AJISAKA SEBAGAI DEWASISYA DI DALAM SERAT AJIDARMA-AJINIRMALA KARYA PUJANGGA R.NG. RANGGAWARSITA
(Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)
(Sumber penulis : ANUNG TEDJOWIRAWAN Jurusan Sastra Nusantara Program Studi Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada) |
ABSTRAK
Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita dari kerajaan
Surakarta sekitar tahun 1791 J atau 1862 M. Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala merupakan
dua buah buku yang menjadi satu. Keduanya disusun berdasarkan sumber kitab Musarar
yang berasal dari Rum.
Sĕrat Ajidarma menceritakan ketika pertama kali Jaka Sangkala menginjakkan kakinya di tanah Jawa, tepatnya di gunung Kendheng. Di sini ia mendapatkan berbagai pelajaran dari para dewa, diantaranya : Empu Ramadi, Sang Hyang Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang Kamajaya.
Adapun Sĕrat Ajinirmala menceritakan
sewaktu Jaka Sangkala (Ajisaka) membuka daerah di gunung Alaulu. Di sini ia
mendapatkan pelajaran dari para dewa, diantaranya: Sang Hyang Wenang, Sang
Hyang Ening, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Pramesthi Guru,
Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Bayu, Sang
Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang Kamajaya.
Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah sebuah kitab yang berisikan ilmu pengetahuan suci,
penuh petunjuk dharma, agar manusia dapat membentengi dirinya sehingga selamat
dan terbebas dari pengaruh perbuatan jahat. Sĕrat ini juga mencoba
menerangkan asal-usul manusia yang pertama kali mendiami Pulau Jawa serta
menggambarkan peristiwa-peristiwa menggetarkan yang dialami mereka di awal
kehidupannya di pulau ini. Selain itu, dalam sĕrat ini juga diungkapkan
nama-nama hari, tahun, windu Jawa dan windu Arab.
PENGANTAR
Ajisaka (Isak, Prabu Isaka, Resi Isake, Sri Maharaja
Wisaka, Tupangku Mudikbatara, Sri Sultan Kusumaji, Jaka Sangkala, Mpu Sangkala,
Sangka Adi) adalah pahlawan kebudayaan (culture hero) bagi masyarakat
Jawa. Tokoh Ajisaka menduduki tempat utama, terbukti naratif tokoh spiritual
tersebut terekam di dalam sejumlah kitab, antara lain: Sĕrat Manikmaya, Sĕrat
Paramayoga, Sĕrat Pustakaraja (Sĕrat Purwapada, Sĕrat Sri Saddhana, Sĕrat
Witaradya), Sĕrat Jangka Jayabaya, Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya
Pranitiwakya, Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala, Babad Prambanan dan Sĕrat
Kalamwadi. Di samping itu, tokoh Ajisaka juga terdapat di dalam Babad
Ajisaka (Naskah Tepas Kapujanggan Kraton No. A-17), Sĕrat Ajisaka (Naskah
Panti Budaya Ngayogyakarta No. PB-A-36), Sĕrat Momana (Naskah Panti
Budaya Ngayogyakarta No. PB-C-172), dan Sĕrat Ajisaka (J. Kats, 1953
dalam Subalidinata, 1994: 2).
Kehadiran tokoh kebudayaan dan spiritual Ajisaka selalu
dikaitkan dengan kolonisasi (pengisian) pulau Jawa maupun terciptanya huruf
Jawa. Jika mendasarkan diri pada sĕrat- sĕrat di atas, maka yang
berisikan cerita mengenai kolonisasi atas pulau Jawa adalah Sĕrat Purwapada (dalam
kelompok Sĕrat Mahaparwa,
bagian Sĕrat Pustakaraja Purwa), Sĕrat
Ajidarma-Ajinirmala, Serat Jangka Jayabaya maupun Primbon Pusaka
Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya. Adapun yang menceritakan tentang
terciptanya huruf Jawa antara lain Sĕrat Ajisaka, Babad Prambanan serta
berbagai legenda yang hidup di dalam masyarakat daerah Tengger maupun Pulau
Bawean (Pulau Majeti).
Cerita mengenai kolonisasi pulau Jawa dalam Sĕrat
Ajidarma-Ajinirmala dan perbandingannya dengan cerita kolonisasi pulau Jawa
yang terdapat di dalam Sĕrat Purwapada, Sĕrat Jangka Jayabaya maupun Primbon
Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya akan diuraikan tersendiri pada
bab bagian belakang. Dalam hal terciptanya huruf Jawa sebenarnya sudah ada buku
berbahasa Belanda berjudul Javaans Schrift tulisan Van der Mollen
(1993). Dalam buku tersebut dikemukakan bahwa aksara Jawa yang berjumlah 20
dengan urutan Ha-Na-Ca-Ra-Ka dan seterusnya tersebut dikelompokkan
lima-lima sehingga menjadi syair empat larik, yang memuat tradisi dipakai oleh
Ajisaka untuk mengajarkan aksara Jawa di tanah Jawa. Syair itu memuat kisah
tragis kedua hamba Ajisaka yang saling berbeda pendapat sampai keduanya
kehilangan nyawa (Wiryamartana, 1994: 1-2). Namun kapan mulai timbulnya abjad Ha-Na-Ca-Ra-Ka
masih sulit dijawab, mungkin setelah kerajaan Majapahit (abad XVI-XVII).
Abjad Ha-Na-Ca-Ra-Ka itu terkait dengan pengertian falsafah Jawa yang
menarik, merakyat dan mudah dihafalkan. Penggunaan Ha-Na-Ca-Ra-Ka mungkin
pada awalnya juga berhubungan dengan pengertian bijāksāra (the
mistical character) yaitu huruf yang mengandung kekuatan gaib. Bijāksāra
atau mantra gaib tersebut kerap kali ditulis di atas lembaran kertas perak
(rājata-pattra) dan emas (suwarna-pattra) yang tergulung disimpan
di dalam pripih batu di dalam sumuran candi (Atmodjo, 1994 dalam Permanasari,
2008: 1-2).
Jika mendasarkan diri pada Sĕrat Pustakaraja maka
dapat dikatakan bahwa Ajisaka, sebagai "pertapa pengembara" pergi ke
tanah Jawa paling tidak sebanyak tiga (3) kali. Pertama, kedatangan Ajisaka ke
tanah Jawa seperti yang dilukiskan di dalam Sĕrat Purwapada (dalam
kelompok Sĕrat Mahaparwa bagian Sĕrat Pustakaraja Purwa). Dalam Sĕrat
Purwapada dikemukakan waktu pertama kali Ajisaka menginjakkan kaki di pulau
Jawa memenuhi perintah ayahnya yaitu Bathara Anggajali. Di pulau Jawa (pulau
yang panjang dan ditumbuhi tumbuhan jawawut) yang masih sunyi, Ajisaka
(Jaka Sangkala) melakukan tapa brata sehingga mendapat berbagai pelajaran dari
para dewa, yaitu dari Bathari Sri, Sang Hyang Kala, Sang Hyang Brahma, Sang
Hyang Wisnu, dan Sang Hyang Guru. Cerita selanjutnya mengenai kolonisasi pulau
Jawa atas perintah raja Rum, sebagaimana juga dikemukakan didalam Sĕrat
Ajidarma-Ajinirmala yang dipaparkan di bagian belakang (tulisan ini).
Yang kedua, kedatangan Ajisaka ke Jawa seperti yang
dikemukakan di dalam Sĕrat Cingkaradéwa (Sĕrat Sri Saddhana). Disini
Ajisaka sebagai Brahmana Wisaka ke Kerajaan Purwacarita pada masa pemerintahan
Sri Maharaja Purwacandra (Prabu Cingkaradewa), yang bertepatan tahun 497 Suryasangkala
(Rĕsi-trustha-karya-boma) atau 512 Candrasangkala (Panĕmbahing-janma-tumata)
sampai tahun 500 Suryasangkala (Boma-muksa-margèng-wiyat) atau
tahun 515 Candrasangkala (Gumuling-kisma-marganing-muksa). Pada
waktu itu Brahmana Wisaka dari tanah Hindhi atau Hindhustan tersebut
menyebarkan pelajaran huruf Dewa Nagari dan bahasa Sanskerta (Sangskrita).
Bagawan Wisaka juga membantu Dhanghyang Salikoswa untuk menyertai anaknya menghadap
Sri Maharaja Purwacandra. Pada waktu itu Bagawan Wisaka berdebat tentang
tebak-tebakan menghitung (matematika) melawan Sri Maharaja Purwacandra beserta
adik-adiknya yaitu Raja Tanggara dan Raja Patanggara. Sri Maharaja Purwacandra
dan kedua adiknya dapat dikalahkan dan karena merasa malu maka mereka kemudian
muksa. Brahmana Wisaka akhirnya menggantikan kedudukan Sri Maharaja Purwacandra
menjadi raja bergelar Sri Maharaja Wisaka. Pada waktu itu banyak yang berguru
kepada Sang Brahmana, mereka antara lain: Prabu Bramasatapa (Gilingwesi), Prabu
Sri Mahawan (Purwacarita), Prabu Basupati (Wiratha). Ketiga raja tersebut
diberi pelajaran tentang huruf Dewa Nagari dan bahasa
Sanskerta, di samping Aji Jayakawijayan, guna kasantikan, rahsaning
ngèlmi kamuksan panitisan panjing sĕraping pĕjah (ilmu tentang kematian dan
penitisan), di samping ilmu tentang tata pemerintahan negara (misalnya: anata,
aniti, apariksa, amisésa; sama-bédha-dana-dhĕndha; among, amot, amĕngku,
amamangkat, bèrbudi bawa lĕksana). Sri Maharaja Wisaka juga mengajarkan
tentang pendirian Kabuyutan dan diberinya nama Ajisrama dan Raja Weddha.
Setelah Sri Maharaja Wisaka mengundurkan diri dan menobatkan putra angkatnya
yaitu Raden Wandana (putra Prabu Sri Mahawan) menjadi raja di Purwacarita
bergelar Prabu Sri Hawan. Bagawan Wisaka kemudian meneruskan perjalanannya
menjelajahi desa dan negara untuk mengajarkan bahasa Sanskerta (Ranggawarsita,
1938 dalam Kamajaya, 1994: 144-152).
Yang ketiga, kedatangan Ajisaka dan keempat saudaranya di
Lampung (Sumatra) pada tahun 952 Suryasangkala atau 1002 Candrasangkala
seperti dikemukakan di dalam Sĕrat Witaradya III. Di dalam Babad
Prambanan kedatangan Ajisaka (Resi Isake, Sri Sultan Kusumaji) dari Bani
Israel ke Medhangkamulan untuk menghentikan kebiadaban dan kelaliman Prabu
Dewatacengkar atas rakyatnya terjadi pada tahun 1050. Di dalam Babad
Prambanan secara garis besar ceritanya sama dengan apa yang dikemukakan
oleh Brandes maupun Bhikkhu Dhammasubho Mahathera maupun yang tersebar di
masyarakat luas.
Jika kita mengkaitkan antara sewaktu kedatangan Ajisaka
untuk pertama kali menginjakkan kaki di pulau Jawa dengan sewaktu Ajisaka
melawan Dewatacengkar, maka hal itu terjadi dalam rentang waktu yang sangat
panjang, sekitar 1.000 tahun. Karena itu apabila kita mengikuti alam pikiran
pujangga R. Ng. Ranggawarsita tentang kedatangan Ajisaka ke Pulau Jawa yang
sampai 3 kali seperti diuraikan di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pada
kedatangan Ajisaka yang ketigalah ia mengalahkan Dewatacengkar. Hal ini dapat
dipahami jika kita cermati apa
yang diuraikan di dalam Sĕrat Purwapada yang
menjelaskan bahwa usia Ajisaka lebih dari 1.000 tahun, karena tokoh tersebut
telah minum air amerta (air hidup) sebagaimana para dewa.
MITOLOGI AJISAKA DAN DEWATACENGKAR
Siapakah sebenarnya Ajisaka ?
Sehingga masyarakat Jawa sangat menghormati tokoh mitologis tersebut. Di dalam Sĕrat Paramayoga maupun Sĕrat Purwapada karya R. Ng. Ranggawarsita dijelaskan bahwa Ajisaka (Prabu Isaka) adalah raja Kerajaan Surati (Hindhustan). Ia adalah putra Prabu Isawaka (Bathara Anggajali). Bathara Anggajali adalah putra Bathara Ramayaddhi, cucu Sang Hyang Rama Prawa, cicit Sang Hyang Hening (saudara kandung Sang Hyang Jagatnata atau Bathara Guru) (Ranggawarsita, 1938; Ali, 2008: 233). Dari garis ibu dapat dikatakan bahwa Ajisaka adalah putra Dewi Sakha (putri Prabu Sarkil dari kerajaan Najran, Turki, keturunan Nabi Ismail). Menurut Ali, dari garis silsilah patrilineal Ajisaka berasal dari kultur pseudo-Arya, sedangkan dari garis silsilah matrilineal Ajisaka berasal dari kultur pseudo-Semit. Dengan demikian berdasarkan garis matrilineal Ajisaka (Jaka Sangkala) secara langsung nazabnya bersambung kepada Nabi Ismail, tokoh historis bangsa Arab, dari kultur Semit (Ali, 2008: 233).
Menurut Bhikkhu Dhammasubho Mahathera bahwa suku Sakya semula dikenal sebagai bangsa Arya, Indo-Jerman. Suku Sakya telah berperadaban, telah mengenal sastra, budaya, birokrasi dan spiritual. Suku Sakya adalah satu suku dengan Sakyamuni Siddharta Gotama, pendiri agama Buddha. Jadi orang-orang suku Sakya adalah pengikut Siddharta Gotama, pengikut agama Buddha. Orang-orang suku Sakya yang mengikuti kelompok berlayar (kloyar) ke Nusantara mendarat di pesisir pantai utara Pulau Jawa dan diperkirakan tahun 78 M. Oleh orang-orang suku Sakya saat pendaratan mereka kemudian dikenang dan ditetapkan sebagai nama tahun yaitu tahun Çaka. Suku Sakya selain menetapkan nama tahun Çaka juga membuat kamus dan menyusun bahasa dari bahasa Pali turun ke bahasa Dewa Nagari, kemudian digubah dan dikembangkan ke dalam Bahasa Jawa menjadi huruf Pallawa (Pali-Jawa). Selanjutnya turun menjadi bahasa Kawi (Jawa Kuno), kemudian menjadi dua puluh (20) alfabet/ huruf pasif
(ho – no – co – ro – ko // do – to – so – wo – lo // po – dho – jo – yo – nyo // mo – go – bo – tho – ngo),
dan delapan (8) huruf hidup yaitu pĕpĕt, pĕlik, taling, taling-tarung, layar, cokro, suku, dan pangku (Mahathera, 2009: 218-228).
Dalam sejarah Jawa Kuno peradaban Nusantara dibangun oleh orang-orang Sakya pengikut Siddharta Gotama, beragama Buddha. Di dalam versi Jawa Baru suku Sakya dikenalkan sebagai Sang Ajisaka murid setia Nabi Muhammad SAW dan beragama Muslim. Kedatangan Sang Ajisaka diundang oleh penguasa Tanah Jawa Syehk Subakir, untuk menaklukkan Prabu Dewatacengkar, Raja Jawa yang berwajah sangar yang bertahta di puncak Gunung Tidar (Mahathera, 2009: 229-230). Yang membingungkan bahwa Ajisaka diposisikan sebagai murid Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kalau difikir secara rasional bagaimana mungkin Ajisaka (orang suku Sakya), murid Sakyamuni pendiri agama Buddha seribu tahun sebelumnya menjadi murid Nabi Muhammad SAW pendiri agama Muslim seribu tahun sesudahnya. Oleh karena itu kisah Dewatacengkar lebih merupakan sindiran hegemoni yang dialamatkan kepada para pemimpin, bangsa atau para pejabat tinggi negara atau rakyat jelata pada waktu itu yang mempunyai sifat-sifat seperti Dewatacengkar.
Dalam Sĕrat Witaradya III dikemukakan bahwa pada
tahun 952 (Suryasangkala) atau tahun 1002 (Candrasĕngkala) di
daerah Lampung (Sumatra), ada seorang Hindu bertahta bergelar Ajisaka. Setelah
ia menyerahkan tahtanya kepada Bahlawan, Ajisaka bersama saudara-saudaranya
yaitu Bagenda Bratandang, Bagenda Braradya, Bagenda Brarunting dan Cetakasandi
mengembara menuju Banten. Di sana Ajisaka berganti nama menjadi Tupangku
Mudikbatara dan menjadi guru yang mengajarkan ilmu sastra, ilmu pengetahuan dan
kesempurnaan. Dengan kebijaksanaannya Tupangku Mudikbatara dapat mendamaikan
Bagenda Pakungpati, Bagenda Mangkarapati, dan Bagenda Manglapati, ketiga
bersaudara yang berebut kekuasaan di Pakuan. Para raja yang menjadi murid
Tupangku Mudikbatara kemudian menyerang kerajaan Galuh. Dalam pertempuran yang
dahsyat antara Tupangku Mudikbatara melawan Sri Sindhula, Tupangku Mudikbatara
bersama keempat saudaranya terdesak dan meninggalkan medan peperangan. Namun
Tupangku Mudikbatara kemudian memakai namanya kembali sebagai Ajisaka dan
bersama keempat saudara serta ketujuh muridnya masuk kembali ke kerajaan Galuh
untuk membunuh Sri Sindhula. Namun tiba-tiba terdengar suara yang
memperingatkan: "Hai Isaka, jangan engkau teruskan niatmu yang jahat itu.
Ketahuilah bahwa Sri Sindhula itu benar-benar dewata, yang turun ke dunia atas
perintahku. Teruskan saja pekerjaanmu menjadi guru, kelak engkau pasti menjadi
raja menggantikan Sindhula." (Sudibjo, 1979: 25-27).
Dikemukakan lebih lanjut dalam Sĕrat Witaradya III bahwa
pada suatu hari Dewatacengkar (putra raja Sindhula) makan sayuran yang
tercampur irisan daging, sehingga rasanya menjadi enak. Karena itu
Dewatacengkar ingin selalu dibuatkan masakan yang dicampur dengan daging
manusia. Sri Sindhula yang kemudian tahu kebiasaan Dewatacengkar menjadi malu
sehingga Dewatacengkar diusir dari Galuh. Dewatacengkar sekeluarga kemudian
pergi ke arah barat dan menetap di Medhangkamulan.
Adapun cerita Ajisaka yang dikenal di masyarakat luas
adalah cerita yang meriwayatkan seorang pahlawan muda dari negeri asing (India)
di bawah pemerintahan seorang raja yang suka makan daging manusia. Ajisaka
kemudian menawarkan dirinya untuk di makan Sang Raja, akan tetapi dengan
syarat, bahwa sebagai gantinya ia akan dapat menerima sebidang tanah seluas
destarnya. Si pemakan daging manusia itu menerima dengan senang hati
persyaratan itu. Akan tetapi segera ia melihat dengan terkejut, bahwa destar
Ajisaka itu makin lama menjadi makin lebar dan akhirnya menutupi seluruh
wilayah kerajaannya. Sang Raja menerima kekalahannya dengan mengundurkan diri
serta menyerahkan kekuasaannya kepada Ajisaka (Berg, 1974: 97).
Tidak lama kemudian Ajisaka (raja baru itu) mengutus
salah seorang hambanya untuk mengambil sebuah senjata, yang sebelumnya telah ia
titipkan kepada seorang hamba yang lain dengan perintah yang tegas janganlah
senjata itu diserahkan kepada orang lain, kecuali Ajisaka sendiri. Dua perintah
yang saling bertentangan tersebut menimbulkan perkelahian di antara kedua
hambanya itu, dan dalam perkelahian itu kedua-duanya tewas. Ketika Ajisaka
diberitahu akan peristiwa tersebut, ia mengucapkan kata-kata yang diingat orang
sebagai berikut:
Ha na ca ra ka, da ta sa wa la,
pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga
Yang berarti: ada abdi-abdi yang terlibat dalam
perkelahian, dan yang telah menemui ajalnya, oleh karena mereka sama kuatnya.
Semenjak saat itu bangsa Jawa telah menyusun konsonan abjadnya menurut urutan kata-kata dalam kalimat yang diberikan Ajisaka :
h n c r
k d t s w l p dh j y ny m g b th ng.
Dalam hal ini, Brandes dengan meyakinkan menyatakan bahwa
cerita tersebut dalam bentuk legenda memberitahukan sebuah fakta tentang
masuknya peradaban Hindu di tanah Jawa. Saka adalah perubahan dalam
bahasa Jawa dari kata Sansekerta Syaka, yang di India artinya “Bangsa
Scyth”, tetapi yang di Jawa, kebanyakan dalam bentuk kata majemuk syakakala,
yang sudah dikenal lebih dahulu dalam arti lain, yakni tarikh yang dilazimkan
di India dalam tahun 78 M. Ajisaka ‘raja Syaka’ harus dipandang sebagai
orang yang memperkenalkan tarikh ini di Jawa. Dengan kata lain, yaitu sebagai
orang yang hidup pada permulaan zaman peradaban, yang telah mengakhiri zaman
biadab, dan yang telah menyebarkan pengetahuan tentang menulis dan membaca
sebagai dasar perkembangan kebudayaan. Dua hamba yang saling membunuh dalam
cerita tersebut bernama Dora yang diartikan ‘dusta’ dan Sĕmbada ‘tak
sesuai dengan kebenaran’, dan patih-patih Ajisaka memakai nama kitab
undang-undang Jawa. Hal ini diartikan bahwa Ajisakalah yang memusnahkan hal-hal
yang dusta dan yang bertentangan dengan kebenaran dari zaman kanibal (orang
yang makan daging manusia = biadab), dan yang memasukkan hukum suci dari agama
Hindu (Berg, 1974: 97-98).
Dua hamba Ajisaka di atas dalam legenda (cerita rakyat)
di daerah Tosari dan Ngadisari, Tengger bernama Setya dan Satuhu. Peristiwa
menyedihkan dua hamba Ajisaka yakni: Setya dan Satuhu yang saling membunuh
karena keduanya saling memegang teguh perintah Ajisaka tersebut kemudian oleh
masyarakat Tengger diabadikan dalam upacara/ perayaan Karo. Perayaan Karo
tersebut diadakan sekali setahun, satu bulan sesudah upacara Kasodo (Wijayanti,
1984: 19-20).
Dalam legenda Bawean, tokoh pembantu Ajisaka yang
dihormati adalah Dora dan Sembada. Dua tokoh ini adalah dua pembantu Ajisaka
yang terlibat dalam perkelahian maut antara keduanya yang dipicu oleh perintah
kontroversial Sang Aji. Penghormatan rakyat Bawean terhadap kedua pembantu
Ajisaka tersebut nampak dari cara rakyat Bawean memakamkan jenazahnya. Kuburan
Dora berukuran panjang 11,5 meter sedangkan kuburan Sembada berukuran panjang
9,5 meter (Usman, 1992 dalam Soedjijono, 2008: 85). Kuburan Dora dan Sembada
dijaga dan dirawat dengan baik, mengisyaratkan sikap masyarakat Bawean yang
menghormati kedua tokoh pembantu Ajisaka tersebut. Namun, dalam legenda Ajisaka
di Jawa tidak dikisahkan kuburan tokoh Dora dan Sembada.
Jika mencermati pendapat Brandes, maka sudah selayaknya
diajukan pertanyaan. Apakah betul pada masa pemerintahan tokoh mitologis
Dewatacengkar keadaan masyarakat Jawa belum mengenal peradaban dan masih bodoh?
Sebab apabila mengikuti alam pemikiran pujangga R. Ng. Ranggawarsita terutama
yang diuraikan dalam Sĕrat Witaradya III maupun Babad Prambanan maka
kedatangan Ajisaka (Resi Isake, Sultan
Kusumaji) dari Bani Israel ke Medhangkamulan untuk
menghentikan kebiadaban Prabu Dewatacengkar itu terjadi pada tahun 1050. Pada
tahun tersebut menurut Sĕrat Pranitiradya dan Jangka Tanah Jawa masuk
dalam jaman Kalapraniti. Sebelum jaman Kalapraniti yaitu jaman Kala
Dwara (pintu) dapat dikatakan sudah banyak orang Jawa yang dapat membuka
pintu kegaiban, seperti membuat ramalan-ramalan atau jangka. Pada jaman Kala
Dwara itulah lahirnya Ramalan Jayabaya (Any Asmara, 1979: 86).
Setelah jaman Kala Dwara dilanjutkan jaman Kala Dwapara (keajaiban).
Di waktu itu terjadi hal-hal di luar akal manusia. Karena pada jaman itulah
Ratu Baka hidup dan diperkirakan berdirinya Candi Prambanan. Dengan demikian
sebelum Prabu Dewatacengkar menguasai Mendhangkamulan maka di tanah Jawa sudah
banyak orang-orang pandai. Oleh karena itu bagaimana mungkin dikatakan bahwa
orang Jawa pada waktu itu biadab (Dewatacengkar), sehingga perlu diganti
menjadi beradab setelah kedatangan Ajisaka (Resi Sake).
Siapakah sebenarnya Dewatacengkar, sehingga ia digambarkan suka makan daging manusia? Di dalam Babad Prambanan dijelaskan bahwa Prabu Watugunung di Gilingwesi berputra Sindhulacala. Raden Sindhulacala berputra Raden Sindhula yang kemudian kawin dengan Dewi Nagawati (putri pamannya) Sang Hyang Nagatmala.
Dari perkawinan tersebut mereka berputra : Dewi
Tembini, Raden Dewatacengkar, Raden Pamunah, dan Raden Dewa Parunggu (Sugiarti
dan Aditrijono, dkk., 1981: 38). Dalam Sĕrat Witaradya III, Sang Hyang
Sindhula berputra: Retno Dewati, Dewatacengkar, Dewatagung, dan Dewatapa.
Setelah berumur 563 tahun Resi Sindhula pulang ke Jawa untuk bertapa di Gunung
Segaluh. Beberapa ratus tahun kemudian, ketika terjadi peperangan antara
kerajaan Pengging melawan Prambanan maka Raden Bandung Bandawasa (cucu raja
Pengging) bertempur melawan Prabu Baka. Pertempuran yang sangat dahsyat
tersebut berlangsung selama 3 hari, sampai akhirnya Prabu Baka tewas. Rohnya
bercahaya dan melesat ke arah barat laut (Galuh) dan menjelma
ke dalam raga Dewatacengkar (Sudibjo, 1979: 37). Mengapa
diceritakan bahwa Dewatacengkar suka makan daging manusia? Hal ini disebabkan
bahwa dahulu kala Sang Hyang Sindhula (putra Sri Watugunung) yang telah menjadi
dewa, pada suatu hari menghina Bathara Wisnu dengan menyatakan bahwa sewaktu
bertugas menjaga ketentraman dunia, sebelum dunia menjadi tentram, maka Bathara
Wisnu sudah kembali ke kahyangan. Padahal pada waktu itu masih ada seorang raja
yang suka makan daging manusia. Bathara Wisnu sangat malu dan sakit hati
sehingga ia memuja agar Sang Hyang Sindhula diturunkan ke dunia dan ia pun akan
mendapat malu karena salah seorang anaknya akan menjadi pemakan daging manusia.
Permohonan Wisnu terkabul sehingga Sang Hyang Sindhula bersama istri dan
keempat anaknya, yaitu: Retno Dewati, Dewatacengkar, Dewatagung dan Dewatapa,
semua turun ke dunia dan mereka bertempat tinggal di pulau Pawinihan (Sudibjo,
1979: 11-12). Kemudian atas laporan Datukbrama, Sang Hyang Sindhula menuju
Galuh dan membangun kembali kerajaan Galuh. Ia akhirnya menaklukkan
daerah-daerah sekitarnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Dewatacengkarlah
yang harus menanggung akibat dari kutuk Bathara Wisnu kepada ayahnya yaitu Sang
Hyang Sindhula.
SERAT AJIDARMA-AJINIRMALA
SEBAGAI KARYA SUFISME
Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala yang dipakai sebagai bahan utama tulisan ini adalah
naskah Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala koleksi perpustakaan Radyapustaka
Surakarta. Naskah Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala berbentuk prosa. Kalimat
teks Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adakalanya disusun secara panjang lebar,
hanya ditandai dengan jeda bilamana perlu, sehingga nampaknya seperti karya
bertembang (puisi). Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala disusun dengan menggunakan
bahasa Jawa Baru ragam campuran, yakni ragam bahasa Jawa krama dan ragam
bahasa
Jawa ngoko, selain itu juga bahasa khusus yang
sering diucapkan oleh para dewa dalam pewayangan.
Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala ini, ragam bahasa
Jawa krama yang dipakai lebih mengarah ke bahasa Jawa krama inggil.
Dalam hal ini, ragam bahasa Jawa krama yang dipakai sebagai sarana
penceritaan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala secara keseluruhan, di samping
dipergunakan dalam dialog singkat antara Jaka Sangkala (Ajisaka) dengan dewa
(Sang Hyang) Wisnu. Ragam bahasa Jawa ngoko dipergunakan para dewa untuk
menguraikan isi pelajaran gaibnya kepada Jaka Sangkala. Adapun ragam bahasa
khusus khas dewa yang sering diucapkan para dewa sebelum mereka memberikan
pelajaran gaibnya kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) tersebut bunyinya antara lain:
Yang yang ning jatining atunggal … (halaman 3); Yang yang ning jatining
suksma kawĕkas … (halaman 4); Unadining Hyang Jagat Wisésa, kawasa
amrawasa sésining buwono… (halaman 5); Yang yang ning dhah mrĕgĕng ning
kahĕnĕnganingsun … (halaman 6); maupun U ilahĕning kahĕnĕnganingsun sĕjati,
tĕtĕp maté ping kaharĕpaningsun … (halaman 7). Contoh bahasa khusus khas
dewa tersebut masih banyak dijumpai pada halaman 8, 13, 32, 33, 35, 37, dan 44.
Naskah Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala sebenarnya
terdiri atas dua buah sĕrat. Pertama Sĕrat Ajidarma yang dimulai
dari halaman 1 sampai 30, dan Sĕrat Ajinirmala yang dimulai dari halaman
31 sampai 56. Kedua serat tersebut menyatu tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan lainnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Sĕrat Ajinirmala sebenarnya
merupakan kelanjutan dari Sĕrat Ajidarma.
Para peneliti kesastraan Jawa, antara lain: Kamajaya
(1964: 196); Suripan Sadi Hutama (Any, 1980: 72); Andjar Any (1980: 114); Darusuprapta
(1981) maupun Haryana Harjawiyana (1984: 142) menempatkan Sĕrat
Ajidarma-Ajinirmala sebagai karya R. Ng. Ranggawarsita. Dalam Sĕrat
Ajidarma-Ajinirmala penulis dan saat penulisannya pun tidak dikemukakan. Sĕrat
Ajidarma hanya menerangkan demikian:
Punika pratélanipun Sĕrat Ajidarma, pipiridan saking Kitab Musarar, babon saking Rum, anyariyosakĕn nalika Jaka Sangkala, babad ing Ngardi Kĕndhĕng, inggih punika Ajisaka ngancik tanah Jawi ingkang wiwitan.
Kala semantĕn sinangkalan : Kunir-rawuk-tanpa-jalu,
warsa Sambrama, manawi kapirid saking panĕngraning sangkala punika tahun sèwu,
sarĕng kapirid saking wiwitan inggih dados tahun satunggal (halaman 1).
Terjemahan :
Inilah keterangan Sĕrat Ajidarma contoh kutipan
dari Kitab Musarar, induk (pokok naskah) dari Rum, yang menceritakan
ketika Jaka Sangkala membuka daerah di Gunung Kendheng, yaitu (ketika) Ajisaka
mulai menginjakkan (kakinya) yang pertama kali di tanah Jawa. Pada waktu itu
ditandai sengkalan: Kunir-rawuk-tanpa-jalu, tahun Sambrama, jika diambil
dari (perhitungan) tanda sangkala itu tahun 1000, adapun (jika) diambil dari
permulaan menjadi tahun 1.
Adapun dalam Sĕrat Ajinirmala diterangkan sebagai
berikut :
Punika Sĕrat Ajinirmala,
nunggil amisah kaliyan cariyosing Sĕrat Ajidarma, sami pipiradaning Sĕrat
Ajidarwya, inggih saking rahsaning Kitab Musarar sadaya. Babon saking Rum.
Kakumpulakĕn akaliyan wawatoning Sĕrat Jitabsara, babon saking Indhu. Ing
ngriku sami anyariyosakĕn nalika Jaka Sangkala anampèni wiwiridaning ngèlmi
kadéwatan, saking Sang Hyang Wĕnang, utawi saking Sang Hyang Ĕning, miwah Sang
Hyang Tunggal. Sang Hyang Siwah sarta para jawata 8 ingkang babarakĕn. Kala
Jaka Sangkala babad ing Wukir Alaulu, sinangkalan: Sarira-suci: 48 (halaman 31).
Terjemahan :
Sĕrat Ajinirmala ini, hampir sama artinya dengan cerita dalam Sĕrat
Ajidarma. Sama dengan penurunan (pengambilan) dari Sĕrat Ajidarwya,
semuanya juga dari rahasia Kitab Musarar. Induk (pokok naskah) dari Rum.
Dikumpulkan dengan hukum dalam Sĕrat Jitabsara, induk (pokok naskah)
dari Indhu. Dalam sĕrat tersebut sama-sama menceritakan tatkala Jaka
Sangkala menerima pelajaran ilmu gaib dewata, (baik) dari Sang Hyang Wenang,
atau dari Sang Hyang Ening, serta Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Siwah serta
para dewata (berjumlah) 8 yang sederajat. Pada waktu Jaka Sangkala membuka
hutan di Gunung Alaulu diberi (ditandai) sengkalan: Sarira-suci: 48.
Dari kutipan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala di atas
ternyata tidak terdapat keterangan yang menunjukkan siapa penulis dan kapan
saat penulisannya. Hanya dijelaskan bahwa Sĕrat tersebut diambil dari Kitab
Musarar dari Rum. Oleh sebab itu, perbandingan terhadap kitab-kitab lain
perlu dilakukan untuk mengungkapkan penulisan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala tersebut.
Apabila kita mencermati buku Primbon Pusaka Jawa:
Jangka Jayabaya Pranitiwakya, maka dijelaskan bahwa kitab (buku) tersebut
adalah gubahan R.Ng. Ranggawarsita yang kemudian dibangun oleh R. Tanojo. Kitab
tersebut banyak persamaannya dengan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala, meskipun
dalam kitab tersebut tidak memuat uraian ajaran-ajaran pada dewa kepada Jaka
Sangkala (Ajisaka) secara rinci. Demikian pula sebaliknya Sĕrat
Ajidarma-Ajinirmala tidak mengemukakan jangka Jayabaya tentang usia Pulau
Jawa sampai Kiamat Kobra yang berlangsung selama 2100 tahun (tahun matahari)
atau selama 2163 (tahun rembulan), yang dibagi menjadi tiga jaman besar (Trikali).
Adapun setiap jaman besar tersebut dibagi menjadi tujuh jaman kecil (Saptama
kala) yang masing-masing berusia 100 tahun.
Dalam Sĕrat Djangka Djajabaja transliterasian Tim
Museum Radyapustaka Surakarta juga memuat jangka (ramalan) Jayabaya seperti
yang dikemukakan dalam buku Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya
Pranitiwakya yang juga dipaparkannya secara rinci. Hanya bedanya Sĕrat
Djangka Djajabaja berbahasa Jawa krama inggil. Sedangkan buku
(kitab) Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya bangunan
kembali R. Tanojo di atas berbahasa Jawa ngoko. Namun agaknya keduanya
berkaitan erat, bahkan kemungkinan Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya
Pranitiwakya bersumberkan atau bangunan dari Sĕrat Djangka
Djajabaja. Jika demikian ada kemungkinan besar bahwa Sĕrat Djangka
Djajabaja adalah karya R. Ng. Ranggawarsita, apalagi apabila sĕrat tersebut
sama dengan Jangka Jayabaya yang dikatakan Suripan Sadi Hutama adalah
karya R. Ng Ranggawarsita (Andjar Any, 1980:72), meskipun Andjar Any
mengemukakan bahwa Sĕrat Jayabaya disalin oleh pujangga (R. Ng.
Ranggawarsita) dari Yasadipura I (Andjar Any, 1980: 116).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk
sebagian terdapat persamaan antara Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala, Primbon
Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya, dan Sĕrat Djangka Djajabaja. Meskipun
titik berat penceritaannya adalah pemberian pelajaran dari para dewa kepada
Jaka Sangkala. Adapun dalam Primbon Pusaka Jawa : Jangka Jayabaya
Pranitiwakya maupun Sĕrat Djangka Djajabaja titik berat
penceritaannya adalah memaparkan jangka (ramalan) Jayabaya. Ketiga sĕrat (kitab)
tersebut adalah karya R.Ng. Ranggawarsita, akan tetapi tahun berapa Sĕrat
Ajidarma-Ajinirmala disusun masih membutuhkan suatu penelitian yang
mendalam, sebab dalam sĕrat tersebut tidak dikemukakan kapan saat
penulisannya.
Kalau diperhatikan pada bagian permulaan Sĕrat
Ajidarma-Ajinirmala diterangkan bahwa sĕrat tersebut diambil dari
rahasia Kitab Musarar yang dikumpulkan dengan hukum dalam Sĕrat
Jitabsara (Jitapsara). Dalam Kepustakaan Djawa, Poerbatjaraka
berpendapat bahwa cerita dalam Jitabsara sebagian besar mengutip kitab Kandha
dan sebagian adalah buah pikiran R. Ng. Ranggawarsita (Poerbatjaraka, 1957:
184-185). Di pihak lain R. Ng. Ranggawarsita sendiri menyatakan bahwa kitab Jitabsara
adalah karangan Bagawan Parasara di Hastina, yang sepanjang pengetahuan
Poerbatjaraka tidak ada buah karya Bagawan Parasara (Poerbatjaraka, 1957: 180).
Dalam Kepustakaan Djawa dikemukakan pula bahwa
Ajisaka yang kemudian bernama Empu Sangkala muncul dalam kitab Paramayoga.
Dalam Paramayoga diterangkan bahwa dasar ceritanya diambil dari cerita
yang terdapat dalam kitab Jitabsara, karangan Bagawan Pasara di Hastina
(Poerbatjaraka, 1957: 180). Dengan demikian menurut Poerbatjaraka kitab Paramayoga
ini pun sebenarnya intisarinya berasal atau diambil dari kitab Kandha yang
dibuat bahasa prosa dengan tambahan serta diubah menurut pendengaran dan
kehendak hati R. Ng. Ranggawarsita sendiri (Poerbatjaraka, 1957: 182). Lebih
lanjut dikemukakan bahwa setelah cerita dalam kitab Paramayoga selesai
(tamat) maka kisah-kisah selanjutnya disambung ke dalam kitab Pustakaraja
Purwa.
Jika mencermati Sĕrat Ajipamasa (yang masuk dalam
kelompok Sĕrat Mahaparma, bagian Sĕrat Pustakaraja Puwara) adalah
susunan R. Ng. Ranggawarsita pada tahun 1791 J atau 1862 M. Sĕrat Ajipamasa tersebut
juga dapat dimasukkan ke dalam Sĕrat Pustakaraja Madya, bagian dari Sĕrat
Pustakaraja yang sangat besar itu. Adapun Sĕrat Pustakaraja merupakan
kelanjutan kitab Paramayoga yang dalam salah satu bagiannya menceritakan
tentang Ajisaka (Jaka Sangkala/ Empu Sangkala). Mungkin juga dapat
diperbandingkan penamaan kata aji dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala dengan
Sĕrat Ajipamasa. Kata aji sendiri berarti 'raja, mantra, nilai', ajipamasa
dapat diartikan 'raja diantara para raja' atau 'mantra, ilmu pengetahuan
suci yang harus dimiliki seorang raja'. Sedangkan ajidarma dapat
diartikan 'mantra, ilmu pengetahuan suci tentang darma' dan ajinirmala dapat
diartikan 'mantra, ilmu pengetahuan suci tentang pembebasan dari mala'.
Baik Sĕrat Ajipamasa maupun Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala banyak
mengemukakan ajaran yang tinggi nilainya dan dalam maknanya.
Dari perbandingan di atas, dapatlah dikatakan bahwa saat
penulisan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala tentu tidak terlalu jauh dengan saat
penulisan Sĕrat Ajipamasa, Sĕrat Pustakaraja Madya, Sĕrat
Pustakaraja, Sĕrat Paramayoga, maupun Sĕrat Jitabsara. Apabila Sĕrat
Ajipamasa disusun pada tahun 1791 J atau 1862 M, maka penulisan Sĕrat
Ajidarma-Ajinirmala kemungkinan besar disekitar tahun tersebut.
Apakah Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala dapat
dikategorikan sebagai karya sastra sufisme? Secara etimologi sufisme berasal
dari kata suf yang dalam bahasa Arab berarti wol. Hal ini merujuk kepada
jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik muslim. Namun tidak semua Sufi
mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Pendapat yang lain menyatakan bahwa
akar kata sufi adalah safa yang berarti kemurnian. Hal ini menekankan
bahwa para Sufisme menekankan pada kemurnian hati dan jiwa. Kata sufisme atau
tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihkan aklak, membangun lahir dan batin untuk memperoleh kebahagiaan yang
abadi, Zoetmulder menyatakan bahwa di dalam karya sastra Jawa dikenal sastra suluk,
yaitu jenis karya sastra Jawa yang bernafaskan Islam dan berisikan ajaran tasawuf
(Zoetmulder, 1935). Kata suluk itu sendiri diperkirakan berasal dari
bahasa Arab sūlukun bentuk jamak silkun yang berarti 'perjalanan
pengembara, kehidupan pertapa' (Hava, 1951 dalam Darusuprapta, dkk. 1986-1987:
2). Arti tersebut dapat dihubungkan dengan ajaran tasawuf yang
mengharuskan para Sufi berlaku sebagai 'pertapa pengembara' dalam mencapai
tujuannya. Selanjutnya menurut ahli-ahli tasawuf diberi arti
'mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat
yang terpuji' (Ali, 1983 dalam Darusuprapta, dkk., 1986-1987: 2). Suluk sering
disebut juga mistik, yaitu 'jalan ke arah kesempurnaan batin, ajaran atau
kepercayaan bahwa pengetahuan kepada kebenaran dan Allah dapat dicapai dengan
jalan penglihatan batin, melalui tanggapan batinnya manusia dapat berkomunikasi
langsung atau bersatu dengan bersamadi, berkhalwat, pengasingan diri'
(Darusuprapta, dkk., 1986-1987: 2).
Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala juga diungkapkan
mengenai mantra yang diucapkan diantaranya oleh Sang Hyang Wenang, Sang Hyang
Ening, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Pramesthi Guru, Sang
Hyang Indra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, maupun Sang Hyang Bayu.
Dari pengertian sufisme di atas dan mencermati pengajaran
gaib para dewa (anampèni wiwirading ngèlmi kadéwatan) kepada Jaka
Sangkala (Ajisaka) seperti yang akan diuraikan nanti, maka kiranya dapat
dikatakan bahwa Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala sebagai karya sastra yang
bersifat sufisme.
NARATIF JAKA SANGKALA (AJISAKA)
DALAM SERAT AJIDARMA-AJINIRMALA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN SUMBER CERITA YANG
LAIN
Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala diceritakan bahwa
Jaka Sangkala pertama kali menginjakkan kakinya di tanah Jawa yakni di gunung
Kendheng. Di sana ia mendapatkan berbagai ajaran para dewa, antara lain: Sang
Empu Ramadi, Sang Hyang Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang
Brahma, Sang Hyang Bayu, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang
Kamajaya. Setelah itu Jaka Sangkala berpindah ke gunung Cawang, gunung Pinggan,
gunung Hyang, gunung Lawang, dan gunung Limungan.
Setahun kemudian terjadilah wabah penyakit yang sangat
mengerikan yang menyebabkan dari 20.000 keluarga hanya tinggal 20 keluarga
saja. Sedangkan yang lainnya binasa karena keangkeran pulau Jawa. Oleh karena
itu kemudian mereka melarikan diri pulang kembali ke Rum. Sesampainya mereka di
Rum, Jaka Sangkala menceritakan hasil perjalanannya di pulau Jawa kepada Sultan
Algabah. Kemudian Sultan Algabah memanggil para pendeta dan pertapa untuk
mengisi manusia kembali atas pulau Jawa dengan memasang penangkal terlebih
dahulu. Dari hasil pembicaraan mereka ditetapkan bahwa Jaka Sangkala dan Molana
Ngali Samsujen bersama para pendeta dan pertapa kembali ke Jawa untuk memasang
penangkal. Penangkal tersebut dipasang di lima (5) tempat, yakni di sebelah
utara, selatan, barat, timur, dan tengah (gunung Tidar, tanah Kedhu). Beberapa
hari kemudian pemasangan penangkal tersebut menampakkan hasilnya. Peristiwa
alam yang dahsyat terjadi menempuh para hantu penghuni tanah Jawa, membuat
mereka merasa kepanasan dan kesakitan, sehingga melarikan diri masuk ke laut.
Setelah keadaan tenang kembali maka datanglah utusan dari Rum untuk memanggil
kembali Jaka Sangkala. Akan tetapi sebelum utusan Rum datang, maka Jaka
Sangkala menyelesaikan penyusunan Sĕrat Cakrawarti dan Sĕrat
Paliprawa untuk menjadi pegangan bagi orang Jawa. Jaka Sangkala pun
menciptakan tahun, windu, dan bulan Jawa secara rinci.
Dalam Sĕrat Ajinirmala diceritakan bahwa Jaka Sangkala membuka hutan di gunung Alaulu. Di sana ia mendapatkan berbagai pelajaran dari para dewa, antara lain dari: Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Ening, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Pramesthi Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Kala, Sang Hyang Kamajaya. Setelah itu Jaka Sangkala ke gunung Kombang dan mengubah namanya menjadi gunung Alaulu. Dengan kesepakatan keempat saudaranya, yakni: Empu Brahantang, Empu Braradya, Empu Brorunting, dan Empu Broruni (?).
Jaka Sangkala
bersama saudaranya itu pergi ke gunung Pringgendani. Sesampainya di sana mereka
disambut dengan keempat raksasa yang mengamuk. Jaka Sangkala pasrah jiwa raga
pada keempat raksasa tersebut yang kemudian menjelma menjadi dewa dan
memberikan berbagai macam ilmu kesaktian kepada Jaka Sangkala. Beberapa waktu
Jaka Sangkala tinggal di gunung Pringgendani, maka datanglah Seh Molana Ngali
Samsujen yang mengemban perintah dari Sultan Algabah untuk memanggil Jaka Sangkala
pulang ke Rum.
Dalam Sĕrat Djangka Djajabaja transliterasian Tim
Museum Radyapustaka Surakarta yang diketuai R.M.T. Setyoso Tjokrodipuro (1970)
dikemukakan bahwa pada suatu hari Prabu Jayabaya Raja Kediri kedatangan pendeta
sakti dari Kerajaan Rum bernama Molana Ngali Samsuzen. Baginda dan pendeta
sakti tersebut bertukar pikiran mengenai berbagai macam ilmu.
Baginda kemudian berguru kepada Molana Ngali Samsuzen.
Setelah Prabu Jayabaya putus ilmunya, maka Molana Ngali Samsuzen membentangkan jangka
(ramalan) yang sudah tersurat dalam Kitab Musarar serta menguraikan
ketika pulau Jawa belum didiami manusia. Menurut pendeta tersebut, Sultan
Galbah dari negeri Rum menerima ilham (bisikan) yang memerintahkan untuk
mengisi pulau-pulau yang belum dihuni oleh manusia. Berdasarkan informasi para
nahkoda, maka Sang Patih mengusulkan kepada Sultan Galbah agar pulau yang
kemudian dikenal dengan pulau Jawa tersebut ditetapkan untuk diisi. Sang Patih
mengambil 20.000 keluarga dari Rum dan dikirimkan ke pulau Jawa dengan kapal,
mereka mendarat di gunung Kandha atau Kendheng. Kedatangan orang-orang Rum
tersebut membuat penghuni pulau Jawa yakni para hantu (lĕlĕmbut) menjadi
sangat marah dan menyerang mereka pada malam hari. Hal itu mengakibatkan banyak
orang Rum yang binasa, sebab dari 20.000 keluarga hanya tinggal 20 keluarga
saja. Mereka kemudian kembali ke Rum. Peristiwa yang mengerikan tersebut sangat
menyedihkan hati Sultah Galbah. Oleh karena itu dipanggillah para pendeta dan
para pertapa untuk membicarakan pemasangan penangkal atas pulau Jawa. Pendeta
Ngusman Ngazi (Ngaji/ Aji) ditunjuk untuk meneliti dan menentukan letak
pemasangan penangkal tersebut. Setelah itu para pendeta dan para pertama
dikirim ke pulau Jawa, mereka memasang penangkal tersebut di lima tempat, yakni
di sebelah utara, selatan, barat, timur, dan di tengah-tengah (pusat). Dua
puluh satu (21) hari kemudian pemasangan penangkal berhasil, para hantu
menyingkir mengungsi ke laut. Beberapa tahun kemudian Sultan Galbah
memerintahkan mengirimkan kembali manusia untuk mengisi pulau Jawa kedua
kalinya. Pengiriman tersebut diambilkan orang-orang dari tanah Industan,
Keling, Kandhi dan Siyam lengkap dengan peralatan hidup. Mereka dibagi di
berbagai kelompok dan ditempatkan di berbagai tempat (Tim Museum Radyapustaka,
1970: 1-2).
Dalam kitab Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya
Pranitiwakya gubahan R. Ng. Ranggawarsita yang kemudian dibangun R. Tanojo diungkapkan
pula tentang pengisian pulau Jawa oleh Sultan Galbah (Al Gabah), yang secara
garis besar sama dengan Serat Djangka Djajabaja, akan tetapi
penceritaannya lebih terperinci dan luas. Selain itu, dalam hal penamaan
tokoh-tokoh maupun lokasi penceritaannya sedikit bervariasi. Misalnya nama
Prabu Jayabaya dalam Sĕrat Djangka Djajabaja dalam Primbon Pusaka
Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya bernama Prabu Aji Jayabaya. Contoh lain,
misalnya nama pendeta Molana Ngali Samsuzen menjadi Maulana Al Syamsu Zain;
Sultan Galbah menjadi Sultan Al Gabah; Ngusman Ngazi menjadi Usman Aji; dan
negeri Rum dijelaskan maksudnya yakni Rum Turki yang terletak di tanah Brusah,
sebelah utara tanah Arab dan termasuk wilayah tanah Turki Asia. Di samping itu,
dikemukakan juga bahwa sewaktu pengiriman yang kedua ke tanah Jawa yang terdiri
atas orang-orang Industan, Keling, Kandhi maupun Siyam, maka Empu Sangkala
mewakili pendeta Usman Aji yang menjadi gurunya itu (Tanojo, tanpa tahun:
6-12).
Dalam kitab Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita
& Sabdapalon, bagian “Sang Mapanji Joyoboyo” dan “Ramalan Jayabaya
Musarar” susunan Andjar Any (1979) dikemukakan bahwa Sech Ali Samsu Zein (Ali
Samsujen), seorang pertapa sakti dari Rum yang telah menganut agama Islam
mengembara sampai di gunung Padhang. Di sana, ia bertemu dengan Ajar Subrata,
yakni anak Empu Sedah. Selanjutnya Ajar Subrata berguru kepada Sech Ali Samsu
Zein dan diberi pelajaran tentang berbagai ilmu. Pada suatu hari Ajar Subrata
menyatakan kepada gurunya itu tentang kesedihan dan sakit hatinya, sebab
ayahnya, yakni Empu Sedah dihukum bakar tanpa kesalahan oleh Prabu Jayabaya
yang merasa tersindir, sewaktu Empu Sedah melukiskan Prabu Salya Raja Mandraka
dengan permaisurinya, Dewi Setyawati dalam Kakawin Bratayuda (Bhāratayudha) gubahannya.
Mendengar penuturan Ajar Subrata muridnya itu, maka Sech Ali Samsu Zein akan ke
Kotaraja menemui Prabu Jayabaya untuk memperingatkan perbuatannya dahulu.
Sesampainya di kerajaan ia disambut
Baginda, dan kemudian keduanya bertukar pikiran. Baginda
menjadi tahu akan ketinggian ilmu kebatinan pendeta Sech Ali Samsu Zein yang
sulit dicari tolok bandingnya. Apalagi sewaktu Sech Ali Samsu Zein membeberkan
rahasia dunia, sejak dunia baru digelar maupun sejak tanah Jawa mulai didiami
manusia. Pendeta sakti itu pun membentangkan kisah-kisah sebelum Prabu Jayabaya
dan dilanjutkan dengan kejadian-kejadian yang akan datang. Pada akhirnya Sech
Ali Samsu Zein memberi nasehat kepada Baginda, agar tidak tergesa-gesa dalam
menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang belum diketahui benar salah tidaknya
(Any, 1979: 43-75).
Dalam Sĕrat Kalamwadi karya R.M. Suwandi
dikemukakan bahwa Ajisaka dari Arab pergi ke Jawa. Kedatangannya di Pulau Jawa
merasa memiliki ilmu yang banyak, akan tetapi ia menjadi heran dengan sastra
Jawa, karena kesanggupannya dimengerti oleh setiap orang. Oleh karena itu ia
menjadi merasa bodoh berada di Jawa, sehingga ia bertapa meminta ilmu kepada
Tuhan dalam usahanya menambah huruf Jawa menjadi 25 (Suwarna, 1986: 20-21).
AJISAKA SEBAGAI DEWASISYA DALAM
SERAT AJIDARMA-AJINIRMALA
Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala Ajisaka (Jaka
Sangkala) sebagai Dewasisya (murid para dewa) yang menerima pelajaran-pelajaran
gaib yang suci serta mantra tentang darma dan kesucian jiwa. Adapun
pelajaran-pelajaran gaib para dewa kepada Ajisaka ini dapat dibagi menjadi dua.
Pertama, pelajaran-pelajaran gaib para dewa kepada Jaka Sangkala dalam Sĕrat
Ajidarma, dan kedua, pelajaran-pelajaran gaib para dewa kepada Jaka
Sangkala dalam Sĕrat Ajinirmala. Adapun pelajaran-pelajaran gaib para
dewa tersebut selengkapnya dapat dipaparkan sebagai berikut :
1. Pelajaran-pelajaran gaib para Dewa kepada Jaka
Sangkala (Ajisaka) dalam Sĕrat Ajidarma.
a. Pelajaran gaib Empu Ramadi .
Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi petunjuk agar
memiliki sifat: 1. lĕga ‘lega’, 2. réla ‘rela’, 3. tĕmĕn ‘sungguh’,
4. utama ‘utama’, 5. wadad ‘membujang’. Apabila hal itu
dilaksanakan maka segala keinginan Jaka Sangkala akan tercapai, atau ia diberi
sifat waskitha ‘awas, terang tiliknya’. Adapun sarananya bahwa ia harus
bertapa selama 7 hari 7 malam. Jika itu dilakukan maka ia nanti dapat
melindungi orang, diberi anugerah wahyu yang agung dan dipercaya barang
katanya.
b. Pelajaran gaib Sang Hyang Guru (Jonggring Salaka)
Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi petunjuk bahwa
apabila ia menjalankan puasa selama 100 hari dan selama itu ia hanya memakan
ubi, maka ia akan memperoleh keselamatan dan keberhasilan, apa yang dikehendaki
tercapai. Ia pun akan ketempatan (mendapatkan) wahyu yang agung (mulia), diberi
hati yang terang, sering mudah mendapatkan harta serta kuat ketempatan rejeki.
c. Pelajaran gaib Sang Hyang Endra (Ganyalaya)
Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi petunjuk supaya bertapa
selama 100 hari dan selama itu hanya makan nasi saja. Jika itu dilakukan nicaya
ia akan dikasihi sesama (manusia), disayangi oleh keluarganya. Utamanya
diucapkan apabila menghadap raja (pemimpin), sering dimintai nasehat, di
samping ia memiliki waskitha ‘awas, terang tiliknya’, serta ketempatan
wahyu agung (bintang bahagia).
d. Pelajaran gaib Sang Hyang Sambo (Ersanyalaya)
Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran agar
bertapa dalam bentuk berjaga (bangun) selama 70 hari, tetapi hanya pada malam
harinya saja. Jika itu dilakukan
niscaya ia akan memperoleh kewibawaan berupa aji panglĕrĕpan
yang memiliki daya kekuatan ‘dapat menghentikan (meredam) hawa nafsu orang
lain, malang yang dipandang, lemah lunglai yang disentuh, kokoh kuat, segala
yang dikehendaki mudah, dan kadang kala sering menemukan benda suci’.
e. Pelajaran gaib Sang Hyang Brahma (Pascimalaya)
Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran (petunjuk)
untuk bertapa, dalam bentuk berpantang makan nasi selama 1000 hari, kemudian
bertapa sehari semalam (pati raga) Hal ini teristimewa (utamanya) yang
melaksanakan adalah wanita. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh maka ia akan
memperoleh serpihan (kemuliaan) kerajaan atau kekuasaan, mendapatkan keturunan
(calon) pembesar, malah seringkali justru dirinya sendiri yang mendapatkan. Di
samping itu ia memiliki waskitha ‘awas, terang tiliknya’ serta memiliki
budi yang sentausa, sering yang diinginkan dapat tercapai dengan selamat.
f. Pelajaran gaib Sang Hyang Bayu (Byabyalaya)
Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran (petunjuk)
untuk bertapa, berpantang (menggunakan) air selama 70 hari. Apabila ia
menjalankannya niscaya memiliki kemauan yang kuat, kokoh (kuat) dalam kehendak,
benda yang dimiliki akan tahan lama, tidak ketempatan budi pekerti buruk,
pantang bersikap malas, keras dalam kemauannya, jauh dari perbuatan khianat
(curang), serta disayangi (dicintai) oleh sesama manusia.
g. Pelajaran gaib Sang Hyang Wisnu (Ngutaralaya)
Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran (petunjuk)
untuk bertapa, yaitu berpantang makan ikan selama 100 hari, dilanjutkan bertapa
tiga (3) hari tiga malam (pati raga). Apabila dilakukan sungguh-sungguh
wataknya akan terlihat baik, termashur kepandaiannya,
cermat, seksama, awas, dan tepat dalam menyelesaikan
perkara (persoalan), jarang keliru. Hal ini wajib dipakai sebagai pegangan para
pengambil (penentu) pengadilan raja. Demikian juga dapat dipakai sebagai aji
pĕnitisan ‘ilmu pengetahuan ketepatan memanah’ bagi para pemanah yang
sedang memanah dan semacamnya, tetapi sering sulit berputra.
h. Pelajaran gaib Sang Hyang Kala (Daksinalaya)
Jaka Sangkala diberi pelajaran yang kemudian pelajaran
Sang Hyang Kala tersebut dicipta serupa rajah Kalacakra, karena
manfaatnya banyak terutama untuk penangkal pekarangan. Adapun rajah
Kalacakra tersebut berbunyi: Yamaraja jaramaya, yamarani niramaya,
yasilapa palasiya, yamidosa sadomiya, yadayuda dayudaya, yasiraddha ddharasiya,
yasimaha mahasiya.
Manfaat rajah Kalacakra tersebut antara lain, jika
rumahnya kemasukan penjahat maka dapat membuat penjahat itu bingung, apabila
rajah tersebut dipasang (dalam bentuk) tulisan di atas pintu, daya kekuatannya
(khasiatnya) dapat menawarkan perbuatan jahat, kekuatan penenung yang
menimbulkan penyakit dapat kembali kepada pengirimnya. Apabila dipasang di atas
pintu rumah, dapat menjauhkan saraf sawan, serta menyingkirkan penyakit, segala
perbuatan jahat yang mendatangi tidak dapat masuk. Jika dihafalkan seketika
dapat melenyapkan nafsu badani, artinya segala racun nafsu badani dan
semacamnya yang ada dikala duduk. Akan tetapi dengan sarana jemari tengah
disentuhkan pada makanan dan minuman seraya merapalkan mantra rajah
Kalacakra. Utamanya dipakai untuk sabuk (ikat pinggang), tetapi kalau buang
air harus diletakkan di atas dan tidak boleh untuk berbuat jahat.
Jaka Sangkala juga diberi pelajaran untuk bertapa, yakni
menyingkirkan hawa nafsu selama 7 bulan 10 hari. Apabila dilaksanakan
sungguh-sungguh maka dapat membuat hatinya terang dan selamat, luas pikirannya,
bersih (budi) pekertinya, awas dalam segala hal, kehendaknya sering tercapai,
dikasihi keluarga, disegani (dihormati) oleh sesama, diberi wahyu (bintang
bahagia), serta diturut barang katanya.
i. Pelajaran gaib Sang Hyang Kamajaya (Cakrawala,
Cakrakembang)
Jaka Sangkala (Ajisaka) diberi pelajaran bertapa, dengan
jalan mencegah makan dan tidur selama 25 hari dilanjukan bertapa sehari
semalam. Setelah selesai bertapa kemudian mandi di Paracimalaya 7 kali dalam
semalam. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh wataknya dapat melindungi orang,
kaya kepandaian, diturut barang katanya, ditiru barang bicaranya, dapat
disayangi raja (pembesar), dicintai wanita, mempunyai daya ingat, memperoleh
wahyu yang membuat budi terang, diberi rejeki yang terus-menerus, barang
kepunyaannya tahan lama, dan dapat dipakai sarana agar panjang usia.
2. Pengajaran ilmu gaib para Dewa kepada Jaka Sangkala
(Ajisaka) dalam Sĕrat Ajinirmala
a. Pelajaran gaib Sang Hyang Wenang
Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran bertapa,
yaitu pada setiap bulan purnama disuruh mempersatukan pikiran mengheningkan
cipta (manungku pudya sĕmadi), semalaman tidak boleh bicara serta tidak
makan dan tidur, jika sudah waktunya tengah malam disuruh memandang rupa bulan
(amandĕnga kanthaning rĕmbulan), sekejap tidak bernafas (sapandurat
botĕn ambĕgan). Jaka Sangkala dapat melahirkan (mengemukakan) segala yang
dimintanya di dalam batinnya. Apabila pikirannya jernih dan sungguh-sungguh
niscaya keinginannya akan terkabul.
b. Pelajaran gaib Sang Hyang Ening
Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran bahwa
setiap hari tidak boleh tidur, pada tengah hari disuruh menengadah ke angkasa
selama tujuh (7) tarikan nafas mengeheningkan panca indera. Wataknya dapat
ketempatan wahyu sejati (kadunungan wahyaning wahyu jati), dan memiliki
awas (terang tiliknya), serta ingat selama hidupnya, tahu apa yang dikehendaki,
serta banyak (besar) rejekinya.
c. Pelajaran gaib Sang Hyang Tunggal
Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran bertapa,
bahwa setiap malam harus mengheningkan cipta maya. Setiap bangun pagi disuruh
berkeliling (mengitari) daerahnya, mendengarkan segala yang bersuara sebagai
tanda isyarat badan (tindakan). Karena bangsa hewan atau pun segala makhluk
hidup mampu memberikan tanda-tanda apakah sedang senang atau sedih. Jika
manusia dapat dilihat dari perkataannya. Apabila sewaktu berkeliling tersebut
Jaka Sangkala mendengar suara manusia berkata buruk, seketika itu juga semua
keinginannya harus dihentikan. Sebaliknya apabila mendengar suara dan perkataan
baik, kemudian dipergunakan sebagai tanda terbebasnya kedukaan, semua
kehendaknya kemudian dilaksanakan. Tanda pengenal seperti itu yang pernah
terjadi pada jaman dahulu tidak meleset dari isyarat.
d. Pelajaran gaib Sang Hyang Siwah
Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran bertapa,
bahwa setiap terbenamnya matahari sampai semalam suntuk tidak boleh makan,
minum dan semacamnya yang masuk ke dalam tubuh. Apabila tidur harus setelah
tengah malam, jika siang hari tidak boleh tidur, makan hanya sekali dengan
memakai ukuran kepalan (tangan) yang disesuaikan dengan nĕptu hari
pasaran waktu itu. Di samping itu juga harus menahan hawa nafsu sementara,
mengurangi bersetubuh. Apabila hal itu dilakukan dengan sungguh-sungguh
wataknya nanti dapat ikut merasakan (kemuliaan) kerajaan. Artinya akan ikut
memiliki keturunan yang berkaitan dengan keturunan (yang memerintah) pulau
Jawa. Ia akan ditakuti atau disegani oleh sesama manusia, dikasihi keluarganya,
disayangi oleh pembesar, dan dapat melindungi banyak orang serta ketempatan
bintang bahagia (wahyu agĕng). Akan tetapi apabila akan mencontoh
pelaksanaannya harus disertai dengan pati-raga sehari semalam, sewaktu
memulai bertapa sampai pada akhir pelaksanaannya. Di samping itu harus disertai
sedekah sekedarnya yang ditentukan di setiap hari lahir, yaitu persembilan
(1/9) keuntungan selama tiga puluh lima (35) hari. Diutamakan di setiap hari
harus memberi sedekah, sekalipun hanya setengah asalkan tetap pembuangannya
yang tidak berguna, artinya diberikan kepada orang-orang yang sengsara, atau
diberikan kepada anak yang menangis, diutamakan diletakkan di perempatan jalan.
e. Pelajaran gaib Sang Hyang Pramesthi Guru (Jonggring
Salaka)
Setelah mantra, Jaka Sangkala diberitahu bahwa
pekerjaannya membuka hutan di gunung Alaulu tersebut sebenarnya membangun
peninggalan di kemudian hari, akan tetapi bukan Jaka Sangkala yang memilikinya
besok. Gunung Alaulu kelak bernama gunung Kombang serta akan menciptakan
pekerjaan bagi wanita, sebab nantinya ada wanita (perempuan) yang mempunyai
inisiatif membuat motif batik dari gunung Kombang. Adapun sebagai sarananya
malam lebah (malaming tawon).
f. Pelajaran gaib Sang Hyang Endra (Ganyalaya)
Jaka Sangkala diberitahu bahwa dia sudah diterima oleh
dewa, karena kuasanya atas gunung Kombang. Sungguh akan menjadi peristiwa yang
menakjubkan, tetapi akan banyak orang yang akan berguru kepada Jaka Sangkala
(Ajisaka). Adapun sebagai tanda bahwa dirinya sudah diterima, maka Jaka
Sangkala diijinkan membuat kembar mayang dari pohon dewa daru (dewandaru,
jana daru), sampai kepada keturunannya yang menjadi raja.
g. Pelajaran gaib Sang Hyang Sambo (Ersanyalaya)
Jaka Sangkala diberi pelajaran tentang berbagai macam aji
jaya kawijayan 'mantera yang menyebabkan tak dapat kalah' dan sejenisnya,
serta diperintahkan menghimpun bala tentara. Setelah perintah tersebut
dilaksanakan, maka Jaka Sangkala kemudian diberi nama Sang Ajisaka.
h. Pelajaran gaib Sang Hyang Brahma (Pascimalaya)
Jaka Sangkala atau Ajisaka mendapat pelajaran mengenai
segala macam aji pangabaran, panglĕrĕpan, aji (azimat) untuk mengalahkan
kesaktian musuh maupun aji yang dapat menghentikan (meredam) hawa nafsu orang
lain. Jaka Sangkala juga mendapatkan sebuah cincin yang kuasanya dapat menyatu
dengan kahyangan para dewa. Jadi sekalipun Sang Ajisaka tersebut sifatnya
manusia, akan tetapi ia dapat masuk ke triloka (tiga dunia). Ia dapat berkumpul
dengan sesama manusia, dapat berkumpul dengan para dewa maupun berkumpul dengan
bangsa jin dan sebangsa para siluman (sagĕd mawor bangsaning jin
sapanunggilanipun para siluman).
i. Pelajaran gaib Sang Hyang Bayu (Byabyalaya)
Setelah mantra, Jaka Sangkala mendapat pelajaran yang
harus dituruti yaitu: 1. Menghimpun para pendeta (angingimpuna para pandhita),
2. Mengumpulkan sahabat (angiruba pawong mitra), 3. Mengangkat bala
tentara (angulawisudhaa para wadya), 4. Menghindahkan nasehat orang lain
(anggugua pituturing liyan), dan 5. Menasehati sesama manusia (amituturana
sasama). Kelima perintah tersebut hendaknya tidak keliru dalam
pengetrapannya.
j. Pelajaran gaib Sang Hyang Wisnu (Ngutaralaya)
Jaka Sangkala mendapat pelajaran bahwa ia tidak boleh
takut pada kesulitan dan harus berani apabila kehilangan, utamanya hendaknya
kasih pada sesama manusia dan hendaknya mengetahui bagaimana menerapkan rasa
belas kasihan. Maksudnya rasa belas kasih kepada manusia itu, bukan karena dari
makanan dan pakaian, sebenarnya hanya karena ketahuan watak maupun keinginannya,
hal itu tetap menjadi jalan wahyu agung (bintang bahagia). Apabila Jaka
Sangkala dapat melaksanakan nasehat (petunjuk) Sang Hyang Wisnu tersebut tentu
ia dapat memulai kewibawaan pulau Jawa (murwani kawibawaning nusa Jawa).
Di samping itu sebagai tanda kehidupannya, maka Jaka Sangkala diberi cupu manik
Astagina.
k. Pelajaran gaib Sang Hyang Kala (Daksinalaya)
Jaka Sangkala diberinya pelajaran seperti pelajaran yang
diberikan Sang Hyang Kala sewaktu Jaka Sangkala berada di gunung Kendheng,
yaitu berupa rajah Kalacakra. Hanya ditambah nasehat pelaksanaannya yang
disesuaikan dengan tata kehidupan. Jaka Sangkala juga diberi petunjuk supaya
memberi dana (uang) yang banyak kepada sesama manusia, serta harus dapat
berbuat kebajikan, artinya mengalah dan merendah, baik dalam hal pengetahuan
maupun derajat. Adapun apabila rajah Kalacakra tersebut digunakan
(dipasang) di atas pintu rumah sifatnya dapat menjauhkan penyakit. Utamanya
apabila dibawa dan dimasukkan dalam sabuk (ikat pinggang), karena wataknya dapat
melenyapkan segala nafsu badani, pesona penenung yang menimbulkan penyakit akan
menjauh. Apabila dipergunakan sebagai penangkal pekarangan, watak (sifatnya)
dapat membuat bingung bagi orang yang bermaksud buruk dan berkhianat.
l. Pelajaran gaib Sang Hyang Kamajaya (Cakrawala,
Cakrakembang)
Jaka Sangkala diberinya pelajaran mengenai penyebab
manusia terkena sakit dan mati. Penyebab tersebut antara lain karena makanan
yang ceroboh, ketempatan panas hati, pemarah dan sejenisnya. Hal itu membuat hidupnya
sakit, sehingga menyebabkan seseorang menjadi sakit atau mati. Ada beberapa
perkara (persoalan) yang dapat membimbing hidup tidak terkena mati. Pertama,
jalan 21 yang menyebabkan murah hati dan berbudi rajin (amamarahi lĕgawaning
budi tabĕri). Untuk itu hendaknya perbuatannya tulus (jujur). Kedua, rela
hati yang akan menyebabkan diterimanya dia oleh pencipta bumi dan langit. Sebab
wahana (jalan) rela hati itu tidak hanya rela di dunia, melainkan segala
hidupnya juga harus rela. Untuk itu dewa menyaksikan (menyertai) perbuatan
manusia jika bersungguh-sungguh. Ketiga, jalannya benar (sungguh), yang akan
meluluskan barang permintaannya, sebab kesungguhan itu tidak hanya kesungguhan
secara lahir. Dalam menyembah (hendaknya juga) menginsafi kelemahannya kepada
yang membuat hidup dan mati, serta tidak bohong. Keempat, jalan utama, sebab
keutamaan itu jika selalu dimantapkan baik secara lahir maupun batin niscaya
disaksikan Hyang Latawalujwa.
m. Pelajaran gaib Keempat Raksasa
Jaka Sangkala mendapat pelajaran dari keempat raksasa
yang semula menyerangnya sewaktu membuka hutan di gunung Pringgendani.
Pelajaran tersebut antara lain: Jaka Sangkala diberi pengetahuan (kepandaian)
untuk dapat memasuki alam kematian dan panca indera; diberi azimat (mantera)
kesaktian dan sejenisnya; mendapatkan azimat untuk mengalahkan semua kesaktian
musuh.
Semua ilham (pelajaran) dari para dewa yang diterima Jaka
Sangkala baik ketika ia berada di gunung Kendheng sampai di gunung
Pringgendani, apabila dihubung-hubungkan dengan rahasia ngèlmu makrifat dirasakan
sama saja.
Berbagai pelajaran gaib (ilham) yang diberikan para dewa
kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) kiranya pantas diketahui dan dimanfaatkan oleh
masyarakat luas di dalam upaya mereka mencapai kesempurnaan, baik secara lahir
maupun batin, di dunia maupun di akhirat. Adapun jalan (sarana) dan
pelaksanaannya dapat diserahkan kepada masing-masing pribadi manusia yang
menaruh minat terhadap pelajaran gaib tersebut. Apakah mereka akan mencontoh
langsung sesuai ajaran para dewa kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) di atas,
ataukah akan diambil dahulu inti ajarannya, adapun pelaksanaannya disesuaikan
dengan landasan ajaran agama atau alam kepercayaan manusia yang bersangkutan.
NAMA-NAMA WAKTU
Nama-nama waktu (hari, bulan, tahun dan windu) Jawa dalam
Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala terdapat pada bagian Sĕrat Ajidarma. Dikemukakan
dalam Sĕrat Ajidarma bahwa untuk penamaan tujuh (7) hari Jawa (Saptawara)
adalah ;
1. Radité = Akad (Minggu),
2. Soma = Isnan (Senin),
3. Anggara = Salasa (Selasa),
4. Buddha = Rabo (Rabu),
5. Rĕspati = Kamis,
6. Sukra = Jumungah (Jum’at), dan
7. Tumpak = Sabtu.
Nama Pancawara (Pasaran) Jawa adalah :
1. Lĕgi = Manis,
2. Pahing,
3. Pon,
4. Cĕmĕngan = Wagé, dan
5. Kasih = Kaliwon.
Nama-nama bulan Jawa adalah :
1. Karttika,
2. Pusa,
3. Manggasari,
4. Sitra,
5. Manggakala,
6. Naya,
7. Palguna,
8. Wisaka,
9. Jita,
10. Srawana,
11. Padrawana, dan
12. Asuji.
Di samping itu nama-nama bulan Jawa yang diambilkan dari
bulan Arab adalah :
1. Sura = Muharram,
2. Sapar = Shafar,
3. Mulud = Rabiulawal,
4. Rabingulakir = Bakda Mulud,
5. Jumadilawal = Jumadilawal,
6. Jumadilakir = Jumadilakir,
7. Rajab = Rajab,
8. Ruwah = Sya’ban,
9. Pasa = Ramadan,
10. Sawal = Syawal,
11. Dulkangidah = Dulkaidah, dan
12. Besar = Zulhijjah.
Nama-nama tahun Jawa dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah
:
1. Sambrama 2.Biswawisu 3. Kalayudi 4.Kalakandha 5. Rahutri 6. Dumdumi 7. Triyoddhari 8. Tisimuka 9. Dinakara 10. Sujarha 11. Saddhamuka 12. Saddhaksaddha 13. Jagalogĕna 14. Kilaka 15. Prapawa 16. Iwa 17. Cukila 18. Pramududa 19. Prasudpadi 20. Anggila |
|
|
21. Istrimuka
22. Pawa
23. Iwa
24. Tadu
25. Iswara
26. Wakdaniya
27. Pramadi
28. Wikrama
29. Wila
30. Sitrapanu
31. Supanu
32. Taruna
33. Partipa
34. Wiya
35. Sarwasitti
36. Sarwaddhari
37. Wirodi
38. Wikuraddhi
39. Karĕha
40. Nantĕna
41. Wijaya
42. Jaywaha
43. Manmata
44. Tunmuki
45. Yiwolambi
46. Wulambi
47. Wikari
48. Sarwari
49. Pilapawa
50. Subakartti
51. Sabakartti
52. Aciya
53. Ananda
54. Rancata
55. Pinggala
56. Nala
57. Pilawangga
58. Umiya
59. Saddharuna
60. Rudraksa