanjutnya.
Menurut Achmad Chozin (2013: 95), bila pakaian telah rusak, tidak bisa dipakai lagi, yakni ganti pakaian yang baru. Proyek kita jalan terus sesuai dengan kesepakatan. kita buat rancangannya, cetak birunya (cita-cita), kemudian kita kerjakan. Karena kita sendiri yang membuat kesepakatan berdasarkan cetak biru yang kita buat, maka kita diingatkan oleh Tuhan dalam Al-Qur'an untuk tidak bersedih bila tidak berhasil dalam mengejar cita-cita. Kita juga diingatkan untuk tidak terlalu bergembira bila berhasil.
Dari Baitul Makmur, Sang Diri menuju Betal Mukaddas (Baitul Muqaddas), yaitu rumah bagi jiwa yang telah disucikan. Di tempat ini Sang Diri hendak menggunakan pakaian baru yang kelak disebut sebagai raga jasmani atau Hartati. Ia memilih pakaian yang ciri-cirinya sesuai dengan yang tercantum dalam kesepakatan.
Di dalam Betal Mukaddas sang jiwa atau jiwa (nafs) dilengkapi oleh Tuhan dengan dua macam kendaraan. Pertama, preyoshakti atau Ki Samurta merupakan wujud (keberadaan) yang berasal dari air, api, udara, tanah dan angkasa. Ki Samurta mendorong manusia untuk mencintai kehidupan materi (duniawi). Ki Samurta mewujud dalam bentuk fisik manusia. Kedua, sreyoshakti atau Ki Samurti adalah wujud yang berasal dari cahaya matahari, rembulan dan bintang. Ki Samurti lebih tertarik pada hal yang bersifat rohani, yang menuju kehidupan samawi. Ki Samurti merupakan kekuatan batin atau daya rohani.
Manusia yang semula disebut Hartati oleh Sunan Kalijaga, setelah keluar dari rahim ibu menjadi bayi yang dinamakan artadaya. Kata Hartati berasal dari har, ta dan ti. Har artinya air, ta artinya kamu dan ti menunjukkan suatu kejadian dalam kurun waktu. Jadi, manusai pada mulanya hanyalah wujud dari cairan. Setelah diberi daya dan kekuatan yang berasal dari preyo dan sreyo, lahir menjadi manusia yang membawa potensi atau kodrat dirinya, yang disebut Artadaya. Jadi, Artadaya yaitu suatu kuasa dan daya untuk mempertahankan hidupnya di bumi ini, sekaligus merupakan tabir bagi manusia untuk menggapai kebahagiaan batin.
Dalam Makrifat Jawa untuk Semua (Serambi, 2011), Ki Ageng Suryomentaram mengklasifikasikan benda-benda yang ada di alam semesta ini menjadi empat macam.
Pertama, benda yang berdimensi tunggal, yaitu sebagaimana garis saja.
Kedua, benda dua dimensi yang memiliki ukuran panjang dan lebar.
Ketiga, benda tiga dimensi, yaitu benda yang memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi.
Keempat, benda empat dimensi, yaitu benda yang selain memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi, yaitu juga memiliki rasa. Keempat jenis wujud benda itu tercakup dalam diri setiap manusia.
Empat jenis maujud itu juga bisa digunakan untuk menerapkan tahapan-tahapan hidup manusia. Tahapan-tahapan hidup manusia yaitu:
Seorang bayi yang baru lahir bisa dipersepsikan sebagai manusia yang masih berdimensi tunggal, yaitu sebuah garis lurus yang belum bisa membentuk bidang. Kemana garis itu mengarah atau diarahkan, ia tetap hanya sebatas garis yang lurus. Bayi yang baru dilahirkan, langsung merasakan sesuatu, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. Akan tetapi, organ tubuhnya belum dapat diberdayakan untuk merespon sesuatu yang dirasakannya. Misalnya, ketika ia digigit nyamuk, ia merasakan adanya rasa sakit pada tubuhnya, tetapi tangannya belum dapat ia gunakan untuk sekedar menghalau nyamuk tersebut. Manusia satu dimensi ini dalam menjalani hidupnya adalah bagai perekam yang belum sepenuhnya menyadari apa-apa yang telah direkam oleh rasanya. Jadi, hidup manusia dalam fase ini adalah sebagaimana hidupnya tumbuh-tumbuhan;
Anak-anak kecil yang mempunyai organ-organ tubuh yang sudah biasa diberdayakan mengikuti kemauan rasanya, tapi akal dan hatinya belum berfungsi. Manusia yang sudah lebih maju satu langkah dibandingkan yang pertama, selain bisa merasakan sesuatu, ia juga sudah bisa bereaksi terhadap apa yang dirasakannya. Akan tetapi, dalam merespon segala sesuatu yang datang dari luar dirinya itu belum bisa memberdayakan akal dan hatinya. Karena itu, berbagai reaksi terhadap sesuatu seringkali tidak tepat. Misalnya, ketika melihat api, karena menyukai pijar cahayanya, ia ingin memegangnya. Maka reaksi si anak itu menyebabkan tangannya terbakar. Jadi, sudah jelas bahwa anak-anak kecil sudah bisa merasakan sesuatu, misalnya rasa senang. Organ-organ tubuhnya juga sudah dapat digunakannya untuk merespon. Sebab, manusia dua dimensi adalah seperti benda yang mulai menjadi sebuah bidang, sudah mempunyai ukuran panjang dan lebar, tetapi belum memiliki ketebalan atau ketinggian dalam dimensi ruang;
Fase ketiga ini, manusia sudah bisa merasakan dan bereaksi atas apa yang dirasakannya, serta sudah bisa memberdayakan akalnya untuk berpikir, sehingga mampu memahami hukum-hukum alam. Meski demikian, ia belum bisa memfungsikan hatinya. Karena itu, hidupnya hanya berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pribadi. Jadi, hidup manusia pada fase ini adalah hidup yang didominasi oleh apa yang diistilahkan sebagai rasa kramadangsa atau ego, yang selalu memiliki kecenderungan untuk besar sendiri, menang sendiri dan sejenisnya. Sebab, manusia tiga dimensi adalah seperti benda yang sudah memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi dalam dimensi ruang dan waktu;
Fase terakhir ini, manusia sudah bisa merasakan dan bereaksi atas apa yang dirasakannya, serta mampu memberdayakan akalnya untuk berpikir, sehingga dapat memahami hukum-hukum alam. Manusia dalam dimensi ini juga memiliki kebijaksanaan yang bersumber dari "rasa" dalam hati. Rasa inilah yang disebut sebagai rasa yang dapat berkembang, yaitu rasa yang tidak mungkin dirasakan oleh hewan maupun tumbuhan. Maka, manusia tidak lagi hanya mementingkan dirinya sendiri, melainkan telah berkemampuan memotret rasa orang lain dengan tepat. Sebab manusia empat dimensi adalah seperti benda yang tidak hanya memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi dalam dimensi ruang dan waktu, tapi juga memiliki rasa yang bisa melintasi ruang dan waktu.
Namun, karena suasana hati setiap manusia itu cenderung berubah-ubah (moody), jika tidak mampu menjaga kesadaran (eleng) dan waspada atas penguasaan rasa kramadangsa (egonya), ia akan kembali tergelincir pada ukuran hidup ketiga atau kedua, atau lebih rendah lagi. Karena itu, dalam mengilustrasikan manusia pada maqam keempat yang tertinggi ini, Ki Ageng mengingatkan "siapa yang mencari enak tanpa mengenakkan tetangganya, sama halnya dengan membuat tali untuk menjerat lehernya sendiri."
KONSEP TENTANG MANUSIA
Konsep manusia dalam kejawen tidak dapat dipisahkan dengan konsep ke-Tuhan-an. Manusia sebagai pancaran Tuhan disebut sebagai jagad cilik (micro cosmos), sedangkan alam semesta ini disebut jagad gedhe (macro cosmos). Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna, karena memiliki unsur-unsur ketuhanan. Oleh sebab itu, manusia berupaya untuk menemukan jalan untuk kembali kepada asal muasalnya, menemukan jati dirinya dan akan kemana ia setelah mati (sangkan paraning dumadi). Konsep inilah yang melandasi orang kejawen untuk melakukan olah rasa, berusaha menemukan keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi.
Manusia dalam pandangan kejawen dianggap sebagai carangan Tuhan, penjelmaan Tuhan secara mistis. Proses penciptaan manusia dalam konsep Islam Kejawen melalui 7 (tujuh) tahapan, sebagaimana diuraikan dalam Kitab Primbon Atassadhur Adammakna (Noeradya 2008;15) sebagai berikut:
Alam awang-uwung, artinya ruang kosong yang belum ada apa-apa, ruang yang tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, yaitu alam Ilahiah yang sangat rahasia;
Cahaya, "Ingsun anganakake cahya minangka panuksmaningsun dhumateng ana ing alam pasenedaningsun". Cahaya merupakan tempat singgahnya suksma dari Tuhan;
Wawayangan (gambaran), "Ingsun anganakake wawayangan, minangka panuksma lan dadi rahsaningsun, dumunung ana ing alam pambabaring wiji". Wawayangan merupakan design atau bentuk abstrak tempat bersemayamnya suksma dan rasa yang berada di alam pambabaring wiji (penanaman biji);
Suksma, "Ingsun anganakake suksma, minangka dadi pratandha kauripaningsun, dumunung ana alaming getih". Suksma merupakan tanda-tanda kehidupan yang terletak pada dalam darah;
Angen-angen, "Ingsun anganakake angen-angen kang uga dadi warnaningsun, ana ing dalem alam kang lagi kena kaumpamaake bae". Angen-angen merupakan tanda-tanda keberadaan Tuhan yang berada di alam yang sudah dapat dijangkau manusia;
Budi, "Ingsun anganakake budi, kang minangka kanyatahan pancaring angen-angen kang dumunung ana ing dalem alaming badan alus". Budi merupakan menyebarnya wujud angen-angen yang berada di alam badan halus;
Sajatining manungsa, "Ingsun anggelar warana kang minangka kakandhangan sakabehing paserenaningsun. Kasebut nem perkara ing dhuwur mau tumitah ana ing donya iya iku sajatining manungsa". Tuhan menunjukkan eksistensi-Nya dalam warana (media) yang berwujud manusia sejati yang berada di alam dunia ini, yang terbentuk melalui enam proses tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, menurut Shihab (2009; 237) terlihat proses penciptaan manusia melalui pancaran (tajalli) dzat Tuhan sebanyak tujuh tingkatan sampai menjadi wujud manusia. Tingkatan tersebut yaitu: Alam Awang-Uwung, Cahaya, Wawayangan, Suksma, Angen-Angen, Budi dan Manusia Sejati. Ajaran tajalliat tersebut merupakan paham wahdat al-wujud yang lebih sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jawa.
Ajaran tentang kesatuan antara manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti) berkaitan erat dengan ajaran sangkan paran, yaitu ajaran tentang asal-usul kejadian manusia dan arah tujuan hidupnya. Sangkan paran menurut ajaran aliran kepercayaan mengandung pengertian bahwa manusia berasal dari Tuhan dan nanti akan kembali menyatu dengan-Nya. Menurut istilah induk Wargo Kawruh Utomo, disebut "manunggaling kawula Gusti". Menurut istilah Pangestu disebut "pamoring kawula Gusti", menurut Sumarah disebut "jumbuhing kawula Gusti".
Orang yang pertama kali menyebarkan ajaran manunggaling kawula Gusti adalah Syekh Siti Jenar. Ia menganggap sebagai ajaran yang sah dari ajaran Islam. Menurutnya, semua makhluk dan alam semesta ini tersusun dalam satu susunan yang hierarki atau bangunan yang bertingkat-tingkat. Sedangkan puncak dari bangunan itu adalah Allah Yang Satu.
Demikian juga Ranggawarsito, dalam kitabnya Wirid Hidayat Jati mengajarkan paham kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Paham ini mengajarkan bahwa manusia berasal dari Tuhan, oleh karena itu harus berusaha untuk dapat kembali dengan Tuhan. Keterangannya dalam Suluk Saloka Jiwa adalah sebagai berikut:
"Dene manungsa punika, asal saking cahya gaib, praptaning jaman kukutan, gaib wangsul marang gaib, makaten kang sayekti, mantuk maring asalipun, nunggil Gusti kawula, punapa rinebag malih, kendel atutira sang Jali Pramana". (Adapun manusia itu berasal dari cahaya gaib, apabila meninggal atau sesudah hari kiamat, manusia bakal kembali kepada Dzat Yang Gaib, yakni pulang ke tempat asalnya, Manunggaling Kawula Gusti. Kiranya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, kata Pramana Jali).
Kesatuan kembali dengan Tuhan di dunia bisa dicapai melalui penghayatan mistik dengan jalan laku samadi yang disebut manekung. Di samping itu juga dapat dicapai dengan membaca suatu rumusan kata-kata untuk mengumpulkan Kawula Gusti. Yaitu sejenis rumusan kata-kata yang dipandang punya daya magis. Akan tetapi, kesatuan yang sempurna antara manusia dengan Tuhan menurut Ranggawarsita sesudah datangnya ajal atau maut.
Seseorang yang mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan, maka ia akan menjadi manusia yang sempurna. Yaitu menjadi orang sakti, apa yang dikehendaki dan dikatakan terjadi seketika. Karena dalam keadaan seperti itu Tuhan berkehendak, bersabda, berbuat serta merasakan segala rasa dengan mempergunakan tubuh manusia. Dalam keadaan manunggal dengan Tuhan seperti itu timbul ungkapan yang saling mendaku antara manusia dengan Tuhan. Ranggawarsita dalam Wirid Hidayat Jati selain menerangkan tata cara mencapai penghayatan manunggaling kawula Gusti, juga menguraikan masalah ontologi, khususnya tentang Tuhan dan manusia. Di antara perwujudannya sebagai berikut :
"Ingkang angandika sajatining dzat kang Amaha Suci punika, inggih gesang kita pribadi, sayekti katitipan rahsaning Dzat kang Agung. Anglimputi ing sipat punika inggih rupa pribadi, sayekti kawimbuhan warnaning Dzat kang elok. Anartani nama-nama punika inggih nama kita pribadi, sayekti kaaken sesebutaning Dzat kang wisesa. Amrantandhani apngal punika, inggih solah bawa kita pribadi, sayekti anelaken pakartaning Dzat kang Sampurna. Mila babasanipun wahananing Dzat punika anyamadi sipat, sipate punika anartani anama-nama, nama-nama punika amrantandhani apngal, apngal punika dados warananing (wahananing) Dzat".
(Yang berkata Akulah sebenarnya Zat Yang Maha Suci, adalah hidup kita sendiri, sungguh dititipi rahasia yang agung, meliputi sifat yaitu rupa kita sendiri, sungguh ketambahan bagian dari nama, yaitu nama kita sendiri. Sungguh dianggap sebagai Zat Yang Maha Kuasa. Menandai af'al (perbuatan) itu juga tingkah laku sendiri, ibaratnya adalah penjelmaan Zat itu mempengaruhi sifat-sifat menunjukkan nama dan nama menandakan perbuatan-perbuatan itu adalah perwujudan Zat).
Maksud dari ajaran di atas, bahwa hidup manusia katitipan atau mengandung rahasia Zat Yang Agung. Berarti Zat Tuhan telah bersemayam dalam hidup manusia. Rupa manusia kawimbuhan atau mengandung warna Zat Tuhan yang bersifat elok. Nama manusia diakui sebagai sebutan Tuhan, dan tingkah laku manusia mencerminkan perbuatan Tuhan. Atau dengan kata lain, Tuhan itu menempati dalam diri manusia. Jadi, Tuhan immanent of essence dalam diri manusia.
KONSEP MANUNGGALING KAWULO GUSTI
Konsep Manunggaling Kawula Gusti memang sulit dipahami. Karena kalau manusia dikatakan Tuhan, bukan Tuhan. Dikatakan bukan Tuhan kelihatannya sama dengan Tuhan. Hal sebagai terlihat dalam penjelasan Ranggawarsita dalam Serat Centini sebagai berikut:
"Wujud mokal jatineko basa mokal iku yayi patemon kawula Gusti niku mokal namanira satan Gusti tan kawula ya Gusti ya Kawula Gusti kang sipat kawula kawula kang sipat Gusti. Yayi iya iku mokal gaibing roroning tunggal nora tunggal nora pisah tan kekalih tan sajuga nora ewuh nora gampang ananing hyang wujud kita".
(Hal itu merupakan wujud mokal. Kata mokal itu yayi, yakni pertemuan kawula Gusti. Dinamakan mokal, tiada Gusti tiada kawula, ya Gusti juga kawula, Gusti yang bersifat kawula, dan kawula yang bersifat Gusti. Adikku, itulah mokal, roroning tunggal yang gaib, tiada tunggal tiada pisah, tiada dua tiada satu, tidak sulit juga tidak mudah dimengerti, loro-loroning atunggal (dua menjadi satu) bisa sulit bisa mudah dimengerti, wujud Tuhan juga wujud kita).
Dari beberapa uraian tentang kemanunggalan manusia dengan Tuhan, dalam tradisi Kejawen, demikian juga dalam Paramayoga, masih tetap membedakan antara Tuhan yang wajib disembah, dengan manusia yang wajib menyembah. Bahkan kepercayaan akan takdir Tuhan merupakan satu sendi dalam ajaran Kejawen. Bahwa segala kejadian di dunia itu telah ditentukan Tuhan dalam azali. Dalam Paramayoga diterangkan: "Amarga jenenge kawula iku mung kudu sumarah kersaning Gusti". (Bahwa manusia harus berserah diri atas kodrat iradat Tuhan). Dan ini menunjukkan akan kepercayaan kepada Tuhan yang theis.
Teisme secara luas didefinisikan sebagai kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan atau dewa-dewi. Dalam pengertian awam, atau bila dibandingkan dengan deisme, istilah tersebut mendeskripsikan konsep ketuhanan klasik yang ditemukan dalam monoteisme (yang juga disebut sebagai teisme klasik) Batau dewa-dewi yang ditemukan dalam agama-agama politeistik adalah suatu kepercayaan terhadap Tuhan maupun dewa-dewi tanpa menafikan keberadaan wahyu sebagaimana yang terdapat dalam teisme.
Sebutan teisme pertama digunakan oleh Ralph Cudworth (1617-1688), dan digunakan sebagai lawan kata ateisme, sebutan yang dicetuskan sekitar tahun 1587.
CATATAN :
Teisme dapat terbagi-bagi menjadi beragam pemikiran yang berkaitan dengan cara pendekatan dalam mengenal Tuhan. Beberapa pemikiran mengenai teisme ini dipelopori oleh tokoh-tokoh tertentu. Beberapa diantaranya ialah teisme rasionalisme oleh René Descartes, teisme eksistensialisme oleh Søren Kierkegaard, teisme fenomenologi oleh Peter Koestenbaum, dan teisme empirisme oleh Thomas Reid. Selain itu, teisme juga dapat dibedakan berdasarkan kaitan antara Tuhan dengan alam semesta. Ada yang meyakini bahwa alam bersifat nyata dan ada yang meyakini bahwa alam semesta hanya bagian dari pemikiran dan gagasan. Ada pula yang meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dan selalu mengawasinya, dan ada yang mempercayai bahwa alam semesta terpisah dari Tuhan. Selain itu, terdapat jenis teisme yang didasari oleh jumlah pribadi Tuhan. Dalam jenis ini, teisme terbagi antara Yahudi dan Islam yang meyakini Tuhan itu esa, dan Kekristenan yang meyakini bahwa Tuhan itu tritunggal.
FALSAFAH SEDULUR PAPAT KALIMA PANCER
Falsafah Sedulur Papat Kalima Pancer adalah falsafah Jawa Kuno yang memiliki makna spiritual teramat dalam. Kelima elemen dasar dalam falsafah tersebut berbicara tentang kelahiran seorang manusia (jabang bayi) yang tidak lepas dari empat duplikasi penyertanya. Duplikasi tersebut dimaknai sebagai sedulur (saudara) yang tak kasat mata, yang akan menyertai kehidupan seseorang sejak lahir hingga matinya. Mereka itu antara lain:
Watman : yaitu rasa cemas / kawatir dari seorang ibu ketika hendak melahirkan anaknya. Ibu harus berjuang antara hidup dan mati dalam proses kelahiran. Watman adalah saudara tertua yang menyiratkan betapa utamanya sikap menaruh hormat dan sujud pada orang tua khususnya ibu. Kasih sayang, perhatian dan doa ibu adalah kekuatan yang akan mengiringi perjalanan hidup sang anak.
Wahman : yaitu kawah atau air ketuban. Fungsi air ketuban adalah menjaga agar janin dalam kandungan tetap aman dari goncangan. Ketika proses kelahiran terjadi, air ketuban pecah dan musnah menyatu dengan alam, namun secara metafisik ia tetap ada sebagai saudara penjaga dan pelindung.
Rahman : yaitu darah persalinan. Darah adalah gambaran kehidupan, nyawa dan semangat. Darah persalinan pada akhirnya musnah dan menyatu dengan alam, namun secara metafisik ia tetap ada sebagai saudara yang memberi semangat dalam perjuangan mengarungi kehidupan. Darah juga gambaran kesehatan jasmani dalam hidup seseorang.
Ariman : yaitu ari-ari atau plasenta. Fungsi ari-ari adalah sebagai saluran makanan bagi janin dalam kandungan. Ariman adalah saudara tak kasat mata yang menolong seseorang untuk dapat mencari nafkah dan memelihara kehidupannya.
Dan sebagai yang kelima adalah Pancer (Pusat) yaitu si jabang bayi itu sendiri. Ketika jabang bayi itu lahir, tumbuh dan dewasa, maka ia tidaklah sendirian. Keempat saudaranya Watman, Wahman, Rahman dan Ariman senantiasa menemani secara metafisik. Mereka adalah saudara penolong dalam mengarungi kehidupan hingga seseorang kembali lagi pada Sang Pencipta. Pancer atau Pusat juga dimaknai sebagai “Ruh” yang ada dalam diri manusia, yang akan mengendalikan kesadaran seseorang agar tetap “eling lan waspodo”, ingat pada Sang Pencipta dan menjadi insan yang bijaksana. Jadi sedulur papat berperan sebagai potensi / energi aktif, sedangkan pancer sebagai pengendali kesadarannya.
Kesadaran kosmik tentang adanya saudara penyerta dalam falsafah Sedulur 4 Ka-5 Pancer pada akhirnya akan mengaktifkan potensi dalam diri seseorang. Seseorang yang mampu menggali potensi Sedulur Papat Kalima Pancer akan menjadi seseorang yang sukses seutuhnya. Pada tingkat kesadaran tertentu orang tersebut bahkan dipercaya dapat mencapai kesaktian yang supranatural.
Dalam persepsi moralitas dan spiritualitas, orang yang memiliki kesadaran Sedulur Papat Kalima Pancer dapat dimaknai sebagai orang yang memiliki etika tinggi. Etika ini mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dalam berbagai hubungan dan perannya dalam masyarakat. Dalam keluarga, pekerjaan, pendidikan, kerohanian, kesehatan maupun hubungan-hubungan sosial lainnya. Banyak orang mengklaim dirinya sukses, tapi hanya dalam bisnis saja, sedangkan rumah tangganya berantakan, tubuhnya sakit-sakitan, jiwanya tertekan. Ini bukan sukses yang sejati.
Falsafah Sedulur 4 Ka-5 Pancer merupakan falsafah dasar yang kemudian dapat dikembangkan dalam berbagai pakem-pakem Jawa. Misalnya pakem tentang hari-hari Jawa, yaitu pasaran Legi (Timur), Pahing (Selatan), Pon (Barat), Wage (Utara) dan Kliwon (Tengah/Pusat). Dalam tradisi pewayangan juga dikenal tokoh Punakawan: Semar, Petruk, Gareng, Bagong yang menemani dan melayani tokoh pusat yaitu Arjuna. Hal ini juga menggambarkan keempat kuda pada kereta perang Arjuna yang dikendalikan oleh kusirnya yaitu Krisna. Pada periode Islam Jawa, dikenal pula keyakinan tentang malaikat penyerta yaitu Jibril, Mikail , Isrofil, dan Ijro’il yang akan membawa seseorang mencapai Sidrathul Muntaha atau menyertai hidup manusia hingga mati menghadap kepada Sang Ilahi.
Seperti yang sudah-sudah, falsafah Jawa selalu sarat dengan perlambangan, sehingga ia kaya akan interpretasi tanpa mengeliminir substansi-nya. Demikian pula falsafah Sedulur 4 Ka-5 Pancer, secara normatif dapat berupa perlambangan untuk makna yang jauh labih hakiki. Sedulur 4 menggambarkan elemen dasar dalam diri manusia (ego) yaitu Cipta, Rasa, Karsa dan Karya.
CIPTA adalah pikiran, sumber dari segala logika, idea, imajinasi, kreativitas dan ambisi. Pikiran adalah manipulasi otak atas informasi untuk membentuk konsep, penalaran dan pengambilan keputusan.
RASA adalah emosi atau reaksi afekif atas peristiwa dan pengalaman hidup. Berbagai ekspresi emosi begitu kaya, bahkan jauh lebih kaya daripada bahasa yang dapat mengungkapkannya.
KARSA adalah kehendak atau niat, yaitu motivasi dalam diri individu untuk melaksanakan keputusan dan rencananya. Seseorang dapat termotivasi oleh rangsangan dari luar, namun sebaliknya juga dari dalam dirinya sendiri.
KARYA adalah tindakan, yaitu aspek psikomotor dalam diri individu yang menghasilkan suatu wujud konkret, sehingga dapat dikenali dan berdampak bagi lingkungan sekitarnya.
Keempat elemen dasar dalam diri manusia di atas akan menjadi “efektif” apabila manusia tersebut dikontrol oleh Pancer/kunci yang disebut dengan KESADARAN yang biasa diistilahkan dengan eling. Di sinilah letak perjuangan spiritual sesungguhnya. Ketika katup-katup kesadaran mampu dibuka, maka potensi 4 elemen dasar manusia akan menjadi kekuatan quantum yang luar biasa, memiliki daya ledak, menjadikan seseorang menjadi insan seutuhnya, sukses lahir batin, satria pinandhita sinisihan wahyu.