FILOSOFI ANGKA-ANGKA DJAWA
Sekedar berbagi dan mengupas tentang Filosofi Jawa. Jawa disini bukan berarti untuk menonjolkan salah satu suku yang ada di Nusantara, tetapi sekedar untuk bahan intropeksi dan motivasi, bahwa bangsa kita bukanlah bangsa pinggiran. Bangsa kita tetaplah bangsa yang besar, berbudidaya luhur yang telah memiliki peradaban sosial tinggi. Dan itu bisa dibuktikan dengan pemahaman kandungan makna yang dimilikinya.
Angka dan bilangan biasanya digunakan sebagai bahasa untuk menyebutkan tentang jumlah ukuran dan satuan nilai yang lainnya. Salah satu penyebutan angka dan bilangan yang tergolong unik adalah yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Kenapa unik? Itu karena ada beberapa makna dan arti yang terkandung dalam cara penyebutannya.
Angka dan bilangan 1-10
Dalam bahasa Jawa angka itu terurut mulai dari 1-0 dengan deretan; 1,2,3,4,5,6,7,8,9,0. Ke sepuluh angka tersebut lalu dilafalkan dengan istilah SIJI, LORO, TELU, PAPAT, LIMO, NEM, PITU, WOLU, SONGO, dan NOL.
Adapun makna dari setiap angka 1-0 Jawa adalah sebagai berikut :
1 (Siji/Setunggal) = Esa + Eka + Ika + Tunggal (Keagungan Tuhan), Manunggal (menyatu), Wiwitan+Kawitan (awal, pertama), Bhumi + Buana (Bumi), Surya (Matahari), Candra (Bulan), Ratu (pemimpin), Negoro (negara), dll.
2 (Loro/Roro/Kalih/Rwa) = Dwi (dua yang menyatu/keseimbangan), Tengen (tangan), Sikil (kaki), Kuping (telinga), Mripat (mata), Netra (penglihatan), Panembah (menghormati), Bekti (pengabdian), dll.
3 (Telu/Tigo/Tri) = Tri (tiga kehidupan; Alam Ruh/Kandungan, Duniawi, kelanggengan), Krida (olah, perbuatan, tindakan), Gebyar (semarak, meriah, gemerlapan, berarti), dll.
4 (Papat/Sekawan) = Catur (kreatifitas, kecerdasan), Kerta (kemenangan), dll.
5 (Limo/Gangsal) = Panca (kekuatan diri), Astra (kesaktian), Tumata (tertata, teratur), dll.
6 (Nem) = Rasa (empati, simpati), Sad (kesederhanaan), Bremana (arif, bijaksana), Anggata (terpelajar, berilmu), dll.
7 (Pitu) = Sapta (hukum), Sinangga (menjaga/menjunjung tinggi drajat dan kehormatan), dll.
8 (Wolu) = Asta (kebajikan), Manggala (terhormat, pembesar), Salira (bentuk, wujud), Naga (simbol kewibawaan), dll.
9 (Songo) = Nawa (semangat dan simbol kemuliaan), Hanggatra (kesempurnaan), Bunga (keindahan), dll.
0 (Nol) = Ilang (hilang), Sirna (musnah), Sonya (kosong), Hening (tidak ada apa-apa), Pungkasan (akhir) dll.
Selain angka-angka di atas, ada bilangan 10 yang biasa disebut dengan SEPULUH atau SEDOSO. Bilangan ini pun terdiri dari gabungan angka 1 (SIJI) yang berarti awal, dan angka 0 (NOL) yang berarti akhir. Tidak ada angka lain sebelum angka 1 (SIJI) dan tidak ada angka lain pula sesudah angka 0 (NOL), karena sesudah itu akan kembali lagi ke 1 (SIJI), tidak ada angka yang baru lagi. Angka 1 (SIJI) berbicara tentang hakekat diri berawal dari Sang Ilahi, sedangkan angka 0 (NOL) berbicara tentang pengosongan diri kembali ke Sang Ilahi, Gusti kan Tan keno kiniro Tan keno kinoyo ngopo.
Angka 10 ini adalah lambang dari segala kesempurnaan dan mengikuti kehendak Tuhan. Dan sesungguhnya nilai daripada kesempurnaan itu pun adalah 10 (jadi ingat di sekolah dulu jarang sekali dapat nilai 10.
Sehingga segala sesuatu yang ada dibawah langit dan bumi ini jika kita mampu menyebutkan semuanya, itu hanya akan berarti kosong, tidak dapat terpikirkan maka juga tidak akan berarti apa-apa.
Sehingga bila kita berada didepan Tuhan yang disimbolkan dengan angka 0-1, maka kita tidak berarti apa-apa. Kita baru akan berarti saat kita mau menempatkan Tuhan itu didepan kita sebagai pemimpin diri kita (1-0). Dan dunia in pun samai tidak akan berarti apa-apa pula jikalau kita menempatkan kedaulatan Tuhan (kecerdasan semesta) itu dibelakang kehidupannya, maka pahami dahulu hakekat diri dan hakikan alam semesta ini dalam jagad Cakra manggilingan (mikro kosmos dan makro kosmos), baru kita pahami makna kesejatian diri bahwa dunia itu (jagad gede) ada didalam diri kita.
Karena itulah orang Jawa yang sejati sudah meletakkan angka 0 (NOL) itu bukanlah di awal deretan angka, tetapi justru di urutan terakhir setelah angka 9 (SONGO). Artinya, orang Jawa sudah mengerti bahwa mereka hanyalah makhluk yang fana dan tidak berarti apa-apa bila tak mengikuti siklus kehendak Ilahi (kecerdasan semesta/karma).
Ini sangat berbeda dengan prinsip orang luar yang justru kebalikannya. Mereka meletakkan angka 0 itu di depan angka 1. Secara tersirat artinya mereka meletakkan keberadaan Tuhan itu dibelakang makhluk, begitupun dengan aturan-Nya bahkan tidak digunakan dalam menata kehidupan sehari-hari. Dan sayangnya lagi bangsa kita ini pun ikut-ikutan pola numerik bangsa luar ini, yang jelas-jelas tidak sesuai lagi dengan prinsip yang sejati yang sejak dahulu kala sudah diwariskan oleh para leluhur kita.
Sehingga sejak awal kehidupan hingga saat ini tetap tergantung kepada dunia. Dan hanya dengan menjadikan kesatuan Tuhan itu sebagai yang utama sebagai cerminan Diri Pribadi, maka manusia pun baru akan memiliki arti di dalam kitab diri atas kehidupan yang sesungguhnya kosong tidak berarti apa-apa ini. Sebaliknya, jika bangsa ini masih saja tidak mengikuti pakem (pedoman utama) yang bijak dari para leluhur – dengan tetap saja meletakkan urutan angka itu mulai dari 0-9, maka hidup bangsa ini akan terus mengikuti aturan dan kehendak ego manusia yang mengikat diri. Dan Itu artinya, bangsa ini memang sejak awal sudah tidak sadar menuju hancur atau bahkan dihancurkan. Untuk bisa selamat, maka harus kembali menggunakan deretan angka yang sesuai dengan pakem Jawa (1,2,3,4,5,6,7,8,9,0). Ini memang terlihat sepele, tapi sadarilah bahwa menyepelekan sesuatu yang kecil dan terlihat sepele justru sebenarnya dapat mendatangkan malapetaka itu sendiri.
Angka dan bilangan 11-19
Dalam bahasa Jawa, angka 11 tidak disebut sebagai “sepuluh siji”, 12 bukan “sepuluh loro”, 13 pun bukan “sepuluh telu” dan seterusnya hingga angka 19 yang tidak disebut sebagai “sepuluh songo”. Namun, angka 11 disebut sebagai “SEWELAS“, 12 disebut sebagai “ROLAS” dan seterusnya hingga 19 yang disebut dengan “SONGOLAS” dan 20 disebut KALIHDOSO (kalih = dua, doso = sepuluh/puluh). Mengapa sepuluhan diganti dengan welasan?
Pemahaman nya adalah bahwa pada usia ke 11 tahun hingga 19 tahun adalah saat-saat berseminya rasa welas asih (kasih sayang) dan cinta pada jiwa seseorang, terutama terhadap lawan jenis. Itulah usia dimana seseorang telah memasuki masa puber awal, masa remaja. Sementara dalam banyak bahasa, bilangan 11 hingga 19 memang diberi nama dengan pola yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan belasan. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan teen, sehingga para remaja pada usia tersebut disebut teenagers yang berarti remaja.
Angka dan bilangan 21-29
Setelah welasan, bilangan 21 hingga 29 dalam bahasa Jawa juga dinamakan berbeda dengan pola umum yang ada. Dalam bahasa lain biasanya sesuai pola. Misal dalam bahasa Indonesia diucapkan dua puluh satu, dua puluh dua, dan begitu seterusnya hingga dua puluh sembilan. Namun dalam bahasa Jawa tidak demikian, angka ke 21 tidak disebut sebagai “rongpuluh siji’, 22 tidak disebut “rongpuluh loro”, dst, melainkan 21 disebut SELIKUR, 22 disebut ROLIKUR, dan seterusnya hingga 29 yang disebut SONGGOLIKUR, kecuali angka 25 yang disebut sebagai SELAWE.
Di sini terdapat satuan “LIKUR” yang tidak lain merupakan singkatan dari “Lingguh ing kursi” (duduk di kursi). Karena itulah, makna yang bisa diambil disini adalah bahwa pada usia ke 21-29 itulah manusia umumnya mendapatkan “Tempat duduk/kedudukan”, pekerjaan, profesi yang akan ditekuni dalam kehidupannya sehari-hari. Sementara pesan moralnya adalah bahwa kita harus tetap semangat dan giat bekerja demi masa depan yang cemerlang. Selain itu, kita harus bisa memilah mana urusan/pekerjaan yang baik dan mana pula yang tidak baik, karena itu bisa membuat hidup kita menjadi tenang, bahagia dan selamat.
Selanjutnya, yang lebih menarik adalah pada bilangan ke 25 yang disebut SELAWE. Ini diambil dari singkatan; seneng-senenge lanang lan wedok, atau senenge lanang lan wedok (senang-senangnya pria dan wanita). Disini artinya adalah saat puncak asmara antara laki-laki dan wanita yang ditandai dengan pernikahan. Karena itu, pada usia tersebut umumnya orang akan dadi manten atau menikah dan berolah asmara. Memang tidak semua orang menikah pada usia tersebut, tapi jika dirata-ratakan, memang umumnya di antara usia 21-29 itulah orang banyak yang menikah. Pada saat kedudukan sudah diperoleh, pada saat itulah seseorang siap untuk berumah tangga.
Angka dan bilangan 50
Dari angka 30 hingga 49, penamaan bilangan dibaca normal sesuai pola urutan, misalnya TELUNG PULUH, PATANG PULUH, dst. Tapi ada penamaan lagi nanti pada bilangan ke 50. Mestinya, bilangan ini disebut dengan “limang puluh”, namun sebutan populernya tidaklah demikian. Bilangan 50 itu dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah SEKET.
Penyebutan SEKET itu merupakan singkatan dari kalimat “Seneng kethunan” (suka memakai tutup kepala). Hal ini menandakan usia seseorang semakin lanjut, dan tutup kepala merupakan lambang dari mulai membersihkan pikiran pikiran yang ada di kepala.
Angka dan bilangan 60
Selanjutnya, ada satu bilangan lagi yaitu 60 yang penyebutannya juga menyimpang dari pola, disini bukan disebut “nem puluh”, melainkan SEWIDAK atau SUWIDAK. SEWIDAK ini berarti “Sejatine wis wayahe tindak (sesungguhnya sudah waktunya kembali). Jadi pesan moral yang bisa diambil dari bilangan ke 60 Jawa ini adalah bahwa di usia ke 60-an seseorang itu sudah memasuki usia lanjut yang semestinya sudah matang, lebih berhati-hati dalam hidup dan tentu saja semakin banyak bersyukur, semakin semelej dan tinggi kesadaran dirinya, Dan yang terakhir, diusia yang ke 60-an ini, seseorang itu sudah harus bersiap-siap untuk pergi meninggalkan dunia fana ini.