SASTRA JAWA KUNO
SERAT NITISRUTI (PUPUH 8 BAIT 1-40)
KUDU KALANGKUNG-LANGKUNG
Serat Nitisruti (Pupuh 8, Bait 1-4) :
Pupuh 8, pada 1 sampai 4, Megatruh (12u, 8i, 8u, 8i, 8o), Serat Nitisruti, ajaran dari Pangeran Karanggayam, pujangga dari Pajang.
Purna punang panilasing lampah wolu, marmanta ywa kongsi lirip, pamiribing kang kasebut, ing ibarat serat sruti, pèten raosè kèmawon.
Dèn aweruh ing sakedhap kilatipun, ywa malih bongsa Islami, ingkang tinitah linuhung, nadyan ingkang para kapir, tansah sami mèt pangilon.
Samya nulat tapsilaning lampah wolu, kadya kang kawahyèng ngarsi, paranta darunanipun, yèn kasora lan wong kapir, myang pra buda kang mangkono.
Awit Islam ingkang kalangkung linuhung, baya ta linuwihluwih, dènira angimpun kawruh, kang mrihayu lahir batin, wit luwih mulya kinayot.
Tafsirnya / maknanya :
Purna (selesai) punang (wujud, bentuk) panilasing ( jejak dari) lampah (laku) wolu (delapan), marmanta (maka dari itu) ywa (jangan) kongsi (sampai) lirip (tercecer), pamiribing (pemiriban, peneladanan) kang (yang) kasebut (disebut), ing (di dalam) ibarat (ibarah) serat (kitab) sruti(suci), pèten (carilah) raosè (rasanya) kèmawon (saja). Itulah wujud jejak dari laku delapan, maka dari itu jangan sampai tercecer peneladanan yang telah disebut didalam ibarat dari kibab suci, carilah rasanya saja.
Itulah jejak-jejak keteladanan dari delapan perbuatan utama yang disebut asthabrata. Jangan sampai tercecer untuk diamalkan bagi para pemimpin di zaman sekarang. Dari apa yang terangkum di dalam kitab-kitab suci (orang terdahulu) ambilah pelajarannya, ambilah rasanya saja.
Yang dimaksud di sini, bahwa ajaran dari Sri Ramawijaya kepada Gunawan Wibisana disampaikan dalam format ajaran agama terdahulu. Dari semua itu ambilah inti dari ajaran itu saja.
Dèn (agar) aweruh (mengetahu) ing (pada) sakedhap (sebentar) kilatipun (kilatnya). Agar mengetahui sebentar kilatan ajaran itu.
Walau sebentar, pahamilah kilatan cahaya kebaikannya. Carilah inti dari ajaran itu secara universal. Yang bisa diteladani oleh semua orang bahwa pemimpin harus mempunyai watak sebagaimana yang delapan tadi.
Ywa malih (jangankan) bongsa (bangsa) Islami (yang beragama Islam), ingkang (yang) tinitah (diciptakan) linuhung (lebih), nadyan (walau) ingkang (yang) para (para) kapir (kafir), tansah (selalu) sami (sama) mèt (mencari) pangilon (cermin teladan). Jangankan bangsa yang beragama Islam yang memang diciptakan lebih, walau para orang kafir pun selalu mencari cermin keteladanan.
Ini sekaligus menjadi cambuk agar para orang Islam di zaman ini (saat ditulisnya serat Nitisruti ini) agar berkaca dari para orang terdahulu. Orang-orang yang masih mereka sebut kafir itu pun selalu mencari teladan kebaikan dari orang-orang sebelumnya.
Samya (semua) nulat (meneladani) tapsilaning (tatakrama) lampah (laku) wolu (delapan), kadya (seperti) kang (yang) kawahyèng (diutarakan) ngarsi (di depan). Semua meneladani tatakrama perbuatan yang delapan, seperti yang diutarakan di depan.
Para orang kafir itu, mereka semua meneladani kebaikan-kebaikan dari tatakrama sebagai pemimpin, yang berupa delapan ajaran kepemimpinan asthabrata. Artinya, walau mereka kafir pun mereka tetap mencari kebaikan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Paranta darunanipun (bagaimana jadinya), yèn (kalau) kasora (kalah) lan (dengan) wong (orang) kapir (kafir), myang (dan) pra (para) buda (agama Buddha dan Hindu) kang (yang) mangkono (demikian). Bagaimana jadinya kalau kalaudengan orang kafir dan yang beragama Budha yang demikian itu.
Kalimat ini adalah cambuk semangant bagi kaum muslim agar jangan sampai kalah dengan orang kafir dan para pemeluk agama sebelumnya (Hindu dan Budha) dalam mencari teladan baik.
Sastra klasik menyebut agama sebelum Islam dengan istilah Buda. Yang dimaksud adalah para pemeluk agama Hindu dan Budha. Mungkin pada zaman itu belum lazim penyebutan agama Hindu. Sehingga semua agama yang datang dari tanah Hindustan itu disebut Buda. Nah, setelah agama orang Jawa berganti menjadi Islam banyak ajaran dari agama sebelumnya yang dilestarikan dalam “rasa” atau moralitasnya. Antara lain tentang ajaran kepemimpinan yang delapan atau asthabrata ini. Karena telah terbukti bahwa ajaran asthabrata itu baik dan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Awit (karena) Islam (Islam) ingkang (yang) kalangkung (sangat) linuhung (luhur), baya ta (bagaimanapun) linuwihluwih (sangat-sangat lebih), dènira (dalam) angimpun (menghimpun) kawruh (pengetahuan), kang (yang) mrihayu (mengupayakan kebaikan) lahir (lahir) batin (batin), wit (karena) luwih (lebih) mulya (mulia) kinayot (jauhnya, selisihnya). Karena Islam yang sangat luhur, bagaimanapun sangat-sangat menganjurkan dalam mengimpun pengetahuan yang bertujuan untuk mengupayakan kebaikan lahir dan batin, karena jauh sangat mulia.
Jika ada pengetahuan tentang cara berbuat baik maka orang Islam harus mempelalajarinya. Ajaran Islam diletakkan di atas keluhuran budi, maka jika ada ajaran yang berupaya untuk meraih kebaikan orang Islam wajib mengambilnya. Karena Islam berupaya mencapai kehidupan mulia, maka setiap upaya apapun untuk meraih kemuliaan wajib dilakukan agar hidup semakin jauh mulia.
SERAT NITISRUTI
WAJIBING PRA SENAPATI
Serat Nitisruti (Pupuh 8, Bait 5-8) :
Pupuh 8, pada 5 sampai 8, Megatruh (12u, 8i, 8u, 8i, 8o), Serat Nitisruti, ajaran dari Pangeran Karanggayam, pujangga dari Pajang.
Amangsuli wasitaning prakartinung, wajibing pra sènapati, mandhègani ing apupuh, punika mongka maharsi, muji arjaning palugon.
Nora pegat dènnya gugulang anggelung, anggalih gelaring jurit, wit dènè sampun kasebut, luhuring atapa yekti, mung sènapatyèng prang popor.
Awit iku kang nyata legawèng kalbu, lila tumekaning pati, tan kètang toh taker marus, swami suta tan tinolih, mung patinè kang katongton.
Milanipun tapaning prajurit punjul, ngungkuli tapaning resi, tapa-tapaking pakèwuh, mungwing graning arga wesi, sinembah madyèng palugon.
Tafsirnya / maknanya :
Amangsuli (mengulang) wasitaning (pesan pada) prakartinung (perbuatan besar), wajibing (kewajiban dari) pra (para) sènapati (senapati), mandhègani (memimpin) ing (dalam) apupuh (perang), punika (hal itu) mongka (sebagai) maharsi (Maharesi), muji (memuji) arjaning (keselamatan dalam) palugon (perang). Mengulang pesan pada perbuatan besar yang menjadi kewajiban para senapati, yang memimpin dalam perang, hal itu sebagai Maharesi, memuji keselamatan dalam perang.
Mengulang pesan tentang perbuatan besar, yakni kewajiban para senapati memimpin dalam perang, itu sebagai Maharesi memuji keselamatan dalam perang.
Sudah diterangkan didalam kajian terdahulu, bahwa para pendeta yang menyepi mempunyai keluhuran layaknya para senapati yang perang di medan peperangan. Sebaliknya para senapati pun mempunyai kemuliaan yang sama dengan para maharesi yang senantiasa memuji Tuhan.
Nora (tidak) pegat (putus) dènnya (dalam dia) gugulang (mempelajari) anggelung (merangkum), anggalih (memikirkan) gelaring (gelar dari) jurit (perang). Tidak putus dalamdia mempelajari merangkum dan memikirkan gelar dari peperangan.
Karena usaha para senapati itu, yang tidak putus mengolah gelar perang, mengatur strategi, menemukan siasat agar menang dalam peperangan.
Wit (karena) dènè (demikian) sampun (sudah) kasebut (disebut), luhuring (kemuliaan) atapa (bertapa) yekti (sungguh), mung (hanya) sènapatyèng (senapati dalam) prang popor (perang besar). Karena demikian sudah disebut kemuliaan bertapa sungguh hanya senapati dalam perang besar.
Juga karena sudah disebut kemuliaan sebagaimana para pertapa hanya bisa dicapai oleh mereka yang berjuang sebagai senapati di dalam peperangan. Hal yang sama juga berlaku untuk para prajurit yang pemberani.
Awit (karena) iku (itu) kang (yang) nyata (nyata) legawèng (lega dalam) kalbu (hati), lila (rela) tumekaning (sampai ke) pati (ajal), tan kètang (walau harus) toh (bertaruh nyawa) taker (menakar) marus (darah), swami (pasangan, istri) suta (anak) tan (tak) tinolih (ditoleh), mung (hanya) patinè (kematiannya) kang (yang) katongton (terlihat). Karena itu yang nyata lega dalam hati, rela sampai ke ajal, istri-anak tak ditoleh, hanya kematiannya yang terlihat.
Karena mereka nyata telah rela dan lega hatinya untuk bersiap sedia bertaruh nyawa membela negara. Mereka tak takut menjemput ajal. Anak dan istri tak mampu membuat mereka menoleh. Hanya kematiannya yang terus terlihat.
Milanipun (makanya) tapaning (bertapanya) prajurit (prajurit) punjul (unggul), ngungkuli (melebihi) tapaning (bertapanya dari) resi (resi), tapa-tapaking (bertapa meninggalkan) pakèwuh (kerepotan), mungwing (seperti di) graning (puncak) arga (gunugn) wesi (besi), sinembah (disembah, dihormati) madyèng (di tengah) palugon (peperangan). Makanya bertapanya prajurit unggul melebihi bertapanya resi, bertapa meninggalkan kerepotan seperti di puncak gunung besi, dihormati di tengah peperangan.
Maka dari itu bertapanya prajurit unggulan di medang perang melebihi bertapanya para resi, yang bertapa meninggalkan kerepotan duniawi di puncak gunung besi. Maka para prajurit yang menyabung nyawa sangat dihormati di tengah peperangan.
SERAT NITISRUTI
WRUHA ING MARGA
Serat Nitisruti (Pupuh 8, Bait 9-12) :
Pupuh 8, pada 9 sampai 12, Megatruh (12u, 8i, 8u, 8i, 8o), Serat Nitisruti, ajaran dari Pangeran Karanggayam, pujangga dari Pajang.
Lawan malih manawi amangun pupuh, mamrih ungguling ajurit, dèn waspada pandukipun, bubukanira ing arsi, antuking marga kinaot.
Wiwitipun tarlèn saking sarwa weruh, ingar ingering kang margi, sinartan setya rahayu, dèn panggaha ywa gumingsir, antepana praptèng layon.
Ing ayuda ywa kenèng mèdaning kalbu, ing satemah bilahèni, yekti agung bèkanipun, dèn apanggah ing palinggih, legawaha ing palugon.
Nadyan ana jemparing maèwu-èwu, yèn sedya rahayu budi, dalah lalayu bul-umbul, bandèranira tan sebit, milu rineksèng Hyang Manon.
Tafsirannya / maknanya :
Lawan (dan) malih (lagi) manawi (kalau) amangun pupuh (maju perang), mamrih (mengharap) ungguling (menang dalam) ajurit (perang), dèn waspada (yang waspada) pandukipun (melaksanakannya), bubukanira (diawali) ing (di) arsi (depan), antuking (mendapatkan) marga (jalan) kinaot (yang lebih baik). Dan lagi kalau maju perang mengharap menang dalam perang, yang waspada melaksanakannya, diawali di depan dengan mendapatkan jalan yang lebih baik.
Yang pertama dilakukan agar menang dalam perang adalah menguasai medan, tahu jalan keluar, dan seluk beluk wilayah di sekitar. Menguasai medan perang di dalam perang konvensional akan menentukan siapa pemenangnya. Strategi perang dapat disesuaikan dengan medan yang ada utnuk mengecoh musuh.
Wiwitipun (mulainya) tarlèn (tak lain) saking (dari) sarwa (serba) weruh (mengetahui), ingar ingering (belak-belok) kang margi (jalanan), sinartan (disertai) sedya (kehendak) rahayu (baik, selamat), dèn panggaha (tetaplah) ywa (jangan) gumingsir (bergeser), antepana (mantaplah) praptèng (sampai) layon (mati). Mulainya tak lain dari serba mengetahui, belok-beloknya jalanan, disertai setia, tetaplah jangan bergeser, mantaplah sampai mati.
Mulainya dengan mengetahui medan perang, jalan-jalannya, kemana berbelok-beloknya. Kemudian tetapkan kehendak yang baik, sucikan niat agar selamat. Perang harus diniatkan sebagai membela kebenaran, membela negara atau membela kemanusiaan. Perang bukan untuk melampiaskan nafsu serakah atau menguasai orang lain. Sesudah itu tetaplah berada pada niat itu, jangan sampai bergeser, yang mantap dalam hati, sampai kematian menjemput.
Ing (dalam) ayuda (medan perang) ywa (jangan) kenèng (terkena oleh) mèdaning (kecewa dalam, ganjalan) kalbu (hati), ing (yang) satemah (sehingga) bilahèni (membahayakan). Dalam medan perang jangan terkena oleh ganjalan dalam hati, yang sehingga membahayakan.
Yang dimaksud jika maju ke peperangan jangan sampai membawa sesuatu ganjalan dalam hati. Yang demikian itu membahayakan bagi diri sendiri.
Yekti (sungguh) agung (besar) bèkanipun (bahayanya), dèn apanggah (yang tetap) ing (di) palinggih (tempat), legawaha (legalah) ing (di) palugon (tengah perang). Sungguh besar bahayanya yang tetap di tempat, legalah di tengah perang.
Sungguh besar bahayanya jika maju perang hati masih memikirkan yang lain. Kalau sudah masuk ke medan perang hendaknya hati sudah lega, rela akan apapun yang terjadi. Tetaplah di tempat, jangan hati ragu-ragu. Legalah dalam hati, jangan menanggung ganjalan atau beban.
Nadyan (walau) ana (ada) jemparing (anak panah) maèwu–èwu (beribu-ribu), yèn (kalau) sedya (berkehendak) rahayu (baik) budi (dalam budi), dalah (serta) lalayu (bendera, panji-panji) bul–umbul (umbul-umbul), bandèranira (benderanya) tan (tak) sebit (koyak), milu (ikut) rineksèng (dijaga) Hyang (Tuhan) Manon (Maha Melihat). Walau anak panah beribu-ribu, kalau berkehendak baik di dalam budi, serta panji-panji umbul-umbul, bendera pun tak koyak, ikut dijaga oleh Tuhan Yang Maha Melihat.
Walau anak panah beribu-ribu menerjang, kalau berkehendak baik dalam maju berperang, takkan mengenai. Panji-panji perang, bendera dan umbul-umbul tak koyak. Semua ikut dijaga oleh Tuhan Yang Maha Melihat.
SERAT NITISRUTI
MAMRIH WATAK UTAMENG PRANG
Serat Nitisruti (Pupuh 8, Bait 13-17) :
Pupuh 8, pada 13 sampai 17, Megatruh (12u, 8i, 8u, 8i, 8o), Serat Nitisruti, ajaran dari Pangeran Karanggayam, pujangga dari Pajang.
Purwanipun praptèng tempuh ing apupuh, aywa kongsi andhingini, sanadyan nempuh rumuhun, yèn wus tinetegan wajib, lumawana nora awon.
Tandukira anèng sangarsaning mungsuh, aywa anyuwara wengis, ramè susumbar kumruwuk, murih kapiarsèng aji, ing ngalema sang akatong.
Kang mangkono iku tingkah nora mungguh, menggah patraping prajurit, luwih maning pra panganjur, mamriya jejer utami, utamanè nèng palugon.
Sènapati angagem jemparing luhung, nèng paprangan silih ungkih, sarta tansaha babantu, awratè kang anèng ngarsi, rumeksa ywa kongsi kasor.
Paguting prang anirnakena pakèwuh, saglaring mungsuh tan wigih, mangkono mungguhing ratu, tan kèwran anata baris, mamrih ayuning palugon.
Tafsirnya/ maknanya :
Purwanipun (awalnya) praptèng (sampai di) tempuh (menempuh) ing (di) apupuh (peperangan), aywa (jangan) kongsi (sampai) andhingini (mendahului), sanadyan (walaupun) nempuh (menyerang) rumuhun (duluan), yèn (kalau) wus (sudah) tinetegan (ditetapkan) wajib (wajib), lumawana (lawanlah) nora (tidak) awon (buruk). Awalnya sampai menempuh di peperangan, jangan sampai mendahului, walaupun menyerang duluan, kalau sudah ditetapkan wajib, lawanlah itu tidak buruk.
Awalilah masuk ke medan perang dengan tenang. Jangan mendahului meski kau di pihak penyerang. Karena kebijakan di medan perang ditentukan oleh panglima. Apakah akan berlanjut atau damai, panglimalah yang menentukan. Kalau sudah ada ketetapan wajib untuk menyerang lawanlah dengan segera. Itu tidak buruk.
Tandukira (perilakumu) anèng (ada di) sangarsaning (depan dari) mungsuh (musuh), aywa (jangan) anyuwara (berkata) wengis (bengis), ramè (ramai) susumbar (menantang) kumruwuk (ribut), murih (agar) kapiarsèng (terdengar oleh) aji (raja), ingalema (dipuji) sang (sang) akatong (Raja). Perilakumu di depan musuh jangan berkata bengis menantang ribut, agar terdengar oleh Raja, agar dipuji oleh sang Raja.
Perilakumu di depan musuh jangan sampai berkata bengis, menantang-nantang dan banyak bicara tak jelas (kumruwuk). Jangan sampai lakukan itu hanya agar sepak terjangmu di dengar Raja, jangan sampai kau lakukan itu hanya agar dipuji sang Raja.
Kang (yang) mangkono (demikian) iku (itu) tingkah (tingkah) nora (tidak) mungguh (patut), menggah (bagi) patraping (watak dari) prajurit (prajuirt), luwih (lebih-lebih) maning (lagi) pra (para) panganjur (pemuka), mamriya (upayakan) jejer (berdiri) utami (utama), utamanè (utamanya) nèng (ada di) palugon (peperangan). Yang demikian itu tingkah tidak patut, bagi watak prajurit, lebih lagi bagi para pemuka, upayakan berdiri dalam watak utama, utamanya dalam perang.
Watak yang demikian tadi, yakni banyak omong dan suka menantang-nantang, tidaklah patut dikerjakan seorang prajurit. Lebih lagi bagi para pemuka perang. Upayakan agar selalu berdiri di dalam watak utama. Utama sesuai dengan aturan di dalam perang.
Sènapati (senapati) angagem (memakai) jemparing (panah) luhung (lebih baik), nèng (ada di) paprangan (peperangan) silih ungkih (saling kalah), sarta (serta) tansaha (selalulah) babantu (membantu), awratè (kerepotan) kang (yang) anèng (ada di) ngarsi (depan), rumeksa (menjaga) ywa (jangan) kongsi (sampai) kasor (kalah). Senapati lebih baik memakai senjata panah, di dalam peperangan saling kalah, serta selalulah membantu, kerepotan yang ada di depan, menjaga jangan sampai kalah.
Para senapati lebih baik memakai senjata panah. Dengan senjata itu bisa menjangkau tempat jauh. Dalam peperangan biasa terjadi saling kalah atau menang. Dengan senjata jarak jauh tadi seorang senapati dapat membantu pasukan di garis depan. Bila pasukan depan terdesak bantulah dengan melepas anak panah ke arah musuh. Senapati sehatusnya selalu menjaga agar jangan sampai pasukan kalah.
Paguting (bertemu dalam) prang (perang) anirnakena (menghilangkan) pakèwuh (segan), saglarin (segelar pasukan) mungsuh (musuh) tan (tak) wigih (sungkan), mangkono (demikian juga) mungguhing (bagi) ratu (raja), tan (tak) kèwran (kerepotan) anata (menata) baris (barisan), mamrih (agar) ayuning (selamat dalam) palugon (perang). Bertemunya dua pasukan dalam perang menghilangkan rasa segan, segelar pasukan musuh takkan sungkan, demikian juga bagi seorang raja, tak kerepotan menata barisan, agar selamat dalam perang.
Dalam peperangan yang ada hanya menang dan kalah, membunuh atau dibunuh. Tak ada rasa sungkan lagi. Satu gelar barisan pasukan musuh takkan sungkan untuk menyerangmu. Demikian juga bagi seorang raja atau senapati, tak boleh kerepotan mengatur pasukan. Seorang senapati harus selalu mendampingi dan mengarahkan pasukan agar selamat dalam perang.
SERAT NITISRUTI
TAPA ING WUKIR WARASTRA
Serat Nitisruti (Pupuh 8, Bait 18-21) :
Pupuh 8, pada 18 sampai 21, Megatruh (12u, 8i, 8u, 8i, 8o), Serat Nitisruti, ajaran dari Pangeran Karanggayam, pujangga dari Pajang.
Para mantri pinarnahaken ing pungkur, tan patyakèh kang titindhih, mung kang ngayap sang aprabu, kang samapta amiranti, tyas teteg angatos-atos.
Myang ulat kena prajurit kang samya magut, yèn ana ingkang katitih, kèngser kasrakating pupuh, sri naranata tumuli, matak wadya mrih rumantos.
Lan prajurit kapal lan kinèn tumulung, biyantu ingkang kalindhih, ambanjel mring kang toh lampus, lamun mangkana sayekti, kontap kontamaning katong.
Tetep mantep tapa munggwing pucukipun, wukir warastra sayekti, saking sih mring pra tumuwuh, tan kèguh tumekèng pati, labuh kang mantep prang popor.
Tafsirnya / maknanya :
Para (para) mantri (mantri) pinarnahaken (ditempatkan) ing (di) pungkur (belakang), tan (tak) patyakèh (terlalu banyak) kang (yang) tinindhih (dipimpin), mung (hanya) kang (yang) ngayap (menyertai) sang (Sang) aprabu (Raja), kang (yang) samapta (bersiap sedia) amiranti (dengan senjata), tyas (hati, tekad) teteg (bulat) angatos–atos (berhati-hati). Para mantri ditempatkan di belakang, tak terlalu banyak yang dipimpin, hanya yang menyertai Sang Raja yang bersiap sedia dengan senjata, tekad bulat serta berhati-hati.
Para mantri ditempatkan di belakang. Mereka tidak disertai pasukan yang banyak. Hanya beberapa sebagai penjaga Raja, dengan senjata siap tempur. Dipilih yang berhati teguh, tekad bulat dan berhati-hati. Mental prajurit penjaga raja harus unggul karena tugasnya melindungi Raja.
Myang (dan) ulaten (perhatikan) prajurit (prajurit) kang (yang) samya (sedang) magut (bertempur), yèn (kalau) ana (ada) ingkang (yang) katitih (kalah), kèngser (terdesak) kasrakating (kerepotan dalam) pupuh (perang), sri (Sri) naranata (Raja) tumuli (segera), matak (menyuruh) wadya (pasukan) mrih (agar) rumantos (bersiap). Dan perhatikan prajurit yang sedang bertempur, kalau ada yang kalah terdesak kerepotan dalam perang, Sri Raja segera menyuruh pasukan agar bersiap membantu.
Sang Raja sebagai pemimpin perang, atau senapati agung harus memperhatikan segala yang terjadi dalam peperangan. Jika ada sebagian prajurit yang terdesak dan bergeser, kesulitan mempertahankan posnya maka Sri Raja segera dapat menyuruh pasukan di belakang untuk bersiap membantu.
Lan (dan) prajurit (prajurit) kapalan (berkuda) kinèn (disuruh) tumulung (menolong), biyantu (membantu) ingkang (yang) kalindhih (terdesak), ambanjel (mengganti) mring (pada) kang (yang) toh (bertaruh) lampus (nyawa), lamun (kalau) mangkana (demikian) sayekti (sungguh), kontap (termasyhur) kotamaning (keutamaan) katong (Raja). Dan prajurit berkuda disuruh segera menolong, membantu yang terdesak, menggatikan yang sedang bertaruh nyawa, kalau demikian sungguh termasyhur keutamaan Raja.
Prajurit berkuda yang dapat bergerak cepat segera diperintah untuk menolong yang sedang terdesak. Membantu mereka dan menggantikan posisi-posisi yang kosong karena prajuritnya gugur. Jika mampu bertindak demikian, sungguh akan termasyhur keutamaan Sang Raja sebagai pemimpin perang.
Tetep (tetap) mantep (mantap) tapa (bertapa) munggwing (pada) pucukipun (puncak dari), wukir (gunung) warastra (senjata sayekti (sungguh). Tetap mantap bertapa pada puncak dari gunung senjata sungguh.
Nama Sang Raja akan termasyhur karena cakap dalam memimpin perang. Kemuliaannya tak ubahnya orang yang bertapa di puncak gunung senjata. Tak kalah dengan para resi yang bertapa di puncak gunung sunyi.
Saking (karena) sih (kasih) mring (kepada) pra (para) tumuwuh (makhluk), tan (tak) kèguh (gentar) tumekèng (datangnya) pati (mati), labuh (membela) kang (yang) mantep (mantap) prang (perang) popor (besar). Karena kasih kepada para makhluk, tak gentar datangnya mati, membela yang mantap perang besar.
Kemuliaannya diraih karena kasihnya kepada para makhluk, kepada para prajurit dan rakyat serta negeri yang dibelanya. Hatinya tak gentar oleh datangnya mati, teguh membela mereka yang mantap maju dalam perang besar.
SERAT NITISRUTI
KUMANDEL MRING HYANG AGUNG
Serat Nitisruti (Pupuh 8, Bait 22-25) :
Pupuh 8, pada 22 sampai 25, Megatruh (12u, 8i, 8u, 8i, 8o), Serat Nitisruti, ajaran dari Pangeran Karanggayam, pujangga dari Pajang.
Lawan sampun uninga sajatosipun, purba wasèsèng dumadi, datan ana lara lampus, mung urip tan owah gingsir, langgeng anunggil Hyang Manon.
Myang kanining sarira saèstunipun, sampun uninga yèn sakit, ananging yèn tyas tuwajuh, ngilangken uwasing kapti, tan samar moring palugon.
Lan lungiding sanjata sampun kaètung, ywa rumasa aywa lalis, ngandela marang Hyang Agung, sèstu laraping jemparing, tan kongsi prapta ing ngenggon.
Tumamaha ing angga kalising tatu, tuwin kang arsa mamati, tan kawasa karya lampus, ila-ila nguni-uni, tuladan kang wus kalakon.
Maknanya :
Melanjutkan bait yang lalu, bahwa kemasyhuran seorang Raja dapat terjadi karena yang bersangkutan piawai di medan perang. Keperwiraannya membuatnya mulia setara dengan para resi yang bertapa di puncak gunung. Keberanian menantang mau di medan perang menjadi jalan meraih kemuliaan itu.
Lawan (dan) sampun (sudah) uninga (mengetahui) sajatosipun (sejatinya), purba (kuasa) wasèsèng (mengatur dari) dumadi (makhluk), datan (tidak) ana (ada) lara (sakit) lampus (mati), mung (hanya) urip (hidup) tan (tak) owah (berubah) gingsir (bergeser), langgeng (lestari) anunggil (menyatu) Hyang (Tuhan) Manon (Maha Melihat). Dan mengetahui sejatinya kuasa mengatur dari makhluk tidak ada sakit mati, hanya hidup tak berubah bergeser lestari menyatu dengan Tuhan Yang Maha Melihat.
Keberanian dalam perang tak lepas dari keyakinan sejati bahwa yang kuasa dan mengatur makhluk hanya Tuhan. Manusia sesungguhnya hanya menetapi darmanya sebagai hamba. Tidak ada yang namanya sakit, tak ada mati. Hanya ada hidup yang lestari, tak berubah tak bergeser, menyatu bersama Tuhan Yang Maha Melihat. Jika seorang senapati perang meyakini hal ini, dia takkan takut mati di medan perang, karena mati di medan perang adalah puncak pengabdian kepada Tuhan.
Myang (dan) kanining (luka dalam) sarira (tubuh) saèstunipun (sesungguhnya), sampun (sudah) uninga (mengetahui) yèn (kalau) sakit (sakit), ananging (tetapi) yèn (kalau) tyas (hati) tuwajuh (tawajuh, kukuh teguh, mantap), ngilangken (menghilangkan) uwasing (khawatir dalam) kapti (hati), tan (tak) samar (ragu) moring (bergabung dalam) palugon (medan perang). Dan luka dari tubuh sesungguhnya sudah diketahui kalau sakit, tetapi kalau hati mantap menghilangkan khawatir dalam hati, tak ragu bergabung dalam medan perang.
Prajurit dan senapati yang terjun ke medan perang juga tahu bahwa luka di tubuh akan membuat rasa sakit yang sangat. Namun karena hati sudah mantap, tawajuh, maka rasa khawatir hilang. Dia tak ragu lagi masuk ke medan perang.
Lan (dan) lungiding (tajam pada) sanjata (senjata) sampun (sudah) kaètung (dihitung), ywa (jangan) rumasa (kumedah, menyongsong) aywa (jangan) lalis (menghindar, mati), ngandela (percayalah) marang (kepada) Hyang (Tuhan) Agung (Maha Agung), sèstu (sungguh) laraping (meluncurnya) jemparing (anak panah), tan (tak) kongsi (sampai) prapta (datang) ing (di) ngenggon (tempat). Dan tajamnya senjata sudah dihitung, jangan menyongsong jangan menghindar, percayalah kepada Tuhan Yang Maha Agung, sungguh meluncurnya anak panah tak sampai mencapai tempat.
Bagi setiap prajurit senjata setajam apapun sudah mampu menghitungnya. Namun jangan menyongsong (dengan sombong) dan jangan menghindar, percayalah kepada Tuhan Yang Maha Agung. Sambutlah meluncurnya senjata dengan pasrah sambil mengerahkan segala kemampuan. Sungguh meluncurnya anak panah takkan sampai mencapai tempat. Keyakinan ini harus dipegang oleh setiap prajurit yang maju perang.
Tumamaha (kalaupun mengenai) ing (di) angga (badan) kalising (terhindar dari) tatu (luka), tuwin (serta) kang (yang) arsa (hendak) mamati (membunuh), tan (tak) kawasa (kuasa) karya (membuat) lampus (mati). Kalaupun mengenai badan terhindar dari luka. Serta yang hendak membunuh tak kuasa membuat mati.
Kalaupun senjata tadi mengenai badan maka terhindar dari luka. Juga orang yang bermaksud membunuh takkan sanggup membuat mati. Inilah keyakinan yang harus selalu dipegang para prajurit. Jangan sampai belum masuk ke medan perang sudah takut duluan, nanti kalau mati bagaimana, nanti kalau luka bagaimana. Seorang prajurit jika sudah wajib baginya maju perang segala resiko dianggap kecil.
Ila–ila (perkataan) nguni–uni (orang dulu), tuladan (teladan) kang (yang) wus (sudah) kalakon (terjadi). Perkataan orang dahulu, teladan yang sudah terjadi.
Itulah ila-ila atau perkataan orang dahulu yang sudah seringkali terbukti. Seorang prajurit jika maju ke peperangan harus meyakini hal tersebut demi menguatkan hati.
SERAT NITISRUTI
NISTHA, MADYA, UTAMANING MANTRI
Serat Nitisruti (Pupuh 8, Bait 26-29) :
Pupuh 8, pada 26 sampai 29, Megatruh (12u, 8i, 8u, 8i, 8o), Serat Nitisruti, ajaran dari Pangeran Karanggayam, pujangga dari Pajang.
Sapa ingkang ing tyas arsa karya lampus, yakti antuk gantungan pati, kang wèh lara kenèng rapuh, kabèh tingkahing ngaurip, yekti walesan kèmawon.
Dènè nistha madya utamaning wadu, kang samya pinangkat mantri, yèka yèn jaman karuhun, mangkana ingkang winardi. Nisthaning mantri kacriyos,
yèn umangsah ing aprang mati rumuhun, wadya balanira maksih, kari nèng paprangan campuh. Madyaning kang para mantri, lamun angèrèni layon.
Utamanè yèn amati perang gempur sawadyanè tumpes tapis, mangkana kala ing dangu. Nanging lamun jaman mangkin, para mantri tan kacriyos.
Maknanya :
Sapa (siapa) ingkang (yang) ing (dalam) tyas (hati) arsa (hendak) karya (membuat) lampus (mati), yakti (sungguh) antuk (mendapat) gantungan (gantungan) pati (kematian), kang (yang) wèh (memberi) lara (sakit) kenèng (terkena) rapuh (sakit), kabèh (semua) tingkahing (perilaku) ngaurip (dalam hidup), yekti (sungguh) walesan (balasan) kèmawon (saja). Siapa yang dalam hati hendak membuat mati (orang lain) sungguh mendapat gantungan kematiannya, yang memberi sakit terkena sakit, semua perilaku dalam hidup sungguh hanya merupakan balasan saja.
Siapa yang berkehendak membunuh orang lain, sungguh dia telah mendapat gantungan untuk kematiannya sendiri. Yang memberi sakit orang lain akan berbalas mendapat sakit jua. Di dalam kehidupan ini sesungguhnya ada balasan dari setiap perbuatannya. Semua hanya menuai dari apa yang dia tanam, ngundhuh wohing pakarti.
Dènè (adapun) nistha (nista) madya (madya) utamaning (utama dari) wadu (prajurit), kang (yang) samya(sedang) pinangkat (berpangkat) mantri(mantri), yèka (yaitu) yèn (kalau) jaman (zaman) karuhun (dahulu), mangkana (demikian) ingkang (yang) winardi (dijelaskan). Adapun nista, madya dan utama dari seorang prajurit yang sedang menyandang pangkat mantri kalau di zaman dahulu demikian ini yang diceritakan.
Seorang prajurit berpangkat mantri juga mempunyai kriteria keutamaan. Ada yang disebut nista, yakni yang keadaan yang harus dijauhi. Ada yang disebut madya atau tengah-tengah, yang biasa dilakukan atau biasa terjadi. Ada pula yang disebut utama, inilah keadaan ideal yang mesti diupayakan. Adapun kriteria dari ketiganya adalah sebagai berikut ini sesuai yang berlaku di zaman dahulu.
Nisthaning (nistanya dari) mantri (mantri) kacriyos (diceritakan), yèn (kalau) umangsah (berperang) ing (di) aprang (peperangan) mati (mati) rumuhun (duluan), wadya balanira (balatentaranya) maksih (masih), kari (tertinggal) nèng (ada di) paprangan (medan perang) campuh (bertempur). Nista dari seorang mantri diceritakan kalau berperang di tengah peperangan mati duluan, sedang balatentaranya masih tertinggal di medan perang bertempur sendirian.
Yang dianggap nista bagi seorang mantri di zaman dahulu adalah ketika di tengah peperangan dia mati duluan. Sedangkan balatentaranya masih hidup dan melanjutkan bertempur sendirian. Ini bagi seorang mantri tidaklah baik, artinya dia meninggalkan bawahannya untuk bertempur tanpa arahan. Boleh jadi nanti para bawahan tadi menyerah dan berbalik mendukung musuh, atau menyerah dan dihabisi. Dengan demikian mengurangi keperwiraan dari seorang prajurit..
Madyaning (perbuatan madya dari) kang (yang) para (para) mantri (mantri), lamun (kalau) angèrèni (belakangan) layon (gugur). Yang dianggap perbuatan madya bagi seorang mantri adalah kalau belakangan gugur.
Di saat pertempuran hebat satu per satu prajuritnya gugur. Akhirnya sang mantri bertempur sendirian sampai gugur juga. Ini disebut perbuatan madya, atau tengah-tengah.
Utamanè (yang utama) yèn (kalau) amati (gugur) pareng (bersamaan) gempur (bertempur) sawadyanè (seluruh balatentara) tumpes (tumpas) tapis (tanpa sisa), mangkana (demikian) kala (kala) ing (di) dangu (zaman dulu). Yang utama kalau gugur bersamaan ketika bertempur bersama seluruh balatentaranya sampai tumpas tanpa sisa.
Adapun yang disebut utama bagi seorang mantri prajurit adalah gugur bersamaan ketika sedang bertempur bersama balatentaranya sampai tumpas tanpa sisa. Inilah puncak kemuliaan seorang pemuka pasukan.
Nanging (namun) lamun (kalau) jaman (zaman) mangkin (sekarang), para (para) mantri (mantri) tan (tak) kacriyos (diceritakan). Namun kalau di zaman sekarang para mantri tak diceritakan.
Namun di zaman sekarang keutamaan para mantri tak dibahas. Belum kita ketahui ukuran keutamaan, madya maupun nista dari para mantri di zaman sekarang. Zaman sekarang yang dimaksud adalah zaman ketika ditulisnya serat Nitisruti ini.
SERAT NITISRUTI
MRIH WIDADA PRAPTENG DON
Serat Nitisruti (Pupuh 8, Bait 30-34) :
Pupuh 8, pada 30 sampai 34, Megatruh (12u, 8i, 8u, 8i, 8o), Serat Nitisruti, ajaran dari Pangeran Karanggayam, pujangga dari Pajang.
Milanipun caraning jaman rumuhun, kathah ingkang para mantri, mangsah prang pejah rumuhun, dènè kang mangkana yekti, lamun tinulat pakèwoh.
Wit wadyanya pindha kuthuk ting caranguk, tinilaring rèna anis, apuwara tanpa tuju, lir kali damaring nagri, muhung tumindak sapakon.
Tanpa budi amardi dayaning kalbu, ing wekasan nguciwani, kèh wuwulang duk ing dalu, kang samya kawrating tulis, amamarah mrih kinaot.
Bab ing nistha madya myang kotamanipun, para mantri lir ing ngarsi, kang manuratan anggayuh, apa wandan tan udani, mringkwèh ing kintaka kaot.
Mangkya lamun samya kapanudyèng kayun, kaparenga nguningani, nistha utamaning idhup, myang wrin purwaning dumadi, mrih widada praptaning don.
Tafsirnya / maknanya :
Milanipun (maka dari itu) caraning (cara dari) jaman (zaman) rumuhun (dahulu), kathah (banyak) ingkang (yang) para (para) mantri (mantri), mangsah (maju) prang (perang) pejah (gugur) rumuhun (duluan), dènè (adapun) kang (yang) mangkana (demikian) yekti (sungguh), lamun (kalau) tinulat (dilihat, dicontoh) pakèwoh (segan). Maka dari itu cara dari zaman dulu, banyak para mantri maju perang gugur duluan, adapun yang demikian sungguh kalau dilihat merasa segan.
Maka dari itu banyak terjadi di zaman dahulu para mantri yang berperang gugur duluan. Yang demikian itu bagi mereka kalau dilihat orang akan menimbulkan rasa segan. Pakewuh artinya tidak enak hati. Keadaan tersebut membuat mereka tidak nyaman dan menimbulkan rasa was-was kalau terjadi pada mereka.
Wit (karena) wadyanya (balatentaranya)pindha (seperti) kuthuk (anak ayam) ting caranguk (saling tepekur), tinilaring (ditinggal oleh) rèna (induknya) anis (mati). Karena balatentaranya seperti anak ayam saling tepekur karena ditinggal mati induknya.
Balatentaranya kebingungan, tepekur tanpa tahu harus berbuat apa. Seperti anak ayam kehilangan induk. Tidak tahu arah jalan, saling tunjang tanpa komando. Keadaan ini selalu menjadi kekawatiran bagi seorang mantri prajurit.
Apuwara (sehingga) tanpa (tanpa) tuju (tujuan), lir (seperti) kalidamar ing nagri (pelita di tengah negeri), muhung (hanya) tumindak (berbuat) sapakon (sesuai perintah). Sehingga tanpa tujuan, seperti pelita di tengah angin, hanya berbuat sesuai perintah.
Kalima kalidamar ing nagri kami tidak tahu persis artinya, mungkin peribahasa yang mirip dengan pelita di tengah angin. Arahnya hanya mengikuti ke mana angin berhembus. Seperti halnya pasukan yang ditinggal gugur pemukanya, tak tahu arah tujuan.
Tanpa (tanpa) budi (budi) amardi (memeras) dayaning (kekuatan) kalbu (hati), ing (pada) wekasan (akhirnya) nguciwani (mengecewakan). Tanpa budi memeras kekuatan hati, pada akhirnya mengecewakan.
Para prajurit tadi tak bisa apa-apa tanpa pemuka. Mereka tak mampu memeras otak, membudidayakan hati sehingga berakhir mengecewakan. Yang ada malah saling selisih pendapat dan berakhir mengenaskan.
Kèh (banyak) wuwulang (pengajaran) duk (ketika) ing (di) dangu (dulu), kang (yang) samya (semya) kawrating (termuat dalam) tulis (tulisan), amamarah (mengajarkan) mrih (agar) kinaot (lebih unggul). Banyak pengajaran di zaman dulu yang semua termuat dalam tulisan, mengajarkan agar lebih unggul.
Banyak pengajaran dari masa lalu yang termuat dalam tulisan, serat kakawin atau kidung. Yang semua itu mengajarkan agar kita menjadi manusia yang lebih unggul dari sesama.
Bab (bab) ing (tentang) nistha (nista) madya (madya) myang (dan) kotamanipun (keutamaannya), para (para) mantri (mantri) lir (seperti) ing (di) ngarsi (depan), kang (yang) manurat (menulis) tan (tak) anggayuh (mencapai), apawadan (dengan dalih) tan (tak) udani (mengetahui), mringkwèh (pada banyak) ing (pada) kintaka (tulisan) kaot (yang unggul). Bab tentang nista madya dan utama para mantri seperti di depan, yang menulis tak mencapai, dengan dalih tak mengetahui pada banyak tulisan yang unggul.
Bab tentang nista madya dan utama seperti para mantri yang diuraikan di depan tadi, yang menulis ini pun tak mencapainya dengan dalih tidak mengetahui tentang tulisan yang banyak itu. Maka kami hanya bisa membaginya dengan menuliskannya ulang untuk Anda semua.
Mangkya (sekarang) lamun (kalau) samya (semua) kapanudyèng (tersentuh dalam) kayun (hati), kaparenga (berkenan) nguningani (mengetahui), nistha (nista) utamaning (utama dalam) idhup (hidup), myang (dan) wrin (melihat, mengetahui) purwaning (awal mula dari) dumadi (kehidupan), mrih (agar) widada (selamat) praptaning (sampai di) don (tujuan). Sekarang kalau semua tersentuh hati, berkenan mengetahui nista-utama dalam hidup, dan mengetahui awal mula kehidupan, agar selamat sampai di tujuan.
Sekarang kami haturkan kepada Anda yang tersentuh hatinya untuk berkenan mengetahui nista-utama dalam kehidupan dan mengetahui awal mula kehidupan, agar kelak selamat sampai di tujuan. Yakni alam akhirat yang kita semua akan ke sana.
SERAT NITISRUTI
PANUTUP
Serat Nitisruti (Pupuh 8, Bait 35-40) :
Pupuh 8, pada 35 sampai 40, Megatruh (12u, 8i, 8u, 8i, 8o), Serat Nitisruti, ajaran dari Pangeran Karanggayam, pujangga dari Pajang.
Nupiksa asalwiring serat wuwuruk, lan iti ya niti sruti, èwadènè tamtunipun, ya maksih ginuywèng janmi, dèning kathahing punang pong.
Yektinipun pakèwet kalangkung-langkung, buka tyasè wong sabumi, èwuh aya ing panuju, badanè pribadi tan wrin, saking rungsiting suraos.
Milanipun pinugel wahyaning wuruk, ingkang arsa angawruhi, sasolah bawèng tumuwuh, wit dèning ingkang manggupit, korup ing kareman wuron.
Ing wekasan kang dipun yektosi muhung, pratingkah kang datan yukti, wit dèning dahat kalimput, mring pakartining dumadi, babagan nembah Hyang Manon.
Awit saking tan uninga dunungipun, ingkang wajib dèn astuti, wekasan nalangsèng kalbu, narimah amung mumuji, datan pegat praptaning don.
Purna punang panulating supatrayu, tinengran srat niti sruti, ing ri sukra lèk ping pitu, candra masela jimakir, nir wisaya srirèng Manon.
Tafsirnya / maknanya :
Nupiksa (memeriksa) asalwiring (segala) serat (serat) wuwuruk (piwulang), lan(dan) nitia (memeriksa) nitisruti (Nitisruti), èwadènè (walaupun) tamtunipun (tentunya), ya maksih (masih) ginuywèng(ditertawakan) janmi (manusia), dèning (karena) kathahing (banyak) punang (wujud) pong (kosong). Memeriksa segala serat piwulang dan memeriksa Nitisruti walaupun tentu saja masih ditertawakan orang karena banyak yang masih kosong.
Salah satu upaya penulis naskah ini adalah berusaha memeriksa segala serat peninggalan orang dahulu, antara lain nitisruti ini. Walau tentunya masih ditertawakan orang, karena banyak yang masih kosong. Meski penulis (dan juga pengkaji serat ini) sudah berusaha sekuat daya untuk memeriksa peninggalan para leluhur, tentu masih banyak kekurangan yang membuat usaha ini layak ditertawakan, karena banyak meninggalkan celah kosong.
Yektinipun (sesungguhnya) pakèwet (segan, pakewuh) kalangkung–langkung (sangat-sangat), buka (membuka) tyasè (hati) wong (orang) sabumi (seluruh bumi), èwuh aya (serba salah) ing (dalam) panuju (menghaturkan), badanè (diri) pribadi (sendiri) tan (tak) wrin (mengetahui), saking (karena) rungsiting (halusnya) suraos (makna). Sesungguhnya sangat-sangat segan, membuka hati orang sebumi, serba salah dalam menghaturkan, badan sendiri tak mengetahuo, karena halusnya makna.
Sesungguhnya kami sangat-sangat segan, hendak membuka hati orang seluruh bumi. Serba salah dalam kami menghaturkan uraian. Karena diri kami sendiri tak mengetahui, karena makna yang dikandung dalam serat ini sangat-sangat halusnya.
Milanipun (makanya) pinugel (kami sudahi) wahyaning (uraian) wuruk (piwulang), ingkang (yang) arsa (hendak) angawruhi (mengetahui), sasolah bawèng (segala perilaku pada) tumuwuh (kehidupan), wit (karena) dèning (oleh) ingkang (yang) manggupit (menggubah), korup (tenggelam) ing (dalam) kareman (kegemaran) wuron (mabuk). Makanya kami sudahi uraian piwulang ini, yang hendak mengetahu segala perilaku pada kehidupan, karena oleh yang menggubah tenggelam dalam kegemaran mabuk.
Kami sudahi uraian tentang piwulang ini. Karena kami pun tak pantas menguraikan lebih lanjut tentang segala perilaku kebaikan dalam kehidupan. Kami hanyalah orang yang masih tenggelam dalam kegemaran mabuk.
Ing (pada) wekasan (akhirnya) kang (yang) dipun yektosi (ditekuni) muhung (hanya), pratingkah (perilaku) kang (yang) datan (tak) yukti (baik), wit (karena) dèning (oleh) dahat (sangat) kalimput (tertutup), mring (oleh) pakartining (perbuatan sebagi) dumadi (makhluk), babagan (dalam) nembah (menyembah) Hyang (Tuhan) Manon (Maha Melihat). Pada akhirnya yang ditekuni hanya perilaku tak baik, karena oleh sangat tertutup oleh perbuatan makhluk dalam hal menyembah Tuhan Yang Maha Melihat.
Pada akhirnya yang kami tekuni hanyalah perilaku yang tak baik, karena tertutup oleh keterbatasan kami dalam menyembah kepada Tuhan Yang Maha Melihat.
Awit (karena) saking (sangat) tan (tak) uninga (mengetahui) dunungipun (tempatnya), ingkang (yang) wajib (wajib) dèn astuti (dipuji-puji), wekasan (akhirnya) nalangsèng (menyesal) kalbu (hati). Karena sangat tak mengetahui tempat yang wajib dipuji-puji, akhirnya menyesal di hati.
Karena kami sangat bodoh, tak tahu tempatnya yang wajib dipuji-puji, akhirnya kami menyesal di hati karena tak mampu memberi yang terbaik. Kami tak yakin bahwa yang kami yakini sudah benar, tetapi kami terus berusaha.
Narimah (mencukupkan diri) amung (hanya) mumuji (memuji), datan (tak) pegat (putus) praptaning (sampai di) don (tujuan). Mencukupkan diri hanya memuji, tak putus sampai di tujuan.
Akhirnya kami hanya mencukupkan diri terus memuji, sampai akhirnya nanti sampai di tujuan.
Purna (tamat) punang (wujud) panulating (peneladanan) supatrayu (serat kebaikan), tinengran (yang diberi nama) srat (Serat) nitisruti (Nitisruti, ing (pada) ri (hari) sukra (Jum’at) lèk (hari) ping pitu (ketujuh), candra (bulan) masela (Dulkangidah) jimakir (Jimakir), nir wisaya srirèng Manon (candrasengkala). Tamat wujud peneladanan serat kebaikan yang diberinama Serat Nitisruti, pada hari Jum’at hari ketujuh, bulan Dulkangidah, tahun Jimakir, dengan candrasengkala: Nir wisaya srireng Manon (1850).
Selesai sudah penulisan Serat Nitisruti pada hari Jum’at, tanggal tujuh, bulan Dulkangidah, tahun Jimakir, dengan angka tahun candrasengkala: nir wisaya srireng manon (1850).