BRAy SEDAH MIRAH (RA MAYANGSARI - VERSI KARTOSURO)
Asal Usul BRAy Adipati Sedah Mirah & Petilasan Kraton Surakarta.
Amangkurat II tidak mau menempati keraton Mataram yang berada di Pleret, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta karena menurut kepercayaan Jawa, Kerajaan yang sudah pernah diduduki oleh musuh berarti telah ternoda. Sunan Amangkurat II kemudian memerintahkan Senopati Urawan untuk membangun Kraton baru di kawasan Pajang. Perintah ini dilaksanakan dan akhirnya Senopati Urawan dibantu oleh Nerang Kusuma berama rakyat berhasil mendirikan Keraton yang terletak di sebelah barat Pajang, yang kemudian dinamakan Keraton Wanakerta. Itulah asal usul situs Kraton (lama) Kartasura Hadiningrat. Keraton di Wanakerta secara resmi mulai ditempati pada tahun 1680 oleh Sunan Amangkurat II.
Situs Keraton Kartasura (1680 – 1745) kini hanya tinggal puing-puing saja, dengan pagar tembok/benteng Baluwarti terbuat dari batu bata merah setebal 2-3 meter dan tinggi kurang lebih 3 meter. Petilasan ini membuktikan keberadaan Keraton Kartasura Hadiningrat memang pernah ada sebelumnya di masa lalu. Di dalam situs antara lain terdapat, alun-alun, kolam segaran yang sekarang berubah menjadi tanah lapang, gudang mesiu yang sekarang berubah menjadi gedong obat. Tembok berlubang sebagai saksi bisu atas terjadinya peristiwa Geger Pacinan, Sumur Madusaka digunakan untuk memandikan pusaka-pusaka kerajaan, genthong batu, lingga dan yoni, tombak Kyai Jangkung dan Tombak Kyai Slamet. Dan terdapat beberapa makam keramat di antaranya adalah Makam Mas Ngabehi Sukareja, Makam B.R.Ay Adipati Sedah Mirah, Makam KPH Adinegoro, Makam Ki Nyoto Carito dalang Keraton yang terkenal pada masanya, serta masjid tua yang dibangun Sunan Paku Buwono II.
Peninggalan sejarah yang masih dapat dijumpai di situs Keraton Kartasura berupa reruntuhan bangunan dan nama-nama tempat atau toponim. Sedangkan luas kota Kartasura di masa lampau diperkirakan mencakup seluruh wilayah Kecamatan Kartasura saat sekarang, ditambah beberapa kawasan yang masuk wilayah Kabupaten Boyolali dan Karanganyar. Saat sekarang, Keraton Kartasura yang terletak di Kelurahan Siti Hinggil, menjadi kota kecamatan seperti pada umumnya.
SEDAH MIRAH (RA MAYANGSARI) GARWO SELIR/AMPIL PB-IX.
BRAy Adipati Sedah Mirah pada masa mudanya bernama Raden Ajeng Mayangsari. Menurut catatan yang tersebar di khalayak, BRAy Adipati Sedah Mirah adalah garwa ampil atau selir ISKS Paku Buwono IX. Tentu saja hal ini menyisakan tanda tanya besar. Jika benar beliau adalah istri ISKS PB IX, lantas mengapa makamnya berada di dalam situs tua Keraton Kartasura yang digunakan pada tahun 1680-1742 Masehi. Sedangkan ISKS PB IX hidup pada tahun 1830-1893, atau hidup pada masa berikutnya ketika Keraton Kasunanan yang lokasinya sudah pindah di wilayah Sala sejak tahun 1845, sedangkan BRAy Adipati Sedah Mirah telah wafat pada tahun 1826 Masehi. Ini artinya terdapat ketidakcocokan waktu, beliau berdua hidup di zaman yang berbeda. Lagi pula seandainya BRAy Sedah Mirah adalah istri PB IX makam beliau kemungkinan besar berada di Bangsal Kaping Sangan atau bangsal ke sembilan yang berada kompleks makam Raja Mataram di Pajimatan Agung Imogiri, Kab Bantul, DI Yogyakarta.
BRAy ADIPATI SEDAH MIRAH (versi).
BRAy Adipati Sedah Mirah mengatakan jika beliau sesungguhnya adalah garwa ampil atau selir dari ISKS Paku Buwono IV (1768-1820), dari pernikahannya dengan PB IV ini kemudian beliau menurunkan ISKS PB VI (1807-1846) yang mendapat julukan Sinuhun Bangun Tapa karena kegemaran beliau melakukan tapa brata. Eyang Adipati Sedah Mirah meminta kami datang marak sowan ke makam beliau yang berada di suatu tempat bekas Keraton Surakarta.
Koreksi Catatan Sejarah
Ini adalah koreksi mendasar soal catatan sejarah yang selama ini banyak beredar di dunia maya maupun media cetak yang menyatakan BRAy Adipati Sedah Mirah yang wafat pada tahun 1826 Masehi adalah selir PB IX yang lahir tahun 1830 dan wafat pada 1893 masehi. Dilihat dari kurun waktu sudah jelas pendapat yang salah jika mengatakan Adipati Sedah Mirah sebagai selir PB IX. Mana mungkin seorang bayi yang baru lahir mempunyai istri yang telah wafat 4 tahun sebelumnya. Lagi pula Eyang Adipati Sedah Mirah sendiri adalah pelaku sejarah yang melakukan koreksi secara langsung. Tak ada keraguan sedikitpun atas apa yang beliau sampaikan bahwa beliau adalah garwa ampil PB IV, karena beliau lah yang melakoni sendiri pada waktu hidupnya.
MAKNA SEDAH MIRAH
BRAy Adipati Sedah Mirah juga menjelaskan arti atau makna dari nama Sedah Mirah. Sedah adalah bahasa Jawa yang berarti sirih, maknanya adalah obat atau pengobatan. Mirah artinya murah dan mudah. Sedah Mirah adalah kemudahan mendapatkan obat atau kesembuhan dan tidak perlu mengeluarkan biaya besar. BRAy Adipati Sedah Mirah adalah seorang yang serba bisa, termasuk ahlinya dalam ilmu pengobatan tradisional Jawa. Begitulah beliau menjelaskan bagaimana kehidupannya di zaman dulu pada saat masih hidup dengan raga. Sekarang beliau telah hidup tanpa raga dan mencapai tataran kamulyan sejati karena amal perbuatannya sewaktu hidup, beliau mengabdikan hidupnya agar berguna untuk banyak orang.
KEISTIMEWAAN BRAY SEDAH MIRAH
Keistimewaan BRAy Sedah Mirah ( … – 1826) melebihi RA Kartini (1879-1904).
B.R.Ay Adipati Sedah Mirah pada masa hidupnya memiliki segudang prestasi besar. Selain dikenal berparas cantik, juga pandai berdiplomasi serta memiliki ilmu pengasihan tinggi sehingga beliau sebagai wanita mempunyai kharisma dan wibawa luar biasa. Sebagai pemimpin, beliau pemimpin yang dicintai rakyatnya, pemimpin yang disayangi rajanya, dihormati kawan, sekaligus disegani lawan. BRAy Adipati Sedah Mirah adalah seorang pujangga, beliaulah penulis Kitab Ponconiti. Selain itu beliau juga dikenal sebagai pemegang babon serat yasan dalem Susuhunan seperti kitab Wulang Reh yasan dalem PB IV, dan serat babad Centhini yang ditulis semasa PB V. Kepandaiannya dalam bidang olah kanuragan atau ilmu beladiri pencak silat, membuat sang Raja berkenan menganugerahkan gelar padanya sebagai seorang Adipati. Berkat kepiawaian beliau banyak bidang khususnya spiritual, BRAy Adipati Sedah Mirah dipercaya oleh Keraton untuk mengemban tugas sebagai pemimpin upacara dan ritual sakral yakni Adhang Dhandhang Kyai Duda atau menanak nasi menggunakan alat berupa kukusan dan dhandhang yang terbuat dari tembaga. Dhandhang Kyai Duda adalah pusaka peninggalan Ki Ageng Tarub dan istrinya yang seorang bidadari Dewi Nawang Wulan. Berkat dhandhang pusaka ini pula bidadari Dewi Nawang Wulan menanak nasi cukup hanya satu butir beras tetapi nasinya bisa dimakan orang banyak. Selanjutnya BRAy Adipati Sedah Mirah memimpin acara labuh semua bekas acara ritual adhang dhandhang Kyai Duda ke pantai selatan tepatnya di pantai Parangkusumo. Acara ini cukup langka karena diadakan hanya setiap 8 tahun atau sewindu sekali.
Begitulah sekilas tentang BRAy Adipati Sedah Mirah. Banyak sekali nama Sedah Mirah, tetapi saat ini hanya ada dua yang saya kenal secara langsung. Yang satunya adalah Punggawa Keraton Kidul namanya Nyai Sedah Mirah, dan satu lagi punggawa bernama Nyai Nitipiro.
KEISTIMEWAAN B.RAy ADIPATI SEDAH MIRAH (VERSI LAIN).
B.R.Ay Adipati Sedah Mirah pada masa hidupnya memiliki segudang prestasi besar. Selain dikenal berparas cantik, juga pandai berdiplomasi serta memiliki ilmu pengasihan tinggi sehingga beliau sebagai wanita mempunyai kharisma dan wibawa luar biasa. Sebagai pemimpin, beliau pemimpin yang dicintai rakyatnya, pemimpin yang disayangi rajanya, dihormati kawan, sekaligus disegani lawan. BRAy Adipati Sedah Mirah adalah seorang pujangga, beliaulah penulis Kitab Ponconiti. Selain itu beliau juga dikenal sebagai pemegang babon serat yasan dalem Susuhunan seperti kitab Wulang Reh yasan dalem PB IV, dan serat babad Centhini yang ditulis semasa PB V. Kepandaiannya dalam bidang olah kanuragan atau ilmu beladiri pencak silat, membuat sang Raja berkenan menganugerahkan gelar padanya sebagai seorang Adipati. Berkat kepiawaian beliau banyak bidang khususnya spiritual, BRAy Adipati Sedah Mirah dipercaya oleh Keraton untuk mengemban tugas sebagai pemimpin upacara dan ritual sakral yakni Adhang Dhandhang Kyai Duda atau menanak nasi menggunakan alat berupa kukusan dan dhandhang yang terbuat dari tembaga. Dhandhang Kyai Duda adalah pusaka peninggalan Ki Ageng Tarub dan istrinya yang seorang bidadari Dewi Nawang Wulan. Berkat dhandhang pusaka ini pula bidadari Dewi Nawang Wulan menanak nasi cukup hanya satu butir beras tetapi nasinya bisa dimakan orang banyak. Selanjutnya BRAy Adipati Sedah Mirah memimpin acara labuh semua bekas acara ritual adhang dhandhang Kyai Duda ke pantai selatan tepatnya di pantai Parangkusumo. Acara ini cukup langka karena diadakan hanya setiap 8 tahun atau sewindu sekali.
SEDAH MIRAH SELIR SUSUHUNAN PAKUBUWONO IX
Sedah Mirah yang Makamnya di keraton Kartasura dikeramatkan
Inilah sosok Sedah Mirah, selir PB IX yang makamnya di Keraton Kartasura dikeramatkan warga.
Makam B.Ray. Sedah Mirah merupakan bangunan yang paling dikeramatkan di bekas Keraton Kartasura. Makam ini berada di kompleks Benteng Srimanganti yang berada di dalam petilasan keraton.
Sedah Mirah adalah selir atau garwa ampeyan kesayangan Susuhunan Pakubuwono IX. Semasa hidupnya dia dikenal cantik, pandai berdiplomasi, dan memiliki penghasilan yang cukup.
Berkat kecantikan dan keanggunan yang memesona, maka dia tetap dikenang setelah meninggal dunia. Makamnya yang berada di Astana Wanakerta petilasan Keraton Kartasura masih menjadi tujuan peziarah untuk ngalap berkah.
Peziarah biasanya melakukan beberapa ritual untuk meminta berkah dengan bekal hati bersih dan sopan santun. Konon, mereka yang beruntung biasanya akan ditemui oleh sosok ratu yang cantik jelita ini.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, petilasan Keraton Kartasura di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, merupakan saksi bisu kejayaan Kerajaan Mataram Islam. Dulu kawasan keraton memiliki dua benteng yang menjadi pertahanan dari serangan pemberontak.
Mengutip buku Dinamika Kehidupan Religius Era Kasunanan Surakarta (2017), Supardi dkk, menyebut perpindahan Kerajaan Mataram ke Kartasura menimbulkan banyak pemberontakan. Kala itu di Kartasura ada banyak orang yang berpihak pada kelompok pemberontak, sehingga sewaktu-waktu dapat mengganggu keamanan kota.
Hal tersebut melatarbelakangi dibangunnya benteng untuk melindungi istana Keraton Kartasura. Ada dua benteng yang dibangun, yaitu Baluwarti di bagian luar dan Srimanganti di dalam.
Sayangnya, kini benteng keraton tersebut dalam kondisi tidak terawat. Bahkan belum lama ini benteng Baluwarti di area luar Keraton Kartasura dijebol warga untuk membangun indekos. Padahal benteng yang dijebol itu termasuk benda cagar budaya (BCB).
KISAH-KISAH BERHUBUNGAN DENGAN BRAy SEDAH MIRAH
SEJARAH MANGKUYUDO KEDHU.
Catatan kecil mengenai sejarah Mangkuyudo-Mangkuyudo Kedhu yang pernah terekam dalam babad, tembang maupun catatan sejarah lain.
Ponconiti sebagai Lembaga Negara Kasultanan Mataram untuk Menggali Kisah Mangkuyudo
Tumenggung Mangkuyudo adalah pada zaman Mataram saat berjaya. Untuk melihat sebuah permasalahan, kadang kala harus menggunakan telaah background keadaan pada zaman itu untuk memahami pola pikir atau cara pandang seorang tokoh yang hendak kita cari. Dari situlah maka beberapa catatan kadang terkumpul. Karena penggambaran Mangkuyudo memang tidak bisa hanya lewat cerita mulut atau versi lain.
Misalnya, Amangkurat Amral dengan kejamnya digambarkan membunuh Trunojoyo dengan menusukkan keris Kyai Balabar-nya ke dada hingga menembus punggung kemudian para bupati berebut menusukkan kerisnya ketubuh Trunojoyo yang sudah tidak berdaya. Bila dipandang dari sudut manusiawi pada zaman sekarang maka hal itu tidaklah berperikemanusiaan, namun karena waktu itu adalah zaman perang, kadang tindakan kejam tidak lagi dipandang tindakan yang menyimpang dari perikemanusiaan.
Seperti contoh yang lain misal kisah cinta Raden Ayu Lembah dan Raden Sukra. Karena merasa malu dan takut akan hukuman raja, Pangeran Puger rela menghabisi putrinya sendiri. Sementara itu, Patih Sindurejo yang tidak tega harus merelakan anak kesayangannya dipotong lehernya oleh famili satu klan-nya. Bila dilihat pada zaman sekarang hal itu sangatlah kejam, namun bila kita ada dijaman dimana kuasa raja seperti layaknya dewa, maka ketakutan kepada raja kadang melebihi rasa cinta kasih sayang terhadap anak.
Untuk lebih memperdalam khasanah dunia masalalu yang bernama Mataram Jawa maka sedikit ditampilkan mengenai sistem kelembagaan negara mereka. Berbeda dengan kita sekarang yang menganut Demokrasi yang meletakkan perwakilan rakyat sebanding dengan raja. Pada zaman itu, raja adalah undang-undang, raja adalah kebenaran yang hakiki yang melebihi kebenaran apapun, sehingga kadang sebuah negara hancur oleh kebijakan bodoh seorang raja.
Pemahaman secara garis besar Ponconiti adalah 5 lembaga tinggi negara yang mengatur pemerintahan, yang biasanya berkumpul untuk membahas permasalahan negara dan hukum pada hari-hari tertentu. Sistem kelembagaan ini kemungkinan diwariskan sejak Zaman Majapahit yang kemudian masih diteruskan pada Zaman Mataram. 5 Lembaga tinggi negara tersebut adalah: Raja, Patih, Jaksa, Penghulu dan Pujanggai sesuai dengan kitab Ponconiti. Bila Raja adalah sebagai pengambil keputusan, Patih yang melaksanakan. Jaksa mengurusi bagian hukum, Penghulu mengurusi bagian agama dan Pujangga mengurusi bagian seni-sastra. Secara detail kitab Waduaji menjelaskan pengertian dan tupoksi dari semua jabatan punggawa raja, gelar kebangsawanan dan termasuk didalamnya jabatan yang tergabung dalam Ponconiti.
Kitab Bauwarna mencatat beberapa pejabat yang pernah duduk dalam lembaga-lembaga tersebut sejak zaman Medang Kamulan hingga Pakubuwono X. Beberapa diantaranya sejak pemerintahan Panembahan Senapati hingga Pakubuwono IV adalah sebagai berikut :
1. Panembahan Senapati.
Raja : Radèn Bagus Danar, atau Radèn Bagus Srubut, atau Radèn Bagus Dananjaya, atau Radèn Ngabèi Saloring Pasar, atau Risang Sutawijaya menjadi raja Mataram, bergelar Panêmbahan Senapati ing Ngalaga, selama 13 tahun
Patih : Adipati Môndaraka I, selama13 tahun
Jaksa : Tumenggung Yudanegara (sejak zaman Pajang), selama 2 tahun, kemudian digantikan Kyai Juru Wirapraba, selama 10 tahun, digantikan Kyai Juru Kithing Nataningrat, selama 1 tahun
Pangulu : Kyai Gêdhe Wanasaba, selama 13 tahun.
Pujangga : Tumênggung Jayaprana, selama 13 tahun.
2. Susuhunan Anyakrawati.
Raja: Radèn Mas Jolang, atau Kangjêng Gusti Adipati Anom di Mataram, menjadi raja dengan gelar Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Adi Prabu Anyakrawati Senapati Ngalaga Mataram, selama 12 tahun.
Patih : Adipati Mondaraka I, selama 8 tahun, digantikan Pangeran Manduranagara serta bergelar Adipati Môndaraka II, selama 4 tahun
Jaksa : Kyai Juru Kithing Nataningrat, selama 12 tahun.
Pangulu : Kyai Gedhe Wanasaba, selama 8 tahun, diganti Kyai Agêng Wanantara, selama 4 tahun.
Pujangga : Tumenggung Jayaprana, selama 12 tahun.
3. Sultan Agung Anyakrakusuma
Raja : Radèn Mas Jêtmika, atau Pangeran Rangsang, atau Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Anom di Mataram, setelah menjadi raja bergelar Ingkang Sinuhun Kangjêng Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma, Senapati ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama, selama 15 tahun,
Patih jaba : Adipati Mondaraka II selama 9 tahun.
Patih jêro : Tumênggung Singaranu selama 6 tahun. Ketika Patih jaba Adipati Môndaraka II digantikan patih jêro Tumênggung Singaranu, jadi jaba jêro selama 9 tahun.
Jaksa : Kyai Juru Kithing Nataningrat, selama 6 tahun, digantikan Kyai Ngabèi Sutamarta, selama 9 tahun
Pangulu : Kyai Ageng Wanantara selama 2 tahun, digantikan Pangeran Kabèh selama 2 tahun, digantikan Pangulu Serang selama 2 tahun, digantikan Kyai Amad Patekan 9 tahun.
Pujangga : Tumênggung Sujanapura, selama 15 tahun.
4. Mangkurat Agung.
Raja : Radèn Mas Sayidin, memiliki nama panggilan Radèn Mas Jibus, atau Radèn Mas Rangkèh, nama gelar Pangeran Arya Mataram, setelah menjadi raja bergelar Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Mangkurat, Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama, (seda sumare ing Têgalarum) selama 22 tahun.
Patih : Tumenggung Singaranu 1 tahun, digantikan Adipati Wirarêja selama 21 tahun.
Jaksa : Ngabèi Sarawadi selama 10 tahun, diganti Kyai Ngabèi Pandam selama 12 tahun
Pangulu: Kyai Amad patekan selama 21 tahun, diganti Kyai Bodhèh 1 tahun.
Pujanggo : -
5. Mangkurat Amral
Raja : Radèn Mas Rahmat, atau Radèn Mas Kuning atau Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Anom di Mataram, setelah menjadi raja di Kartasura bergelar Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Mangkurat selama 26 tahun.
Patih : Adipati Môndaraka II selama 1 tahun, digantikan Arya Nrangkusuma selama 7 tahun, diganti Arya Sindurêja selama 16 tahun, digantikan Adipati Sumabrata selama 2 tahun sebagai Patih Jaba dan Patih jêro Tumênggung Wiraguna.
Jaksa : Ngabèi Sêndhi selama 26 tahun
Pangulu : Tapsiranom selama 26 tahun
Pujangga : Ngabèi Wirasastra selama 26 tahun.
6. Mangkurat Mas.
Raja : Radèn Mas Sena, atau Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Anom, ing Kartasura, setelah menjadi raja berganti menjadi Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Mangkurat Mas, cuma 3 tahun.
Patih : Adipati Sumabrata selama 3 tahun.
Jaksa : Arya Urawan selama 3 tahun
Pangulu : Kyai Tangkilan 2 tahun, diganti Pangulu Mubin 1 tahun
Pujangga : Ngabei Wirasastra selama 3 tahun.
7. Pakubuwana I
Raja Radèn Mas Darajad, nama Pangeran Adipati Pugêr, setelah naik tahta yang kedua bergelar Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama ingkang kapisan, selama 13 tahun
Patih : Adipati Cakrajaya selama 13 tahun.
Jaksa : Ngabèi Pranantaka 1 tahun, digantikan Dêmang Urawan selama 12 tahun.
Pangulu : Adiningrat selama 13 tahun
Pujangga : Kyai Kalipah Buyut dan Rôngga Janur 13 tahun
8. Amangkurat Jawa
Radèn Mas Surya, atau Radèn Suryaputra, diganti nama oleh Mangkurat Mas menjadi Wôngsataruna, setelah Pakubuwana menjadi raja namanya berubah menjadi Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Anom, setelah menjadi raja bergelar Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Prabu Mangkurat Jawa, Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalipatullah, selama 9 tahun
Patih: Adipati Cakrajaya kemudian berganti nama Adipati Danurêja selama 9 tahun
Jaksa: Ngabei Pranantaka selama 9 tahun
Pangulu: Adiningrat 2 tahun, digantikan Dipaningrat selama 7 tahun
Pujôngga: Rôngga Janur 9 tahun
9. Pakubuwana II
Raja: Radèn Mas Sandi, atau Radèn Mas Prabayasa, nama Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Anom, setelah menjadi raja bergelar Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan P.B.II. selama 16 tahun
Patih: Danureja selama 4 tahun, diganti Adipati Natakusuma selama 8 tahun, digantikan Tumênggung Wirarêja selama 4 tahun
Jaksa: Ngabei Pranantaka selama 6 tahun, digantikan Kyai Gambuh dari Kêdhunggudèl 10 tahun
Pangulu: Dipaningrat selama 5 tahun, diganti Pangulu Godhong 11 tahun.
Pujangga: Tumênggung Tirtawiguna 16 tahun
10. Sunan Kuning (geger cino)
Raja:. Radèn Mas Garêndi, diangkat menjadi raja dengan gelar Sinuhun Mangkurat Prabu Kuning, Cuma 1 tahun
Patih: Tumênggung Mangunonêng bergelar Adipati Pathi
Jaksa: Kyai Gambuh
Pangulu: Pekih Ibrahim
Pujangga: Tumenggung Tirtawiguna
11. Pakubuwana II (setelah dari Kartasura direbut dan pindah ke Surakarta).
Raja: Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan P.B.II. selama 7 tahun.
Patih jaba: Adipati Pringgalaya 7 tahun, Patih jêro: Adipati Sindurêja II 7 tahun,
Jaksa: Kyai Gambuh 7 tahun
Pangulu: Pangulu Godhong 2 tahun, diganti Pekih Ibrahim 1 tahun, diganti Pengulu Anom Tapsir 2 tahun, diganti Amad Tahar 2 tahun.
Pujangga : Tumenggung Tirtawiguna selama 7 tahun.
12. Pakubuwana III
Raja: Radèn Mas Gusti Suryadi, atau Radèn Mas Surat, atau Urèt, atau Sêmbada, nama Radèn Mas Gusti Suryakusuma, atau Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Anom, setelah menjadi raja bergelar Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan P.B.III. (Suwarga), selama 39 tahun,
Patih: Adipati Pringgalaya 8 tahun, digantikan Adipati Mangkupraja (Andong) selama 12 tahun, diganti Adipati Sasradiningrat selama 13 tahun, digantikan Adipati Sindurêja III 2 tahun, digantikan Adipati Jayaningrat selama 4 tahun
Jaksa: Kyai Ngabèi Natayuda selama 39 tahun
Pangulu: Jakariya 39 tahun
Pujangga: Pangeran Wijil ing Kadilangu, Pangeran Anèh, Sastrawijaya dan Ngabèi Yasadipura I selama 39 tahun.
13. Pakubuwana IV
Raja: Radèn Mas Gusti Sumadya, atau Kangjêng Gusti Pangeran Adipadi Anom, setelah menjadi raja bergelar Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan P.B.IV. (Bagus), selama 33 tahun
Patih: Adipati Jayaningrat 8 tahun, digantikan Adipati Mangkupraja (ayah) selama 8 tahun, digantikan Adipati Danuningrat selama 6 tahun, diganti Adipati Cakranagara 6 tahun, diganti Kangjêng Radèn Adipati Sasradiningrat (Ngimagiri) (awal mula jabatan Patih mendapat sebutan Kangjêng) selama 5 tahun
Jaksa: Tumênggung Irawan, berganti nama menjadi Tumênggung Amongpraja I 33 tahun
Pangulu: Tapsiranom 15 tahun, diganti Pangulu Martalaya 18 tahun
Pujangga: Ngabèi Yasadipura I selama 15 tahun, digantikan Ngabèi Yasadipura II 18 tahun