SERAT TRIPAMA SASTRA JAWA KLASIK KARYA K.G.P.A.A. MANGKUNEGARA IV
Serat Tripama (Dhandhanggula)
1. Yogyanira kang para prajurit
Lamun bisa sira anuladha
Duk ing uni caritané
Andelira Sang Prabu
Sasrabahu ing Maespati
Aran patih Suwanda
Lelabuhanipun
Kang ginelung tri prakara
Guna kaya purun ingkang dèn antepi
Nuhoni trah utama
Artinya:
Alangkah baiknya para prajurit,
bila kalian biasa mengambil tauladan
kisah jaman dahulu.
Andalan Sang Prabu
Sasrabahu di Maespati,
Bernama Patih Suwanda.
Jasanya
mencakup tiga hal.
Dalam melaksanakan tugasnya
menjalankan perintah rajanya.
2. Lirè lelabuhan tri prakawis
Guna bisa saniskaréng akarya
Binudi daja unggulé
Kaya sayektinipun
Duk bantu prang Manggada nagri
Amboyong putri dhomas
Katur ratunipun
Puruné sampun tetéla
Aprang tanding lan ditya Ngalengka nagri
Suwanda mati ngrana
Artinya :
Jasanya yang mencakup tiga hal itu,
melaksakan tugasnya dengan baik,
,berjuang untuk menang,
sebagaimana halnya
ketika membantu dalam perang dengan Negara Manggada.
Memboyong 800 orang putri,
dipersembahkan kepada rajanya.
Pengorbanannya sudah nyata.
Dalam perang tanding dengan raksasa dari Negara Alengka
Suwanda gugur di medan laga.
3. Wonten malih tuladhan prayogi
Satriya gung nagari Ngalengka
Sang Kumbakarna arané
Tur iku warna diyu
Suprandené nggayuh utami
Duk wiwit prang Ngalengka
Dénya darbé atur
Mring raka amrih raharja
Dasamuka tan kéguh ing atur yekti
Déné mungsuh wanara .
Artinya :
Ada lagi yang layak dijadikan teladan.
Satria agung dari Negara Alengka
yang bernama Kumbakarna.
Walaupun seorang raksasa,
ia berusaha melaksanakan keutamaan.
Pada saat dimulainya perang di Alengka,
ia menyampaikan saran
kepada kakandanya (untuk menghindari perang) demi keselamatan.
Dasamuka tidak menggubris sarannya
karena musuhnya hanyalah bangsa kera.
4. Kumbakarna kinèn mangsah jurit
Mring kang raka sira tan nglenggana
Nglungguhi kasatriyané
Ing tekad datan sujud
Amung cipta mring yayah rena
Myang leluhuripun
Wus mukti anèng Ngalengka
Mangké arsa rinusak ing bala kapi
Pun ugi mati ngrana .
Artinya :
Kumbakarna diperintahkan maju perang
oleh kakandanya dan ia tidak menolak,
sebagai seorang ksatria,
walaupun dalam hati tidak menyetujui.
Hanya niat berbakti kepada orangtua
dan leluhurnya.
Alengka yang sudah jaya
saat itu akan dirusak oleh bangsa kera.
Ia pun gugur di medan laga.
5. Wonten malih kinarya palupi
Suryaputra Narpati Ngawangga
Lan Pandawa tur kadangé
Lan yayah tunggil ibu
Suwita mring Sang Kurupati
Anèng nagari Ngastina.
Kinarya gul-agul.
Manggala golonganing prang.
Bratayuda ingadegken Sénapati
Ngalaga ing kurawa.
Artinya :
Ada lagi yang dapat dijadikan tauladan.
Suryaputra (putra Surya) Adipati Awangga.
Yang juga adalah saudara Pandawa,
saudara seibu.
Mengabdi kepada Sang Kurupati,
Raja Negara Astina,
dan dijadikan andalan,
pemimpin di medan perang.
Dalam Baratayuda dinobatkan sebagai Senapati
Perang oleh Kurawa.
6. Dèn mungsuhken kadangé pribadi,
Aprang tanding lan Sang Dananjaya,
Sri Karna suka manahé,
Anggonira pikantuk,
Marga dènya arsa males sih,
Mring Sang Duryudana,
Marmanta kalangkung,
Dènya ngetog kasudiran,
Aprang ramé Karna mati jinemparing,
Sumbaga wiratama
Artinya :
Ia dihadapkan dengan saudaranya sendiri.
Berperang dengan Sang Dananjaya (Harjuna)
Sri Karna (Suryaputra) gembira hatinya,
karena mendapat kesempatan membalas budi
kepada Duryudana (Kurupati),
sehingga tidak tanggung-tanggung
ia mengerahkan segala kesaktiannya.
Peperangan berlangsung seru, Karna gugur terkena anak panah
Sebagai perwira utama.
7. Katri mangka sudarsanèng Jawi,
Pantes sagung kang para prawira,
Amirita sakadaré,
Ing lelabuhanipun,
Aywa kongsi buang palupi,
Menawa èsthinipun,
Sanajan tékading buda,
Tan pradeba budi panduming dumadi,
Marsudèng kautaman
Artinya :
Sudah selayaknya para perwira.
Pelajari sebaik-baiknya
pengorbanan mereka.
Jangan sampai mengabaikan keteladanannya. Karena sesungguhnya,
tidak cukup hanya tekad yang kuat.
Akhlak yang baik tidak boleh ditinggalkan
Dalam mencapai keutamaan.
Serat Tripama adalah salah satu karya KGPAA Mangkunagara IV yang cukup singkat. Hanya berisi 7 bait tembang Dhandhanggula. Serat ini sering ditembangkan oleh anak-anak sekolah dan dikutip sebagai lirik dalam musik gamelan. Secara ringkas berisi tentang teladan bagi para prajurit agar berwatak ksatria, gigih tidak takut dalam membela negara. Kata tripama sendiri berasal dari gabungan kata tri ‘tiga’ dan umpama ‘perumpamaan’, merujuk pada tiga tokoh dalam dunia pewayangan yaitu Patih Suwanda dari Maespati, Kumbakarna dari megeri Alengka dan Adipati Basukarna dari Awangga. Ketiganya digambarkan mempunyai loyalitas dan dedikasi yang tinggi pada negaranya, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan keluarga. Sikap ketiga tokoh itu juga menggambarkan berbagai macam nilai yang ada di dalam Etika Jawa sehingga patut menjadi suri teladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Isi Ajaran luhur dalam Serat Tripama :
1. Bambang Sumantri atau Patih Suwanda.
Tokoh sentral ini adalah putra Resi Wisanggeni dari Padepokan Jatisarana. Sejak kecil Sumantri bertekad akan mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati. Sumantri berhasil mengalahkan Prabu Dharmawisesa dan adiknya serta memboyong Dewi Citrawati putri Manggada dan dipersembahkan kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Kesaktian Sumantri terbukti mampu memindahkan taman Sriwedari atas permintaan Dewi Citrawati, dengan bantuan adiknya Sukasrana yang memiliki ajian Candabirawa. Bambang Sumantri yang kemudian bergelar Patih Suwanda di negeri Maespati yang masyhur keberaniannya dan mampu menyelesaikan tugas berat dengan penuh tanggung jawab. Patih Suwanda gugur ketika menghadapi Prabu Dasamuka raja raksasa dari kerajaan Alengka. Tiga tauladan watak dan kepribadian Patih Suwanda adalah :
a. Guna : pinter, wasis, mumpuni, kawruh kepandaian.
b. Kaya : sugih, kecukupan kekayaan.
c. Purun : wani, kendel, saguh, gelem keberanian.
2. Kumbakarna.
Kumbakarna adalah pejuang tanpa pamrih, tidak untuk kepentingan derajat, pangkat, jabatan, dan kedudukannya. Perjuangannya dilandasi kecintaan kepada tanah air. Berperang tidak untuk menang, tetapi merupakan wujud pengabdian terakhir bagi nusa dan bangsanya. Ia berjuang tidak untuk mengabdi kepada raja karena ia tidak sependapat dengan perbuatan rajanya. Kumbakarna memilih gugur sebagai pahlawan, tidak mau melihat bencana yang menimpa tanah airnya Ia rela mengorbankan hidupnya demi bangsa dan negaranya.
3. Adipati Karna.
Adipati Karna Basusena putra Dewi Kunthi dengan Dewa Suryasangat cakap berolah senjata. Ia diangkat sebagai saudara oleh Duryudana dan dinobatkan sebagai senapati ‘panglima perang’ Hastinapura. Ia merasa telah diberi kemuliaan, kekayaan, dan kehormatan. Maka, kewajiban prajurit sejati adalah bertempur di medan laga walau Ia menyadari tidak akan menang berperang melawan saudaranya, Arjuna. Walaupun demikian tekadnya betul-betul telah bulat menjalankan darma dan karmanya.
Mangkunagara IV menyadari bahwa ketiga tokoh tersebut memiliki kelemahan masing-masing yang menurut pandangan umum masyarakat Jawa harus dihindari. Sumantri yang berani menantang/melawan rajanya ketika hendak mempersembahkan putri boyongan. Kumbakarna yang berwujud raksasa yang tentunya wataknya diwarnai oleh sifat-sifat amarah, aluamah, dan supiah yang merupakan sifat kurang baik bagi seseorang. Karna Basusena yang berani menentang ibunya dan sampai hati menghadapi adiknya di medan peperangan adalah satu sikap angkuh dan sombong di hadapan masyarakat Jawa. Namun seperti diketahui, bahwa sifat baik dan buruk itu merupakan sesuatu yang melekat pada diri setiap orang yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia dalam kehidupannya. Apalagi kelemahan-kelemahan ketiga tokoh tadi telah ditebus dengan darma baktinya, yaitu nuhoni trah utama pada diri Sumantri, nuhoni kesatriyane hing tekad labuh negari pada Kumbakarna, dan ciptanira harsa males sih pada Karna Basusena, sehingga ketiganya pantas dijadikan sebagai teladan suatu sikap keprajuritan.
VERSI LAIN
Keterangan versi lain yaitu Serat Tripama (tiga suri tauladan) adalah karya KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881) dei Surakarta, yang ditulis dalam tembang Dhandanggula sebanyak 7 pada (bait), mengisahkan keteladanan Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarna dan Suryaputra (Adipati Karna).
Bambang Sumantri yang setelah menjadi patih disebut “Patih Suwanda” adalah Patih dari Raja Harjunasasrabahu dari negara Maespati pada era sebelum Sri Rama tokoh dalam kisah Ramayana. Patih Suwanda termasyhur dalam kegagahberaniannya, mampu melaksanakan semua tugas dari Prabu Harjunasasrabahu dengan penuh tanggungjawab dan akhirnya gugur di palagan melawan Dasamuka.
Kumbakarna adalah adik dari Prabu Dasamuka raja Ngalengkadiraja (Alengka), walaupun berbentuk raksasa tetapi tidak mau membenarkan tindakan kakaknya yang angkara murka dengan menculik Dewi Shinta. Walaupun demikian pada saat kerajaan Ngalengkadiraja diserang oleh musuh, yaitu Sri Rama dan pasukannya, Kumbakarna memenuhi panggilan sifat ksatrianya, mengorbankan jiwa untuk membela tanah air. Kumbakarna gugur membela negara, bukan membela kakaknya. Kumbakarna adalah salah satu pelaku dalam kisah Ramayana.
Adipati Karna adalah tokoh dalam Mahabharata. Ia tidak membela Pandawa yang saudara satu ibu melainkan membela Prabu Suyudana (Kurupati) raja Hastina untuk membalas budi baik sang raja yang telah mengangkat derajatnya. Adipati Karna yang saat kelahirannya dibuang di sungai kemudian ditemu dan diangkat anak oleh kusir Adirata, dijadikan adipati oleh Prabu Suyudana. Oleh sebab itu dalam perang besar Bharatayuda Adipati Karna berada di pihak Kurawa yang ia tahu bahwa Kurawa adalah pihak yang angkara murka. Sang Suryaputra gugur dalam perang tanding melawan Harjuna, adiknya, satu ibu.
Secara ringkas, itulah kepahlawanan tiga ksatria dalam tiga jaman yang berbeda yang diangkat oleh Sri Mangkunegara IV dalam Serat Tripama yang terdiri dari 7 bait tembang Dhandanggula: Bait pertama dan ke dua mengisahkan kepahlawanan Kumbakarna, Bait ke tiga dan empat tentang Kumbakarna, Bait ke lima dan enam mengenai Adipati Karna dan Bait ke tujuh adalah kesimpulan/penutup.
SUWANDA
Yogyanira kang para prajurit; Lamun bisa sira anulada; Duk ing nguni caritane; Andelira Sang Prabu; Sasrabahu ing Maespati; Aran patih Suwanda; Lalabuhanipun; Kang ginelung triprakara; Guna kaya purun ingkang den antepi; Nuhoni trah utama.
Lire lalabuhan triprakawis; Guna bisa saniskareng karya; Binudi dadya unggule; Kaya sayektinipun; Duk bantu prang Manggada nagri; Amboyong putri dhomas; Katur ratunipun; Purune sampun tetela; Aprang tanding lan ditya Ngalengka nagri; Suwanda mati ngrana.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut :
Seyogyanya para prajurit; Semua bisa meniru; Seperti ceritera pada jaman dulu; Andalan sang raja; Sasrabahu di negara Maespati; Namanya Patih Suwanda; Jasa-jasanya; Dikemas dalam tiga hal; Pandai, mampu dan berani (Guna, Kaya, Purun), itulah yang dipegang teguh; Menetapi keturunan orang utama.
Artinya dharmabakti yang tiga hal itu; Guna: bisa menyelesaikan masalah; Berupaya untuk memperoleh kemenangan; Kaya: ketika peperangan di negara Manggada; Bisa memboyong putri dhomas; Diserahkan kepada sang raja; Purun: Keberaniannya sudah nyata ketika perang tanding (dengan Dasamuka) raja Ngalengka; Patih Suwanda gugur di medan perang.
Nilai Kepahlawanannya sebagai berikut :
GUNA: Nuhoni trah utami dalam hal ini adalah menetapi keturunan orang utama, yaitu ksatria dengan sifat-sifat ksatrianya yang mampu menyelesaikan masalah. Unggul dalam segala hal. KAYA: Disini disebutkan dalam peperangan berhasil memboyong putri Dhomas (penafsiran disini tidak hanya memboyong putri domas yang 800 jumlahnya tetapi juga harta rampasan perang). PURUN: Kegagahberaniannya. Dasamuka adalah raja yang tidak tertandingi kesaktiannya kecuali oleh titisan Wisnu (yang tak lain adalah Prabu Harjuna Sasrabahu sendiri, tapi saat itu sang Prabu sedang bercengkerama dengan istri-istrinya). Patih Suwanda berperang sampai titik darah penghasilan dan gugur di palagan.
KUMBAKARNA
Wonten malih tuladan prayogi; Satriya gung nagri ing Ngalengka, Sang Kumbakarna arane, Tur iku warna diyu; Suprandene nggayuh utami; Duk wiwit prang Ngalengka, dennya darbe atur; Mring raka amrih raharja. Dasamuka tan keguh ing atur yekti; Dene mengsah wanara.
Kumbakarna kinen mangsah jurit; Mring kang raka sira tan lenggana; Nglungguhi kasatriyane; Ing tekad datan purun; Amung cipta labuh nagari; Lan noleh yayah rena; Nyang leluhuripun; Wus mukti aneng Ngalengka mangke; Arsa rinusak ing bala kapi; Punagi mati ngrana.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut :
Ada lagi tauladan yang baik; Satria agung dari negara Ngalengka; Sang Kumbakarna namanya; Walaupun wujudnya raksasa; Walau demikian ingin mencapai keutamaan; Ketika dimulainya perang Ngalengka; Ia menyampaikan pendapat; Kepada kakaknya (Prabu Dasamuka supaya (Ngalengka) selamat; Dasamuka tidak mau mendengar pendapat baik; Karena hanya melawan (balatentara) kera.
Kumbakarna diperintah maju perang; Kepada kakaknya ia tidak membantah; Karena menetapi sifat ksatria; (sebenarnya) Tekadnya tidak mau; Hanya semata-mata bela negara; Dan melihat bapak ibunya; Serta leluhurnya; Sudah hidup mukti di negara Ngalengka; Sekarang mau dirusak balatentara kera; Bersumpah mati di medan perang.
Walaupun Kumbakarna berwujud raksasa ia tetap ingin mencapai keutamaan. Ketika terjadi peperangan ia berkali-kali menasihati kakaknya demi keselamatan kerajaan Ngalengka, tetapi Dasamuka tidak pernah menggubrisnya. Akhirnya Kumbakarna memilih menyingkir, dan bertapa tidur. Ketika senapati-senapati Ngalengka sudah pada gugur, maka Kumbakarna dibangunkan paksa dan diperintah kakaknya untuk maju perang. Menetapi watak ksatrianya, kumbakarna tidak membantah. Tekadnya hanya bela negara dan demi nenek moyangnya yang telah mukti di negara ngalengka dan sekarang akan dihancurkan wadyabala kera. Lebih baik mati di medan perang dan akhirnya Kumbakarna gugur sebagai pahlawan.
SURYAPUTRA (ADIPATI KARNA)
Wonten malih kinarya palupi; Suryaputra narpati Ngawangga; Lan Pandawa tur kadange; Len yayah tunggil ibu; Suwita mring Sri Kurupati; Aneng nagri Ngastina; Kinarya gul-agul; Manggala golonganing prang; Bratayuda ingadegken senopati; ngalaga ing Kurawa.
Den mungsuhken kadange pribadi; Aprang tanding lan Sang Dananjaya; Sri Karna suka manahe; Dene nggenira pikantuk; Marga denya arsa males sih; Ira Sang Duryudana; Marmanta kalangkung; Denya ngetok kasudiran; Aprang rame Karna mati jinemparing, Sumbaga wiratama.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut :
Ada lagi yang dapat dijadikan teladan; Suryaputra Senapati dari Ngawangga; Dengan Pandawa masih saudara; Lain bapak satu ibu; Mengabdi pada Sri Kurupati; Di Negara Ngastina; Dijadikan andalan; Panglima di dalam perang; Diangkat senapati dalam perang Bharatayuda; Berperang di pihak Kurawa.
Dihadapkan dengan saudaranya sendiri; Perang tanding melawan Dananjaya; Sri Karna senang sekali hatinya; Karena bisa memperoleh; Jalan untuk membalas budi; Sang Duryudana; Maka ia dengan sangat; Mengeluarkan semua kesaktiannya; Perang ramai dan Karna gugur kena panah; Termasyhur sebagai prajurit yang utama.
R. Suryaputra adalah Adipati di Ngawangga, dengan Pandawa masih saudara satu ibu lain bapak (Ayahnya adalah Batara Surya). Sejak lahir sampai dewasa tidak hidup bersama Pandawa, tetapi dipelihara kusir Adirata. Karena kesaktian dan kesetiaannya oleh Prabu Duryudana diberikan derajat yang tinggi. Menjelang perang Bharatayuda Karna dibujuk oleh ibunya untuk berperang dipihak Pandhawa. Tetapi Karna berkeras bahwa walaupun Pandhawa masih saudara dan berada di pihak yang benar, tetapi sebagai ksatria ia harus membela raja yang telah mengangkat derajatnya. Dalam perang tanding dengan Harjuna yang dalam pedhalangan Jawa menjadi satu lakon tersendiri “Karna Tanding” Karna mendapat kesempatan untuk membalas budi rajanya. Ia berjuang mati-matian dan akhirnya gugur di medan laga kena panah R Harjuna (Dananjaya)
KESIMPULAN
Katri mangka sudarsaneng Jawi; Pantes lamun sagung pra prawira; Amirata sakadare; Ing lelabuhanipun; Awya kongsi buang palupi; manawa tibeng nista; Ing estinipun; Senadyan tekading budya; Tan prabeda budi panduming dumadi; Marsudi ing kotaman.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut :
Ketiga pahlawan tersebut adalah teladan orang Jawa; Sepantasnya semua perwira; Meneladani semampunya; Tentang dharmabhaktinya; Jangan sampai membuang keteladanan; Bisa menjadi hina; dalam cita-citanya; Walau itu tekad pada jaman dulu; Tidak berbeda budi para manusia; Mencari keutamaan.
Secara keseluruhan, Patih Suwanda dikenal dengan kautaman triprakaranya: “Guna, Kaya dan Purun”, kepandaian dan ketrampilan, kecukupan sebarangnya serta keberaniannya. Sedangkan Kumbakarna mengedepankan “Bela negara” mungkin ini yang kita kenal dengan “Right or wrong my country”. Adapun Adipati Karna dikagumi karena kesetiaan dan komitmennya: “Setya mring sedya”, berani mengorbankan segala-galanya demi mempertahankan loyalitas dan komitmen walaupun ia sadar sepenuhnya bahwa yang dia bela adalah pihak yang salah