FILOSOFI BISMILAH
Arti Bismillah sebagai kalimat yang diucapkan sebelum memulai kegiatan memiliki makna yang sangat penting bagi seorang muslim. Saat kamu akan melakukan aktivitas atau kegiatan apa saja, membaca Bismillah akan membuat yang kamu lakukan menjadi lancar.
Kalimat Bismillahirrahmanirrahim menjadi bagian dari zikir umat Muslim pada Allah SWT. Setiap harinya tentunya kamu sering kali mengucapkan kalimat satu ini. Saat salat, dalam membaca Al-Qur’an, dan memulai aktivitas kamu harus melafalkannya.
Arti Bismillah yang diucapkan setiap akan melaksanakan kegiatan dapat membawa kebaikan dan keberkahan. Memahami makna Bismillah membuat kamu menjadi sadar tentang berbagai keutamaanya dalam kehidupan sehari-hari.
Arti Bismillah dan Maknanya Menurut Ulama :
Arti Bismillah (sumber: pixabay)
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Arti Bismillah atau bismillahirrahmanirrahim adalah :
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang"
Setiap muslim dianjurkan untuk membaca Bismilah setiap akan memulai aktivitas atau kegiatan. Arti Bismillah secara umum adalah untuk meniatkan segala sesuatu yang dilakukan atas nama Allah. Bismilah juga bisa berarti memohon restu atau kelancaran pada Allah.
Bismillahirrahmanirrahim merupakan lafal yang ada di semua surat Al-Quran, kecuali surat At-Taubah. Ada 144 lafal Bismillahirrahmanirrahim yang disebutkan di Al-Quran. Bismilah merupakan kalimat yang sangat dianjurkan diucapkan setiap kali hendak memulai sesuatu.
Bismillahirrahmanirrahim merupakan awalan isi surat yang dikirim oleh Nabi Sulaiman kepada Ratu Saba'. Ini dikisahkan dalam QS. An-Naml ayat 30 yang berbunyi :
“Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
MAKNA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM MENURUT ULAMA
Para ulama menafsirkan lafal Bismillahirrahmanirrahim menjadi empat hal penting, meliputi :
1 Awalan Bi, memiliki makna kekuasaan dan pertolongan. Orang yang melafalkan bismilah sebelum memulai seusatu meniatkan perbuatannya atas dasar kekuasaan dan pertolongan Allah.
2. Bismillahirrahmanirrahim erat kaitannya dengan kalimat tauhid yaitu “la ilaha illa Allah”. Kalimat tauhid merupakan kalimat mulia yang membesarkan Allah. Dengan mengucapkan bismillah, seseorang senantiasa mengagungkan Allah di tiap tindakannya.
3. Bismillahirrahmanirrahim diucapkan sebagai bentuk pengakuan bahwa Allah merupakan sang penguasa alam semesta yang agung.
4. Bismillahirrahmanirrahim mengandung dua sifat Allah yaitu ar-rahman dan ar-rahim. Ar-rahman berarti Allah Maha Pengasih, dan Ar-rahim berarti Allah maha penyayang.
KEUTAMAAN MEMBACA BISMILAH
Kalimat Bismillahirrahmanirrahim sangat dianjurkan dilafalkan saat hendak memulai sesuatu. Ini bertujuan untuk memohon kebaikan dan keberkahan di setiap hal yang dilakukan. Keutamaan membaca Bismilah di antaranya adalah:
PEMBATAS DENGAN SETAN
Membaca Bismillah dapat membuat pembatas antara manusia dan setan. Dengan mengawali segala hal dengan Bismillahirrahmanirrahim, setan tidak dapat mengganggu aktivitas yang dilakukan. Dengan begitu, umat Muslim akan terhindar dari perlilaku buruk dan menyimpang dari agama.
PEMBUKA REZEKI
Arti Bismillah juga bisa menjadi pembuka pintu rezeki. Kalimat Bismillahirrahmanirrahim akan membuat segala tujuan bisa lancar dilakukan dan mendapatkan keberkahan di setiap langkahnya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “ Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan ‘bismillahirrahmanir rahiim’, amalan tersebut terputus berkahnya.” (HR. Al-Khatib).
MENCEGAH MUSIBAH
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW pernah bersabda, “ Wahai Ali maukah aku (Muhammad) ajarkan kepadamu kalimat menghadapi petaka?’ Ali kemudian mengiyakan. Rasulullah kembali melanjutkan sabdanya, “ Jika menghadapi petaka maka ucapkanlah: bismillahirrahmanirrahim wa la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil adhim. Niscaya dengan kalimat itu, Allah akan menghilangkan petaka apapun yang Dia kehendaki.” (Imam Nawawi)
Dengan selalu membaca Bismillahirrahmanirrahim dan memahami arti Bismillah ini, seorang Muslim akan senantiasa mendapat perlindungan dari Allah.
MELINDUNGI TIDUR
Arti Bismillah perlu dipahami karena diucapkan setiap akan memulai sesuatu. Dilansir dari Dream, salah satu keistimewaan dari bacaan Bismillah, sebagaimana disampaikan Imam Muhammad Nawawi Al-Jawi yang menukil dari Imam Ahmad As-Showi dalam kitabnya Kasyifatussaja berikut :
“Di antara keistimewaan yang dimiliki basmalah, ketika seseorang membacanya sebanyak 21 kali sebelum tidur, maka pada malam itu ia akan terselamatkan dari gangguan setan, dari kemalingan, dari mati mendadak, dan bencana yang lainnya.
HADITS TENTANG KALIMAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Mengenal arti Bismillah tentu tidak cukup untuk memahami benar apa maknanya. Untuk itu, kamu perlu mengetahui berbagai keunikan kalimat ini. Dikutip dari Dream, ada keunikan sebagaimana diungkap oleh Ilmuwan Rusia, angka 19 juga terkait jumlah huruf dalam arti Bismillah sebagai berikut :
Bismillah yang mengawali semua surat terdiri dari 19 huruf, Jumlah surat 114 merupakan kelipatan 19 (19×6) dan Angka 19 menggambarkan angka 1 sebagai awal dan 9 sebagai akhir, sebagai konsep awalin dan akhirin segala sesuatunya. Turunnya Bismilah itu adalah perwujudan rahmat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
KEUTAMAAN BISMILLAH
Keutamaan Bismillah banyak diriwayatkan diantaranya sabda Nabi :
Ketika ayat Bismillahirahmanirrahim diturunkan, awan-awan lari ke timur, angin tidak bergerak namun laut bergelombang, binatang-binatang dengan penuh perhatian mendengarkan apa yang terjadi, setan-setan dirajam atau dilempari panah api dari langit dan Allah bersumpah demi kemulianNya dan kebesaranNya bahwa menyebut namaNya atas sesuatu niscaya Allah limpahkan berkah pada sesuatu itu (HR Ibnu Marwah).
Hadis selanjutnya, sabda Nabi SAW :
Siapa yang ingin supaya Allah selamatkan dia dari 19 malaikat penjaga neraka maka hendaklah membaca bismillahirrahmanirrahim niscaya Allah buatkan untuknya yang membaca dari setiap satu huruf itu dengan sebuah surga.
MAKNA BISMILAH
Ungkapan Bismillah mengandung hikmah yang sedemikian besar.
Dalam Alquran surah an-Naml ayat 30, Allah SWT menerangkan kisah tentang Nabi Sulaiman AS yang berkirim surat kepada Ratu Balqis. Terjemahan ayat itu, Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya: 'Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.'
Terkait ayat tersebut Rasulullah SAW menerangkan, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Mardawaih dari Buraidah. Beliau bersabda, "Telah diturunkan kepadaku satu ayat yang tidak pernah diturunkan kepada seorang nabi pun selain Nabi Sulaiman dan aku, yaitu Bismillahir rahmanir rahiim."
Utsman bin Affan pernah bertanya tentang makna basmalah, maka beliau shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Sesungguhnya ia adalah salah satu dari nama-nama Allah yang agung, begitu dekatnya basmalah dengan nama Allah, seperti dekatnya biji mata yang hitam dengan biji mata yang putih."
Menurut penjelasan para ahli tafsir, setidaknya ada empat makna yang terkandung dalam basmalah :
1. Pertama, kata bi kalau dikaitkan dengan ''kekuasaan dan pertolongan'', maka si pengucap menyadari bahwa pekerjaan yang dilakukannya terlaksana atas kekuasaan Allah. Dia memohon pertolongan-Nya agar pekerjaan dapat terselesaikan dengan baik dan sempurna.
2. Kedua, rahasia penting mengapa basmalah didahulukan bagi semua pekerjaan. Hal itu erat kaitannya dengan prinsip tauhid ''la ilaha illa Allah''. Yakni, dengan menjadikan Allah sebagai sebab utama dalam semua tindakan.
3. Ketiga, Allah adalah Zat yang wajib ada, satu-satunya yang mempunyai hak segenap pujian, dan nama termulia yang pernah ada. Tatkala seorang Muslim menyebut nama Allah dalam basmalah, berarti dia telah mendeklarasikan nama teragung di semesta.
4. Keempat, ada dua sifat kesempurnaan yang ditekankan dalam basmalah,ar-Rahman dan ar-Rahim. Ar-Rahman adalah curahan rahmat-Nya secara aktual yang diberikan di dunia ini kepada semua makhluk-Nya. Sedangkan, ar-Rahim adalah curahan rahmat-Nya di akhirat kelak kepada mereka yang beriman.
Secara akidah, mengucapkan basmalah merupakan bentuk permohonan dan penghambaan. Maka, akan tertanam dalam diri si pengucap rasa lemah di hadapan Allah SWT.
Namun, pada saat yang sama, tertanam pula kekuatan, rasa percaya diri, dan optimisme. Sebab, pengucapnya meyakini memperoleh pertolongan dan kekuatan semata-mata dari Allah.
Apabila suatu pekerjaan dilakukan atas bantuan Allah, pasti ia sempurna, indah, baik, dan benar karena sifat-sifat Allah berbekas pada pekerjaan tersebut.
MEMAKNAI BASMALAH / BISMILAH
Tradisi penulisan tafsir di Nusantra telah melalui perjalanan yang panjang. Pemakaian bahasa dan aksara berbanding lurus dengan kebutuhan dan konteks sosial budaya lokal. Tidak jarang ditemui tafsir al-Qur’an yang mengunakan bahasa lokal. Salah satunya ditemukan dalam kitab Faiḍ al-Raḥmān fī Tarjamah Kalām Mālik al-Dayyān.
Kitab ini ditulis oleh KH. Muhammad Shaleh Ibn Umar as-Samaranī, atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat (1820-1903 M). Penulisannya menggunakan aksara Pegon-Jawa dalam tiga bahasa. Mulai dari bahasa Jawa ngoko, Jawa kromo dan dipadu juga dengan kosa kata bahasa Arab [Islah Gusmian, 2015: 225].
Selain segi penulisan, corak dan isi tafsir beliau juga menyuguhkan dimensi lain dalam memahami ayat Tuhan. Corak Tafsīr bil Isyāriy dan aroma sufistik yang ada di dalamnya telah menjadi ruh dalam tiap-tiap lembarnya.
Semua itu seakan-akan beliau hendak menegaskan bahwa, tak seharusnya agama dilihat dengan kacamata kuda. Melampui semua itu, agama sebagai basis kesadaran tidak seharusnya melupakan substansi yang ada di dalamnya. Bukan sekadar formalitas yang dibungkus dengan kesalehan normatif.
TAFSIR UNTUK MASYARAKAT
Sebagaimana kebanyakan mufassir, Kiai Shaleh Darat memulai tafsirnya dengan mengulas Basmalah. “Bismillāhirrahmanirrahīm. Tegese sholat ingsun kelawan asmane Dzat e Allah Subhānahu Wa Ta’ālā kang persifatan Jalāl (Maha Agung) sartane Qohhār (Maha Kuasa). Lan aiy (tegese) iku madlule ar-Rahmān lan Dzat kang persifatan Jamāl sartane Kamāl. Lan aiy (tegese) Iku madlule sifat ar-Rahīm”.
Terjemah beberapa kalimat tersebut secara sederhana adalah sebagai berikut: Bismillāhirrahmanirrahīm. Maksudnya saya shalat dengan nama Dzat Allah SWT, yang bersifat Jalāl (Maha Agung) sertane Qahhār (Maha Kuasa). Maksudnya kedua sifat tersebut merupakan Madlūl (makna yang ditunjukkan) oleh sifat ar-Rahmān, dan Dzat yang mempunyai sifat Jamāl (Maha Indah) serta Kamāl (Maha Sempurna). Maksudnya kedua sifat terakhir ini adalah Madlūl (Makna yang ditunjukkan) oleh sifat ar-Rahīm.
Dari penafsiran ayat pertama ini, tampak sekali bagaimana Kiai Shaleh Darat berani untuk berpendapat berbeda dengan kebanyakan mufassir. Perbedaan tersebut, misalnya, dapat dilihat dari sikap beliau dalam memperlakukan huruf Ba’/ب pada lafadz Bismilllah/ بسم الله.
Dalam kaca mata ilmu Nahwu, huruf Ba’/ب merupakan salah satu dari Ahruf al-Kafḍ (huruf jer). Huruf jer haruslah mempunyai ta’alluq (hubungan) dengan lafadz lain baik berupa fi’il atau yang meyerupainya (Syibh al-Fi’l). Seandainya lafadz tersebut tidak ada maka harus dikira-kirakan [Ibnu Hisyam, 1985: Cet.6, hlm. 556]. Berbeda dengan tafsir pada umunya, ta’alluq dalam penafsiran Kiai Saleh Darat ini berupa kata kerja khusus (al-Fi’l al-Khāṣ) berupa “Sholat Ingsun” jika dibahasa arabkan menjadi Uṣalliy (أُصَلِّي) yang artinya “Saya Shalat”.
Penafsiran semacam ini bukannya tanpa alasan. Tidak berangkat dari ruang kosong atau sekadar menafsir demi popularitas. Kondisi sosial masyarakatlah yang mendesak beliau untuk melakukan semua itu. Dalam Muqaddimah tafsir dijelaskan bahwa alasan beliau untuk menulis kitab ini adalah masih banyak orang ‘Ajam (non-Arab) yang tidak bisa memahami kandungan al-Qur’an. Menurutnya, hal ini disebabkan keterbatasan untuk tidak mengatakan ‘tidak bisa’ masyarakat dalam bahasa Arab.
Kondisi ini juga diperparah oleh larangan untuk menerjemah dan menafsirkan al-Qur’an dalam bahasa non-Arab. Keadaan semacam ini ditegaskan oleh RA. Kartini dalam dialognya yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Shaleh. Dalam dialog itu, Kartini menyatakan keheranannya terhadap sikap para ulama’ yang melarang keras adanya penerjemahan dan penafsiran al-Qur’an dengan bahasa Jawa [M. Masrur, 2012: 33].
Jika dilihat sekilas, kondisi semacam itu tak ada sangkut pautnya dengan penafisran Kiai Shaleh Darat. Namun jika ditinjau lebih dalam, sebenarnya keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Islah Gusmian, mengatakan bahwa tafsir al-Qur’an dalam bahasa Jawa merupakan cerminan adanya dialektika budaya dengan karakteristik komunitas serta tujuan dan fungsi yang dimaksudkan oleh para penafsir [Islah Gusmian, 2016: 146].
Berpijak dari sini dapat kita pahami bahwa yang namanya teks sebagai produk pemikiran tidaklah terlepas dari konteks yang melingkupi. Latar belakang dan keadaan sosial masyarakat mufassir turut berkontribusi terhadap produk yang dihasilkannya. Begitu juga penafsiran Kiai Shaleh Darat terhadap lafadz Bismillah. Antara penafsiran beliau tentang ta’alluq yang berupa “Shalat Ingsun” dan keadaan masyarakat di kala itu sangat erat. Hubungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, shalat merupakan salah satu rukun Islam yang mempunyai beberapa syarat dan rukun. Di antara rukun yang harus terpenuhi adalah membaca surat al-Fatihah [Abu Syuja’, 2014: hlm 9]. Sedangkan Basmalah adalah salah satu ayatnya. As-Syafi’i dengan merujuk pada Hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni mengatakan bahwa Basmalah merupakan ayat dari surat al-Fatihah [al-Qurṫubiy, 1964 : Juz 1, hlm. 93].
Mengingat begitu pentinggnya shalat, kiranya tidaklah patut jika dikerjakan secara mekanik. Hanya melakukan gerakan dan membaca rukunnya. Maka dari itu sangatlah urgen bagi seseorang yang mengerjakan ibadah tersebut untuk mengetahui arti dan makna lafal yang ia baca dalam shalat. Tak terkecuali arti dan makna dari Basmalah. Sebagai ulama’ yang ‘alim serta juga seorang sufi, hal semacam ini tentunya tidak mungkin beliau abaikan.
Dengan kerangka pikir seperti ini, maka kita dapat memahami mengapa Kiai Shaleh menafsir ta’alluq dari Bismillah dengan kalimat “Shalat Ingsun” (Saya Sahalat). Selain sebagai jawaban atas problematika masyarakat dalam memamahi al-Qur’an, penafsiran semacam ini juga memberi piwulang kepada kita dalam memahami agama. Tak hanya sebatas kulit, namun juga mempertimbangkan aspek isi atau substansi.
AR-RAHMAN AR-RAHIM DAN MARTABAT PAPAT
Keunikan lain dari tafsir Basmalah Kiai Shaleh Darat ini adalah bahwa di dalamnya juga mencakup aspek aqidah (Uṣūluddīn). Hal ini terlihat dari cara beliau menafsirkan kata ar-Rahmān dan Ar-Rahîm yang menjadi sifat Allah dalam lafal Basmalah. Dalam menafsirkan Ar-Rahmân dan ar-Rahīm, Kiai Saleh darat tidak sekadar menerjemahkan makna literer, namun juga menggunakan Madlūl (makna yang ditunjukkan) dari keduanya.
Madlūl dari ar-Rahmān menunjukkan dua sifat Allah Jalāl (Maha Agung) dan Qahhār (Maha Kuasa). Sedangkan madlūl dari ar-Rahīm adalah sifat Jamāl (Maha Indah) serta Kamāl (Maha Sempurna). Penafsiran semacam ini berimplikasi pada lahirnya konsep Tajalliy ‘Martabat Papat’ (Empat Tingkatan Tajalliy). Keempat martabat itu adalah Martabat Asma’ (nama), Martabat Dzat, Martabat Jalāl dan Martabat Kamāl. Keempat maratabat tersebut menurut beliau merupakan bentuk isyarat terhadap Martabat Ulūhiyyah, Rūhiyyah, Jasmāniyyah dan Ḥaiyyawāniyyah [hlm. 6].
Konsep martabat yang diusung oleh Kiai Shaleh Darat ini berbeda dengan konsep martabat para sufi Nusantara. Kiai Shaleh Darat mengklasifikasikan Martabat Tajalli dengan bilangan genap. Sedangkan mayoritas sufi Nusantra mengklasifikasikan konsep martabat dengan bilangan ganjil. Klasifikasi martabat dengan bilangan ganjil dapat dilihat dari pemikiran semisal Hamzah Fansuriy yang membagi Martabat Tajalli menjadi lima, Syamsudin al-Sumatranī dan Abd Raûf as-Sinkilî yang mengikuti Fadlullah al-Burhanpurī dengan rumusan martabat tujuh [Miftah Arifin, 2013].
DARI WELAS ASIH MENUJU INSAN KAMIL
Pada paparan selanjutnya, Kiai Sholeh Darat menyimpulkan hakikat makna Bismillâhirrahmanirrahīm sebagai berikut. “Sesungguhnya Wujud Allah itu dengan Dzat-Nya sendiri. Semua sifat Allah berasal dari Jalāl (ke-Maha Agung-an) dan Jamāl (ke-Maha Indah-an) Allah. Maka karena Dzat Allah semua yang ada dan yang berdiri bisa ada dan berdiri. Atas izin Allah semua makhluk menjadi wujud. Atas izin Allah semua maujūdād itu menjadi terlihat (ẓāhir). Selain itu Allah menyediakan sebab kebutuhan hidup semua makhluk itu dengan sifat Rahmān-Nya serta mengangkat derajat ahli mendekatkan diri ke Allah dan ahli karamah dengan sifat Rahīm-Nya. Semua ini merupakan isyarat dari manifestasi Jalāl dan Jamāl Allah SWT. Dari sini dapat diketahui bahwa sifat ar-Rahmān dan ar-Rahīm adalah Qadīm (Dahulu) dan Azaliy. Allah SWT sejak zaman Azaliy sudah mempunyai kedua sifat tesebut.
Dari bahasan di atas dapat dilihat bahawa secara teologis corak pemikiran beliau bersifat Ahlussunah (Asy’ariyyah). Hal ini terlihat jelas dengan tanggapan beliau yang menyatakan bahwa ar-Rahmān dan ar-Rahīm bersifat Qadīm. Konsep ini merupakan pemikiran khas Asya’irah dalam rangka meng-counter pendapat Muktazilah.
Setelah membahas sifat ar-Rahmān dan ar-Rahīm, Kiai Shaleh Darat kemudian menekankan tentang pentingnya sifat welas-asih. Langkah ini beliau lakukan dengan cara mengutip pendapat Al-Ghazali yang [menurut Kiai Shaleh Darat] telah menukil sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: تخلقوا بأخلاق الله. “Anganggoha sira kabeh kelawan kaya kelakuhane Gusti Allah subhanahu wa ta’ala” begitulah terjemah Kiai Shaleh Darat. Dari argumentasi ini kemudian beliau menyarankan bahwa sebaiknya orang yang beriman (mukmin) bersikap welas asih kepada sesama.
Namun jika ditinjau lebih lanjut, Hadits di atas sebenarnya merupakan hadits palsu. Al-Albani mengatakan bahwa Hadits tersebut berstatus Lā Aṣla Lahu. Hadits tersebut ditampilkan oleh as-Suyuthi dalam kitabnya Ta’yīd al-Haqīqah al-‘Aliyyah. Meskipun begitu, makna hadits ini menurut as-Suyuthi sarat akan kebaikan dan bersih dari keburukan. Bukan berarti mengambil sifat Qidam [al-Albani, 1992: Cet. I, Vol. 6, 356].
Senada dengan itu, Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulūm ad-dīn mengatakan bahwa maksud dari ungkapan itu adalah menyarankan hamba untuk berbudi pekerti seperti halnya Allah [Al-Ghazali, Vol. 4, hlm 306]. Lebih lanjut dalam Maqsad al-Asnā, Al-Ghazali menegaskan bahwa perkataan semacam ini bukan berarti seorang hamba mempunyai sifat yang sama persis seperti Allah. Akan tetapi bagaimana manusia bisa bersikap seperti halnya Allah kepada Manusia [Al-Ghazali, 1987: 150].
Terlepas dari status Hadits tersebut, hemat saya, Kiai Shaleh Darat ingin menegaskan tentang penting menghayati sifat ar-Rahmān dan ar-Rahīm dengan cara bersifat welas-asih kepada sesama. Hal ini juga berarti bahwa selain menjaga ibadah secara vertikal, seorang mukmin tidaklah patut melupakan hubungan horizontalnya dengan sesama manusia.
Namun welas-asih kepada sesama tidaklah akan sempurna sebelum orang tersebut ber-welas-asih pada dirinya sendiri. Welas-asih kepada diri sendiri ada dua bentuk yaitu welas-asih terhadap Ruhāniy dan Jasmāniy. Welas-asih Ruhāniy berarti menyempurnakan diri dalam menjaga Ḥūqūq ar-Rubūbiyyah, sedangkan welas-asih Jasmāniy berarti menyempurnakan diri dalam menjaga ‘Ubūdiyyah. Setelah melakukan semua itu maka seseorang akan menjadi manusia sempurna (Insān Kāmil). Dengan semacam itu maka huruf ba’/ب pada lafadz Bismillah/ بسم الله merupakan simbol dari Insān Kāmil. Insān Kāmil dalam konteks ini [menurut Kiai Shaleh Darat] adalah Rasulullah SAW. Sedangkan huruf alif yang tidak terlihat pada Bismillah/ بسم الله menyimbolkan Dzat Allah. Dzat Allah yang Bilā Mithlin (tidak ada yang menyamai) dan Bilā kayfin (tidak dapat digambarkan).
Makna Insān Kāmil di sini, menurut pembacaan saya, tidak terbatas kepada Rasulullah secara fisik, akan tetapi lebih merujuk kepada substansi sifat welas-asih (ar-Rahmān ar-Rahīm) yang ada pada diri beliau. Hal ini terbukti pemaparan Kiai Shaleh Darat menampilkan kutipan ayat al-Qur’an Surat al-Anbiya’ Ayat 107 dan Surat at-Taubah Ayat 128.
Model penafsiran Kiai Shaleh Darat ini telah menampilkan perspektif lain tentang Islam. Islam tidak seharusnya dimaknai secara kaku. Tidak sekadar formalitas dan hitam-putih. Namun Islam secara lebih mendalam adalah sistem kesadaran tentang posisi hamba dengan Tuhan. Tak sekadar praktik ibadah yang kehilangan substansi.
Islam sebagai agama ibarat air. Meski keluar dari mata air yang sama, namun tempat ia mengalir akan mempengaruhi kualitasnya. Begitu juga dengan agama. Meski berasal dari suatu sumber yang sama, jiwalah yang akan menentukan pengejawantahannya. Jiwa yang penuh kebencian akan melahirkan agama yang penuh teror dan ketakutan. Jiwa welas-asih akan melahirkan agama yang membawa kedamaian dan kasih sayang.
MAKNA BISMILAH
Tradisi penulisan tafsir di Nusantra telah melalui perjalanan yang panjang. Pemakaian bahasa dan aksara berbanding lurus dengan kebutuhan dan konteks sosial budaya lokal. Tidak jarang ditemui tafsir al-Qur’an yang mengunakan bahasa lokal. Salah satunya ditemukan dalam kitab Faiḍ al-Raḥmān fī Tarjamah Kalām Mālik al-Dayyān.
Kitab ini ditulis oleh KH. Muhammad Shaleh Ibn Umar as-Samaranī, atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat (1820-1903 M). Penulisannya menggunakan aksara Pegon-Jawa dalam tiga bahasa. Mulai dari bahasa Jawa ngoko, Jawa kromo dan dipadu juga dengan kosa kata bahasa Arab [Islah Gusmian, 2015: 225].
Selain segi penulisan, corak dan isi tafsir beliau juga menyuguhkan dimensi lain dalam memahami ayat Tuhan. Corak Tafsīr bil Isyāriy dan aroma sufistik yang ada di dalamnya telah menjadi ruh dalam tiap-tiap lembarnya.
Semua itu seakan-akan beliau hendak menegaskan bahwa, tak seharusnya agama dilihat dengan kacamata kuda. Melampui semua itu, agama sebagai basis kesadaran tidak seharusnya melupakan substansi yang ada di dalamnya. Bukan sekadar formalitas yang dibungkus dengan kesalehan normatif.
TAFSIR UNTUK MASYARAKAT
Sebagaimana kebanyakan mufassir, Kiai Shaleh Darat memulai tafsirnya dengan mengulas Basmalah. “Bismillāhirrahmanirrahīm. Tegese sholat ingsun kelawan asmane Dzat e Allah Subhānahu Wa Ta’ālā kang persifatan Jalāl (Maha Agung) sartane Qohhār (Maha Kuasa). Lan aiy (tegese) iku madlule ar-Rahmān lan Dzat kang persifatan Jamāl sartane Kamāl. Lan aiy (tegese) Iku madlule sifat ar-Rahīm”.
Terjemah beberapa kalimat tersebut secara sederhana adalah sebagai berikut: Bismillāhirrahmanirrahīm. Maksudnya saya shalat dengan nama Dzat Allah SWT, yang bersifat Jalāl (Maha Agung) sertane Qahhār (Maha Kuasa). Maksudnya kedua sifat tersebut merupakan Madlūl (makna yang ditunjukkan) oleh sifat ar-Rahmān, dan Dzat yang mempunyai sifat Jamāl (Maha Indah) serta Kamāl (Maha Sempurna). Maksudnya kedua sifat terakhir ini adalah Madlūl (Makna yang ditunjukkan) oleh sifat ar-Rahīm.
Dari penafsiran ayat pertama ini, tampak sekali bagaimana Kiai Shaleh Darat berani untuk berpendapat berbeda dengan kebanyakan mufassir. Perbedaan tersebut, misalnya, dapat dilihat dari sikap beliau dalam memperlakukan huruf Ba’/ب pada lafadz Bismilllah/ بسم الله.
Dalam kaca mata ilmu Nahwu, huruf Ba’/ب merupakan salah satu dari Ahruf al-Kafḍ (huruf jer). Huruf jer haruslah mempunyai ta’alluq (hubungan) dengan lafadz lain baik berupa fi’il atau yang meyerupainya (Syibh al-Fi’l). Seandainya lafadz tersebut tidak ada maka harus dikira-kirakan [Ibnu Hisyam, 1985: Cet.6, hlm. 556]. Berbeda dengan tafsir pada umunya, ta’alluq dalam penafsiran Kiai Saleh Darat ini berupa kata kerja khusus (al-Fi’l al-Khāṣ) berupa “Sholat Ingsun” jika dibahasa arabkan menjadi Uṣalliy (أُصَلِّي) yang artinya “Saya Shalat”.
Penafsiran semacam ini bukannya tanpa alasan. Tidak berangkat dari ruang kosong atau sekadar menafsir demi popularitas. Kondisi sosial masyarakatlah yang mendesak beliau untuk melakukan semua itu. Dalam Muqaddimah tafsir dijelaskan bahwa alasan beliau untuk menulis kitab ini adalah masih banyak orang ‘Ajam (non-Arab) yang tidak bisa memahami kandungan al-Qur’an. Menurutnya, hal ini disebabkan keterbatasan untuk tidak mengatakan ‘tidak bisa’ masyarakat dalam bahasa Arab.
Kondisi ini juga diperparah oleh larangan untuk menerjemah dan menafsirkan al-Qur’an dalam bahasa non-Arab. Keadaan semacam ini ditegaskan oleh RA. Kartini dalam dialognya yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Shaleh. Dalam dialog itu, Kartini menyatakan keheranannya terhadap sikap para ulama’ yang melarang keras adanya penerjemahan dan penafsiran al-Qur’an dengan bahasa Jawa [M. Masrur, 2012: 33].
Jika dilihat sekilas, kondisi semacam itu tak ada sangkut pautnya dengan penafisran Kiai Shaleh Darat. Namun jika ditinjau lebih dalam, sebenarnya keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Islah Gusmian, mengatakan bahwa tafsir al-Qur’an dalam bahasa Jawa merupakan cerminan adanya dialektika budaya dengan karakteristik komunitas serta tujuan dan fungsi yang dimaksudkan oleh para penafsir [Islah Gusmian, 2016: 146].
Berpijak dari sini dapat kita pahami bahwa yang namanya teks sebagai produk pemikiran tidaklah terlepas dari konteks yang melingkupi. Latar belakang dan keadaan sosial masyarakat mufassir turut berkontribusi terhadap produk yang dihasilkannya. Begitu juga penafsiran Kiai Shaleh Darat terhadap lafadz Bismillah. Antara penafsiran beliau tentang ta’alluq yang berupa “Shalat Ingsun” dan keadaan masyarakat di kala itu sangat erat. Hubungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, shalat merupakan salah satu rukun Islam yang mempunyai beberapa syarat dan rukun. Di antara rukun yang harus terpenuhi adalah membaca surat al-Fatihah [Abu Syuja’, 2014: hlm 9]. Sedangkan Basmalah adalah salah satu ayatnya. As-Syafi’i dengan merujuk pada Hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni mengatakan bahwa Basmalah merupakan ayat dari surat al-Fatihah [al-Qurṫubiy, 1964 : Juz 1, hlm. 93].
Mengingat begitu pentinggnya shalat, kiranya tidaklah patut jika dikerjakan secara mekanik. Hanya melakukan gerakan dan membaca rukunnya. Maka dari itu sangatlah urgen bagi seseorang yang mengerjakan ibadah tersebut untuk mengetahui arti dan makna lafal yang ia baca dalam shalat. Tak terkecuali arti dan makna dari Basmalah. Sebagai ulama’ yang ‘alim serta juga seorang sufi, hal semacam ini tentunya tidak mungkin beliau abaikan.
Dengan kerangka pikir seperti ini, maka kita dapat memahami mengapa Kiai Shaleh menafsir ta’alluq dari Bismillah dengan kalimat “Shalat Ingsun” (Saya Sahalat). Selain sebagai jawaban atas problematika masyarakat dalam memamahi al-Qur’an, penafsiran semacam ini juga memberi piwulang kepada kita dalam memahami agama. Tak hanya sebatas kulit, namun juga mempertimbangkan aspek isi atau substansi.
AR-RAHMAN AR-RAHIM DAN MARTABAT PAPAT
Keunikan lain dari tafsir Basmalah Kiai Shaleh Darat ini adalah bahwa di dalamnya juga mencakup aspek aqidah (Uṣūluddīn). Hal ini terlihat dari cara beliau menafsirkan kata ar-Rahmān dan Ar-Rahîm yang menjadi sifat Allah dalam lafal Basmalah. Dalam menafsirkan Ar-Rahmân dan ar-Rahīm, Kiai Saleh darat tidak sekadar menerjemahkan makna literer, namun juga menggunakan Madlūl (makna yang ditunjukkan) dari keduanya.
Madlūl dari ar-Rahmān menunjukkan dua sifat Allah Jalāl (Maha Agung) dan Qahhār (Maha Kuasa). Sedangkan madlūl dari ar-Rahīm adalah sifat Jamāl (Maha Indah) serta Kamāl (Maha Sempurna). Penafsiran semacam ini berimplikasi pada lahirnya konsep Tajalliy ‘Martabat Papat’ (Empat Tingkatan Tajalliy). Keempat martabat itu adalah Martabat Asma’ (nama), Martabat Dzat, Martabat Jalāl dan Martabat Kamāl. Keempat maratabat tersebut menurut beliau merupakan bentuk isyarat terhadap Martabat Ulūhiyyah, Rūhiyyah, Jasmāniyyah dan Ḥaiyyawāniyyah [hlm. 6].
Konsep martabat yang diusung oleh Kiai Shaleh Darat ini berbeda dengan konsep martabat para sufi Nusantara. Kiai Shaleh Darat mengklasifikasikan Martabat Tajalli dengan bilangan genap. Sedangkan mayoritas sufi Nusantra mengklasifikasikan konsep martabat dengan bilangan ganjil. Klasifikasi martabat dengan bilangan ganjil dapat dilihat dari pemikiran semisal Hamzah Fansuriy yang membagi Martabat Tajalli menjadi lima, Syamsudin al-Sumatranī dan Abd Raûf as-Sinkilî yang mengikuti Fadlullah al-Burhanpurī dengan rumusan martabat tujuh [Miftah Arifin, 2013].
DARI WELAS ASIH MENUJU INSAN KAMIL
Pada paparan selanjutnya, Kiai Sholeh Darat menyimpulkan hakikat makna Bismillâhirrahmanirrahīm sebagai berikut. “Sesungguhnya Wujud Allah itu dengan Dzat-Nya sendiri. Semua sifat Allah berasal dari Jalāl (ke-Maha Agung-an) dan Jamāl (ke-Maha Indah-an) Allah. Maka karena Dzat Allah semua yang ada dan yang berdiri bisa ada dan berdiri. Atas izin Allah semua makhluk menjadi wujud. Atas izin Allah semua maujūdād itu menjadi terlihat (ẓāhir). Selain itu Allah menyediakan sebab kebutuhan hidup semua makhluk itu dengan sifat Rahmān-Nya serta mengangkat derajat ahli mendekatkan diri ke Allah dan ahli karamah dengan sifat Rahīm-Nya. Semua ini merupakan isyarat dari manifestasi Jalāl dan Jamāl Allah SWT. Dari sini dapat diketahui bahwa sifat ar-Rahmān dan ar-Rahīm adalah Qadīm (Dahulu) dan Azaliy. Allah SWT sejak zaman Azaliy sudah mempunyai kedua sifat tesebut.
Dari bahasan di atas dapat dilihat bahawa secara teologis corak pemikiran beliau bersifat Ahlussunah (Asy’ariyyah). Hal ini terlihat jelas dengan tanggapan beliau yang menyatakan bahwa ar-Rahmān dan ar-Rahīm bersifat Qadīm. Konsep ini merupakan pemikiran khas Asya’irah dalam rangka meng-counter pendapat Muktazilah.
Setelah membahas sifat ar-Rahmān dan ar-Rahīm, Kiai Shaleh Darat kemudian menekankan tentang pentingnya sifat welas-asih. Langkah ini beliau lakukan dengan cara mengutip pendapat Al-Ghazali yang [menurut Kiai Shaleh Darat] telah menukil sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: تخلقوا بأخلاق الله. “Anganggoha sira kabeh kelawan kaya kelakuhane Gusti Allah subhanahu wa ta’ala” begitulah terjemah Kiai Shaleh Darat. Dari argumentasi ini kemudian beliau menyarankan bahwa sebaiknya orang yang beriman (mukmin) bersikap welas asih kepada sesama.
Namun jika ditinjau lebih lanjut, Hadits di atas sebenarnya merupakan hadits palsu. Al-Albani mengatakan bahwa Hadits tersebut berstatus Lā Aṣla Lahu. Hadits tersebut ditampilkan oleh as-Suyuthi dalam kitabnya Ta’yīd al-Haqīqah al-‘Aliyyah. Meskipun begitu, makna hadits ini menurut as-Suyuthi sarat akan kebaikan dan bersih dari keburukan. Bukan berarti mengambil sifat Qidam [al-Albani, 1992: Cet. I, Vol. 6, 356].
Senada dengan itu, Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulūm ad-dīn mengatakan bahwa maksud dari ungkapan itu adalah menyarankan hamba untuk berbudi pekerti seperti halnya Allah [Al-Ghazali, Vol. 4, hlm 306]. Lebih lanjut dalam Maqsad al-Asnā, Al-Ghazali menegaskan bahwa perkataan semacam ini bukan berarti seorang hamba mempunyai sifat yang sama persis seperti Allah. Akan tetapi bagaimana manusia bisa bersikap seperti halnya Allah kepada Manusia [Al-Ghazali, 1987: 150].
Terlepas dari status Hadits tersebut, hemat saya, Kiai Shaleh Darat ingin menegaskan tentang penting menghayati sifat ar-Rahmān dan ar-Rahīm dengan cara bersifat welas-asih kepada sesama. Hal ini juga berarti bahwa selain menjaga ibadah secara vertikal, seorang mukmin tidaklah patut melupakan hubungan horizontalnya dengan sesama manusia.
Namun welas-asih kepada sesama tidaklah akan sempurna sebelum orang tersebut ber-welas-asih pada dirinya sendiri. Welas-asih kepada diri sendiri ada dua bentuk yaitu welas-asih terhadap Ruhāniy dan Jasmāniy. Welas-asih Ruhāniy berarti menyempurnakan diri dalam menjaga Ḥūqūq ar-Rubūbiyyah, sedangkan welas-asih Jasmāniy berarti menyempurnakan diri dalam menjaga ‘Ubūdiyyah. Setelah melakukan semua itu maka seseorang akan menjadi manusia sempurna (Insān Kāmil). Dengan semacam itu maka huruf ba’/ب pada lafadz Bismillah/ بسم الله merupakan simbol dari Insān Kāmil. Insān Kāmil dalam konteks ini [menurut Kiai Shaleh Darat] adalah Rasulullah SAW. Sedangkan huruf alif yang tidak terlihat pada Bismillah/ بسم الله menyimbolkan Dzat Allah. Dzat Allah yang Bilā Mithlin (tidak ada yang menyamai) dan Bilā kayfin (tidak dapat digambarkan).
Makna Insān Kāmil di sini, menurut pembacaan saya, tidak terbatas kepada Rasulullah secara fisik, akan tetapi lebih merujuk kepada substansi sifat welas-asih (ar-Rahmān ar-Rahīm) yang ada pada diri beliau. Hal ini terbukti pemaparan Kiai Shaleh Darat menampilkan kutipan ayat al-Qur’an Surat al-Anbiya’ Ayat 107 dan Surat at-Taubah Ayat 128.
Model penafsiran Kiai Shaleh Darat ini telah menampilkan perspektif lain tentang Islam. Islam tidak seharusnya dimaknai secara kaku. Tidak sekadar formalitas dan hitam-putih. Namun Islam secara lebih mendalam adalah sistem kesadaran tentang posisi hamba dengan Tuhan. Tak sekadar praktik ibadah yang kehilangan substansi.
Islam sebagai agama ibarat air. Meski keluar dari mata air yang sama, namun tempat ia mengalir akan mempengaruhi kualitasnya. Begitu juga dengan agama. Meski berasal dari suatu sumber yang sama, jiwalah yang akan menentukan pengejawantahannya. Jiwa yang penuh kebencian akan melahirkan agama yang penuh teror dan ketakutan. Jiwa welas-asih akan melahirkan agama yang membawa kedamaian dan kasih sayang.