Kerajaan Sunda Galuh
Kerajaan
Sunda Galuh adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar
di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Galuh. Kedua kerajaan tersebut merupakan pecahan dari kerajaanTarumanagara.
Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota
Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi kota Bogor, sedangkan ibu
kota Kerajaan Galuh adalah kota Kawali di Kabupaten Ciamis.
Namun
demikian, banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut perpaduan kedua
kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja. Perjalanan pertama Prabu Jaya
Pakuan (Bujangga Manik) mengelilingi pulau Jawa dilukiskan sebagai berikut :
Sadatang
ka tungtung Sunda (Ketika ku mencapai perbatasan Sunda). Meuntasing di Cipamali
(Aku menyeberangi Cipamali (yang sekarang dinamai kali Brebes). Datang ka alas
Jawa (dan masuklah aku ke hutan Jawa).
Menurut
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, “Summa Oriental (1513 – 1515)”,
dia menuliskan bahwa:
The
Sunda kingdom take up half of the whole island of Java; others, to whom more
authority is attributed, say that the Sunda kingdom must be a third part of the
island and an eight more. It ends at the river chi Manuk. They say that from
the earliest times God divided the island of Java from that of Sunda and that
of Java by the said river, which has trees from one end to the other, and they
say the trees on each side line over to each country with the branches on the
ground.
Jadi,
jelaslah bahwa perpaduan kedua kerajaan ini hanya disebut dengan nama Kerajaan
Sunda.
Keterangan
keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat pada beberapa sumber sejarah
lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai
pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang
keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.
Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh
Pembagian Tarumanagara
Tarusbawa
yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan
mertuanya yaitu Linggawarman rajaTarumanagara yang terakhir. Karena pamor
Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan
keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura.
Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan
masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan
Tarusbawa.
Dengan
dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada
Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi
karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri
Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang
saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah
Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Lokasi ibukota Sunda
Maharaja
Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman
dekat hulu Sungai Cipakancilan.[3] Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa
ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi
cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.
Sunda
sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di
Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat
membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun
dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya
menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan
Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis
Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak
ibukota Tarumanagara.
Keterlibatan Kalingga
Karena
putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota
(bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami
puteri ini adalah cicit Wretikandayun bernama Rakeyan Jamri, yang dalam tahun
723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda ke-2. Sebagai penguasa Kerajaan
Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan
Galuh dikenal dengan nama Sanjaya.
Ibu
dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari
Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat
Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak,
raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh
oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi
lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Sundapura, pusat Kerajaan
Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang,
Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan
Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya
yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan
Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi Raja Kerajaan
Sunda Galuh.
Sanjaya
adalah penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah
Ratu Shima mangkat).
Sebagai
ahli waris Kerajaan Kalingga, Sanjaya menjadi penguasa Kalingga Utara yang
disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) di tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat
diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya
alias Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera
Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.
Prasasti Jayabupati
Isi prasasti
Telah
diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam
prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris
sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu
bertulis itu ditemukan pada aliranSungai Cicatih di daerah Cibadak, Sukabumi.
Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat
Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan
bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan
nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama
(menurut Pleyte):
D
73 :
//O//
Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra.
wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati
jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita
harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-
D
96 :
gaway
tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda.
mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini
lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia
sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken
pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.
D
97 :
sumpah
denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
Terjemahan
isi prasasti, adalah sebagai berikut :
Selamat.
Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang,
Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati
Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro
Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan
ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai
dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir
dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka
dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
Sumpah
yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98).
Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga
agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut
diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan
menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah
dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang
kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).
Tanggal prasasti
Tanggal pembuatan
Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1,
Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan
corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf,
bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di
lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan
disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah
Maharaja Tarusbawa.
Penyebab perpecahan
Telah
diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara.
Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita
Tiongkok yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi
negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang
memberitahukan penobatannya kepada Kaisar Tiongkok dalam tahun 669 M. Ia
sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka,
kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.
Sanna dan Purbasora
Tarusbawa
adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga.
Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M),
sekaligus paman dari Sanjaya. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa
mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena
digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora adalah
cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru Sempakwaja,
pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari
putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).
Sebenarnya
Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara
Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan
kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak
boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi
tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak
atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah
hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.
Dengan
bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah
Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya
melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa.
Sanjaya dan Balangantrang
Sanjaya,
anak Sannaha saudara perempuan Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga
Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya
dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.
Sebelum
itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan
Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung
dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan
dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora
gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi
Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.
Patih
itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia
merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun
dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa
menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir" atau hernia.
Balangantrang bersembunyi di kampung Gègèr Sunten dan dengan diam-diam
menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah
Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga
dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora
menjatuhkan Sena.
Sanjaya
mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga keraton
Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi
penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya.
Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi uwaknya,
Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora,
direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu
karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk
melenyapkan Demunawan.
Sanjaya
sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui
keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai
Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain
itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan
pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana
Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir
tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami
agama dan bertapa sejak muda. Ia memiliki julukan Bagawat Sajalajaya.
Premana, Pangrenyep dan Tamperan
Penunjukkan
Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu,
isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu
mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua
Wretikandayun.
Pasangan
Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah
(lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh).
Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung
Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari
ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan
sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.
Untuk
mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan,
Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada,
Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih
Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di ibukota Galuh.
Premana
Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak
berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati
terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun
terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima
oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.
Kedudukan
Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang
berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena
kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di
dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan
istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih
Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan
mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat
skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa
alias Banga (723 M).
Skandal
itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia
19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya
dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja
Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya
sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.
Untuk
menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus
diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua
kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.
Tamperan
sebagai raja
Dalam
tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum
ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara
puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan
Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru
Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Demikianlah
Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun
732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam
menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki
Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya
ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.
Sesuai
dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari
bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk
Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai
penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.
Kudeta
itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah
berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep
termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian
dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan
Pangrenyep dari tahanan.
Akan
tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya
kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir
dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri
melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan
Pangrenyep.
Manarah dan Banga
Berita
kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram
(Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun
Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga
didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah
nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah
dipecundangi Sanjaya.
Perang
besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi
Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di
keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda
kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh
yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali.
Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski
Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa
ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.
Untuk
memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit
Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa
Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda
bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari,
adik Kancanawangi.
Keturunan
Sunda dan Galuh selanjutnya
Naskah
tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13
atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan.Hal
ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang
merdeka. Ia berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di
sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia
memerintah 27 tahun lamanya (739-766).
Manarah,
dengan gelar Prabu Suratama atau Prabu
Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur panjang dan memerintah
di Galuh antara tahun 739-783. [4]Dalam tahun 783 ia melakukan manurajasuniya,
yaitu mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir
hayat. Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.
Dalam
naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering dikacaukan Tidak saja
dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua, tapi juga dalam penempatan
mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh
Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah
Carita Waruga Guru, yang ditulis pada pertengahan abad ke-18. Kekeliruan paling
menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri
kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit
baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun
1293, 527 tahun setelah Banga wafat.
Keturunan
Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852).
Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu
Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari
Tarusbawa). Sejak tahun 852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah
oleh keturunan Banga; sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton
Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).
Hubungan Sunda Galuh dan Sriwijaya
Sri
Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang
ke-20 Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 -
1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya
dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah
puteri dariDharmawangsa, raja Kerajaan
Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut
Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah
yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja
Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai
Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus
menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan
mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa
tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa
diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi
tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan
ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang
dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun
1019 M.
Hubungan dengan berdirinya Majapahit
Prabu
Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota Rakeyan Jayadarma,
dan berkedudukan di Pakuan. MenurutPustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa
II sarga 3, Rakeyan Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur,
karena ia berjodoh dengan putrinya bernama Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka
adalah anak dari Mahisa Wong Ateleng, yang merupakan anak dariKen Angrok dan
Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari.
Rakeyan
Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih
dikenal dengan nama Raden Wijaya yang dikatakan terlahir di Pakuan. Dengan kata
lain, Raden Wijaya adalah turunan ke-4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena
Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di
Pakuan. Akhirnya, Raden Wijaya dan ibunya kembali ke Jawa Timur.
Dalam
Babad Tanah Jawi Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pasundan. Sebagai
keturunan Jayadarma, ia adalah penerus tahta Kerajaan Sunda-Galuh yang sah,
yaitu apabila Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu mangkat. Kematian
Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota, karena Raden Wijaya berada di
Jawa Timur dan kemudian menjadi raja pertama Majapahit.
Daftar raja-raja Sunda Galuh
Raja-raja
Sunda sampai Sri Jayabupati
Di
bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati, yang berjumlah
20 orang :
Raja-raja
Sunda sampai Sri Jayabupati
Catatan: Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Sungai Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.
Raja-raja
Galuh sampai Prabu Gajah Kulon
Di
bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon, yang
berjumlah 13 orang :
Raja-raja
Galuh sampai Prabu Gajah Kulon
Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).
Raja-raja
Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
Di
bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati, yang
berjumlah 14 orang :
Raja-raja
Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
Penyatuan kembali Sunda-Galuh
Saat
Wastu Kancana wafat, kerajaan sempat kembali terpecah dua dalam pemerintahan
anak-anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa
Niskala yang berkuasa di Kawali (Galuh).
Sri
Baduga Maharaja (1482-1521) yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu
Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Setelah runtuhnya Sunda Galuh oleh Kesultanan Banten, bekas kerajaan ini banyak disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.
Kawali
Kawali adalah ibu kota baru Kerajaan Galuh yang muncul pada abad ke 14 di Parahyangan Timur, kota ini makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah. Lokasinya berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah, dan Galuh.
PUSAT PEMERINTAHAN BERPINDAH-PINDAH
Telah
dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun
852 tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang
beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus
menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya
sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana. Kehadiran orang
Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum,
sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh.
Prabu Darmaraksa (891 - 895) dibunuh oleh seorang menteri Sunda yang fanatik.
Karena
peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat
kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian,
pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya.
Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu
oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Ayah
Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi
puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan
ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja ke-25,
yaitu Prabu Guru Darmasiksa mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian
pindah ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah dan
dipusarakan di Taman, Ciamis.
Dalam abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam pengertian wilayah maupun dalam pengertian etnik. Menurut Pustaka Paratwan i Bhumi Jawadwipa, Parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Purnawarman untuk Ibukota Tarumanagara yang baru didirikannya, Sundapura. Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena Sundapura mengandung arti kota suci atau kota murni, sedangkan Galuh berarti permata atau batu mulia (secara kiasan berarti gadis).
DAMPAK SOSIAL YANG DITIMBULKAN
Proses
kepindahan seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan kita) namun
pengaruh positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat.
Antara Galuh dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam hal tradisi. Anwas
Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa orang Galuh itu "orang air",
sedang orang Sunda "Orang Gunung". Yang satu memiliki "mitos
buaya", yang lain "mitos harimau".
Di
daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang bernama Panereban.
Tempat yang bernama demikian pada masa silam merupakan tempat melabuhkan
(nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus
"dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang Kanekes yang
masih menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda, mengubur
mayat dalam tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan tradisi
"ngurebkeun" di sebelah barat (membekas dalam istilah panereban dan
pasarean).
Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu "Orang Air" dengan "Orang Gunung" itu menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (kura-kura dan monyet). Dongeng yang khas Sunda ini sangat mendalam dan meluas dalam segala lapisan masyarakat, padahal mereka tahu, bahwa dalam kenyataan sehari-hari monyet dan kuya itu bertemu saja mugkin tidak pernah (di kebun binatang pun tidak pernah diperkenalkan).
PERAN BERGESER KE TIMUR
Pada
abad ke 14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan
Saunggalah, yaitu Kawali (artinya kuali atau belanga). Lokasinya strategis
karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad
XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda
dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Sebenarnya
gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa
pemerintahan Prabu Ragasuci (1297-1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya
(Prabu Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan
karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur.
Tetapi pada masa pemerintahan puteranya Prabu Citraganda, sekali lagi Pakuan
menjadi pusat pemerintahan.
Ragasuci
sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya Rakeyan
Jayadarma. Menurut Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3,
Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan
Dyah Singamurtialias Dyah Lembu Tal. Mereka berputera Sang Nararya
Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya, yang lahir di
Pakuan.
Karena
Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di
Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah
Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian menjadi
Raja Majapahit yang pertama.
Sementara
itu, kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya
berada di Jawa Timur. Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci,
Citraganda, sebagai calon ahli warisnya. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa,
puteri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana isteri Kertanegara. Citraganda
tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk
sementara ia menjadi raja daerah selama enam tahun di Pakuan. Ketika itu Raja
Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah. Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi
Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Prabu
Lingga Dewata, putera Citraganda, mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti,
menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340sudah berkedudukan di Kawali dan
sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa
tahun 1333-1482adalah zaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan
mengenal lima orang raja.
Lain
dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan
Prabu Raja Wastu yang tersimpan di Astana Gede, Kawali. Dalam prasasti itu
ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan
keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu
hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prabu
Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana
yang gugur di medan Bubat dalam tahun 1357. Ketika terjadi Pasunda Bubat, usia
Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang
hidup karena ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh
pamannya Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut
Prabu Kuda Lalean, sedangkan dalam Babad Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis)
disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang
karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati
dimakamkan di Geger Omas.
Setelah
pemerintahan dijalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana
dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang
pertama adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir Sang
Haliwungan, yang setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu
Susuktunggal. Permaisuri yang kedua adalah Mayangsari puteri sulung Bunisora
atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinannya dengan Mayangsari lahir Ningrat
Kancana, yang setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Setelah
Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan
Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat
jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana. Jayadewata, putera Dewa Niskala,
mula-mula memperistri Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian
memperistri Subanglarang. Yang terakhir ini adalah puteri Ki Gedeng Tapa yang
menjadi Raja Singapura.
Subanglarang
ini keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita muslim
murid Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura di Karawang
didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang
belajar di situ selama dua tahun. Ia adalah nenek Syarif Hidayatullah.
Kemudian
Jayadewata mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal.
Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang seayah ini menjadi besar.
PRASASTI ASTANA GEDE
Prasasti
Astana Gede atau Prasasti Kawali merujuk pada beberapa prasasti yang ditemukan
di kawasan Kabuyutan Kawali, kabupatenCiamis, Jawa Barat, terutama pada
prasasti "utama" yang bertulisan paling banyak (Prasasti Kawali I).
Adapun secara keseluruhan, terdapat enam prasasti. Kesemua prasasti ini
menggunakan bahasa dan aksara Sunda (Kaganga). Meskipun tidak berisi
candrasangkala, prasasti ini diperkirakan berasal dari paruh kedua abad ke-14
berdasarkan nama raja.
Berdasarkan perbandingan dengan peninggalan sejarah lainnya seperti naskah Carita Parahyangan dan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, dapat disimpulkan bahwa Prasasti Kawali I ini merupakan sakakala atau tugu peringatan untuk mengenang kejayaan PrabuNiskala Wastu Kancana, penguasa Sunda yang bertahta di Kawali, putra Prabu Linggabuana yang gugur di Bubat.
Isi teks
Prasasti
Kawali I di kawasan kabuyutan Astana Gede, Kawali.
Teks
di bagian muka:
1. nihan tapa kawa-
2. li nu sang hyang mulia tapa bha-
3. gya parĕbu raja wastu
4. mangadĕg di kuta ka-
5. wali nu mahayuna kadatuan
6. sura wisesa nu marigi sa-
7. kuliling dayĕh. nu najur sakala
8. desa aja manu panderi pakĕna
9.
gawe ring hayu pakĕn hebel ja
10. ya dina buana
Teks
di bagian tepi tebal:
1. hayua diponah-ponah
2. hayua dicawuh-cawuh
3. inya neker inya angger
4. inya ninycak inya rempag
Alih bahasa
Inilah jejak (tapak) (di) Kawali (dari) tapa beliau Yang Mulia Prabu Raja Wastu (yang) mendirikan pertahanan (bertahta di) Kawali, yang telah memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan di sekeliling wilayah kerajaan, yang memakmurkan seluruh pemukiman. Kepada yang akan datang, hendaknya menerapkan keselamatan sebagai landasan kemenangan hidup di dunia.
Kabuyutan Astana Gedé
Kabuyutan
Astana Gedé Kawali mangrupakeun situs sajarah titinggal Karajaan Sunda.
Sawatara ahli malah ngaduga-duga yén ieu situs téh mangrupakeun situs penting
ti saméméh karajaan Sunda. Situs ieu ayana di Kawali, kaléreun Kota Ciamis.
Di
kabuyutan ieu aya sababaraha prasasti (katelah prasasti Kawali) titinggal
Karajaan Sunda mangsa Prabu Niskala Wastu Kancana. Salahsahiji tulisan dina
prasastina, nyaéta "Mahayunan Ayunan Kadatuan", dijadikeun motto
juang Kabupatén Ciamis.
Lian
ti prasasti, di kabuyutan ieu aya sababaraha artéfak séjénna:
v batu disolit,
nyaéta tempat ngistrénan raja, katelahna Palangka.
v batu nu aya
ukiran tapak leungeun kénca jeung dua suku, sarta sababaraha garis
v tilu batu
ménhir: Batu Panyandaan, Batu Panyandangan, jeung Batu Pamuruyan.
Palangka
minangka singgasana atawa kaprabon anu sapopoe gunana pikeun sinewaka atawa
narima semah, utusan boh ti jero atawa luarnagara. Dina awal pamarentahan raja
nya ieu batu sok dipake ngistrenan atawa ngalantik raja sabada eta pirajaeun
teh lulus tina rupa rupa ujian nu ditangtukeun ku baris kolot.
Ngeunaan
batu ukir can aya kacindekan ti para ahli sajarah, ngan numutkeun kana
panalungtikan Saleh Danasasmita basa maluruh naskah Sanghyang Siksakanda Ng
Karesian, rupana tapak leungeun kenca teh ngalambangkeun diri luareun eta raja,
da lamun ngagambarkeun inyana mah tangtu ku leungeun katuhu. Hartina raja jauh leuwih
mentingkeun saluareun dirina batan dirina sorangan.
Ari tapak suku dua mah ngagambarkeun adeg adeg raja nu panceg kana tetekon sarta kayakinan dirina. Garis garis mah sigana ngan ukur ornamental kawas buleudan buleudan dina prasasti Batu Tulis Bogor atawa dina prasasti Ciaruteun.
Prasasti Batutulis
Salinan
gambar prasasti Batu Tulis dari buku The Sunda Kingdom of West Java From
Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor
Prasasti Batutulis terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Kompleks Prasasti Batutulis memiliki luas 17 x 15 meter. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran dan masih in situ, yakni masih terletak di lokasi aslinya dan menjadi nama desa lokasi situs ini. Batu Prasasti dan benda-benda lain peninggalan Kerajaan Sunda terdapat dalam komplek ini. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno.
Isi Prasasti
v Wangna pun ini
sakakala, prebu ratu purane pun,
v diwastu diya
wingaran prebu guru dewataprana
v di wastu diya
wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu
dewata
v pun ya nu nyusuk
na pakwan
v diva anak
rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang
niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang
v ya siya ni
nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga
rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi
Terjemahan
Terjemahan
bebasnya kira-kira sebagai berikut :
v Semoga selamat,
ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum
v Dinobatkan dia
dengan nama Prabu Guru Dewataprana,
v dinobatkan
(lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri
Sang Ratu Dewata.
v Dialah yang
membuat parit (pertahanan) Pakuan.
v Dia putera
Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu
Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
v Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".
Prasasti Sanghyang Tapak
Salah
satu dari empat prasasti Sanghyang Tapak.
Prasasti Sanghyang Tapak (juga dikenal sebagai Prasasti Jayabupati atau Prasasti Cicatih )[1] adalah prasasti kuno perangka tahun 952 saka (1030 M), terdiri dari 40 baris yang memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Keempat batu prasasti ini ditemukan di tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Tiga diantaranya ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sementara sebuah lainnya ditemukan di Kampung Pangcalikan. Prasasti ini ditulis dalam huruf Kawi Jawa. Kini keempat batu prasasti ini disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta, dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97, dan D 98.
Isi
Isi
tiga prasasti pertama (menurut Pleyte):
D
73: //O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa.
ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri
jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya
shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-
D
96: gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati
prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan
pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i
sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan
pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.
D 97: sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
Terjemahan
Selamat
dan sejahtera. Pada tahun Saka 952, bulan Kartika pada hari ke-12th bagian
terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, Wuku Tambir. Hari ini adalah hari
dimana raja kerajaan Sunda, Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa, membuat tanda tapak di bagian timur Sanghiyang Tapak.
Dibuat oleh Sri Jayabupati raja kerajaan Sunda. Tidak ada seorangpun yang boleh
melanggar aturan ini. Di bagian sungai ini tidak boleh menangkap ikan, di
kawasan pemujaan Sanghyang Tapak dekat hulu sungai. Jauh hingga ke batas
Sanghyang Tapak yang ditandai dua pohon besar. Demikanlah tulisan ini dibuat,
ditegakkan dengan sumpah kerajaan Sunda.
Piagam
persumpahan raja ditulis di atas prasasti keempat (D 98). Terdiri atas 20
baris, sumpah ini memanggil semua kekuatan gaib, dewata (hyang) dari langit dan
bumi untuk membantu menjaga dan melindungi mandat sang raja. Siapa saja yang
melanggar aturan ini akan dihukum oleh segenap makhluk halus, mati dengan cara
yang mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya diminum, ususnya dihancurkan,
dan dada dibelah dua. Prasasti ini ditutup dengan kalimat, "I wruhhanta
kamung hyang kabeh" (Oh ketahuilah kamu sekalianhyang).
Penanggalan
prasasti
Penanggalan prasasti Sanghyang Tapak menunjukkan tanggal 11 Oktober 1030. Menurut naskah Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati berkuasa selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 - 1042 M). Hal yang menarik adalah tulisan prasasti ini menunjukkan gaya tulisan prasasti Jawa Timur. Tidak hanya aksaranya, bahasa, serta gaya bahasanya saja, bahkan gelar kebesarann sang raja sangat mirip dengan nama gelar bangsawan di istana Dharmawangsa. Sri Jayabupati dalam Carita Parahyangan disebut sebagai Prabu Detya Maharaja. Dia adalah raja Kerajaan Sunda ke-20 setelah Tarusbawa.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor. Prasasti tersebut merupakan peninggalan kerajaan Tarumanagara.
Lokasi
Prasasti
Ciaruteun terletak di desa Ciaruteun Hilir, kecamatan Cibungbulang, Kabupaten
Bogortepatnya pada koordinat 0°7’2,76” BB (dari Jakarta) dan 6°38’09”.
Tempat
ditemukannya prasasti ini merupakan bukit (bahasa Sunda: pasir) yang diapit
oleh tiga sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat
ini masih dilaporkan sebagai Pasir Muara, yang termasuk dalam tanah swasta
Ciampéa (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang).
Menurut Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara parwa 2, sarga 3, halaman 161 disebutkan bahwa Tarumanagara mempunya rajamandala(bawahan) yang dinamai "Pasir Muhara".
Penemuan
Prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin Bataaviasch Genootschap van Kunsten en Weten-schappen (sekarang Museum Nasional) pada tahun 1863. Akibat banjir besar pada tahun 1893 batu prasasti ini terhanyutkan beberapa meter ke hilir dan bagian batu yang bertulisan menjadi terbalik posisinya ke bawah. Kemudian pada tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke tempat semula. Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkan prasasti batu ini agar tidak terulang terseret banjir.
Bahan
Prasasti Ciaruteun dibuat dari batu alam.
Isi
Prasasti Ciaruteun bergoreskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sansekerta dengan metrum Anustubh yang teridiri dari tiga baris dan pada bagian bawah tulisan terdapat pahatan gambar umbi dan sulur-suluran (pilin), sepasang telapak kaki dan laba-laba.
Teks:
vikkrantasyavanipat
eh
srimatah
purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
visnoriva
padadvayam
Terjemahan:
“inilah
(tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki dewa Visnu (pemelihara) ialah
telapak yang mulia sang Purnnawamman, raja di negri Taruma, raja yang gagah
berani di dunia”.
Cap
telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat
ditemukannya prasasti tersebut). Hal ini berarti menegaskan kedudukan
Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa
sekaligus pelindung rakyat
Raja raja kerajaan Galuh
Kerajaan Galuh merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Tatar Sunda. Berdiri sekitar tahun 612 Masehi dan berakhir tahun 1482 Masehi, saat kerajaan ini digabungkan bersama dengan Kerajaan Sunda di barat dan bersatu dalam kebesaran panji Kerajaan Pajajaran. Berikut sejarah mengenai raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Galuh :
1. Maharajaresi Wretikandayun (612 – 702 M)
Wretikandayun
dilahirkan pada tahun 591. Pendiri Kerajaan Galuh ini dinobatkan sebagai raja
Kerajaan Galuh setelah ayahnya (Kandiawan / raja Kerajaan Medang Jati)
mengundurkan diri, tepatnya pada tanggal 23 Maret 612. Beliau mulai memegang kekuasaan Galuh saat
berusia 21 tahun.
Di
bawah kekuasaannya, Angkatan perang Kerajaan Galuh, semakin hari semakin kuat.
Dengan demikian, saat itu Galuh menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan oleh
kerajaan-kerajaan lain. Bahkan, Galuh juga telah membina hubungan kerjasama
dengan kerajaan-kerajaan yang berada di Jawa bagian tengah dan timur.
Karena
Wretikandayun, dianugerahi umur yang panjang, maka lamanya masa kekuasaan
beliau sama dengan lama masa kekuasaan 6 orang raja di Tarumanagara. Dimana
saat itu, Galuh masih merupakan bawahan dari Kerajaan Tarumanagara.
Pada
tahun 670, Kerajaan Tarumanagara telah berganti nama menjadi Kerajaan Sunda di
bawah kekuasaan Tarusbawa. Keadaan itu dijadikan alasan bagi Wretikandayun
untuk memisahkan diri dari Tarumanagara / Sunda. Kebijakannya itu diambil
dikarenakan Kerajaan Galuh selanjutnya tidak ingin diatur oleh generasi penerus
Kerajaan Tarumanagara yang usianya lebih muda (saat itu usia Tarusbawa lebih
muda 41 tahun dari usia Wretikandayun).
Untuk
menjalankan rencana pemisahan diri itu, Wretikandayun mengirimkan surat kepada
Tarusbawa, yang isinya adalah (dikutip langsung dari buku Sejarah Jawa Barat
karya Drs. Yoseph Iskandar) :
“
Sejak sekarang, kami bersama semua kerajaan yang terletak dalam wilayah sebelah
timur Citarum, tidak lagi tunduk di bawah kekuasaan Tarumanagara. Jadi, tidak
lagi mengakui Tuan (pakanira) sebagai ratu. Akan tetapi, hubungan persahabatan
di antara kita tidak perlu terputus, bahkan mudah-mudahan menjadi semakin
akrab.
Karena
itu, daerah-daerah di sebelah barat Citarum, tetap berada di bawah pemerintahan
Tuan, sedangkan daerah-daerah di sebelah timur Citarum menjadi bawahan kami,
dan sejak sekarang kami tidak mau lagi mempersembahkan upeti kepada Tuan.
Kemudian, janganlah hendaknya angkatan perang Tuan menyerang kerajaan kami,
Galuh Pakuan, sebab tindakan semacam itu percuma. Angkatan perang Kerajaan
Galuh ada kira-kira tiga kali lipat angkatan perang Tuan dan sangat lengkap
persenjataannya.
Di
samping itu, banyak kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
bersahabat dengan kami dan mereka sanggup memberikan bantuan perlengkapan bagi
angkatan perang kami. Hal ini Tuan maklumi. Nanti kami rukun bersahabat
sama-sama menghendaki kesejahteraan negara kita dan kecukupan kehidupan rakyat
kita serta bersama-sama menjauhkan malapetaka. Semoga Yang Mahakuasa
memusnahkan siapapun yang berwatak lalim dan culas serta tidak mengenal
perikemanusiaan (karunya ning cita ring samaya).”
Akhirnya
Tarusbawa menerima tuntutannya dan kerajaan Galuh menjadi sejajar Kerajaan
Sunda, dengan sungai Citarum sebagai batasnya.
Wretikandayun
memiliki permaisuri yang bernama Manawati (puteri dari Resi Makandria / pendeta
Hindu). Sebagai permaisuri, Manawati diberi gelar Candraresmi. Dari
pernikahannya itu, mereka dikaruniai beberapa orang anak, antara lain :
Sempakwaja,
lahir tahun 620 kemudian menjadi raja dan resiguru di Kerajaan Galunggung.
Jantaka,
lahir tahun 622 kemudian menjadi raja dan resiguru di Kerajaan Denuh.
Amara,
lahir tahun 624 kemudian menjadi penerus kerajaan Galuh.
Untuk
menggantikan kekuasaannya, Wretikandayun menunjuk Amara sebagai putera mahkota,
hal ini terjadi karena anak sulungnya (Sempakwaja) tidak dapat mewarisi tahta
Galuh karena ompong (menurut tradisi kerajaan, seorang raja tidak boleh
memiliki cacat jasmani), begitu juga dengan anak keduanya (Jantaka) yang
menderita hernia. Berbeda dengan kedua kakanya yang menjadi rajaresi (taat pada
agama), Amara malahan tumbuh sebagai anak yang bersikap liar.
Wretikandayun
yang telah membawa Kerajaan Galuh menjadi kerajaan yang kuat dan disegani,
kebesarannya menjadi tercoreng akibat ulah putera bungsunya (Amara) yang sangat
dimanja oleh Wretikandayun.
Peristiwa
itu berawal pada saat malam purnama, Wretikandayun mengadakan pesta perjamuan
yang dihadiri oleh para pembesar Galuh, tak lupa ketiga anaknya diundang.
Tetapi Sempakwaja yang berada di
Galunggung tidak dapat hadir karena sakit dan dirawat oleh anak-anaknya,
akhirnya Sempakwaja mengutus istrinya yang bernama Pohaci Rababu untuk mewakili
demi menghormati undangan sang ayah.
Pohaci
Rababu yang berparas cantik membuat sang putera mahkota Galuh (Amara)
terpesona. Berawal dari pesta itu, akhirnya Amara dan Pohaci Rababu semakin
akrab. Amara yang terkenal perayu ulung telah membuat kakak iparnya itu terbuai dan melupakan
suaminya. Pohaci Rababu tinggal di Keraton galuh selama 4 hari 4 malam dan
terjadilah perbuatan skandal antara Amara dengan Pohaci Rababu.
Dari
hubungan gelap itu akhirnya membuat Pohaci Rababu mengadung bayi dari Amara.
Sementara itu, Sempakwaja mengetahui bahwa istrinya mengandung dari hasil
hubungan gelap dengan adiknya. Namun, Sempakwaja terlalu mecintai istrinya itu,
sehingga seburuk apapun yang telah dilakukan oleh istrinya, Sempakwaja tetap
menerima Pohaci Rababu sebagai seorang istri. Akan tetapi, Sempakwaja meminta kepada
istrinya itu, apabila bayinya telah lahir maka bayi tersebut harus diserahkan
Amara.
Akhirnya
pada tahun 661, Pohaci Rababu melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian
dibawa ke Galuh untuk diserahkan kepada Amara. Setelah menyerahkan bayi tersebut,
Pohaci Rababu segera pergi dari keraton Galuh dan berkumpul kembai bersama
suami dan anak-anaknya di Galunggung. Bayi laki-laki tersebut kemudian oleh
Amara diberi nama Bratasenawa (Sena).
Peristiwa
memalukan yang dibuat oleh sang putra mahkota itu menggemparkan kalangan
keluarga keraton Galuh. Wretikandayun sebagai seorang raja yang bijaksana
kemudian meredakan pergunjingan ini,
dengan jalan meminta Amara untuk pergi ke Kalingga (sekarang wilayah Jawa
Tengah).
Di
Kalingga, Amara dijodohkan dengan Dewi Parwati (puteri dari pasangan Kartikeyasinga – Maharani Sima /
raja Kalingga). Dari pernikahannya ini, mereka dikaruniai anak perempuan yang
bernama Sanaha.
Melalui pernikahan Galuh-Kalingga ini, maka Galuh
mendapatkan dua keuntungan, pertama, citra buruk dari Amara dapat dipulihkan,
dan yang kedua, Galuh mendapatkan sekutu yang kuat (Kalingga saat itu merupakan
salah satu kerajaan terbesar di Nusantara).
Saat
Kartikeyasinga wafat tahun 674, tahta Kalingga diserahkan pada istrinya yang
bernama Maharani Sima. Di masa pemerintahan Maharani Sima, hubungan kerajaan
Kalingga dengan kerajaan Sriwijaya memanas.
Maharani
Sima wafat pada tahun 695 dan wilayah Kalingga dibagi 2 kepada anak-anaknya.
Melalui pembagian itu Dewi Parwati memperoleh warisan bagian utara Kalingga,
yang disebut Bumi Mataram. Dengan demikian, Amara selaku suami dari Dewi
Parwati dinobatkan menjadi raja Bumi Mataram.
Di
Galuh, Wretikandayun wafat pada tahun 702, dalam usia 111 tahun. Amara yang
menjabat sebagai raja Bumi Mataram dipanggil pulang ke Galuh dan kemudian tahta
Galuh dipegang oleh Amara.
2. Amara/Mandiminyak (702 – 709 M)
Amara
menjadi raja Galuh ke-2 dengan gelar Mandiminyak. Gelar itu diperoleh karena
tubuh Amara selalu wangi dan bercahaya bagaikan dibubuhi minyak. Saat itu,
beliau memerintah di Galuh sedangkan kekuasaannya di Bumi Mataram dipegang oleh
Dewi Parwati (istrinya).
Amara
memiliki 2 orang putera puteri dari kedua istrinya. Dari hubungan gelap dengan
kakak iparnya (Pohaci Rababu), lahir Bratasenawa. Sedangkan dari permaisurinya
yang syah (Dewi Parwati), Amara memiliki anak perempuan yang bernama Sanaha.
Kedua anak yang se-ayah itu kemudian dijodohkan (perkawinan Manu) dan dari
perkawinannya itu lahirlah Sanjaya (lahir tahun 683). Pada tahun 703, Sanjaya
menikah dengan Sekar Kencana (cucu dari Tarusbawa / raja Sunda peratama).
Perkawinan
antar cucu dari 2 raja besar di barat Jawa tersebut, membuat kedudukan Amara
menjadi semakin kuat walaupun kehadirannya di Galuh tidak disenangi oleh
beberapa kalangan. Masa lalu Amara yang pernah membuat skandal, belum hilang di
ingatan sebagaian kalangan keraton. Amara wafat pada tahun 709, kemudian
kekuasaan Galuh diserahkan pada anaknya yang bernama Bratasenawa.
3. Bratasenawa
(709 – 716 M)
Beliau
Lebih dikenal sebagai Sena. Beliau
merupakan Raja Galuh ketiga. Dia merupakan anak dari hubungan gelap antara
Amara dan Pohaci Rababu. Bratasenawa memiliki putera yang bernama Sanjaya. Dari
pernikahan Sanjaya dengan cucu Tarusbawa, maka Bratasenawa dikenal sebagai
sahabat baik dari Tarusbawa.
Sikap
yang dimiliki Bratasenawa berbeda dengan sikap ayahnya yang masa mudanya
terkenal liar. Bratasenawa merupakan raja yang taat beragama dan bijaksana.
Tapi sikap baiknya itu tetap tidak dapat diterima oleh sebagian pembesar Galuh,
mengingat Bratasenawa adalah anak hasil dari hubungan gelap.
Banyak
orang yang membenci keberadaan Bratasenawa sebagai raja Galuh, tetapi hanya 2
orang yang sangat-sangat membenci Bratasenawa. Dua orang tersebut adalah
Purbasora dan Demunawan, mereka tak lain adalah putera pasangan Sempakwaja
dengan Pohaci Rababu. Dengan demikian mereka berdua adalah saudara se-ibu dari
Bratasenawa. Kedua orang itu sangat membenci Bratasenawa dikarenakan mereka
merasa lebih berhak untuk meneruskan tahta Galuh daripada “anak hasil skandal
ibunya” tersebut. Karena asal-usul Bratasenawa yang kurang baik itulah
yang membuat Purbasora menginginkan merebut tahta Galuh.
Pada
tahun 716, dengan dukungan dari mertua Purbasora (Resi Padmahariwangsa / raja
Indraprahasta), mertua Demunawan (Wiraganti / raja Kuningan), dan Bimaraksa atau lebih dikenal
dengan sebutan Ki Balagantrang (putra
dari Resiguru Jantaka / putera kedua Wretikandayun yang telah menjadi raja
Kerajaan Denuh), Purbasora menyiapkan pasukan untuk melakukan kudeta di Galuh.
Namun, sebelumnya rencana Purbasora itu telah diketahui oleh Bratasenawa. Untuk
mengatasi masalah ini, Bratasenawa segera meminta bantuan pada Kerajaan Sunda.
Dikarenakan jarak Galuh – Pakuan itu sangat jauh, maka kedatangan pasukan
bantuan dari Kerajaan Sunda tidak berpengaruh pada perubahan situasi politik di
Galuh. Prajurit Sunda datang setelah Purbasora berhasil merebut tahta dari
Bratasenawa dengan secepat kilat.
Sebelum
Purbasora berhasil merebut tahta Galuh, Bratasenawa sudah memperhitungkan itu
dan melarikan diri ke Bumi Mataram yang saat itu masih dipegang oleh ibu
tirinya / ibu mertuanya (Dewi Parwati). Di Bumi Mataram ini, Bratasenawa pun
tercatat sebagai putera mahkota kerajaan.
Purbasora
yang begitu benci pada Bratasenawa, akhirnya hanya menyingkirkan para
pengikut-pengikut dari Bratasenawa saja. Beberapa kalangan Galuh yang lain,
banyak yang mendukung Purbasora. Bahkan di saat Purbasora melakukan penyerbuan,
prajurit-prajurit Galuh seakan “sengaja mengalah” dalam menghadapi pasukan
Purbasora.
Pasukan
Sunda yang datang setelah Galuh berganti kekuasaan, tidak mengetahui ketika
yang menyambut di alun-alun adalah pasukan dari Purbasora. Duta kerajaan Sunda
yang berada di Galuh kemudian memberitahukan keadaan terakhir yang terjadi di
Galuh kepada panglima pasukan Sunda. Pihak Galuh intinya tidak mau melakukan
peperangan dengan pihak Sunda.
Pasukan
Sunda yang datang dengan maksud membantu Bratasenawa (selaku besan dari
Tarusbawa), tentunya merasa terkejut dengan pemberitahuan ini. Akan tetapi
mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaan sudah berlalu dan Bratasenawa
pun dikabarkan selamat tiba di Bumi Mataram.
4. Purbasora (716 – 726 M)
Purbasora
akhirnya menjadi Raja Galuh ke-4, sedangkan Bimaraksa (selaku pimpinan
penyerangan saat kudeta) diangkat menjadi senapati membawahi pasukan-pasukan
tangguh yang diambil dari kerajaan Indraprahasta.
Purbasora
memiliki permaisuri yang bernama Citra Kirana (puteri sulung raja
Indraprahasta). Dari perkawinannya tersebut, pasangan Purbasora dan Citra
Kirana memiliki putera sulung yang bernama Wijayakusuma dan diangkat menjadi
putera mahkota Galuh. Sedangkan puteri lainnya dari Purbasora, dinikahkan
dengan Bimaraksa (putera sulung Jantaka
/ raja Kerajaan Denuh).
Pada
masa kepemimpinannya, langkah pertama yang diambil adalah mengadakan hubungan
diplomatik dengan Kerajaan Sunda. Tarusbawa sebagai raja Sunda tetap menerima
permintaan hubungan baik itu, meskipun kini Galuh telah diperintah oleh seorang
yang telah mengusir besannya.
Dalam
menjalani kekuasaannya, Purbasora berada dalam hati penuh ketegangan dan
kewaspadaan. Beliau takut apabila Bratasenawa melancarkan serangan balasan yang
tentunya akan didukung oleh Kerajaan Bumi Mataram. Yang pasti akibat peristiwa
kudeta Galuh, hubungan antara Galuh dan Bumi Mataram menjadi renggang dan
bermusuhan. Padahal di masa pemerintahan Wretikandayun, Galuh dengan Kalingga
(cikal bakal Kerajaan Bumi Mataram dan Kerajaan Bumi Sembara) sangat
bersahabat.
Meskipun
dalam taraf kesiagaan penuh, namun Galuh tidak menyangka bahwa pasukan dari
Bumi Mataram dan Bumi Sembara dibawah pimpinan Sanjaya (anak Bratasenawa) telah
memasuki wilayah barat Jawa dan menghimpun kekuatan di kaki Gunung Sawal.
Pada
tahun 723, raja Sunda (Tarusbawa) wafat.
Sanjaya yang juga merupakan cucu (dari istrinya) Tarusbawa, dinobatkan menjadi
raja Sunda. Penobatan itu berlangsung ketika Sanjaya sedang giat melatih
pasukannya di kaki Gunung Sawal untuk menyerang Galuh. Dengan posisinya sebagai
raja Sunda, maka Sanjaya juga melibatkan pasukan Sunda untuk melakukan
penyerangan (padahal, di masa Tarusbawa berkuasa, Kerajaan Sunda terikat
hubungan diplomatik dengan Galuh).
Dengan demikian, Kerajaan Sunda memutuskan hubungan diplomatiknya dengan
Galuh secara sepihak (tanpa sepengetahuan Galuh).
Suatu
malam di tahun 726, serangan kilat yang tidak diduga dari pasukan Sanjaya
benar-benar terwujud. Seluruh keluarga Purbasora gugur, bahkan Purbasora
sendiri tewas ditangan Sanjaya. Bimaraksa / Ki Balagantrang selaku senapati
Galuh dibiarkan lolos oleh Sanjaya dan bersembunyi di daerah Geger Sunten
(sekarang Kampung Sodong, Desa Tambaksari, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis).
Hal ini terjadi dikarenakan Sanjaya hanya dendam pada Purbasora dan
keluarganya.
Setelah
Sanjaya berhasil menguasai Galuh, akhirnya Galuh kembali menjadi kerajaan
dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Sanjaya sendiri tidak berniat untuk mengambil
alih tahta Galuh (penyerangannya itu hanya dikarenakan untuk membalaskan dendam
ayahnya). Dengan alasan itulah, Sanjaya meminta Demunawan (adik Purbasora)
sebagai penerus tahta Galuh.
Tetapi
permintaan itu ditolak oleh Danghiyang Guru Sempakwaja (ayah dari Purbasora dan
Demunawan yang saat itu sudah berusia 103 tahun dan menjabat sebagai penguasa
Kerajaan Galunggung). Sempakwaja jelas merasa sakit hati atas perlakuan Sanjaya
terhadap Purbasora, dan beliau tidak mau Demunawan (anak ke-2 nya) menjadi raja
bawahan dari seseorang yang telah membunuh anak sulungnya. Lagi pula saat itu
Demunawan telah menjadi raja di Kerajaan Kuningan.
Tetapi
sebagai pemuka agama yang bijak, Sempakwaja tidak secara terang-terangan
menyampaikan isi hatinya itu. Melalui sebuah sindiran dia mengutarakan maksud
hatinya kepada Sanjaya, sindiran itu mengatakan bahwa kekuasaan Sanjaya dan
keluarganya di Kalingga masih terlalu kecil untuk menjadi “atasan” dari
Resiguru Demunawan. Untuk membuktikan hal itu, Sempakwaja mempersilakan kepada
Sanjaya untuk mengalahkan dulu “tritunggal” andalannya. “Tritunggal” itu
terdiri dari Wiragati (raja Kuningan), Wulan (raja Kajaron), dan Tumanggal
(raja Kalanggara). Mereka bertiga adalah raja-raja tangguh dari kerajaan
bawahan Galunggung. Apabila Sanjaya berhasil mengalahkan mereka bertiga, maka
Sanjaya boleh menjadikan Demunawan sebagai raja bawahannya. Tetapi apabila
gagal mengalahkan mereka, maka kekuasaan Galuh ditunjuk sesuai kehendak dari
Sempakwaja.
Merasa
terbakar atas sindiran itu, akhirnya Sanjaya menyanggupi permintaan tersebut.
Dengan emosi yang tersulut, Sanjaya langsung menyerang Kuningan. Tetapi Sanjaya
akhirnya harus mengakui kehebatan dari
“tritunggal” dalam pertempuran di dekat Cikuningan. Sanjaya bersama
pasukannya dikejar-kejar dan terpaksa mundur kembali ke Galuh.
Dengan
kekalahan ini, Sanjaya harus menuruti perintah dari Sempakwaja. Akhirnya
Sempakwaja menunjuk Premana Dikusuma (cucu Purbasora dari anaknya yang bernama
Wijayakusuma) sebagai penerus tahta Galuh.
Dengan
ditunjuknya Premana Dikusuma sebagai raja Galuh, bukan berarti Sanjaya tidak
memiliki wewenang sepenuhnya atas Galuh. Sanjaya tetap mempunyai wewenang untuk
menunjuk Tamperan Barmawijaya (puteranya) sebagai patih. Kehadiran Tamperan
Barmawijaya sebagai patih sekaligus wakil Kerajaan Sunda, dilengkapi oleh
beberapa pasukan yang didatangkan langsung dari Kerajaan Sunda untuk melindunginya.
5. Prabu Adi Mulya Sanghiyang Cipta Premana Dikusuma
(726 – 732 M)
Beliau
dilahirkan pada tahun 683 tahun, dan sejak tahun 703 beliau telah menjadi raja
daerah di bawah kepemimpinan Amara, di masa itu beliau dijuluki dengan Ajar
Sukaresi.
Premana
Dikusuma pertama kali menikah dengan Naganingrum (cucu dari Bimaraksa / Ki
Balagantrang), dan mereka memiliki putera bernama Surotama atau dikenal dengan
nama Manarah yang lahir pada tahun 718.
Pada
saat beliau dinobatkan sebgai Raja Galuh, ketika berusia 43 tahun, Premana
Dikusuma telah dikenal sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami agama dan
bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajala-jala.
Untuk
mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan,
Sanjaya menjodohkan raja daerah Galuh ini dengan Dewi
Pangreyep (puteri dari Anggada, Patih Kerajaan Sunda). Selain itu
Sanjaya menunjuk puteranya (Tamperan Barmawijaya) sebagai Patih Galuh sekaligus
memimpin “garnizun” Sunda di Galuh.
Kedudukan
Premana Dikusuma serba sulit, ia bertindak sebagai raja daerah Galuh menjadi
bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh
Kakeknya. Sebenarnya Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena
terpaksa keadaan, karena beliau tidak berani menolak perintah Sempakwaja yang
bijak serta dituakan di lingkungan Galuh. Penunjukkan Premana Dikusuma sebagai
raja daerah Galuh oleh Sempakwaja cukup beralasan karena ia masih merupakan
cucu dari Purbasora.
Keterpaksaannya
lebih sulit lagi ketika beliau menyadari bahwa sebenarnya patih Tamperan
Barmawijaya lah yang sebenarnya berkuasa dalam menjalankan pemerintahannya
sehari-hari. Premana Dikusumah hanya dijadikan simbol dari kekuasaan Galuh.
Karena
kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di
dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan
istrinya (Dewi Pangreyep). Urusan pemerintahan diserahkan pada Tamperan
Barmawijaya.
Dewi
Pangreyep yang berasal dari Kerajaan Sunda merasa kesepian berada di Keraton
Galuh sejak suaminya menjadi pertapa. Keberadaan Dewi Pangreyep juga banyak
yang tidak menyukai, terutama dari pembesar-pembesar Galuh yang anti Sunda.
Keadaan
asing itulah yang membuat sang ratu akhirnya dekat dengan sang patih (Tamperan
Barmawijaya), yang sama-sama berasal dari Kerajaan Sunda dan sama-sama
merupakan cicit dari Tarusbawa. Tamperan Barmawijaya senantiasa melindungi
keselamatan sang ratu selama berada di Galuh.
Karena
kedekatannya yang terlalu jauh, maka lahirlah Kamarasa atau Banga dari hasil
hubungan gelap Dewi Pangreyep dan Tamperan Barmawijaya. Untuk menghapus jejak
skandal ini, Tamperan Barmawijaya mengupah seseorang untuk membunuh Premana
Dikusuma yang sedang bertapa di hutan Gunung Padang (sebelah timur Citarum /
termasuk wilayah Galuh barat).
Berita
pembunuhan sang raja itu segera menyebar ke ibu kota Galuh, dan dibumbui oleh
berita bahwa Tamperan Barmawijaya telah menangkap dan menewaskan pembunuhnya.
Kejadian itu membuat Tamperan Barmawijaya mendapatkan pujian dari kerabat
keraton Galuh, kemudian Dewi Pangreyep serta Naganingrum (janda Premana
Dikusuma) akhirnya dijadikan permaisuri oleh Tamperan Barmawijaya.
Pada
tahun 732, Sanjaya mengadakan konfrensi antar Raja seluruh pulau Jawa, yang
salah satu dari hasil konfrensi tersebut mengisyaratkan bahwa Tamperan
Barmawijaya menjadi penguasa Sunda sekaligus Galuh. Hasil dari konfrensi itu
harus dijunjung tinggi oleh siapapun, sehingga pembesar Galuh pun tidak bisa
berbuat banyak dalam mensikapi hasil konfrensi yang kelihatan tidak adil
tersebut.
6.
Tamperan Barmawijaya (732 – 739 M)
Selama
periode ini, Kerajaan Galuh disatukan dengan Kerajaan Sunda dibawah kekuasaan
Tamperan Barmawijaya, namun raja ini tetap memilih Galuh sebagai pusat dari
kekuasaannya.
Di
saat kekuasaannya ini pula, rahasia skandal yang dulu pernah dilakukan mengenai
hubungan gelap dengan Dewi Pangreyep serta pembunuhan atas Premana Dikusuma
terbongkar oleh Bimaraksa yang saat itu sembunyi dan menyamar sebagai penjala
ikan di Geger Sunten. Sebelumnya Bimaraksa telah diam-diam menghimpun kekuatan
anti keturunan Sanjaya dengan didukung oleh sekitar 799 orang. Untuk membongkar
rahasia skandal Tamperan Barmawijaya, Bimaraksa secara sembunyi-sembunyi
menghubungi Manarah (anak Premana Dikusuma dari Naganingrum). Salah seorang
pengikut Bimaraksa yang bernama Ki Anjali ditugaskan untuk menyamar sebagai
pandai besi di ibu kota Galuh.
Manarah
yang sebelumnya telah menganggap ayah pada Tamperan Barmawijaya, menjadi balik
membencinya dan bertekad untuk membalas kematian ayah kandungnya itu.
Pada
tahun 739, Manarah secara diam-diam menyiapkan rencana untuk membalas dendam
kematian ayahnya serta untuk mengembalikan tahta Galuh dari Kerajaan Sunda yang
dulu telah direbut oleh Sanjaya. Dengan bimbingan Bimaraksa, Manarah melakukan
penyerangan mendadak. Sesuai dengan rencana Bimaraksa, penyerbuan ke Galuh
dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar
kerajaan hadir, termasuk Banga (sang putra mahkota). Manarah bersama anggota
pasukannya hadir dalam gelanggang berpura-pura sebagai penyabung ayam.
Bimaraksa memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton. Kudeta itu berhasil
dalam waktu singkat. Tamperan Barmawijaya dan permaisurinya Dewi Pangreyep
serta Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam.
Tetapi
Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya Banga berhasil membebaskan
ayah dan ibunya dari tahanan. Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan
pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan
antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu
pasukan yang mengejar raja Tamperan Barmawijaya dan sang permaisuri Dewi
Pangreyep, melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan
Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangreyep.
Berita kematian
Tamperan Barmawijaya didengar
oleh Sanjaya yang ketika itu telah memerintah di Bumi Mataram, dan
kemudian dengan pasukan besarnya, Sanjaya menyerang Galuh. Namun Manarah telah
menduga serangan itu, sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung
oleh raja di daerah Kuningan yang dulu pernah ditaklukan Sanjaya.
Perang
saudara (gotrayuddha) antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi selama
beberapa hari tanpa ada yang menang maupun yang kalah. Banyak korban yang gugur
dalam peperangan besar itu. Dalam keadaan yang mengenaskan, Demunawan turun
dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta
dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang
bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739. Salah satu isi dari
perundingan itu dicapai kesepakatan bahwa :
Negeri
Sunda dengan wilayah dari Citarum ke barat dirajai oleh Kamarasa atau Banga.
Negeri
Galuh dengan wilayah dari Citarum ke timur dirajai oleh Surotama atau Manarah.
Demunawan
menguasai negeri Saung Galah (Kuningan) dan bekas kawasan Kerajaan Galunggung.
Sanjaya
memerintah di Bumi Mataram.
7. Manarah / Surotama (739 – 783 M)
Manarah
sebagai anak dari Premana Dikusuma (dikenal juga sebagai Ciung Wanara dalam
cerita tradisional Sunda), menjadi penguasa Galuh setelah dia berhasil
menyerang Kerajaan Sunda, keadaan itu membuat Galuh kembali menjadi kerajaan
yang merdeka. Beliau dinobatkan sebagai
raja Galuh dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana.
Manarah
memperistri Kancanawangi (cicit Resiguru Demunawan). Kancanawangi merupakan kakak dari istri Rakeyan Banga.
Dari permaisuri ini, Manarah memperoleh puteri yang bernama Puspasari.
Pada
tahun 783, Manarah melakukan “Manurajasuniya” (mengundurkan diri dari tahta
kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat) dan baru wafat pada tahun 798
dalam usia 80 tahun.
8. Manisri
(783 – 799 M)
Beliau
merupakan menantu dari Manarah, melalui pernikahannya dengan Puspasari. Ketika
dinobatkan sebagai raja Galuh, beliau diberi gelar Prabu Darmasakti
Wirajayeswara. Beliau memiliki dua orang putera, antara lain :
Tariwulan,
kemudian menjadi penerus tahta Galuh.
Rakeyan
Hujungkulon, kemudian menikah dengan Dewi Samatha (puteri Rakeyan Medang /
raja Sunda ke-5). Dari ikatan
pernikahannya ini, beliau akhirnya menjadi raja Sunda ke-6.
9. Tariwulan (799 – 806 M)
Tariwulan
adalah anak dari Manisri, beliau bergelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara.
Tariwulan memiliki permaisuri yang bernama Dewi Saraswati (dari Kerajaan Saung
Galah / Kuningan, keturunan Demunawan).
10. Welengan
(806 – 813 M)
Beliau
merupakan anak dari Tariwulan, beliau bergelar Prabu Brajanagara Jayabuana.
Beliau memiliki dua orang anak, antara lain :
Prabu
Linggabumi, kemudian menjadi penerus Kerajaan Galuh.
Dewi
Kirana, kemudian menikah dengan Rakeyan Wuwus (raja Sunda ke-8).
11. Prabu Linggabumi (813 – 852 M)
Prabu
Linggabumi merupakan putera dari Welengan sekaligus keturunan Manarah yang
terakhir (cicit dari Manarah). Ketika beliau wafat, dia tidak memiliki
keturunan untuk meneruskan tahta Galuh. Sehingga tahta Galuh jatuh kepada suami
adiknya yang bernama Rakeyan Wuwus (Raja Sunda ke-8).
Dengan
peristiwa itu, maka Kerajaan Galuh posisinya berada dibawah kekuasaan Kerajaan
Sunda yang dipimpin oleh Rakeyan Wuwus. Kemudian ketika Rakeyan Wuwus telah
memiliki putera yang cukup umur, maka Galuh kembali memiliki raja yang sifatnya
hanya sebagai raja daerah.
12. Batara
Danghiyang Guruwisuda (852 – 916
M)
Beliau
merupakan putera sulung dari Rakeyan Wuwus, dan hanya sebagai raja daerah saja.
Batara Danghiyang Guruwisuda memiliki seorang puteri yang bernama Dewi Sundara.
Puteri ini kemudian menikah dengan Rakeyan Kamuning Gading (raja Sunda), dan
akhirnya lahir 2 orang putera, antara lain :
Rakeyan
Jayadrata, yang kelak akan menjadi raja Galuh serta membebaskan diri dari
Kerajaan Sunda.
Rakeyan
Limbur Kancana, kelak akan menjadi raja Sunda.
13. Rakeyan
Jayadrata (916 – 949 M)
Pada
masa kekuasaanya, di Kerajaan Sunda tengah terjadi kudeta yang dilakukan oleh
Rakeyan Jayagiri. Kerajaan Galuh yang merupakan kerajaan bawahan dari Sunda,
terlebih lagi Rakeyan Jayadrata adalah putera sulung dari Rakeyan Kamuning
Gading (raja Sunda yang tergusur posisinya), maka mulai saat itu Galuh tidak
mau mengakui kekuasaan dari Rakeyan Jayagiri.
Karena
dianggap membangkang, maka Kerajaan Sunda mengerahkan pasukannya untuk
menyerang Galuh sebanyak 2 kali serangan. Namun, Rakeyan Jayadrata yang
langsung memimpin prajurit Galuh, berhasil menghancurkan serangan itu.
Setelah
kejadian penyerangan yang dimenangkan oleh Galuh, maka Kerajaan Galuh
memerdekakan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda. Dengan demikian, Kerajaan
Galuh tampil kembali menjadi kerajaan yang merdeka dengan batas wilayahnya
adalah sebelah timur Citarum barat Jawa. Kebencian Rakeyan Jayadrata terhadap
Rakeyan Jayagiri, terus berlanjut hingga
raja Galuh tersebut mengutus adiknya yang bernama Rakeyan Limbur Kancana untuk
membunuh Rakeyan Jayagiri.
14. Rakeyan
Harimurti (949 – 988 M)
Beliau
merupakan putera dari Rakeyan Jayadrata, dan menjadi penerus tahta Galuh yang
sudah merdeka. Setelah kekuasaan Sunda berada pada Rakeyan Limbur Kancana,
Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda menjadi damai kembali.
15. Prabu Linggasakti Jayawiguna (988 – 1012 M)
Ketika
beliau wafat, tahta Kerajaan Galuh dikuasai oleh kakak iparnya (Prabu Dewa
Sanghiyang / raja Sunda). Sedangkan anaknya dari permaisuri Dewi Rukmawati yang
bernama Prabu Resiguru Darmasatyadewa, hanya dinobatkan sebagai raja daerah
Galuh sebagai wakil dari kekuasaan Keajaan Sunda di Pakuan.
Dengan
demikian, Kerajaan Galuh kembali menjadi kerajaan bawahan Sunda.
16. Prabu Resiguru
Darmasatyadewa (1012 – 1027 M)
Beliau
hanya berkuasa sebagai raja daerah atau wakil dari pemerintahan Kerajaan Sunda
di Pakuan.
17. Dewi
Sumbadra (1027 – 1065 M)
Beliau
merupakan adik dari istrinya Prabu Sanghiyang Ageung (raja Sunda ke-19). Jika
dilihat dari permaisuri Prabu Sanghiyang Ageung yang berasal dari Kerajaan
Sriwijaya, maka kemungkinan besar Dewi Sumbadra pun sama-sama berasal dari
kerajaan terbesar di pulau Sumatera itu. Seperti juga raja Galuh sebelumnya,
Dewi Sumbadra pun hanya berkuasa sebagai raja daerah atau wakil dari
pemerintahan Kerajaan Sunda di Pakuan. Setelah memerintah selama kurang lebih
38 tahun, Dewi Sumbadra digantikan posisinya oleh puteranya yang bernama Prabu
Arya Tunggalningrat.
18. Prabu
Arya Tunggalningrat (1065 – 1091 M)
Masa
kekuasaan beliau seangkatan dengan masa kekuasaan Prabu Langlangbumi (raja
Sunda ke-22).
Periode
tahun 1091 hingga 1152 tidak diketahui nama Raja Daerah yang menjabat di Galuh.
Pada
tahun 1152, kekuasaan Galuh bersatu dengan Kerajaan Galunggung dalam rangka
mengimbangi kekuatan Kerajaan Sunda. Pada saat itu Galuh kembali menjadi
Kerajaan yang merrdeka, dan diangkat sebagai rajanya adalah seorang ratu
penguasa Kerajaan Galunggung yang bernama Dewi Citrawati / Batari Hiyang
Janapati.
19. Dewi
Citrawati (1152 – 1157 M)
Akibat
hasil dari perundingan damai antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galunggung,
maka beliau berkuasa di 2 kerajaan yang bersatu yaitu Kerajaan Galuh dan
Kerajaan Galunggung. Pada masa kekuasaannya, ibukota Galuh dipindahkan ke pusat
Kerajaan Galunggung.
Dewi
Citrawati mempunyai putera yang bernama Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa,
puteranya ini kemudian ditugaskan untuk menjabat sebagai raja daerah di
Galunggung. Dari Batara Danghiyang Guru
Darmawiyasa ini, Dewi Citrawati mempunyai cucu yang bernama Prabu Darmakusuma,
cucunya inilah kemudian menjadi penerus kerajaan Sunda setelah menikah dengan
Ratna Wisesa (puteri Prabu Menakluhur / raja Sunda ke-23).
Setelah
Prabu Darmakusuma dinobatkan sebagai raja Sunda pada tahun 1157, maka kekuasaan
Galuh dan Galunggung kembali berada di bawah kekuasaan Sunda. Pada tahun 1475,
Kerajaan Sunda kembali dipecah menjadi 2 bagian, karena itu Kerajaan Galuh
kembali muncul sebagai kerajaan yang berdiri sendiri.
20. Ningrat
Kancana (1475 – 1482 M)
Sebelum
menjadi raja Galuh, pada usia 23 tahun Ningrat Kancana ditunjuk oleh Prabu
Anggalarang (ayahnya) sebagai raja daerah di wilayah Galuh. Saat itu, untuk
menjalankan pemerintahannya sehari-hari, beliau langsung berada dibawah
bimbingan ayahnya.
Pada
saat dinobatkan sebagai raja Galuh, beliau diberi gelar Prabu Rahiyang Dewa
Niskala. Saat itu, antara Kerajaan Galuh dengan Kerajaan Sunda (yang dipimpin
oleh Prabu Susuktunggal) berada dalam
kedudukan sederajat / setingkat.
Beliau
memiliki 3 orang istri, tapi tidak diketahui namanya. Dari beberapa
pernikahannya itu, lahirlah beberapa orang anak, antara lain :
Ø Pamanahrasa /
Jayadewata (anak dari istri pertama) lahir tahun 1401, kelak beliau akan
menjadi raja Pajajaran yang paling terkenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.
Ø Ningratwangi
(anak dari istri pertama)
Ø Banyakcatra /
Kamandaka (anak dari istri kedua), kelak menjadi raja daerah (bawahan Galuh) di
daerah Pasir Luhur.
Ø Banyakngampar
(anak dari istri kedua), kelak menjadi raja daerah (bawahan Galuh) di daerah
Dayeuh Luhur.
Ø Ratna Ayu Kirana
(anak dari istri kedua)
Ø Kusumalaya /
Ajar Kutamangu (anak dari istri kedua)
Ø Surayana (anak
dari istri ketiga)
Terjadinya
kejatuhan Prabu Kertabumi / Brawijaya V (Raja Majapahit) akibat serangan Demak
sekitar tahun 1478, telah mempengaruhi jalan sejarah di barat Jawa. Rombongan
pengungsi dari kerabat keraton
Majapahit akhirnya ada
juga yang sampai di wilayah Kerajaan Galuh. Salah seorang diantaranya
ialah Raden Baribin (saudara seayah Prabu Kertabumi). Ia diterima dengan baik
oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan putrinya yang
bernama Ratna Ayu Kirana. Disamping itu
Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang
kebetulan telah bertunangan.
Sejak
peristiwa Bubat, kerabat Kerajaan Galuh maupun Kerajaan Sunda ditabukan untuk
berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut
“perundang-undangan” waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh
menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau
membatalkan pertunangan. Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua
peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja.
Kekalutan
pun tak terelakkan. Prabu Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala
setelah puteri Prabu Susuktunggal yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda
dijodohkan dengan Prabu Jayadewata), mengancam untuk memutuskan hubungan dengan
Kerajaan Galuh. Begitu juga dengan anggapan dari Dewa Niskala yang menganggap
kakaknya terlalu ikut campur urusan intern Kerajaan Galuh.
Namun,
kericuhan dapat dicegah dengan keputusan di tahun 1482, bahwa kedua raja yang
berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri.
Akhirnya Prabu Dewa
Niskala menyerahkan tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya yang
bernama Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan
tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang
terjadi itu, kerajaan di tatar Sunda berada dalam satu tangan. Di bawah panji
Kerajaan Pajajaran.
Setelah
peristiwa penyatuan kekuasaan menjadi satu Kerajaan besar Pajajaran, wilayah
priangan timur (bekas kekuasaan Galuh) terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Kemungkinan besar hal ini terjadi akibat terkonsentrasinya kerajaan Pajajaran
untuk pengembangan wilayah di barat (Pakuan).
21. Prabu
Ningratwangi
Beliau
menjadi raja daerah di bawah kekuasaan besar Pajajaran (yang dipimpin oleh
kakaknya / Jayadewata). Prabu Ningratwangi ditugaskan untuk mengurusi wilayah
Galuh. Pada saat menjalankan pemerintahannya, beliau dibantu oleh beberapa
orang untuk memonitor wilayah barat Jawa bagian timur. Salah satu diantaranya
adalah Adipati Arya Kiban yang mengurusi pemerintahan di Palimanan (mencakup
wilayah Cirebon).Prabu Ningratwangi memiliki putera yang bernama Prabu Jayaningrat
yang kemudian meneruskan tahta Galuh.
22. Prabu
Jayaningrat
Saat
beliau berkuasa, pamor Pajajaran (kerajaan induk dari Galuh) tengah mengalami
penurunan. Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Surawisesa terdesak oleh
munculnya Kesultanan Cirebon. Keadaan itu dijadikan kesempatan bagi Prabu
Jayaningrat, untuk menunjukan kesetiaan Galuh pada Pajajaran.
Untuk
mengembalikan kewibawaan Pajajaran, Prabu Jayaningrat mengirim surat kepada
Syarif Hidayatullah (Sultan Cirebon pertama). Surat tersebut berisi agar
Cirebon mengirimkan upeti kepada atasannya (Pajajaran), apabila perintah ini
tidak dituruti, maka pasukan Galuh akan menggempur Cirebon.
Dikarenakan
Cirebon tetap bersikukuh tidak mau memberi upeti, maka ancaman Galuh menjadi
kenyataan. Pasukan besar disiapkan langsung dibawah komando Prabu Jayaningrat
dibantu oleh sang Patih bernama Adipati Arya Kiban untuk menyerang Cirebon pada
tahun 1528.
Di
perbatasan Galuh – Cirebon tepatnya di dekat bukit Gundul, Palimanan, serangan
pasukan Galuh berhadapan sengit dengan pasukan Cirebon yang diwakili oleh
Laskar Kuningan (Kerajaan sekutu bawahan Cirebon) pimpinan Dipati Ewangga.
Pasukan Galuh berhasil memukul mundur pasukan Dipati Ewangga.
Adipati
Arya Kiban yang saat itu menunggang seekor gajah bernama Si Liman Bango, tidak
melanjutkan pengejaran kepada Pasukan Kuningan hingga ke jantung kota Cirebon
karena mendengar kabar bahwa di Cirebon telah siap 700 pasukan Demak lengkap
dengan senjata api dan meriam. Tetapi kabar tersebut ternyata tidak lengkap,
karena sebenarnya pasukan besar Demak (sekutu Cirebon) tersebut telah diberangkatkan
untuk menyerang Pajajaran di daerah Banten Girang.
Tetapi
selang beberapa waktu, kekhawatiran akan armada besar Demak menjadi kenyataan.
Sekitar 700 pasukan bantuan dari Demak
didatangkan untuk menghadang pasukan Galuh. Pasukan Demak dipimpin oleh
Fatahillah bergabung dengan pasukan Cirebon yang dipimpin oleh tokoh
kharismatik Raden Walangsungsang serta Dipati Ewangga dari Kuningan.
Pertempuran
kedua berlangsung lebih sengit, tetapi kali ini kemenangan berada di pihak
Cirebon dan Demak. Bantuan pasukan meriam Demak membuat Galuh kewalahan. Laskar
Galuh tidak berdaya menghadapi “panah besi besar yang bersuara seperti guntur
serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah merekapun lumpuh karena
meriam, maka jatuhlah Kerajaan Galuh, sedangkan Prabu Jayaningrat berhasil
meloloskan diri ke kerajaan Talaga (sama-sama kerajaan bawahan Pajajaran).
Dikisahkan wilayah dan Istana Galuh dibumi hanguskan oleh rakyatnya yang setia
karena mereka tidak sudi menjadi bawahan dari Cirebon. Riwayat Prabu Jayaningrat
sendiri dikabarkan tewas setelah Cirebon menyerang Talaga.
Menurut
sumber lain mengatakan, kekalahan Galuh ini diakibatkan oleh hilangnya benda
pusaka Kerajaan Galuh yaitu Sarpa Kandaga yang telah dicuri sebelumnya oleh
Nyai Endang Darma (istri Aria Wiralodra, seorang Adipati Cimanuk / Darma Ayu)
atas perintah Syarif Hidayatullah (Sultan Cirebon), sehingga membuat Prajurit
Galuh kehilangan kepercayaan diri dan merosotnya mental bertempur.