KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan Kediri adalah kerajaan bercorak Hindu yang berpusat di Dahanapura, Kediri, Jawa Timur.
Kerajaan ini memiliki banyak nama lain, seperti Kerajaan Kadiri, Daha, dan Panjalu.
Kerajaan Kediri berdiri pada abad ke-11, atau lebih tepatnya pada 1045 M dengan Sri Samarawijaya sebagai raja pertamanya.
Selama hampir dua abad berkuasa, kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Raja Jayabaya (1135-1159 M).
Di bawah kekuasaan Raja Jayabaya, bidang sastra berkembang pesat, sedangkan wilayah kekuasaannya meliputi beberapa pulau di nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Kediri runtuh pada 1222 M karena serangan Ken Arok.
Kerajaan Panjalu (Pu - Chia - Lung), adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1019 - 1222. Kerajaan ini berpusat di Dahanapura (Daha), yang menjadi bagian Kota Kedirisekarang.
Kerajaan Janggala kembali bersatu ke dalam Kerajaan Panjalu pada masa pemerintahan Prabu Jayabhaya.
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, Daha, sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta (1178).
Nama Kediri atau Kadiri sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang kulit kayu pohon ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam pembuatan batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan.
PERKEMBANGAN KERAJAAN
Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya Prasasti Banjaran dan Prasasti Mataji. Setelah Raja Sri Jitendrakara diketahui terdapat raja bernama Sri Bameswara berdasarkan Prasasti Karanggayam. Selanjutnya dalam Prasasti Hantang raja yang memerintah sudah berganti Sri Jayabhaya.
Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, yang berarti Panjalu Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Hal ini diperkuat kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Tiongkok secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Chou Ju-kua menggambarkan di Jawa penduduknya menganut dua agama: Buddha dan Hindu. Penduduk Jawa sangat berani dan emosional. Waktu luangnya untuk mengadu binatang. Mata uangnya terbuat dari campuran tembaga dan perak.
Buku Chu-fan-chi menyebut Jawa adalah maharaja yang punya wilayah bawahnya :
1. Pai-hua-yuan (Pacitan).
2. Ma-tung (Medang).
3. Ta-pen (Tumapel, Malang).
4. Hi-ning (Dieng).
5. Jung-ya-lu (Hujung Galuh, sekarang Surabaya).
6. Tung-ki (Jenggi, Papua Barat).
7. Ta-kang (Sumba).
8. Huang-ma-chu (Papua).
9. Ma-li (Bali).
10. Kulun (Gurun, mungkin Gorong atau Sorong di Papua Barat atau Nusa Tenggara).
11. Tan-jung-wu-lo (Tanjungpura di Borneo).
12. Ti-wu (Timor).
13. Pingya-i (Banggai di Sulawesi), dan.
14. Wu-nu-ku (Maluku).
BERDIRINYA KERAJAAN KEDIRI
Sejarah berdirinya Kerajaan Kediri bermula saat Raja Airlangga dari Medang Kamulan membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu Kerajaan Kediri untuk Samarawijaya dan Kerajaan Jenggala untuk Mapanji Garasakan.
Kendati demikian, dua putra Airlangga tersebut masih berseteru karena sama-sama merasa berhak atas seluruh takhta.
Peperangan antara Samarawijaya dan Garasakan pun terus terjadi selama 60 tahun lamanya.
Pada akhirnya, Kerajaan Kediri lebih unggul dari Jenggala dan ibu kotanya dipindahkan dari Daha ke Kediri.
Asal-usul Kerajaan Kediri banyak tertuang dalam kitab sastra, salah satunya dalam Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.
SILSILAH KERAJAAN KEDIRI
1. Sri Samarawijaya (1045 M)
2. Sri Jayawarsa (1104-1115 M)
3. Raja Bameswara (1116-1135 M)
4. Sri Jayabaya (1135-1159 M)
5. Sri Sarweswara (1159-1170 M)
6. Sri Aryyeswara (1170-1180 M)Sri Gandra (1181 M)
7. Sri Kameswara (1190-1200 M)
8. Sri Kertajaya (1200-1222 M)
KEHIDUPAN EKONOMI KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan Kediri menggantungkan kegiatan perekonomian pada sektor pertanian dan perdagangan.
Sebagai kerajaan agraris, Kediri memiliki lahan pertanian di sekitar Sungai Brantas yang subur dan menghasilkan banyak padi.
Sektor perdagangannya dikembangkan melalui jalur pelayaran Sungai Brantas.
Selain beras, barang-barang yang diperdagangkan terdiri dari emas, perak, kayu cendana, rempah-rempah, dan pinang.
Pada masanya, pedagang Kediri memiliki peran penting dalam kegiatan perdagangan di Asia.
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA KERAJAAN KEDIRI
Pada masa pemerintahan Raja Jayabaya, struktur pemerintahan Kerajaan Kediri sudah sangat teratur.
Masyarakatnya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Golongan masyarakat kerajaan.
2. Golongan masyarakat tani (para pejabat pemerintahan).
3. Golongan masyarakat non pemerintah.
Selain itu, kebudayaan Kerajaan Kediri mengalami perkembangan pesat, terutama dalam bidang sastra.
Karya sastra dari Kerajaan Kediri yang terkenal :
1. Kitab Bharatayudha karangan Mpu Tantular dan Mpu Panuluh
2. Kitab Kresnayana karangan Mpu Tanakung
3. Kitab Smaradahana karangan Mpu Monaguna
4. Kitab Lubdaka karangan Mpu Tanakung
Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.
Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
PUNCAK KEJAYAAN KERAJAAN KEDIRI
Puncak kejayaan Kerajaan Kediri dapat diraih pada masa pemerintahan Sri Jayabaya, yang disebut sebagai raja bijaksana.
Di bawah kekuasaannya, wilayah kekuasaan Kediri mencapai seluruh Pulau Jawa, sebagian Sumatera, pantai Kalimantan dan Kerajaan Ternate.
Karena wilayahnya begitu luas, bisa dipastikan bahwa armada laut yang dimiliki juga sangat kuat.
Bahkan kerajaan ini sangat terkenal hingga ke Tiongkok, dibuktikan dengan tulisan saudagar bernama Khou Ku Fei yang memaparkan tentang karakteristik masyarakat pada zaman Kerajaan Kediri.
Pemerintahan yang dipimpin oleh Sri Jayabaya pun sudah teratur, sementara hukum dilakukan secara tegas dan adil.
Nama Sri Jayabaya diabadikan dalam Kitab Bharatayudha, dan sampai sekarang ia dikenal karena ramalannya tentang Indonesia dalam Jangka Jayabaya.
RUNTUHNYA KERAJAAN KEDIRI
Runtuhnya Kerajaan Kediri dipicu oleh pemerintahan raja terakhirnya, Sri Kertajaya yang dikenal sangat kejam dan mewajibkan rakyat untuk menyembahnya.
Hal itu membuat para Brahmana menentang dan pada akhirnya bersekutu dengan Ken Arok dari Tumapel untuk mengalahkannya.
Sri Kertajaya kemudian menyerahkan kekuasaan kepada Ken Arok setelah kalah dalam pertempuran di Ganter.
Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama.
Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat Desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian, berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasar. Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah di bawah kekuasaan Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.
RAJA-RAJA KEDIRI DAN PUSAT PEMERINTAH
Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah di Daha, ibu kota Kadiri.
Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh.
Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan. Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu.
Menurut Nagarakretagama, kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu.
Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu.
Maharaja Sri Samarawijaya Sri Jitendrakara Parakrama Bakta (Prasasti Mataji 973 Saka), Maharaja Sri Bameswara (Prasasti Pandlegan I, Prasasti Panumbangan, Prasasti Tangkilan, Prasasti Besole, Prasasti Bameswara, Prasasti Karanggayam, Prasasti Pagiliran)
Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya (Prasasti Hantang, Prasasti Jepun, dan Prasasti Talan)
Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara (Prasasti Pandlegan II dan Prasasti Kahyunan)
Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryeswara (Prasasti Waleri & Prasasti Angin)
Sri Maharaja Kroncaryyadipa Sri Gandra (Prasasti Jaring)
Sri Maharaja Mapanji Kamesywara (Prasasti Semanding dan Prasasti Ceker)
Sri Maharaja Crengga/Kertajaya (gugur tahun 1144 Saka).
Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari.
Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu :
Mahisa Wunga Teleng putra Ken ArokGuningbhaya adik Mahisa Wunga TelengTohjaya kakak GuningbhayaKertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi raja Singhasari
Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri.
Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya pendiri Majapahit.
Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit.
Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tetapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah :
Jayanagara 1295-1309 Nagarakretagama.47:2;
Prasasti Sukamerta didampingi Patih Lembu Sora.
Rajadewi 1309-1375 Pararaton.27:15; 29:31; Nag.4:1 - didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.Indudewi 1375-1415 Pararaton.29:19; 31:10,21Suhita 1415-1429 ?Jayeswari 1429-1464 Pararaton.30:8; 31:34; 32:18; Waringin PituManggalawardhani 1464-1474Prasasti Trailokyapuri.
Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit.
Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527.
Sejak saat itu nama Kediri lebih terkenal daripada Daha. Dan pada saat ini berdasarkan peta daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit dan peta Provinsi Jawa Timur maka dapat dilihat bahwa Kota Daha pada saat ini berada di daerah sekitar Pare-Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur yang memiliki banyak peninggalan arkeologis sampai sekarang.
PENINGGALAN KERAJAAN KEDIRI
1. Prasasti Sirah Keting
2. Prasasti Ngantang
3. Prasasti Jaring
4. Prasasti Kamulan
5. Prasasti Jepun
6. Candi Penataran
7. Candi Tondowongso
8. Candi Gurah
Catatan :
Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri, diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.
Ditahun pertengahan 2021an ditemukan sumur tua di tepian sungai Desa Toyoresmi, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, menemukan tiga sumur tua, diperkirakan berusia ratusan tahun. Sumur ditemukan warga saat sedang memancing.
Setelah mengali sedalam 170 sentimeter, di dasar air yang jernih ditemukan menemukan tulang belulang hewan, potongan gerabah serta serpihan emas.