KRONOLOGI PERANG RUSIA-UKRAINA
(Sumber : CNBC Indonesia)
1. Ini Kronologi Perang Rusia-Ukraina, Apa Penyebab Putin Murka ?
2. Mengapa Rusia Tak Akur dengan Ukraina ?
3. Rusia dan NATO
4. Mengapa Ukraina Ingin Masuk NATO ?
Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia benar-benar menyerang Ukraina. Perang kemudian ditandai dengan ledakan di sejumlah kota di Ukraina, termasuk ibu kota Kyiv, Odessa, Kharkiv dan Mariupol.
Hingga kini, perang masih berlangsung. Meski pembicaraan damai tengah dilakukan kedua negara, gencatan senjata belum terjadi. Bagaimana kronologi perang terjadi ?
Isu serangan Rusia ke Ukraina, sudah bergulir sejak November 2021. Sebuah citra satelit menunjukkan penumpukan baru pasukan Rusia di perbatasan dengan Ukraina. Moskow diyakini Barat memobilisasi 100.000 tentara bersama dengan tank dan perangkat keras militer lainnya. Intelijen Barat menyebut Rusia akan menyerang Ukraina.
Rusia menyangkal hal tersebut. Namun santer beredar, Negeri Putin akan menyerang 16 Februari. Apalagi latihan militer besar-besaran juga dilakukan, termasuk di laut dan negara tetangganya Belarusia. Meski ramalan pertama tak terjadi, intelijen Estonia -negara NATO di Eropa Timur tetap memberi peringatan. Serangan mungkin akan dilakukan secara terbatas, menggunakan kelompok milisi di Donbass, Ukraina Timur, yang memberontak ke pemerintah dan selama ini disokong Rusia.
Puncaknya adalah 21 Februari 2022. Putin memberi pengumuman mengakui kemerdekaan milisi Donbas, Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR). Pada saat itu, dekrit pengiriman pasukan dengan dalih "menjaga keamanan" juga ditandatanganinya. Sehari setelahnya parlamen Rusia menyetujui mobilisasi tentara yang diusulkan Putin. Tepat 24 Februari, Putin tiba-tiba mengumumkan "operasi militer". Serangan dilakukan di sejumlah kota. Barat menyebutnya invasi. AS dan sekutu menyebut Rusia melanggar kedaulatan negara lainnya. Sebenarnya, dulu Ukraina "rapat" dengan Rusia. Namun pemimpin Ukraina yang sekarang lebih dekat ke Barat dan ingin menjadi bagian NATO. Padahal ketika Perang Dingin terjadi, sebelum 1990, orang-orang Ukraina dan Rusia bersatu dalam sebuah negara federasi bernama Uni Soviet. Negara komunis yang kuat di zaman itu.
Uni Soviet setelah Jerman kalah dan PD II selesai, memiliki pengaruh di belahan timur Eropa. Tak heran jika negara-negara di benua Eropa bagian timur juga menjadi negara-negara komunis.
Pada 1991, Uni Soviet dan Pakta Warsawa bubar. Di tahun yang sama, Ukraina memberikan suara untuk memerdekakan diri dari Uni Soviet dalam sebuah referendum.
Presiden Rusia Boris Yeltsin pada tahun itu, menyetujui hal tersebut. Selanjutnya Rusia, Ukraina dan Belarusia membentuk Commonwealth of Independent States (CIS). Namun perpecahan terjadi. Ukraina menganggap bahwa CIS adalah upaya Rusia untuk mengendalikan negara-negara di bawah Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet. Pada Mei 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani perjanjian persahabatan. Hal tersebut adalah upaya untuk menyelesaikan ketidaksepakatan. Rusia diizinkan untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas kapal di armada Laut Hitam yang berbasis di Krimea Ukraina. Rusia pun harus membayar Ukraina biaya sewa karena menggunakan Pelabuhan Sevastopol.
Hubungan Rusia dan Ukraina memanas lagi sejak 2014. Kala itu muncul revolusi menentang supremasi Rusia. Massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Kerusuhan bahkan sempat terjadi sebelum berdamai di 2015 dengan kesepakatan Minsk. Revolusi juga membuka keinginan Ukraina bergabung dengan Uni Eropa (UE) dan NATO.
Ini, mengutip Al-Jazeera, membuat Putin marah karena prospek berdirinya pangkalan NATO di sebelah perbatasannya. Hal ini juga didukung makin eratnya hubungan sejumlah negara Eropa Timur dengan NATO, sebut saja Polandia dan negara-negara Balkan. Saat Yanukovych jatuh, Rusia menggunakan kekosongan kekuasaan untuk mencaplok Krimea di 2014. Rusia juga mendukung separatis di Ukraina timur, yakni Donetsk dan Luhansk, untuk menentang pemerintah Ukraina.
Sebelum perang benar-benar terjadi, Putin sempat mengajukan tuntutan keamanan yang terperinci kepada Barat. Salah satu poinnya meminta NATO menghentikan semua aktivitas militer di Eropa Timur dan Ukraina.
Rusia meminta aliansi tersebut untuk tidak pernah menerima Ukraina atau negara-negara bekas Soviet lainnya sebagai anggota. Dalam wawancara esklusif dengan CNBC Indonesia 16 Februari, Duta Besar Rusia Untuk Indonesia, Lyudmila Georgievna Vorobieva, mengatakan hal itu. Kami melihat ekspansi NATO yang telah berjalan selama 30 tahun lebih dan kini infrastruktur NATO makin dekat ke perbatasan kami. Pada situasi ini, Ukraina hanya dijadikan alat untuk mengobarkan informasi perang terhadap Rusia. Sementara negara kami tengah mengupayakan diplomasi, pihak Barat terus mengobarkan informasi perang dan menciptakan ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina.
"Sebenarnya tidak ada yang terjadi dan kami tidak berniat untuk menyatakan perang terhadap Ukraina. Tolong jangan salah paham kami justru menganggap Ukraina sebagai saudara kami," ujarnya lagi.
"Memerangi Ukraina adalah gagasan yang tidak masuk akal bagi kami."
Kala itu, ia pun membeberkan NATO telah melakukan lima fase ekspansi di Europa Timur. Dari tahun 1999 hingga 2020.
Jika ditelaah lebih dalam, menurut The Conversation, Ukraina telah bermitra dengan NATO sejak 1992. NATO bahkan sempat membentuk komisi khusus urusannya dengan Ukraina pada 1997, yang menyediakan forum diskusi masalah keamanan guna memajukan relasi kedua belah pihak.
Di 2022, keinginan masuk NATO juga disebutkan kembali mantan presiden Ukraina Leonid Kuchma. Namun sayang, saat mantan Presiden Viktor Yanukovich, politikus pro-Rusia berkuasa di 2010, proses berhenti.
Di 2014, keinginan kembali menjadi anggota makin tinggi. Salah satu penyebabnya adalah Rusia sendiri.
Hanya dalam beberapa hari, pasukan Rusia berhasil menduduki seluruh wilayah semenanjung Krimea dengan dibantu pasukan pemberontak anti pemerintah. Putin awalnya menyangkal kelompok tersebut adalah tentara Rusia, tetapi akhirnya mengakui para 'pemberontak' merupakan bagian dari tentara Moskow.
Setelah pendudukan itu, Rusia melakukan referendum di Krimea. Sayangnya tak ada pengamat internasional atau jurnalis yang memantau.
Bagi Ukraina, menjadi anggota NATO akan secara signifikan meningkatkan dukungan militer Ukraina dari pihak luar, termasuk AS. Hal ini pun memungkinkan NATO melancarkan kegiatan militer di Ukraina atau atas nama Ukraina.