TRISULA (TRITUSTA)
Trisula atau trishula atau serampang (Sanskerta: trishul) adalah tombak bermata tiga yang secara harfiah berarti tiga tombak. Juga disebut trident dalam bahasa Inggris. Trisula juga digunakan oleh retarii, gladiator dengan penampilan seperti nelayan (membawa jaring).
Trisula saat ini sering diasosiasikan dengan setan oleh mitologi Kristen. Ini kemungkinan karena penggunaannya dalam agama pagan. Trisula adalah senjata Siwa, salah satu dari Trimurti yang sering disembah pada masa kejayaan kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Begitu pula dalam agama pagan Yunani Romawi, Poseidon (Neptunus) dewa peguasa laut selalu membawa trisula. Dalam kebudayaan Mikenai, Poseidon adalah dewa utama, dan mungkin lebih utama dibanding Zeus. Dewa Neptunus melambangkan penguasaan atas kekuatan air.
Trisula juga digunakan sebagai senjata utama oleh tentara Korea masa lalu, berbeda dengan tentara Tiongkok saat itu yang menggunakan tombak dengan mata berbentuk daun. Selain itu, trisula digunakan juga oleh orang Indonesia salah satunya di Sumatera Selatan.
Dalam tradisi spiritual Hindu trisula adalah simbol mata ketiga.
Trisula atau trishula atau serampang (Sanskerta: trishul) adalah tombak bermata tiga yang secara harfiah berarti tiga tombak. Juga disebut trident dalam bahasa Inggris. Trisula juga digunakan oleh retarii, gladiator dengan penampilan seperti nelayan (membawa jaring).
Tombak Pusaka Trisula saat ini sering diasosiasikan dengan setan oleh mitologi Kristen. Ini kemungkinan karena penggunaannya dalam agama pagan. Tombak Pusaka Trisula adalah senjata Siwa, salah satu dari Trimurti yang sering disembah pada masa kejayaan kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Begitu pula dalam agama pagan Yunani Romawi, Poseidon (Neptunus) dewa peguasa laut selalu membawa trisula. Dalam kebudayaan Mikenai, Poseidon adalah dewa utama, dan mungkin lebih utama dibanding Zeus.
Tombak Pusaka Trisula juga digunakan sebagai senjata utama oleh tentara Korea masa lalu, berbeda dengan tentara Tiongkok saat itu yang menggunakan tombak dengan mata berbentuk daun. Selain itu, trisula digunakan juga oleh orang Indonesia.
Dalam tradisi spiritual Hindu Tombak Pusaka Trisula adalah simbol mata ketiga.
TRITUSTA/TRISULA DALAM DUNIA WAYANG
Wayang merupakan seni pertunjukkan rakyat yang dimainkan oleh seorang yang sering disebut dalang. Jadi, dalang tersebut menggerakkan para tokoh pewayangan sesuai cerita yang dibawakan.
Biasanya, cerita-cerita yang dimainkan oleh seorang dalang bersumber pada kitab Ramayana dan Mahabharata. Meski, ada dalam cerita wayang Mahabharata, tokoh-tokoh para kesatria ini asli karangan para pujangga Jawa. Eksistensinya hanya ada dalam wayang versi Jawa alias tidak ada dalam kisah Mahabharata dari India.
Jaman dulu / generasi lawas, anak-anak kecil hingga remaja masih banyak mengidolakan tokoh-tokoh wayang. Kesaktian yang luar biasa, sikap yang kesatria membuat banyak tokoh wayang menjadi inspirasi anak-anak saat itu.
Para tokoh wayang tersebut, mempunyai pusaka yang dianggap keramat dan sakti mandraguna. Benda-benda yang dianggap keramat di sini umumnya adalah benda warisan yang secara turun-temurun diwariskan oleh nenek moyangnya.
Dalam kisah pewayangan banyak senjata pusaka yang memiliki kekuatan magis, sampai-sampai ada yang bisa menghancurkan dunia.
Tritusta atau Trisula adalah panah yang memiliki ujung seperti Trisula atau garpu. Panah Tritusta merupakan panah tandan generasi kedua ciptaan Bathara Anggajali. Tritusta merupakan pengganti dari panah Nracabala yang diberikan kepada Bathara Ramabargawa untuk dibagikan kepada murid-muridnya yaitu Resi Seta, Resi Bhisma, Pandhita Drona & Adipati Karna.
Pada awalnya, panah Tritusta atau Trisula dibuat untuk menggantikan panah Nracabala yang tidak bisa memilih mana lawan dan mana kawan di area perang. Dalam pikiran Bathara Anggajali, panah Tritusta menjadi panah yang cerdas sekaligus mematikan di zona perang. Untuk memperoleh bahan bakunya, Bathara Anggajali turun ke lereng Gunung Jamurdipa untuk mengambil kayu pohon Damar Kencana, pohon suci yang kulitnya dipakai sebagai bahan kereta kencana para dewa & raja di Arcapada. Setelah mendapatkan pohon tersebut, Bathara Anggajali kemudian membawanya ke puncak untuk diolah. Bathara Anggajali kemudian melepas kulit pohon dan mencacah batang pohon tersebut hingga berjumlah ribuan dan dimasukkan ke Kawah Chandradimuka agar mengeras karena bergabung dengan magma & lava. Setelah terlapisi dengan sempurna, Bathara Anggajali kemudian memipihkan ujung panah kecil tersebut agar menjadi tajam dan mengelompokkan tiap seribu buah. Seribu panah kecil tersebut kemudian dilinting kedalam kulit pohon Damar Kencana dan menutupnya dengan kepala panah yang berbentuk garpu besi, kemudian menguncinya dengan cincin. Setelah seminggu lamanya, senjata ini akhirnya jadi dan diberi nama Tritusta yang berarti, Bermata Tiga. Panah Tritusta lalu diserahkan kepada Bathara Guru untuk diberkati dan kemudian diberikan kepada Bathara Naradha untuk diteruskan kepada Bathara Ramabargawa agar memberikannya kepada murid-muridnya sebagai ganti Nracabala.
Bathara Ramabargawa kemudian memberikan panah tersebut kepada tiga murid resminya yaitu Resi Seta, Resi Bhisma dan Pandhita Drona. Semua muridnya tersebut tidak memakai Tritusta dan lebih suka memakai Nracabala karena dianggap lebih mematikan. Padahal tanpa mereka sadari, panah Tritusta banyak memiliki fitur tambahan dibanding Nracabala.
Dalam penggunaannya, Resi Seta & Resi Bhisma menjadikan Tritusta sebagai cadangan sedangkan Pandhita Drona mewariskannya kepada Arjuna. Pandhita Drona mewariskan senjata tersebut kepada Arjuna, sesaar sebelum menyerbu Kapilawastra untuk menculik Prabu Drupada. Dalam invasi tersebut, panah Tritusta digunakan untuk memecah barikade dan blokade pasukan Pancala di tengah kota. Setelah Pandawa sukses membawa Prabu Drupada ke Sokalima, Pandhita Drona mewariskan panah Tritusta kepada Arjuna. Ketika masa penyamaran Pandawa & Drupadi di Wiratha, Arjuna menggunakan panah Tritusta untuk menghancurkan pasukan Astinapura & pasukan bayaran Trigatra yang menyerbu Wiratha. Ketika Bharatayudha, Arjuna meminjamkan panah Tritusta kepada Srikandhi, istrinya untuk membunuh Resi Bhisma sesuai sumpah Dewi Amba, dan Arjuna juga menggunakannya untuk membunuh trio Adipati Bogadenta-Gajah Mudraningkung-Dewi Mudraningsih. Selama Bharatayudha berlangsung, panah Tritusta menjadi andalan Arjuna untuk memecah formasi Cakrawyuha buatan Kurawa. Bahkan Arjuna pernah meminjamkan panah ini ke Abimanyu untuk memecahkan formasi Cakrawyuha. Abimanyu akhirnya gagal keluar dari Cakrawyuha dan gugur didalam formasi tersebut.
Mekanisme penggunaannya yaitu, panah tidak perlu dibidik ke target dan ditembakkan keatas lalu kepala panah akan terlepas dengan sendirinya. Setelah kepala panah terlepas maka akan mengeluarkan ribuan panah kecil yang mematikan. Berbeda dengan Nracabala yang memiliki panah kecil yang beracun, panah kecil yang terdapat di Tritusta tidak beracun. Selain itu, Bathara Anggajali menambahkan fitur yang membuat pemakain Tritusta membunuh satu tentara musuh dengan satu panah kecil saja dan bisa memilih mana musuh & mana kawan. Korban sipil atau salah sasaran akibat panah Tritusta lebih kecil dibanding Nracabala. Sedangkan senjata yang sanggup mengimbangi Tritusta adalah Nracabala, dan duel antara kedua panah ini muncul ketika Arjuna bertemu Karna di Bharatayudha. Setelah Arjuna moksa, panah Tritusta diturunkan ke anak-cucunya di era Madya hingga ke raja-raja Jawa.
Nama Trisula juga menjadi nama senjata milik Bathara Guru, yang berbentuk tombak bermata tiga & di mitologi Yunani, senjata tersebut dimiliki oleh Poseidon atau Neptunus.
Dalam budaya populer, senjata Trisula dalam bentuk Tombak & anak panah banyak dipakai dalam industri kreatif, seperti novel, film, komik, dan lain-lain.
Dalam serial Mahabharata, banyak panah yang fungsinya sama dengan panah Tritusta namun tidak memiliki nama.
SENJATA PUSAKA PARA TOKOH PEWAYANGAN
Berikut ini uraian mengenai macam-macam senjata sakti milik tokoh pewayangan :
1. Kuku Pancanaka (Milik Bima).
Pancanaka merupakan senjata berupa kuku jempol tangan yang berwarna hitam, melengkung panjang ke bawah dan sangat tajam. Diceritakan, tajamnya kuku tersebut tujuh kali tajam pisau cukur.
Pada acara babat Hutan Amarta, Bima menggunakan kuku Pancanaka untuk menebang pohon-pohon besar. Kemudian saat Perang Baratayudha, Bima menggunakan kuku Pancanaka tersebut untuk memotong leher Dursasana.
Tak mudah mendapatkan Pusaka ini, Bima harus bersemedi di gua Gunung Meheru selama berbulan-bulan, dan pada awalnya dewa pemilik kuku tak mau memberikan pada Bima.
Namun, pada akhirnya, Batara Guru memberikan dua Kuku Pancanaka buatannya agar Bima tak mengamuk dan memporak-porandakan bumi.
2. Gada Rujapala (Milik Bima).
Gada Rujapala merupakan senjata Bima yang digunakan untuk membunuh Duryudana pada hari terakhir Perang Barathayuda. Pertarungan berlangsung sengit dan lama, hingga akhirnya Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodana.
Seketika Bima mengayunkan gadanya tersebut ke arah paha Duryodana. Setelah pahanya diremukkan, Duryodana jatuh ke tanah, dan beberapa lama kemudian ia mati. Baladewa marah hingga ingin membunuh Bima, namun ditenangkan Kresna karena Bima hanya ingin menjalankan sumpahnya.
3. Panah Pasopati (Milik Arjuna).
Secara harfiah, Pasopati berasal dari dua suku kata, yakni Paso artinya tepat, sementara 'Pati' artinya mati. Jadi, panah pasopati jika mengenai musuh atau lawan yang berupa raksasa, kesatria ataupun saudara, pastilah lawan tersebut menemui ajalnya.
Diceritakan, panah tersebut pernah digunakan Arjuna untuk membunuh raja raksasa bernama Niwatacaraka, seorang yang ingin mempersunting Dewi Supraba. Selain itu, panah Pasopati pernah digunakan untuk membunuh Jayadarta dan Adipati Karna.
4. Busur Gandiwa (Milik Arjuna).
Arjuna menerima Gandiwa dari Waruna atas rekomendasi Agni. Waruna juga memberikan Arjuna dua kantong panah yang tak pernah habis, kemudian sebuah kereta yang dibuat oleh Wiswakarma yang memiliki bendera Hanuman, dan tunggangan empat kuda putih yang lahir di wilayah Gandharwa.
5. Konta Jaya (Milik Adipati Karna).
Senjata Konta Jaya adalah pusaka milik Adipati Karna. Senjata Konta Jaya tersebut merupakan pemberian dari Dewa Indra. Konta Jaya adalah senjata yang sangat ampuh, tetapi hanya dapat digunakan sekali saja.
Pada mulanya, senjata ini digunakan untuk membunuh Arjuna, tetapi nahasnya senjata ini terpaksa digunakan untuk membunuh Gatotkaca, seorang raksasa yang memiliki kekuatan luar biasa terutama pada malam hari.
6. Jamus Kalimasada (Milik Yudistira).
Serat Jamus Kalimasada merupakan sebuah pusaka dalam dunia pewayangan yang dimiliki oleh Prabu Puntadewa (Yudistira), pemimpin para Pandawa. Pusaka ini berwujud kitab dan merupakan benda yang sangat dikeramatkan dalam Kerajaan Amarta.
Di antara pusaka-pusaka kerajaan Amarta, Jamus Kalimasada menempati peringkat teratas.
Kisah-kisah pedalangan banyak yang menceritakan upaya musuh-musuh Pandawa untuk mencuri Kalimasada. Kendati demikian, pusaka keramat tersebut senantiasa kembali dapat direbut oleh Yudistira dan keempat adiknya.
7. Cakra Sudarsana (Milik Batara Wisnu).
Cakra Sudarsana atau Cakra Baskara adalah senjata andalan Batara Wisnu. Senjata tersebut juga dimiliki para titisannya, termasuk Prabu Kresna, Raja Dwarawati. Sebagai senjata milik dewa, Cakra bukan hanya ampuh, tetapi juga mempunyai banyak kegunaan.
Kebanyakan makhluk di dunia ini tidak ada yang sanggup mengelak dan menangkal dari serangan senjata Cakra kecuali tokoh tertentu yang berpihak pada kebajikan. Dalam beberapa cerita pewayangan, senjata Cakra digambarkan berbentuk roda dengan gigi-gigi yang menyerupai mata tombak.
Pada wayang kulit Purwa dan wayang orang, senjata Cakra dirupakan sebagai mata panah, sedangkan dalam penggambarannya di beberapa dinding candi serta di komik-komik yang diterbitkan di Jawa Barat, Cakra dilukiskan berbentuk semacam cakram yang tepinya bergerigi.
8. Panah Nagapasa (Milik Indrajit).
Indrajit meripakan anak dari Rahwana. Pusaka berbentuk panah tersebut apabila dilepaskan dari busurnya, akan mengeluarkan ribuan naga yang siap mencabik-cabik raga musuh dari Indrajit.
9. Brahmastra (Milik Dewa Brahma).
Brahmastra merupakan senjata yang sangat kejam dan berbahaya, beberapa ilmuwan masa kini meyakini senjata ini memiliki daya hancur yang setara bom atom, bahkan dikatakan dapat menghancurkan bumi. Senjata ini juga dapat menghalau hampir semua senjata dewa lainnya.
Brahmastra merupakan senjata yang berbentuk anak panah, yang tidak akan pernah meleset dari sasarannya. Brahmastra diperoleh dari hasil meditasi kepada Dewa Brahma dan hanya dapat digunakan sekali dalam seumur hidup.
Brahmastra bisa digunakan saat dibacakan mantra. Rama menggunakan senjata ini untuk membunuh Rahwana, sementara Arjuna dan Ashwatthama hampir saja menghancurkan bumi karena hendak mengadu sesama senjata ini.
10. Brahmanada (Milik Dewa Brahma).
Brahmananda merupakan jenis senjata yang paling mematikan di dunia. Senjata ini adalah gabungan dari tenaga spritual tujuh dewa tersakti di dalam kebudayaan Hindu. Brahmananda disebut sebagai senjata dewa Brhama yang paling mematikan.
Tidak ada senjata lain di dunia yang bisa menyaingi kesaktian daripada Brahmananda. Jadi, senjata lain seperti Brahmastra, Pashupatastra, Brahmasira, Amoghashakti, Vajra, Narayanastra, Vaishnavastra atau Sudarshana Chakra, tidak mampu untuk manahannya.
11. Kasutpada Kacarma (Milik Gatotkaca).
Kasutpada Kacarma adalah sepatu yang terbuat dari kulit naga Sang Hyang Hanantakusuma, dewa penjaga Bumi yang bebentuk naga. Kulit naga itu mempunyai kekuatan gaib yang menyebabkan pemakainya tidak mempan sihir dan ilmu hitam.
Siapa yang memakainya bebas terbang tanpa dideteksi jebakan mantram sakti musuh. Mantram sakti itu semacam ranjau pelumpuh yang mungkin untuk zaman sekarang serupa dengan radar musuh. Dengan sepatunya itu, Gatotkaca bebas melintas di atas daerah yang angker dan berbahaya.
12. Nenggala (Milik Baladewa).
Nenggala adalah nama senjata pusaka asuhan Baladewa, kesatria tertangguh yang mewarisi kekuatan dewa-dewa seluruh angkasa. Nenggala diceritakan mampu melelehkan gunung, membelah lautan, dan mengakhiri nasib matahari hanya dalam sekali tebas.
Semua orang tahu tentang Nenggala, bahkan jauh lebih dikenal dari Sang Baladewa sendiri. Padahal, tak seorangpun pernah menyaksikan wujud dari pusaka Nenggala itu. Hal itu dikarenakan begitu dahsyatnya Nenggala, maka pusaka yang satu ini tak boleh banyak diperlihatkan.
Diceritakan, pada suatu senja, Baladewa keluar menenteng Nenggala dan memperlihatkannya kepada dunia. Maka, sontak ribuan dewa berkuda awan turun untuk menghadang langkah Baladewa dan mengingatkan agar tidak membawa pusaka itu keluar secara sembarangan.
PUSAKA TRISULA WEDHA & SRI AJI JOYOBOYO
Suatu jejak pengetahuan tidak ada yang kuno untuk dipelajari. Sebab sejatinya adanya kata manusia juga terlahir dari pengetahuan yang secara turun-temurun digunakan sampai saat ini.
Dalam tradisi kebudayaan, setiap penjuru dunia mempunyai identitasnya tersendiri, dimana pengetahuan tersebut berasal dari warisan leluhur yang adiluhung masing-masing. Tidak terkecuali pulau Jawa dengan adat, tradisi, serta nilai-nilai yang panjang dalam kebudayaan masyarakatnya.
Oleh karena itu legenda suatu ketokohan, mistik, serta cerita-cerita rakyat menjadi sesuatu yang akrab dalam sebuah tatanan masyarakat termasuk Jawa. Tidak dipungkiri sampai saat ini faktor-faktor kebudayaan masyarakat Jawa pada masa lampau pun masih lestari dikala masyarakat Jawa itu menginginkan kelestariaannya.
Dekatnya peradaban Jawa dengan mistik, Saya sebagai masyarakat Jawa yang tentu saat ini hidup, serta terus berkembangnya kehidupan masyarakat di Jawa dengan moderintas, tidak menyurutkan langkah saya untuk tetap mempelajari kebudayaan Jawa secara turun-temurun.
Jawa dan segala bentuk pengetahuannya. Siapa yang ingin mempelajarinya harus mengetahui kebudayaan Jawa dan juga tradisi mistik Jawa; diantaranya suatu bentuk ketokohan, kesaktian, serta gagasan-gagasan dalam bentuk ramalan, tembang, maupun sebuah pitutur menyegarkan jiwa dengan langgam seni yang tinggi di khazanah kebudayaan Jawa.
Meskipun saya sendiri buta pada hal-hal mistik. Tetapi bukan tidak mungkin moderintas yang identik dengan sisi rasional, nantinya ketika terus dipikir dapat diketahui esensi menggali pengetahuan-pengetahuan kebudayaan Jawa yang adiluhung tersebut.
Tentu untuk saya gunakan sebagaimana pengetahuan itu diturunkan: wacana berpengetahuan oleh leluhur Jawa kepada generasi manusia Jawa saat ini dan masa depan.
Sebagian orang/kelompok sekte, aliran tertentu percaya bahwa; apapun metode dalam ranah mencari suatu ilmu pengetauan walaupun harus dengan mistik, nyatanya kesemuanya jika dipelajari merupakan pengembangan manusia untuk membuat suatu tatanan kebudayaan baru dalam balutan nilai-nilai kebudayaan yang luhur bagi manusia".
Secara turun-temurun banyak sekali pengetahuan yang sudah diturunkan dari para leluhur Jawa untuk generasinya. Tetapi dalam catatan kecil ini tentang kebudayaan Jawa, saya akan menelaah dengan sedikit pengetahuan saya yang masih belum seberapa dibandingkan yang lain.
Tentang benda-benda pusaka leluhur Jawa yang secara kebudayaan sendiri cara pembuatannya sangat mengandung makna filosofis. Tidak jarang bahkan mempunyai dasar-dasar pengetahuan tertentu untuk menegenali pusaka-pusaka yang telah dibuat oleh para leluhur Jawa sebagai suatu simbol.
Maka dalam lanjutan pembahasan tulisan saya akan menggali sedikit dari banyak pengetahuan kebudayaan Jawa. Salah satu yang saya akan bahas adalah pusaka Trisula Weda Jayabaya Raja kerajaan Kediri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157.
Pada masa zaman kerajaan-kerajaan berjaya di tanah Jawa. Sebuah kerajaan tidak akan dapat lepas dari apa yang dinamakan benda pusaka kerajaan. Dalam tata kesejarahan yang di abadikan melalaui buku, film serta radio dalam serial drama. Penggambaran benda pusaka bagi suatu kerajaan adalah symbol dimana nilai-nilai filosofis berdirinya sebuah kerajaan di visualisasikan melalui benda pusaka tersebut.
Oleh sebab itu raja sebagai pimpinan tertinggi suatu politik kerajaan juga harus memiliki sejumlah pusaka. Tidak lain adalah visualisasi dari symbol etika kepemimpinan, yang pada saat itu dan mungkin saat ini menjadi faktor kepemimpinan politik adalah suatu gambaran dari keterpanjangan tangan Tuhan dalam memperbaiki nasib rakyat. Dimana setiap titah perintah raja didasari dari kearifan dan kebijaksanan seorang raja mengambil suatu keputusan politik.
Raja Jayabaya dan pusaka Trisula Wedha sebagai symbol kebijaksanaan seorang raja tentu memiliki peranan tersendiri dalam ranah politik kerajaan. Memang suatu benda atau bangunan jika dipahami hanya fisik jelas sesuatunya tidak akan bernilai.
Maka sesuatu benda atau bangunan manusia yang diluhurkan harus mempunyai semangat filosofis mendasar dari symbol yang dapat menjadi laku para pemilik mau pun pembuatnya sebagai sesuatu yang luhur mempengaruhi nilai-nilai hidup.
Tidak terkecuali symbol pusaka Trisula Wedha sebagai faktor utama filosofi kepemimpinan Raja Jayabaya pada masanya. Pusaka Trisula adalah senjata tajam berujung tiga. Dalam tradisi Hindu kuno, Trisula merupakan senjata Dewa Siwa.
Maka dalam tradisi spiritual Hindu Trisula adalah lambang mata ketiga. Untuk itu dalam wacana Trisula Wedha Raja Jayabaya sebagai bentuk dari symbol kepemimpinan sendiri seorang Raja/Pemimpin haruslah berpengetahuan sebagai mata ketiga melihat nasib rakyat-rakyatnya.
FILSAFAT KEPEMIMPINAN TRISULA WEDHA
Ditinjau dari pengertian Wedha yang berarti ilmu pengetahuan dan Senjata Trisula merupakan alat untuk perlindungan diri, bekelahi, menyerang dan berperang. Namun di dalam filosofi Trisula Wedha secara mendalam sejata trisula tersebut merupakan sejata untuk memerangi nafsu diri dan mengalahkan nafsu kebinatangan manusia supaya manusia menjadi manusia berbudi pekerti luhur.
Dalam wancana Raja Jayabaya Trisula Wedha merupakan senjata dari watak kepemimpinan satria piningit. Gambaran masyarakat Jawa atau Nusantara secara lebih luasnya. Satria Piningit merupakan representasi kepemimpinan yang adil, jujur, serta bijaksana, yang akan menyelamatkan Negara dari keterpurukan pemimpin yang buruk.
Maka dari itu ditinjau dari fisik senjata Trisula dengan tiga ujung tajam yang ada merupakan sumber dari kekuatannya. Ketiga ujung tersebut yang paling tinggi adalah simbol pengetahuan. Menyusul dibawahnya yakni perbuatan/kerja dan attitude/prilaku bagi manusia yang mempunyai jiwa kepemimpinan.
Pengetahuan (Jnana): Jalan pengetahuan atau Jnana dalam hal ini adalah manusia mampu atau tidak membuat dirinya menjadi terdidik. Dimana kebenaran atau kesadaran manusia adalah dimulai dari pengetahuannya sendiri. Karenanya ketika manusia berpengetahuan disanalah ia akan mengetahui solusi dari masalah hidupnya sendiri dan masyarakat yang ada disekitarnya.
Perbuatan (Karma): Kerja, kurang lebih artinya adalah praktek atau karya yang dapat diperbuat oleh dirinya menjadi sesuatu yang bermanfaat pada kehidupan bukan hanya omongan dan teori. Maka jika ingin menjadi manusia luhur, berjalanlah dengan perbuatan yang nyata bagi diri sendiri terlebih dahulu, yang jika memang diri sendiri sudah mampu berbuat untuk kehidupannya, bukan tidak mungkin ia akan dapat berbuat untuk masyarakat banyak.
Prilaku (raja): Disebut juga etitude yakni mencakup segala bentuk prilaku, etika berbahasa, tingkah laku, tata karma dan lain sebagainya. Karenanya sebagai manusia kebiakannya, pengetahuannya, serta sikap kedewasaan merupakan cermin nyata dari sebuah etitude manusia yang berbudi luhur.
Dengan filsafat kepemimpinan Trisula Wedha yang di wacanakan Raja Jayabaya sendiri memang tidak mudah mengaplikasikannya dalam menjadi manusia berwatak pemimpin. Tetapi bukan berarti tidak ada manusia yang dapat mempunyai sikap keluhuran tersebut yang digambarkan Trisula Wedha sebagai pemimpin masyarakat.
Maka dari itu dengan faktor kepemimpinan Negara, selalu saja harapan keadilan muncul. Serta harapan jauhnya pemerintahan Negara dari segala bentuk kebobrokan. Sedari dulu masyarakat nusantara "Jawa" secara kebudayaan selalu menantikan hadirnya satria piningit representasi dari raja yang adil dan bijaksana sebagai pemimpin mereka yang akan memperbaiki kehidupan manusia.
Tidak lain adanya falsafah yang diwacanakan Raja Jayabaya tentang Trisula Wedha yang dalam pengetahuan senyatanya adalah filosofi kepemimpinan tersebut bukanlah suatu ramalan tetapi wacana pengetahuan.
Menurut berbagai rangkuman pendapat bahwa Trisula Wedha merupakan sisi pengetahuan yang didalamnya dicampuri dengan symbol, mistik, serta tradisi yang membudaya masyarakat Jawa secara turun temurun menjadi suatu keyakinan kolektif masyarakat Jawa.