SERAT DARMOGANDUL
Serat
Darmagandhul adalah suatu karya Sastra Jawa Baru berbentuk puisi tembang
macapat yang menceritakan jatuhnya Majapahit karena serbuan tentara Demak yang
dibantu oleh Walisongo.
Darmagandhul
ditulis oleh Ki Kalamwadi, dengan waktu penulisan hari Sabtu Legi, 23 Ruwah
1830 Jawa (atau sangkala Wuk Guneng Ngesthi Nata, sama dengan 16 Desember
1900). Sebagian ada yang berpendapat bahwa pengarang sesungguhnya adalah
Ronggowarsito dengan nama samaran Kalamwadi, yang dalam bahasa Jawa dapat pula
berarti kabar (kalam) yang dirahasiakan (wadi). Karya ini ditulis dalam bentuk
dialog yang terjadi antara Ki Kalamwadi dan muridnya Darmagandhul. Namun teori
itu mudah terbantah, karena Ronggowarsito telah meninggal 29 tahun sebelumnya.
Sampai saat ini penulisnya masih perlu diteliti identitas sebenarnya.
Dialog
diawali dari pertanyaan Darmagandhul kepada gurunya mengenai kapan terjadinya
perubahan agama di Jawa. Disebutkan bahwa Ki Kalamwadi kemudian memberikan
keterangan-keterangan berdasarkan penjelasan dari gurunya, yang bernama Raden
Budi. Cerita dan ajaran yang diuraikan oleh Ki Kalamwadi memuat berbagai hal;
antara lain jatuhnya kerajaan Majapahit, berbagai peranan Walisongo dan
tokoh-tokoh lainnya pada awal masa peralihan Majapahit-Demak, topik-topik dalam
ajaran agama Islam, serta terjadinya benturan berbagai budaya baru dengan
kepercayaan lokal masyarakat Jawa saat itu.
Hampir
seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad yang
telah ada sebelumnya.
Kitab
yang dimaksud adalah Babad Kadhiri yang ditulis pada tahun 1832 oleh Mas
Ngabehi Purbawijaya dan Mas Ngabehi Mangunwijaya. GWJ. Drewes, seorang
orientalis Belanda, mengungkapkan bahwa Babad Kadhiri menyediakan tema utama
dan ide bagi penulisan Serat Darmagandul
Ingatlah
ketika kerajaan Majapahit diserang Raden Patah Prabu Brawijaya melarikan diri
bersama Sabdo Palon
Kemudian
Sunan Kalijaga berhasil menemukannya
Setelah
berdebat maka Prabu Brawijaya masuk agama Islam.
Serat
Darmogandul merupakan serat yang berisi cerita tentang dialog antara
tokoh-tokoh pada jaman dulu kala di Indonesia.
Dalam
serat ini pula didapatkan cerita berubahnya keyakinan Prabu Brawijaya dari
agama Buddha beralih ke agama Islam.
Akan
tetapi karena serat Darmogandul dinilai banyak pihak sebagai naskah yang
bermuatan penghinaan terhadap Islam, maka serat tersebut dilarang beredar.
Larangan
inilah yang membuat Serat Darmogandul susah untuk diperoleh kembali. Kalaupun
ada yang menemukan serat tersebut, biasanya masih asli berbahasa jawa dan belum
diterjemahkan ataupun sudah diterjemahkan namun hanya potongan pendek saja.
Akan tetapi alangkah senangnya karena kini telah ditemukan terjemahan lengkap
Serat Darmogandul tersebut.
Berikut
saya cuplikkan sedikit yang ada dalam Serat Darmogandul pada bagian dialog
antara Sunan Kalijaga dengan Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di bawah ini :
Ganti
yang diceritakan, perjalanan Sunan Kalijaga dalam mencari Prabu Brawijaya,
hanya diiringkan dua sahabat. Perjalanannya terlunta-lunta. Tiap desa dihampiri
untuk mencari informasi.
Perjalanan
Sunan Kalijaga melewati pesisir timur Pulau Jawa, menurutkan bekas jalan-jalan
yang dilalui Prabu Brawijaya.
Sunan Kalijaga sang negosiator ulung
Perjalanan
Prabu Brawijaya sampailah di Blambangan, Karena merasa lelah kemudian berhenti
di pinggir mata air.
Waktu
itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang ada di hadapannya hanya abdi
berdua, yaitu Nayagenggong dan Sabdapalon. Kedua abdi tadi tidak pernah
bercanda, dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi.
Tidak
lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil menjumpainya. Sunan Kalijaga bersujud
menyembah di kaki Sang Prabu. Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan
Kalijaga, Sahid!
Kamu
datang ada apa ?
Apa
perlunya mengikuti aku ?
Sunan
Kalijaga berkata, Hamba diutus putra Paduka, untuk mencari dan menghaturkan
sembah sujud kepada Paduka dimanapun bertemu.
Beliau
memohon ampun atas kekhilafannya, sampai lancang berani merebut tahta Paduka,
karena terlena oleh darah mudanya yang tidak tahu tata krama ingin menduduki
tahta memerintah negeri, disembah para bupati.
Sekarang
putra Paduka sangat merasa bersalah.
Adapun
ayahanda Raja Agung yang menaikkan dan memberi derajat Adipati di Demak, tak
mungkin bisa membalas kebajikan Paduka, Kini putra Paduka ingat, bahwa Paduka
lolos dari istana tidak karuan dimana tinggalnya.
Karena
itu putra Paduka merasa pasti akan mendapat kutukan Tuhan.
Karena
itulah hambah yang lemah ini diutus untuk mencari dimana Paduka berada. Jika
bertemu mohon kembali pulang ke Majapahit, tetaplah menjadi raja seperti sedia
kala, memangku mahligai istana dijunjung para punggawa, menjadi pusaka dan
pedoman yang dijunjung tinggi para anak cucu dan para sanak keluarga, dihormati
dan dimintai restu keselamatan semua yang di bumi. Jika Paduka berkenan pulang,
putra Paduka akan menyerahkan tahta Paduka Raja. Putra Paduka menyerahkan hidup
dan mati.
Itu
pun jika Paduka berkenan. Putra Paduka hanya memohon ampunan Paduka atas
kekhilafan dan memohon tetap sebagai Adipati Demak saja.
Adapun
apabila Paduka tidak berkenan memegang tahta lagi, Paduka inginkan beristirahat
dimana, menurut kesenangan Paduka, di gunung mana Paduka ingin tinggal, putra
Paduka memberi busana dan makanan untuk Paduka, tetapi memohon pusaka Kraton di
tanah Jawa, diminta dengan tulus.
Sang
Prabu Brawijaya bersabda, Aku sudah dengar kata-katamu, Sahid!
Tetapi
aku tidak gagas! Aku sudah muak bicara dengan santri!
Mereka
bicara dengan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya!
Menunduk
di muka tetapi memukul di belakang.
Kata-katanya
hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata, agar buta
mataku ini.
Dulu-dulu
aku beri hati, tapi balasannya seperti kenyang buntut!
Apa
coba salahku?
Mengapa
negaraku dirusak tanpa kesalahan?
Tanpa
adat dan tata cara manusia, mengajak perang tanpa tantangan!
Apakah
mereka memakai tatanan babi, lupa dengan aturan manusia yang utama!
Setelah
mendengar bersabda Sang Prabu demikian, Sunan Kalijaga merasa sangat bersalah
karena telah ikut menyerang Majapahit.
Ia
menarik nafas dalam dan sangat menyesal.
Namun
yang semua telah terjadi.
Maka
kemudian ia berkata lembut, Mudah-mudahan kemarahan Paduka kepada putra Paduka,
menjadi jimat yang dipegang erat, diikat dipucuk rambut, dimasukkan dalam
ubun-ubun, menambahi cahaya nubuwat yang bening, untuk keselamatan putra cucu
Paduka semua.
Karena
semua telah terjadi, apalagi yang dimohon lagi, kecuali hanya ampunan Paduka.
Sekarang
paduka hendak pergi ke mana?
Sang
Prabu Brawijaya berkata, Sekarang aku akan ke Pulau Bali, bertemu dengan yayi
Prabu Dewa Agung di Kelungkung.
Aku
akan beri tahu tingkah si Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan
hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta
Majapahit.
Adipati
Palembang akan kuberi tahu bahwa kedua anaknya sesampai di tanah Jawa yang aku
angkat menjadi Bupati, tetapi tidak tahu aturan. Ia berani memusuhi ayah dan
rajanya.
Aku
akan minta kerelaannya untuk aku bunuh kedua anaknya sekaligus, sebab pertama
durhaka kepada ayah dan kedua kepada raja.
Aku
juga hendak memberitahu kepada Hongte di Cina, bahwa putrinya yang menjadi
istriku punya anak laki-laki satu, tetapi tidak tahu jalan, berani durhaka
kepada ayah raja.
Ia
juga kuminta kerelaan cucunya hendak aku bunuh, aku minta bantuan prajurit Cina
untuk perang.
Akan
kuminta agar datang di negeri Bali.
Apabila
sudah siap semua prajurit, serta ingat kepada kebaikanku, dan punya belas kasih
kepada orang tua ini, pasti akan datang di Bali siap dengan perlengkapan
perang. Aku ajak menyerang tanah Jawa merebut istanaku. Biarlah terjadi perang
besar ayah melawan anak.
Aku
tidak malu, karena aku tidak memulai kejahatan dan meninggalkan tata cara yang
mulia.
Sunan
Kalijaga sangat prihatin. Ia berkata dalam hati, Tidak salah dengan dugaan Nyai
Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak
tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai
menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti
kalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi
anugerah, Sudah pasti orang Jawa yang belum Islam akan membela raja tua,
bersiaga mengangkat senjata.
Pasti
akan kalah orang Islam tertumpas dalam peperangan.
Akhirnya
Sunan Kalijaga berkata pelan, Aduh Gusti Prabu!
Apabila
Paduka nanti tiba di Bali, kemudian memanggil para raja, pasti akan terjadi
perang bear.
Apakah
tidak sayang Negeri Jawa rusak.
Sudah
dapat dipastikan putra Paduka yang akan celaka, kemudian Paduka bertahta
kembali menjadi raja, tapi tidak lama kemudian lengser keprabon.
Tahta
Jawa lalu diambil oleh bukan darah keturunan Paduka.
Jika
terjadi demikian ibarat serigala berebut bangkai, yang berkelahi terus
berkelahi hingga tewas dan semua daging dimakan serigala lainnya.
Ini
semua kehendak Dewata Yang Maha Lebih.
Aku
ini raja bintara, menepati sumpah sejati, tidak memakai dua mata, hanya
menepati satu kebenaran, menurut Hukum dan Undang-Undang para leluhur.
Seumpamanya si Patah menganggap aku sebagai bapaknya, lalu ingin menjadi raja,
diminta dengan baik-baik, istana tana Jawa ini akan kuberikan dengan baik-baik
pula. Aku sudah tua renta, sudah kenyang menjadi raja, menerima menjadi pendeta
bertafakur di gunung.
Sedangkan
si Patah meng-aniaya kepadaku. Pastilah aku tidak rela tanah Jawa dirajainya.
Bagaimana
pertanggungjawabanku kepada rakyatku di belakang hari nanti ?
Mendengar
kemarahan Sang Prabu yang tak tertahankan lagi, Sunan Kalijaga merasa tidak
bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki Sang Prabu sambil
menyerahkan kerisnya dengan berkata, apabila Sang Prabu tidak bersedia
mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu
mengetahui peristiwa yang menjijikkan itu.
Sang
Prabu melihat tingkah Sunan Kalijaga yang demikian tadi, hatinya tersentuh
juga.
Sampai
lama beliau tidak berkata selalu mengambil nafas dalam-dalam dengan meneteskan
air mata.
Berat
sabdanya, Sahid! Duduklah dahulu.
Kupikirkan
baik-baik, kupertimbangkan saranmu, benar dan salahnya, baik dan buruknya,
karena aku khawatir apabila kata-katamu itu bohong saja.
Ketahuilah
Sahid! Seumpama aku pulang ke Majapahit, si patah menghadap kepadaku, bencinya
tidak bisa sembuh karena punya ayah Buda kawak kafir kufur. Lain hari lupa, aku
kemudian ditangkap dikebiri, disuruh menunggu pintu belakang. Pagi sore
dibokongi sembahyang, apabila tidak tahu kemudian dicuci di kolam digosok
dengan ilalang kering.
Sang
Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga, Coba pikirkanlah, Sahid! Alangkah sedih
hatiku, orang sudah tua-renta, lemah tidak berdaya koq akan direndam dalam air.
Sunan
Kalijaga memendam senyum dan berkata, Mustahil jika demikian, besok hamba yang
tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra Paduka memperlakukan sia-sia kepada
Paduka.
Akan
halnya masalah agama hanya terserah sekehendak Paduka, namun lebih baik jika
Paduka berkenan berganti syariat rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi
jika Paduka tidak berkenan itu tidak masalah.
Toh
hanya soal agama.
Pedoman
orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham
syahadat itu juga tetap kafir namanya.
PERDEBATAN
TEOLOGIS PRABU BRAWIJAYA
Sang
Prabu berkata, Syahadat itu seperti apa, aku koq belum tahu, coba ucapkan biar
aku dengarkan Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan syahadat, asyhadu alla ilaaha
ilallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah, artinya aku bersaksi, tiada
Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah.
Sunan
Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, Manusia yang menyembah kepada angan-angan
saja tapi tidak tahu sifat-Nya maka ia tetap kafir, dan manusia yang menyembah
kepada sesuatu yang kelihatan mata, itu menyembah berhala namanya, maka manusia
itu perlu mengerti secara lahir dan batin.
Manusia
mengucap itu harus paham kepada apa yang diucapkan.
Adapun
maksud Nabi Muhammad Rasulullah adalah itu Muhammad itu makam kuburan. Jadi
badan manusia itu tempatnya sekalian rasa yang memuji badan sendiri, tidak
memuji Muhammad di Arab.
Badan
manusia itu bayangan Dzat Tuhan.
Badan
jasmani manusia adalah letak rasa.
Rasul
adalah rasa kang nusuli. Rasa termasuk lesan, rasul naik ke surga, lullah,
luluh menjadi lembut.
Disebut
Rasulullah itu rasa ala ganda salah.
Diringkas
menjadi satu Muhammad Rasulullah.
Yang
pertama pengetahuan badan, kedua tahu makanan. Kewajiban manusia menghayati
rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan Muhammad Rasulullah, maka sembahyang
yang berbunyi ushali itu artinya memahami asalnya.
Ada
pun raga manusia itu asalnya dari ruh idhafi, ruh Muhamad Rasul, artinya Rasul
rasa, keluarnya rasa hidup, keluar dari badan yang terbuka, karena asyhadu
alla, jika tidak mengetahui artinya syahadat, tidak tahu rukun Islam maka tidak
akan mengerti awal kejadian.
Sunan
Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah Islam,
setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya
tidak mempan digunting.
Sunan
Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam lahir batin, karena apabil
hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting.
Sang
Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir batin, maka rambutnya bisa dipotong.
Perdebatan dengan Sabdapalon dan Nayageggong
Sang
Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdapalon dan
Nayagenggong, Kamu berdua kuberitahu mulai hari ini aku meninggalkan agama
Buddha dan memeluk agama Islam.
Aku
sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak
pindah agama rasul dan meninggalkan agama Buddha.
Sabdapalon
berkata dengan sedih, Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, Siapa
yang bertahta menjadi asuhan hamba.
Mulai
dari leluhur Paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri,
turun-temurun sampai sekarang.
Hamba
mengasuh penurun raja-raja Jawa. Hamba jika ingin tidur sampai 200 tahun.
Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang nakal
membunuh manusia bangsanya sendiri.
Sampai
sekarang umur hamba sudah 2000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa,
tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menempati agama Buddha, Baru
Paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa. Jawa artinya tahu. Mau
menerima berarti Jawan.
Kalau
hanya ikut-ikutan, akan membuat celaka muksa Paduka kelak, Kata Wikutama yang
kemudian disambut halilintar bersahutan.
Prabu
Brawijaya disindir oleh Dewata, karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan
perwujudan keadaan di dunia ditambah tiga hal :
1.
Rumput
Jawan.
2.
Padi
Randanunut, dan.
3.
Padi
Mriyi.
Sang
Prabu bertanya, Bagaimana niatanmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha
masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasullalah dan nama Allah Yang
Sejati?
Sabdopalon
berkata dengan sedih, Paduka masuklah sendiri.
Hamba
tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu. Menginjak-injak
hukum, menginjak-injak tatanan.
Jika
hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak.
Yang
mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri.
Kalau
hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri.
Hamba
suka agama lama menyebut Dewa Yang Maha Lebih. Dunia itu tubuh Dewata yang
bersifat budi dan hawa, sudah menjadi kewajiban manusia itu menurut budi
kehendaknya, menjadi tuntas dan tidak mengecewakan, jika menyebut Nabi Muhammad
Rasulullah, artinya Muhammad itu makam kubur, kubur rasa yang salah, hanya
men-Tuhan-kan badan jasmani, hanya mementingkan rasa enak, tidak ingat karma
dibelakang.
Maka
nama Muhammad adalah tempat kuburan sekalian rasa.
Ruh
idafi artinya tubuh, jika sudah rusak kembali kepada asalnya lagi.
Prabu
Brawijaya nanti akan pulang kemana.
Adam
itu sama dengan Hyang Ibrahim, artinya kebrahen ketika hidupnya, tidak
mendapatkan rasa yang benar.
Tetapi
bangunnya rasa yang berwujud badan dinamai Muhammadun, tempat kuruban rasa.
Jasa
budi menjadi sifat manusia.
Jika
diambil Yang Maha Kuasa, tubuh Paduka sifatnya jadi dengan sendirinya.
Orang
tua tidak membuat, maka dinamai anak, karena adanya dengan sendirinya, jadinya
atas suatu yang ghaib, atas kehendak Lata wal Hujwa, yang meliputi wujud,
wujudi sendiri, rusak-rusaknya sendiri, jika diambil oleh Yang Maha Kuasa,
hanya tinggal rasa dan amal yang Paduka bawa ke mana saja.
Jika
nista menjadi setan yang menjaga suatu tempat.
Hanya
menunggui daging basi yang sudah luluh menjadi tanah.
Demikian
tadi tidak ada perlunya.
Demikian
itu karena kurang budi dan pengetahuannya.
Ketika
hidupnya belum makan buah pohon pengetahuan dan buah pohon budi. Pilih mati
menjadi setan, menunggu batu mengharap-harap manusia mengirim sajian dan
selamatan.
Kelak
meninggalkan mujizat Rahmat memberi kutukan kiamat kepada anak cucunya yang
tinggal.
Manusia
mati tidak dalam aturan raja yang sifatnya lahiriah.
Sukma
pisah dengan budi, jika tekadnya baik akan menerima kemuliaan.
Akan
tetapi jika tekadnya buruk akan menerima siksaan.
Coba
Paduka pikir kata hamba itu!
Prabu
berkata Kembali kepada asalnya, asal Nur bali kepada Nur.
Sabdapalon
bertutur Itu pengetahuan manusia yang bingung, hidupnya merugi, tidak punya
pengetahuan ingat, belum menghayati buah pengetahuan dan budi, asal satu
mendapat satu.
Itu
bukan mati yang utama.
Mati
yang utama itu sewu satus telung puluh.
Artinya
satus itu putus, telu itu tilas, puluh itu pulih, wujud kembali, wujudnya
rusak, tetapi yang rusak hanya yang berasal dari ruh idhafi lapisan, bulan
surup pasti dari mana asalnya mulai menjadi manusia.
Surup
artinya sumurup purwa madya wasana, menepati kedudukan manusia.
Sang
Prabu menjawab, Ciptaku menempel pada orang yang lebih.
Sabdopalon
berkata, Itu manusia tersesat, seperti kemladeyan menempel di pepohonan besar,
tidak punya kemuliaan sendiri hanya numpang.
Itu
bukan mati yang utama.
Tapi
matinya manusia nista, sukanya hanya menempel, ikut-ikutan, tidak memiliki
sendiri, jika diusir kemudian gentayangan menjadi kuntilanak, kemudian menempel
kepada awal mulanya lagi.
Sang
Prabu berkata lagi, Aku akan kembali kepada yang suwung, kekosongan, ketika aku
melum mewujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak.
Itu
matinya manusia tidak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidupnya
seperti hewan, hanya makan, minum, dan tidur.
Demikian
itu hanya bisa gemuk kaya daging.
Penting
minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati.
Sang
Prabu, Aku menunggui tempat kubur, apabila sudah hancur luluh menjadi debu.
Sabdopalon
menyambung, Itulah matinya manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menunggui
daging di kuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah, tidak mengerti
berganti ruh idhafi baru. Itulah manusia bodoh, ketahuliah. Terima kasih!
Sang
Prabu berkata, Aku akan muksa dengan ragaku.
Sabdopalon
tersenyum, Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas
makan badannya, gemuk kebanyakan daging.
Manusia
mati muksa itu celaka, karena mati tetapi tidak meninggalkan jasad. Tidak
bersyahadat, tidak mati dan tidak hidup, tidak bisa menjadi ruh idhafi baru,
hanya menjadi gunungan demit.
Sang
Prabu, Aku tidak punya kehendak apa-apa, tidak bisa memilih, terserah Yang Maha
Kuasa.
Sabdopalon,
Paduka meninggalkan sifat tidak merasa sebagai titah yang terpuji, meninggalkan
kewajiban sebagai manusia.
Manusia
diwenangkan untuk menolak atau memilih.
Jika
sudah menerima akan mati, sudah tidak perlu mencari ilmu kemuliaan mati.
Sang
Prabu, Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa.
Sabdopalon
berkata, Akhirat, surga, sudah Paduka kemana-mana, dunia manusia itu sudah
menguasai alam kecil dalam bear.
Paduka
akan pergi ke akhirat mana ?
Apa
tidak tersesat ?
Padahal
akhirat itu artinya melarat, dimana-mana ada akhirat.
Bila
mau hamba ingatkan, jangan sampai Paduka mendapat kemelaratan seperti dalam
pengadilan negara. Jika salah menjawabnya tentu dihukum, ditangkap, dipaksa
kerja berat dan tanpa menerima upah.
Masuk
akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya manusia, sreng artinya berat sekali, enggi
artinya kerja.
Jadi
maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi.
Apa
tidak celaka, manusia hidup di dunia demikian tadi, sekeluarganya hanya
mendapat beras sekojong tanpa daging, sambal, sayur.
Itu
perumpamaan akhirat yang kelihatan nyata.
Jika
akhirat manusia mati malah lebih dari itu, Paduka jangan sampai pulang ke
akhirat, jangan sampai masuk ke surga, malah tersesat, banyak binatang yang
mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya berkerja dengan paksaan,
tidak salah dipaksa.
Paduka
jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud
tidak berbentuk.
Wujudnya
hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, Paduka belum kenal, kenalnya hanya
seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan.
Bertemunya
cahaya menyala menjadi satu, tidak pisah tidak kumpul, jauhnya tanpa batasan,
dekat tidak bertemu.
Saya
tidak tahan dekat apalagi Paduka, Kanjeng Nabi Musa toh tidak tahan melihat
Gusti Allah.
Maka
Allah tidak kelihatan, hanya Dzatnya yang meliputi semua makhluk. Paduka bibit
ruhani, bukan jenis malaikat.
Manusia
raganya berasal dari nutfah, menghadap Hyang Lata wal Hujwa. Jika sudah lama,
minta yang baru, tidak bolak-balik. Itulah mati hidup.
Orang
yang hidup adalah jika nafasnya masih berjalan, hidup yang langgeng, tidak
berubah tidak bergeser, yang mati hanya raganya, tidak merasakan kenikmatan,
maka bagi manusia Buda, jika raganya sudah tua, sukmanya pun keluar minta ganti
yang baik, melebihi yang sudah tua.
Nutfah
jangan sampai berubah dari dunianya.
Dunia
manusia itu langgeng, tidak berubah-ubah, yang berubah itu tempat rasa dan raga
yang berasal dari ruh idhafi.
Prabu
Brawijaya itu tidak muda tidak tua, tetapi langgeng berada di tengah dunianya,
berjalan tidak berubah dari tempatnya di gua hasrat cipta yang hening.
Bawalah
bekalmu, bekal untuk makan raga.
Apapun
milik kita akan hilang, berkumpul dan berpisah.
Denyut
jantung sebelah kiri adalah rasa, cipta letaknya di langit-langit mulut. Itu
akhir pengetahuan.
Pengetahuan
manusia beragama Buda. Ruh berjalan lewat langit-langit mulut, berhenti di
kerongkongan, keluar lewat kemaluan, hanyut dalam lautan rahmat, kemudian masuk
ke gua garbha perempuan. Itulah jatuhnya nikmat di bumi rahmat.
Di
situ budi membuat istana baitullah yang mulia, terjadi lewat sabda kun fayakun.
Di
tengah rahim ibu itu takdir manusia ditentukan, rizkinya digariskan, umurnya
juga dipastikan, tidak bisa dirubah, seperti tertulis dalam Lauh Mahfudz.
Keberuntungan dan kematiannya tergantung pada nalar dan pengetahuan, yang
kurang ikhtiarnya akan kurang beruntung pula.
Awal mula Kiblat empat
Awal
mula kiblat empat, yaitu :
1.
Timur
(Wetan).
2.
Barat
(Kulon).
3.
Selatan(Kidul)
dan.
4.
Utara
(Lor).
Wetan
artinya wiwitan asal manusia mewujud,
kulon artinya bapa kelonan, kidul artinya istri didudul di tengah
perutnya, lor artinya lahirnya jabang bayi. Tanggal pertama purnama, tarik
sekali tenunan sudah selesai.
Artinya
pur : jumbuh, na: ana wujud; ma: madep kepada wujud. Jumbuh itu artinya
lengkap, serba ada, menguasai alam besar kecil, tanggal manusia, lahir dari
ibunya, bersama dengan saudaranya kakang mbarep (kakak tertua) adi ragil (adik
terkecil). Kakang mbarep itu kawah, adi itu ari-ari.
Saudara
ghaib yang lahir bersamaan, menjaga hidupnya selama matahari tetap terbit di
dunia, berupa cahaya, isinya ingat semuanya. Siang malam jangan khawatir kepada
semua rupa, yang ingat semuanya, surup, dan tanggalnya pun sudah jelas, waktu
dulu, sekarang atau besok, itu pengetahuan manusia Jawa yang beragama Buddha.
Raga
itu diibaratkan perahu, sedangkan sukma adalah orang yang ada di atas perahu
tadi, yang menunjukkan tujuannya.
Jika
perahunya berjalan salah arah, akhirnya perahu pecah, manusia rebah. Maka harus
bertujuan, senyampang perahu masih berjalan, jika tidak bertujuan hidupnya, dan
matinya tidak akan bisa sampai tujuan, menepati kemanusiaannya.
Jika
perahu rusak maka akan pisah dengan orangnya.
Artinya
sukma juga pisah dengan budi, itu namanya syahadat, pisahnya kawula dengan
Gusti.
Sah
artinya pisah dengan Dzat Tuhan, jika sudah pisah raga dan sukma, budi kemudian
berganti baitullah, nafas memuji kepada Gusti.
Jika
pisah sukma dan budi, maka manusia harus yang waspada, ingatlah asal-usul
manusia, dan wajib meminta kepada Tuhan baitullah yang baru, yang lebih baik
dari yang lama.
Raga
manusia itu namanya baitullah itu perahu buatan Allah, terjadi dari sabda kun fayakun.
Jika perahu manusia Jawa bisa berganti baitullah lagi yang lebih baik, perahu
orang Islam hidupnya tinggal rasa, perahunya sudah hancur.
Jika
sukma itu mati di alam dunia kosong, tidak ada manusia.
Manusia
hidup di dunia dari muda sampai tua.
Meskipun
sukma manusia, tetapi jika tekadnya melenceng, matinya tersesat menjadi kuwuk,
meskipun sukmanya hewan, tetapi bisa menjelma menjadi manusia.
Ketika
Batara Wisnu bertahta di Medang Kasapta, binatang hutan dan makhluk halus
dicipta menjadi manusia, menjadi rakyat Sang Raja.
Ketika
Eyang Paduka Prabu Palasara bertahta di Gajahoya, binatang hutan dan makhluk
halus juga dicipta menjadi manusia.
Maka
bau manusia satu dan yang lainnya berbeda-beda, baunya seperti ketika masih
menjadi hewan.
Serat
Tapak Hyang menyebut Sastrajendra Hayuningrat, terjadi dari sabda kun, dan
menyebut jituok artinya hanya puji tok.
Dewa
yang membuat cahaya bersinar meliputi badan.
Cahaya
artinya incengan aneng cengelmu.
Jiling
itu puji eling kepada Gusti.
Punuk
artinya panakna.
Timbangan
artinya salang.
Pundak
itu panduk, hidup di dunia mencari pengetahuan dengan buah kuldi, jika beroleh
buah kuldi banyak, beruntungnya kaya daging, apabila beroleh buah pengetahuan
banyak, bisa untuk bekal hidup, hidup langgeng yang tidak bisa mati. Tepak
artinya tepa-tapa-nira, Walikat, walikaning urip.
Ula-ula,
ulatana, laleren gegermu kang nggligir.
Sungsum
artinya sungsungen. Labung, waktu Dewa menyambung umur, alam manusia itu
sampungan, ingat hidup mati.
Lempeng
kiwa tengen artinya tekad yang lahir batin, purwa benar dan salah, baik dan
buruk.
Mata
artinya lihatlah batin satu, yang lurus kiblatmu, keblat utara benar satu.
Tengen artinya tengenen kang terang, di dunia hanya sekedar memakai raga, tidak
membuat tidak memakai.
Kiwa
artinya, raga iki isi hawa kekajengan, tidak wenang mengukuhi mati. Demikian
itu bunyi serat tadi.
Jika
Paduka mencela, siapa yang membuat raga?
Siapa
yang memberi nama?
Hanya
Lata wal Hujwa, jika Paduka mencaci, Paduka tetap kafir, cela mati Paduka,
tidak percaya kepada takdir Gusti, dan murtad kepada leluhur Jawa semua,
menempel pada besi, kayu batu, menjadi iblis menunggu tanah. Jika Paduka tidak
bisa membaca sasmita yang ada di badan manusia, mati Paduka tersesat seperti kuwuk.
Adapun
jika bisa membaca sasmita yang ada pada raga tadi, dari manusia menjadi
manusia.
Disebut
dalam Serat Anbiya, Kanjeng Nabi Musa waktu dahulu manusia yang mati di kubur,
kemudian bangun lagi, hidupnya ganti ruh baru, ganti tempat baru.
Tuhan yang Sejati
Jika
Paduka memeluk agama Islam, manusia Jawa tentu kemudian Islam semua. Badan
halus hamba sudah tercakup dan manunggal menjadi tunggal, lahir batin, jadi
tinggal kehendak hamba saja.
Adam
atau wujud bisa sama, jika saya ingin mewujud, itulah wujud hamba, kehendak
Adam, bisa hilang seketika.
Bisa
mewujud dan bisa menghilang seketika.
Raga
hamba itu sifat Dewa, badan hamba seluruhnya punya nama sendiri-sendiri.
Coba
Paduka tunjuk, badan Sabdapalon. Semua sudah jelas, jelas sampai tidak
kelihatan Sabdopalon, tinggal asma meliputi badan, tidak muda tidak tua, tidak
mati tidak hidup.
Hidupnya
meliputi dalam matinya.
Adapun
matinya meliputi dalam hidupnya, langgeng selamanya.
Sang
Prabu bertanya, Di mana Tuhan yang Sejati?
Sabdopalon
berkata, Tidak jauh tidak dekat, Paduka
bayangannya. Paduka wujud sifat suksma. Sejati tunggal budi, hawa, dan badan.
Tiga-tiganya
itu satu, tidak terpisah, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia
tenti tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini.
Apa
kamu tidak mau masuk agama Islam? tanya Prabu
Sabdopalon
berkata dengan sedih, Ikut agama lama, kepada agama baru tidak!Kenapa Paduka
berganti agama tidak bertanya hamba?
Apakah
Paduka lupa nama hamba, Sabdapalon? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu
pengancing kandang.
Naya
artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba
itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.
Bagaimana
ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak
boleh kembali kepada agama Buddha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi
langit.
Iya
sudah, silahkan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan.
Sunan
Kalijaga kemudian berkata kepada Sang Prabu, yang isinya jangan memikirkan yang
tidak-tidak, karena agama Islam itu sangat mulia.
Ia
akan menciptakan air yang di sumber sebagai bukti, lihat bagaimana baunya.
Jika
air tadi bisa berbau wangi, itu pertanda bahwa Sang Prabu sudah mantap kepada
agama Rasul, tetapi apabila baunya tidak wangi, itu pertanda jika Sang Prabu
masih berpikir Buddha.
Sunan
Kalijaga kemudian mengheningkan cipta. Seketika air sumber menjadi berbau
wangi. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, seperti yang sudah dikatakan,
bahwa Sang Prabu nyata sudah mantap kepada agama Rasul, karena air sumber
baunya wangi.
Sabdopalon
berkata kepada Sang Prabu, Itu kesaktian apa?
Kesaktian
kencinghamba kemarin sore dipamerkan kepada hamba. Seperti anak-anak, jika
hamba melawan kencing hamba sendiri.
Paduka
dijerumuskan, hendak menjadi jawan, suka menurut ikut-ikutan, tanpa guna hamba
asuh.
Hamba
wirang kepada bumi langit, malu mengasuh manusia tolol, hamba hendak mencari
asuhan yang satu mata.
Hamba
menyesal telah mengasuh Paduka.
Jika
hamba mau mengeluarkan kesaktian, air kencing hamba, kentut sekali saja, sudah
wangi, Jika paduka tidak percaya, yang disebut pedoman Jawa, yang bernama Manik
Maya itu hamba, yang membuat kawah air panas di atas Gunung Mahameru itu semua
hamba, Adikku Batara Guru hanya mengizinkan saja.
Pada
waktu dahulu tanah Jawa gonjang-ganjing, besarnya api di bawah tanah.
Gunung-gunung
hamba kentuti.
Puncaknya
pun kemudian berlubang, apinya banyak yang keluar, maka tanah Jawa kemudian
tidak bergoyang, maka gunung-gunung tinggi puncaknya, keluar apinya serta ada
kawahnya, berisi air panas dan air tawar.
Itu
hamba yang membuat.
Semua
tadi atas kehendak Lata wal Hujwa, yang membuat bumi dan langit. Apa cacadnya
agama Buddha, manusia bisa memohon sendiri kepada Yang Maha Kuasa.
Sungguh
jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Buddha, keturunan Paduka
akan celaka, Jawa tinggal Jawan, artinya hilang, suka ikut bangsa lain. Besok
tentu diperintah oleh orang Jawa yang mengerti.
Coba
Paduka saksikan, bulan depan bulan tidak kelihatan, biji mati tidak tumbuh,
ditolak oleh Dewa.
Walaupun
tumbuh kecil saja, hanya untuk makanan burung, padi seperti kerikil, karena
paduka yang salah, suka menyembah batu.
Paduka
saksikan besok tanah Jawa berubah udaranya, tambah panas jarang hujan.
Berkurang hasil bumi, banyak manusia suka menipu.
Berani
bertindak nista dan suka bersumpah, hujan salah musim, membuat bingung para
petani.
Sejak
hari ini hujan sudah berkurang, sebagai hukuman banyak manusia berganti agama.
Besok
apabila sudah bertaubat, ingat kepada agama Buddha lagi, dan kembali mau makan
buah pengetahuan, Dewa kemudian memaafkan, hujan kembali seperti jaman Buddha.
Sang
Prabu mendengar kata-kata Sabdapalon dalam batin merasa sangat menyesal karena
telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha, Lama beliau tidak
berkata.
Kemudian
ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata putri Cempa,
yang mengatakan bahwa orang agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga
yang melebihi surganya orang kafir.
Sabdapalon
berkata sambil meludah, Sejak jaman kuno, bila laki-laki menurut perempuan,
pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya untuk wadah, tidak berwewenang
memulai kehendak. Sabdapalon banyak-banyak mencaci Sang Prabu.
Kamu
cela sudah tanpa guna, karena sudah terlanjur, sekarang hanya kamu kutanya,
masihkah tetapkah tekadmu?
Aku
masuk agama Islam, sudah disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak bisa kembali
kepada Buddha lagi.
Sabdapalon
berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau.
Ketika
ditanya perginya akan ke mana?
Ia
menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ, hanya menepati yang namanya
Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.
Sang
Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua, berpengetahuan, yaitulah
yang akan diasuh Sabdapalon.
Orang
Jawa akan diajari tahu benar salah.
Sang
Prabu hendak merangkul Sabdapalon dan Nayagenggong, tetapi kedua orang tersebut
musnah.
Sang
Prabu kemudian menyesal dan meneteskan air mata.
Kemudian
berkata kepada Sunan Kalijaga, Besok Negara Blambangan gantilah nama dengan
Negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdapalon ke tanah Jawa
membawa asuhannya.
Adapun
kini Sabdopalon masih dalam alam Ghaib.
SERAT
DARMOGANDUL
Carita
adege nagara Islam ing Demak bedhahe nagara Majapahit kang salugune wiwite wong
Jawa ninggal agama Buddha banjur salin agama Islam.
Serat
Darmagandul merupakan kitab yang cukup dikenal dalam kesusasteraan Jawa. Tidak
sedikit yang menggunakannya sebagai bahan studi sejarah, terutama terkait
keruntuhan Majapahit.
Serat
Darmogandul merupakan serat yang berisi cerita tentang dialog antara
tokoh-tokoh pada jaman dulu kala di Indonesia.
Dalam
serat ini pula didapatkan cerita berubahnya keyakinan Prabu Brawijaya dari
agama Buddha beralih ke agama Islam.
Akan
tetapi karena serat Darmogandul dinilai banyak pihak sebagai naskah yang
bermuatan penghinaan terhadap Islam, maka serat tersebut dilarang beredar.
Tapi
kini kita bisa menemukan serat Darmogandul di banyak blog baik dalam naskah
berbahasa jawa, maupun terjemahannya.
Untuk
terjemahan Darmogandul bisa dilihat di indo forum atau disini.
Serat
Darmagandul merupakan kitab kontroversial yang mengambil ide cerita dari Serat
Babad Kadhiri.
Meskipun
merupakan hasil plagiasi dari Babad Kadhiri, namun Serat Darmagandul tampaknya
ditulis berdasarkan motif tertentu yaitu keberpihakan pengarangnya terhadap
pemerintah kolonialis Belanda dan kecenderungan terhadap keberadaan misi
Kristen di tanah Jawa.
Unsur
Kristen dalam Serat ini boleh dikatakan dominan dengan menggunakan simbolisasi
wit katvruh dan berbagai cerita yang berasal dari Bibel.
Serat
Babad Kadhiri ditulis berdasarkan perintah Belanda.
Sedangkan
serat Darmagandul menunjukkan wujud apresiasi yang baik terhadap Belanda, bukan
dalam pandangan sebagai musuh atau penjajah namun justru sebagai kawan.
Mengingat
pengarang Darmagandul tidak jelas identitasnya, maka kemiripannya dengan Babad
Kadhiri ini jelas menimbulkan sebuah pertanyaan besar.
Dapat
diduga bahwa Babad Kadhiri yang ditulis atas perintah dari Belanda, kemudian
dimanfaatkan untuk membuat Serat Darmagandul dengan tujuan memarginalkan ajaran
Islam dan sekaligus memanipulasi sejarah Islam.
Secara
umum buku Darmagandul banyak memiliki kesalahan data dalam mengungkapkan fakta
sejarah.
Oleh
karena itu sulit dipastikan bahwa buku tersebut benar-benar ditulis pada masa
peralihan antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak.
Bukti
lebih kuat justru menekankan bahwa buku tersebut di tulis di era belakangan
pasca penjajahan bangsa Eropa di Bumi Nusantara.
Oleh
karena itu cerita sejarah dalam serat tersebut boleh diabaikan dari kedudukannya
sebagai sebuah fakta.
Buku
Darmagandul merupakan tulisan yang sebagian besar mengisahkan tentang
keruntuhan kerajaan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak. Dalam versi
Darmagandul Majapahit runtuh akibat serangan dari Adipati Demak yang bernama Raden
Patah.
Sebenarnya
Raden Patah masih merupakan putra Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir,
dengan seorang putri dari China. Namun, menurut buku Darmagandul, para ulama
yang dipimpin sunan Giri dan Sunan Benang (Bonang) yang tergabung dalam majlis
dakwah wali sanga, memprovokasi Raden Patah agar merebut tahta kerajaan dari
ayahnya yang masih memeluk agama Hindu Budha, karena memeluk agama Budha.
Bujukan
para wali berhasil, sehingga pada akhirnya Majapahit dapat dibumi hanguskan dan
Prabu Brawijaya berhasil meloloskan diri.
Buku
darmagandul juga mengupas tentang budi buruk para ulama yang oleh Prabu
Brawijaya diberi kebebasan untuk berdakwah diwilayah Majapahit, namun pada saat
Islam telah menjadi besar mereka berbalik melawan Majapahit dan melupakan budi
baik sang raja Brawijaya.
Hal
ini ditunjukkan dengan ekspresi penulis Darmagandul ketika mengartikan wali
adalah walikan (kebalikan).
Artinya
diberi kebaikan namun membalas dengan keburukan.
Darmogandul.
Di
telinga orang Jawa pun hal itu terdengar lucu. Tapi buku ini, Serat
Darmogandul, memang dimaksud sebagai ejekan yang lucu, yang dikaitkan dengan
hal-hal porno.
Judul
buku fiksi yang mengisahkan masuknya Islam ke Jawa dan runtuhnya Kerajaan
Majapahit ini juga menimbulkan gambaran yang tak jauh dari (maa kelamin pria.
Pada 1920-an, Darmogandul pernah diprotes masyarakat Islam dan Cina ketika
pertama kali dimuat dalam sebuah almanak.
Darmogandul,
yang ditulis dalam bahasa Jawa dan dalam bentuk sekar atau puisi Jawa itu,
memang mencemooh orang Cina, orang Arab, dan menyerang Islam.
Siapa
pengarang Darmogandul, tak jelas.
Pada
terbitan Dahara Prize memang disebutkan namanya: Ki Kalamwadi.
Tapi
ini nama samaran (kalam adalah pena, wadi berarti rahasia: penulis yang
merahasiakan namanya).
Pengarang
yang sesungguhnya mungkin Raden Budi Sukardi, yang beberapa kali disebut oleh
Ki Kalamwadi (pencerita dalam buku itu) sebagai guru yang dapat dipercaya.
Beberapa
ahli juga tak berhasil menemukan nama dan identitas pengarangnya.
Menurut
M. Hari Soewarno dalam Serat Darmogandul dan Suluk Gatoloco tentang Islam,
pengarangnya adalah Ronggowarsito (1802-1873), sastrawan Jawa terkenal dari
Keraton Surakarta.
Menurut
Simuh, dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Yogya, buku itu ditulis pada zaman
Kerajaan Surakarta antara tahun 1755 dan 1881.
Tapi
doktor yang disertasinya mengenai karya Ronggowarsito Wirid Hidayat Jati itu
tidak tahu persis siapa penulisnya.
Dalam
pada itu, menurut Prof. Dr. G.W.J. Drewes, dalam The Struggle between Javanism
and Islam as Illustrated by the Serat Dermogandul dan Javanese Poems Dealing
with or Attributed to the Saint of Bonang, buku itu karangan seorang bangsawan
tinggi di Kediri, dan bersumber dari Babad Kediri yang ditulis sekitar 1873.
Sementara
itu, menurut Prof. Dr. H.M. Rasjidi, dalam Islam dan Kebatinan, pengarang
Darmogandul adalah Pangeran Suryonegoro, putra Hamengku Buwono VII. Menteri
Agama RI yang pertama itu yakin bahwa Darmogandul ditulis pada zaman penjajahan
Belanda, terbukti dari adanya beberapa kata Belanda seperti kelah (klacht) dan
puisi.
Sebelum
Dahara Prize menerbitkannya, pada tahun 1954 (sekitar tiga puluh tahun setelah
heboh), penerbit buku-buku Jawa di Kediri yang ketika itu sangat terkenal, Tan
Koen Swie, sudah menerbitkannya sebagai cetakan kedua.
Sampai
kini, buku itu hanya dikenal kalangan terbatas: generasi tua dan para ilmuwan
yang khusus mempelajari literatur Jawa yang berkaitan dengan paham kebatinan.
Darmogandul
memang pernah jadi salah satu acuan para penganut kepercayaan. Tapi, menurut
tokoh kejawen almarhum Mr. Wongsonagoro, Darmogandul kemudian tidak menjadi
pedoman para penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Isi Darmogandul
sebenarnya mengenai penyebaran Islam di Jawa (dari kawasan pesisir utara) dan
runtuhnya Kerajaan Majapahit (di pedalaman), yang dituturkan secara fiktif.
Paham
keagamaan di dalamnya merupakan cerminan perbenturan nilai setelah datangnya
agama baru, juga antara kerajaan pesisir yang Islam dengan kerajaan pedalaman
yang masih Budha-Hindu.
Orang
Jawa, ketika itu, hanya menerima nilai-nilai Islam yang rada-rada cocok dengan
paham lama lalu mencampur-adukkannya yang belakangan melahirkan paham
kepercayaan yang sinkretis.
Yang
mengundang keresahan masyarakat Islam ialah penyajian pikiran pikiran tentang
seks dalam buku itu, yang dipakai sebagai usaha untuk meletakkan penafsiran
materi ajaran Islam pada kedudukan pornografis yang tidak lepas dari kerangka
pertentangan politik dan budaya antara kedua kerajaan itu, antara Jawa dan
Islam.
Semangat
anti-Islam muncul akibat trauma keruntuhan Majapahit yang diserang oleh Raden
Patah, putra raja Majapahit Brawijaya V sendiri yang sebelumnya diangkat
sebagai adipati di Demak.
Raden
Patah dinilai sebagai anak durhaka, apalagi ia sebenarnya bukan Jawa asli tapi
lahir dari rahim ibundanya yang berdarah Cina (tepatnya: Campa,Kamboja).
Sampai
sekarang kambing hitam keruntuhan Majapahit adalah Raden Patah.
Padahal,
menurut Tardjan Hadidjaja dan Kamajaya dalam Serat Centhini Dituturkan dalam
Bahasa Indonesia Jilid I-A, sesungguhnya Raden Patah hanyalah merebut kekuasaan
Girindrawardhana, yang sebelumnya telah lebih dahulu memporak-porandakan
Majapahit dari dalam.
Darmogandul
juga melukiskan, meski Brawijaya V akhirnya dibaiat sebagai muslim oleh Sunan
Kalijaga secara lahir batin, banyak rakyat dipaksa masuk Islam. Ini tentu
penilaian sepihak, sebab para wali di Jawa selama ini dikenal sebagai penyebar
Islam yang akulturatif.
Seperti
digambarkan oleh Dojosantosa dalam buku Unsur Religius dalam Sastra Jawa, meski
agama Budha dan Hindu sudah berakar berabad-abad, orang Jawa menerima Islam dengan
senang hati untuk memperkaya peradaban. Gara-gara protes masyarakat Islam,
menurut Anung Tejo Wirawan, dosen sastra Jawa UGM yang meneliti Darmogandul,
buku yang kontroversial ini beberapa kali disunat oleh penerbitnya.
Pada
terbitan Dahara Prize kali ini, misalnya, pendapat bahwa babi dan anjing lebih
baik dari kambing curian sudah dihapus. Begitu pula cara penghinaan dengan gaya
jarwodosok terhadap Quran. Jarwodosok atau plesedan adalah gaya bahasa dalam
penulisan sastra maupun dalam bahasa lisan para pelawak Jawa, dengan mencari
persamaan bunyi yang cenderung lucu dan porno.
Dalam
Darmogandul (edisi lama), misalnya, disebut syari’at atau sarengat diartikan kalau
sare (tidur) anunya njengat (ereksi).
Beberapa
kata dalam surah al-Baqarah juga dipeleset-pelesetkan. Misalnya, huda dalam
huda lilmuttaqien diartikan wuda alias telanjang.
Dan
banyak lagi. Dalam penelitian itu Anung menemukan, hanya 10% isi buku itu yang menghina
Islam atau porno.
Sementara
itu, menurut dosen sastra Jawa UGM yang lain, Dr. Kuntara Wiryamartana,
Darmogandul bukanlah sastra Jawa yang punya arus yang kuat. Karena itu,
beberapa ilmuwan, termasuk Simuh, kurang setuju buku itu dilarang beredar.
Kalaupun
diedarkan secara luas, penerbit hendaknya memberikan pengantar dan catatan,
sehingga pembaca mengerti duduk soalnya, katanya Namun, bagi A.R. Fachruddin,
ketua PP Muhammadiyah, betapapun yang 10% itu tetap berarti penghinaan.
Mengapa
Dahara Prize berani menerbitkannya?
Karena
masyarakat kita sudah maju, dan saya yakin umat Islam tidak tersinggung membaca
Darmogandul, yang hanya merupakan imajinasi pengarang itu, ujar Deradjat
Harahap, direktur Dahara Prize.
Dalam
kata pengantar buku itu, pembaca memang diimbau oleh penerjemah (yang tidak
menyebutkan namanya) agar kritis, sehingga tidak gampang terpengaruh oleh isi
buku ini.
Prof.
HM Rasjidi, Menteri Agama Pertama RI, juga pernah menulis dan menerjemahkan
Darmogandul yang banyak memuat pelecehan terhadap Islam. Dalam salah satu bait
Pangkur-nya serat ini menulis “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan
dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka.
Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus
dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.
Ada
lagi ungkapan dalam serat ini Adapun orang yang menyebut nama Muhammad,
Rasulullah, nabi terakhir.
Ia
sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya Makam atau kubur.
Ra-su-lu-lah,
artinya rasa yang salah.
Oleh
karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan
dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.
Semua
makanan dicela, umpamanya masakan cacing, dendeng kucing, pindang kera, opor
monyet, masakan ular sawah, sate rase (seperti luwak), masakan anak anjing,
panggang babi atau rusa, kodok dan tikus goreng.
Makanan
lintah yang belum dimasak, makanan usus anjing kebiri, kare kucing besar,
bistik gembluk (babi hutan), semua itu dikatakan haram.
Lebih-lebih
jika mereka melihat anjing, mereka pura-pura dirinya terlalu bersih.
Saya
mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi
memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh
dengan anjing di waktu malam.
Baginya
ini adalah halal walaupun dengan tidak pakai nikah.
Inilah
sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.
Kalau
bersetubuh dengan manusia tetapi tidak dengan pengesahan hakim, tindakannya
dinamakan makruh.
Tetapi
kalau partnernya seekor anjing, tentu perkataan najis itu tidak ada lagi.
Sebab
kemanakah untuk mengesahkan perkawinan dengan anjing?.
Mencermati
bahwa Babad Kadhiri merupakan produk dari proyek penjajah, maka tidak menutup
kemungkinan bahwa Serat Darmagandul adalah kelanjutan langkah Belanda dalam
menjinakkan perlawanan Islam. Pada sekitar 1900-an politik Belanda banyak
diarahkan untuk mengantisipasi kekuatan Islam yang dianggap berbahaya bagi
pemerintah kolonial (Steenbrink, 1984:241-242). Kebijakannya dilakukan dengan
kristenisasi dan pemunculan apa yang disebut sebagai kaum adat (Benda,
1980:40-46). Kebijakan politik Belanda pasca 1850-an bukan sekedar bermotif
ekonomi, beberapa kasus menunjukkan bahwa imperialisme Belanda adalah
manifestasi idealisme yang bersifat politik dan agama (Kartodirdjo,1999:4-5).
Antara
misi Kristen dengan penjajahan Belanda memang satu paket. Dan untuk melakukan
pelemahan terhadap Islam yang saat itu begitu gigih melakukan perlawanan
terhadap kolonialisme, menghasut dengan membuat cerita-cerita negatif dan
melecehkan adalah salah satu cara yang mereka gunakan. Tak tertutup
kemungkinan, mereka melakukan politik pecah belah, memukul dengan menggunakan
tangan kelompok kebatinan, yang memang sudah dari dulu menyimpan dendam dengan
umat Islam akibat jatuhnya Mojopahit ke tangan kerajaan Demak.
Sekilas Serat Darmogandul
Serat
Darmogandul adalah salah satu karya Jawa baru yang kontroversial. Bersama Suluk
Gatoloco dan Babad Kadhiri, Serat Darmogandul dipandang sebagai karya anti Islam. Kebetulan ketiganya muncul dari wilayah
Kediri, pada peralihan abad ke-20. Wisnu, Alrianingrum dan Artono (2017)
mencatat bahwa Serat Darmogandul diterbitkan oleh penerbit Tan Khoen Swie tahun
1922, namun penulisannya diduga tahun 1908 Masehi.
Mereka
melihat kesamaan Serat Darmogandul dengan Babad Kadhiri sehingga menduga bahwa
Serat Darmogandul adalah plagiasi atas Babad Kadhiri. Sebaliknya, dalam catatan
belakang Babad Kadhiri, Mangunwijaya berpendapat bahwa Babad Kadhiri bersama
dengan Serat Kalamwadi (Darmogandul) adalah cerita pedhalangan yang berakar
kepada karya-karya semacam Pustaka Raja, Babad Tanah Jawi dan Babad Demak.
Babad Kadhiri ditulis Mas Ngabehi Purbawijaya (Jaksa Agung Kota Kediri) dan
diselesaian oleh Mas Ngabehi Mangunwijaya dari Wanagiri. Cetakan kedua Babad
Kediri dicetak oleh Tan Khoen Swie pada tahun 1932. Sementara itu, Serat
Darmogandul tidak jelas siapa penulisnya. Bagian awal Serat Darmogandul memang
mirip bagian awal Babad Tanah Jawi atau Pustaka Raja. Bagian pertemuan antara
Sunan Bonang dan Butha Locaya serta bagian bedhah (runtuhnya) Majapahit
menunjukkan kesamaan dengan bagian akhir Babad Kedhiri.
Percakapan
Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon menunjukkan kesamaan dengan Ramalan Sabdo Palon
dan Naya Genggong, namun percakapan teologis dan tentang agama berbeda.
Ada
pun percakapan antara Istri Sunan Ampel dengan Raden Patah sangat mungkin
adalah kreasi penulis Serat Darmogandul.
Penulis
Darmogandul tampak cukup familier dengan karya-karya Jawa, yang tampak pada
acuannya di dalam narasi kepada Serat Ambiya dan Serat Manik Maya. Serat
Darmogandul yang menjadi acuan tulisan ini adalah Darmogandul terbitan Tan
Khoen Swie Kediri tahun 1957. Di halaman sampul diterangkan bahwa Darmogandul
menceritakan ringkasan sejarah jatuhnya Kraton Majapahit, dengan perbandingan
Serat Walisana.
Versi
berbahasa Indonesia diterjemahkan oleh Purwadi dengan judul: Ramalan Gaib Sabdo
Palon dan Naya Genggong. Versi ini langsung dimulai dengan pertanyaan
Darmogandul kepada Kyai Kalamwadi
tentang bagaimana orang Jawa berubah menjadi muslim. Bagian awal tentang asal
usul raja dan berbagai keyakinan tidak dimasukkan dalam versi terjemahnya.
Sementara itu, Damar Sashangka, seorang penulis tentang kebatinan Jawa, membuat
terjemahan dan ulasan atas Serat Darmogandul berdasarkan Babon (Induk)
peninggalan K.RT. Tandhsnegara Surkarta dengan penjelasan bahwa serat tersebut
berisi kisah mengenai berdirinya Kerajaan Islam Demak, runtuhnya Majapahit dan
awal mula orang Buda (sebutan bagi pemeluk agama India pra-Islam di Jawa) masuk
Islam. Keberadaan naskah Darmogandul di lingkaran priyayi bukan hal aneh.
Ricklefs menyebut bahwa Serat tersebut diajarkan di sekolah-sekolah priyayi di
Probolinggo, Magelang dan Bandung pada tahun 1879-1880.
Isi Serat Darmogandul
Serat
Darmogandul berisi percakapan Ki Kalamwadi dan Ki Darmogandul. Ki Kalamwadi
bercerita berdasarkan tuturan gurunya, yaitu Raden Budi Sukardi. Tuturan itu
disebut tanpa ada sumber tertulis yang menjadi dasar.
Serat
Darmogandul versi terjemah mulai dengan pertanyaan mengapa orang Jawa berubah
agama menjadi pemeluk Islam.
Bagian
ini mirip dengan bagian akhir Babad Kadhiri. Kisah dimulai dengan perjalan
Sunan Bonang dan muridnya untuk mengunjungi Kediri.
Di
Kertosono, sudah tiba waktu shalat ashar
dan juga mereka haus. Sungai kebetulan banjir sehingga airnya kotor Sunan
Bonang menyuruh muridnya untuk meminta air bersih pada warga.
Si
murid bertemu seorang gadis dan minta simpanan air bersih.
Si
gadis mengira si santri menggodanya dan menjawab kasar bahwa air simpanan yang
ada air kencing.
Mendengar
laporan muridnya Sunan Bonang marah sehingga memindahkan aliran sungai dan
mengutuk remaja desa setempat akan sulit menikah. Pemindahan sungai oleh Sunan
Bonang ini didengar ratu makhluk halus, Nyai Plencing.
Nyai
Plencing ingin mengingatkan Sunan Bonang, tetapi tidak kuat karena merasa
panas. Akhirnya ia meminta bantuan Butha Locaya, makhluk halus mantan patih
Raja Jayabaya. Butha Locaya mengingatkan kutukan Sunan Bonang yang berlebihan.
Sunan Bonang tidak peduli dan melanjutkan perjalanan. Ia bertemu patung kuda
yang kemudian ia hancurkan dan bertemu patung lain yang ia potong kepalanya.
Konon, patung Totok Kerot di dekat Pagu Menang tangannya patah karena perbuatan
Sunan Bonang, meski menurut versi masyarakat patahnya tangan Totok Kerot karena
usaha pemindahan masa modern ini. Butha Locaya marah.
Ia
mengingatkan agar Sunan Bonang menjaga perilakunya dan tidak merusak.
Masyarakat Jawa meski lebih banyak penganut agama Kalang dibandingkan agama
India adalah penganut Agama Budi yang memperhatikan sopan santun. Ia menuduh
ulama-ulama bangsa Arab suka mengambil air tanah Jawa dan menyuruh Sunan Bonang
pun pergi.
Berita
kejadian di Kertasana didengar Prabu Brawijaya.
Ia
memerintahkan mencari Sunan Bonang tapi tidak ketemu sehingga memerintahkan
pengusiran orang Arab kecuali di Demak dan Ampel.
Daerah
Giri yang tiga tahun tidak mau menghadap dicurigai hendak memberontak juga
sehingga diserang tentara Majalengka / Majapahit sehingga Giri kalah, meskipun
sudah dibantu para pendekar Tionghoa.
Sunan
Bonang, yang merasa bersalah, bersama Sunan Giri menghadap ke Demak. Sunan
Bonang menyampaikan penglihatan gaibnya bahwa Majapahit sudah waktunya hancur.
Awalnya Raden Patah keberatan untuk melawan ayahnya.
Namun,
atas bujukan Sunan Bonang dan Sunan Giri, Adipati Demak itu bersedia menyerang
Majapahit. Ia menyurati Adipati Terung, saudaranya yang menjadi panglima di
Majapahit untuk membantunya.
Adipati
Terung setuju.
Prabu
Brawijaya terkejut mendengar laporan bahwa anaknya bersama para Sunan dan
Bupati Pantura menyerang Majapahit.
Ia
menyesal telah terpikat bujukan Ratu Campa dan mengijinkan para ulama
menyebarkan Islam dan mengutuk mereka.
Prabu
Brawijaya memilih untuk meninggalkan kraton dan memerintahkan untuk menghadapi
pasukan Demak sekedarnya.
Konon
hanya 3000 pasukan Majapahit yang menghadapi 30.000 pasukan Demak.
Hanya
Patih Nayaka dan Lembu Pangarsa (anak Brawijaya) yang mempertahankan kraton,
berhadapan dengan Sunan Kudus, Sunan Ngudung, dan Patih Demak.
Alkisah
setelah tewasnya patih Majapahit, para Sunan masuk dan menjarah istana. Putri
Cempa dipindahkan ke Bonang.
Adipati
Terung membakar buku-buku Budha. Orang-orang Majapahit yang tidak mau takluk
mengungsi ke gunung. Setelah tiga hari, Sultan Demak menghadap ke Ampel bersama
para Sunan dan Bupati untuk minta restu. Ia bertemu isteri Sunan Ampel, yang
masih putri Bupati Tuban.
Raden
Patah dimarahi habis-habisan atas perilaku tidak terpujinya, sebagai anak yang
tidak tahu balas budi.
Raden
Patah menyesal tapi semua sudah terjadi.
Raden
Patah diminta untuk mencari ayahnya, Prabu Brawijaya.
Pangeran
Jimbun menghadap Sunan Bonang.
Sunan
Bonang memintanya untuk tidak memikirkan perkataan Nyai Ampel dan sebaiknya
menyelesaikan penaklukan Majapahit.
Pangeran
Jimbun disarankan untuk meminta ampun jika Raja Brawijaya pulang, tapi jangan
sampai Raja bertahta lagi.
Nasehat
Sunan Bonang didukung Sunan Giri.
Sunan
Kalijaga yang diutus menemui Raja.
Ia
menemukan Raja di Blambangan, bersama abdinya Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Sunan
Kalijaga mencegah niat Raja untuk menyeberang ke Bali dan memobilisasi
kekuatan.
Sunan
Kalijaga mengingatkan bahwa peperangan lanjutan akan mengakibatkan korban
rakyat dan keturunan Raja sendiri.
Raja
bahkan bersedia masuk Islam.
Setelah
masuk Islam, Sabdo Palon dan Naya Genggong menolak ikut Raja kembali ke
Majapahit.
Sabdo
Palon menegur tindakan Raja yang meninggalkan agama Budi.
Setelah
berdebat dengan Raja, Sabdo Palon meninggalkan Raja.
Raja
kembali ke Majapahit dan ditemui anaknya dari Tarub, Bondan Kejawan. Ia
melarang putranya di Ponorogo dan Pengging untuk melawan.
Pangeran
Jimbun diperkenankan menjadi penguasa hanya berhenti sampai keturunan ketiga.
Setelah itu Raja Brawijaya meninggal.
Serat
Darmogandul ditutup dengan ringkasan peristiwa jatuhnya Majapahit yang
disamarkan dalam pasemon (kisah ibarat) saja.
Di
antara ibarat iru adalah bahwa keris Sunan Giri mengeluarkan ribuan tawon yang
menyerang tentara Majapahit dan mahkota Sunan Gunung Jati mengeluarkan tikus
yang menggerogoti pelana kuda pasukan Majapahit. Sementara itu, peti dari
Palembang membuat orang Majapahit geger karena mengeluarkan makhluk halus.
Setelah
menyinggung agama Srani/ Nasrani dan kitab Manik Maya, Serat Darmogandul
ditutup dengan nasehat kepada Endang Perjiwati. Serat Darmogandul dalam
Tinjauan Akademis Beberapa waktu lalu, ada video beredar di WA yang berisi
seorang gadis bercerita tentang peristiwa jatuhnya Majapahit. Ia menggambarkan
jatuhnya Majapahit sebagai peristiwa duka, saat 3000 orang Majapahit harus
menghadapi 30.000 orang Demak.
Singkat
kata Sultan Demak, Pangeran Jimbun menjadi sosok antagonis.
Sumber
cerita itu bisa ditebak dari Serat Darmogandul.
Serat
Darmogandul mampu memantik emosi tentang
kejatuhan Majapahit dan derita Raja Brawijaya yang sudah sepuh, terusir
dari istana karena ulah anaknya.
Secara
umum, Majapahit memang jatuh di tangan Demak.
Hal
demikian wajar dalam dunia kerajaan, di mana satu kerajaan jatuh digantikan
lainnya. Seperti Kerajaan Kediri jatuh di tangan Singosari, Singosari
dikalahkan Kediri lagi.
Akhirnya
kerajaan Kediri dikalahkan Majapahit.
Pertikaian
yang melibatkan Kediri versus Singasari dan kemudian melahirkan Majapahit,
menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Arok-Dedes, tidak lepas dari dukungan tokoh
agama yang beda aliran, antara pemuja Siwa dan pemuja Wisnu. Majapahit sendiri
besar karena menyerang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan lain yang kemudian
penaklukkan itu dipuji sebagai upaya mempersatukan Nusantara.
Kerajaan
Demak pun eksis setelah Majapahit runtuh, meski orang berbeda pendapat apakah
runtuhnya Majapahit karena serangan Demak atau karena pertikaian internal
Majapahit yang diakhiri oleh Demak dengan mengalahkan sisa kekuasaan Majapahit
di Kediri (Lihat Guillot dan Kalus, 2008).
Berdirinya
Demak dan runtuhnya Majapahit tidak terjadi dalam proses singkat. Demak sudah
eksis pada tahun 1478, namun sisa
Majapahit di Kediri dikalahkan Demak tahun 1527 Masehi. Slamet Muljana
menyebut bahwa Raja Majapahit terakhir, Prabu Kertabhumi yang berkuasa tahun
1474-1478.
Raja
ini dikalahkan Demak lalu ditawan dengan hormat di Demak. Kota Majapahit tidak
dihancurkan tapi diperintah oleh orang Tionghoa Noo Lay Wa sampai tahun 1486
dan digantikan oleh Girindrawardhana, menantu Kertabhumi, yang berkuasa di
Majapahit, Dhaha dan Jenggala.
Namun
Girindrawardhana kemudian membuat persekutuan dengan Portugis dan Tiongkok
sehingga diserang Demak hingga Majapahit runtuh tahun 1527 Masehi.
Namun,
Tome Pires dalam kunjungannya ke Tuban tahun 1513 bertemu dengan pejabat Tuban
dan mendengar kisah kehebatan Patih Majapahit dengan 200 ribu tentara.
Informasi tersebut menyangkut beberapa kali konflik bersenjata antara Majapahit
dengan penguasa-penguasa muslim di Pantura tanpa spesifik menyebut Demak. Pada
tahun 1513, pasukan Majapahit masih mampu mengalahkan Juwana, sebagai salah
satu kekuatan lokal selain Demak.
De
Graaf juga melihat bahwa penaklukan atas Majapahit tahun 1927 tidak hanya
dilakukan oleh Demak, tetapi oleh para penguasa muslim lokal dengan komandan
penghulu Masjid Demak ke-4 dan dilanjut Penghulu ke-5, yaitu Sunan Kudus.
Sultan
Trenggana, yang mengangkat diri sebagai Sultan pada tahun 1524, ditahbiskan
sebagai raja Demak pengganti kekuasaan Majapahit. Pires juga menceritakan bahwa
pada saat ia berkunjung ke Tuban, Raja Majapahit yang bergelar Bhatara masih
ada.
Raja
tersebut digambarkan sebagai sosok yang gagah dan jarang terlihat di muka umum.
Tugas-tugas
kerajaan diemban oleh Panglimanya. Jadi, pada tahun 1513, kerajaan Majapahit
masih eksis dan kuat.
Dalam
Serat Darmogandul disebutkan bahwa Raja Majapahit tergoda oleh putri Campa.
Karena
itulah ia lalai dengan ancaman para pendatang muslim dan memberi tempat pada
mereka. Menurut Denys Lombard, Raden Rahmat sudah datang lebih awal dari Putri
Campa.
Putri
Campa sendiri makamnya di Trowulan berasal dari tahun 1448 M, atau 40 tahun sebelum
Kertabhumi bertahta jika dilihat dari versi Slamet Muljana. Sumber Serat
Darmgandul Serat Darmogandul bukanlah sebuah sejarah dalam pengertian akademik.
Dalam
Serat itu sendiri dijelaskan bahwa cerita Raden Budi Sukardi kepada Ki
Kalamwadi, yang oleh Ki Kalamwadi diteruskan kepada Darmogandul tidak
didasarkan pada sumber tertentu.
Tidak
mudah membuktikan cerita dalam Darmogandul. Beberapa pokok latar sejarah yang
dipakai berasal dari Babad Tanah Jawi atau turunannya.
Tetapi
detail dan alur narasi yang dipakai Darmogandul bukan dari Babad Tanah Jawi,
melainkan dari Babad Kadhiri. Babad Kadhiri lahir dari keingintahuan orang
Belanda akan sejarah Kediri dan bertanya kepada Ngabehi Purbawijaya.
Karena
tidak tahu, Jaksa Ngabehi Purbawijaya mencari dalang Dermakandha dari Majarata.
Sayangnya, Dalang Dermakandha hanya tahu kisah Panji ke bawah, tidak ke era
selanjutnya.
Ia
punya ide untuk bertanya kepada jin penunggu gua di Gunung Klothok, yaitu Butha
Locaya. Caranya Ki Dermakandha akan memanggil Butha Locaya yang akan merasuki
Ki Sondong, abdi Ngabehi Purbawijaya. Baru dilakukan wawancara. Jadi, Babad
Kadhiri disusun dari wawancara dengan orang kesurupan.
Serat
Darmogandul juga menyatakan bahwa cerita yang disampaikan tidak didasarkan
sumber tertulis tertentu, melainkan dari tuturan Raden Budi Sukardi. Tidak
diketahui secara jelas apakah Raden Budi Sukardi menceritakan Babad Kadhiri
atau penulis Babad Kadhiri sama dengan penulis Serat Darmogandul. Tetapi uraian
tentang pikiran keagamaan dalam Darmogandul tampak berasal dari orang yang
cukup mengenal Islam, meski punya rasa tidak suka.
Penulis
cukup pandai dalam berdialog untuk menunjukkan keunggulan agama Budi. Dalam
dialog itu, penulis Darmogandul tidak mempertentangkan antara tokoh Islam
dengan tokoh lain, melainkan dengan
meminjam satu tokoh Islam. Baca Juga
Haji Bilal, Muhammadiyah, dan NU Saat memprotes Raden Patah, penulis
mempergunakan tokoh Nyai Ampel, istri Sunan Ampel.
Saat
mengkritik ajaran Islam dan memuji agama Budi, ia meminjam Prabu Brawijaya
sebagai pembela ajaran Islam untuk berdebat keyakinan dengan Sabdo Palon. Proses peminjaman tokoh Islam ini ada kalanya
terasa dipaksakan atau dipelesetkan. Prabu Brawijaya saat masuk Islam
mendapatkan pengajaran syahadat dari Sunan Kalijaga.
Muhammad
Rasulullah dimaknai sebagai makam kuburan tempat rasa memuji badan sendiri.
Rasulullah sebagai rasa ganda salah.
Singkatnya
Muhammad Rasulullah adalah pengetahuan badan dan tahu makanan.
Darmogandul
dan Sejarah Lokal Apakah Serat Darmogandul didasarkan atas Sejarah Lokal atau
Sejaah Lisan? Untuk menjawab hal tersebut ada baiknya dibandingkan dengan
Sejarah Jawa karya Thomas Stamford Raffles.
Karya
Raffles ditulis dengan mengumpulkan sumber-sumber lokal. Raffles memerintah
sebagai Gubernur Jenderal di Jawa pada 1811-1816.
Kecintaan
Raffles akan sastra dan budaya Jawa melahirkan karya Monumental The History of
Java dan Musium Etnografi Batavia.
Ia
menjelajahi daerah-daerah di Jawa dan mengumpulan berbagai data tentang budaya
dan sejarah. Salah satu kisah yang ia muat adalah Raja Majapahit Angka Wijaya,
putra dari Kencana Wungu, dalam hubungannya dengan putri Campa dan orang-orang
muslim. Angka Wijaya diceritakan bertahta tahun 1300 thun Jawa atau 1378
Masehi.
Kisahnya
dalam beberapa hal banyak sama dengan Babad Tingkir, menyangkut anak dan istri
Raja.
Raden
Patah adalah anak putri Cina yang saat hamil dikirim ke Palembang bersama anak
raja dari keturunan makhluk halus Gunung Lawu yang bernama Aria Damar.
Raden
Patah bersama adiknya Raden Husein pergi ke Gresik. Raden Husein langsung
menuju Majapahit, sedangkan Raden Patah ke Ampel karena trauma pada perlakuan
Raja pada ibunya.
Setelah
menikah dengan cucu Sunan Ampel ia membuka wilayah ke Barat yang terdapat
rerumputan harum bernama Bintara.
Wilayah
itu disebut Demalakan (disingkat Demak), yaitu wilayah kering di tengah
rawa-rawa yang luas.
Setelah
berdiri Demak, Raja mengutus Husen untuk menghancurkannya kecuali mau mengakui
Majapahit.
Raden
Patah dibawa ke istana lalu diberi gelar Adipati karena kemiripannya dengan
raja.
Raden
Patah mengadu pada Sunan Ampel bahwa ia merasa marah dan terhina dan bertekad
untuk menghancurkan Majapahit.
Setelah
membangun masjid (1390 J/ 1468 M) Raden Patah mendengar Sunan Ampel wafat. Ia pergi ke Ampel dan sepulang dari
Ampel mendapatkan pendamping delapan penyebar agama.
Ia
mulai menghimpun persekutuan melalui pemuka agama untuk melawan Majapahit
dengan Panglima Sunan Undang atau Sunan Kudus.
Pasukan
Majapahit di bawah pimpinan Husen selalu menghindar sampai terjadi perang di
Sedayu yang mengakibatkan Sunan Undang wafat.
Namun
Husen tidak melanjutkan serangan dan Majapahit ingin membujuk Raden Patah untuk
datang dan tunduk ke Majapahit secara damai.
Raden
Patah lalu minta dukungan Aria Damar dari Palembang.
Ia
diberi kotak yang bisa mengeluarkan ribuan tikus. Sunan Gunung Jati memberi
baju besi. Sunan Giri memberi keris yang bisa mengeluarkan kumbang.
Sunan
Bonang memberi tongkat yang bisa mengeluarkan tentara. Di bawah pimpinan
Pangeran Kudus (anak Sunan Undang), Demak menyerang Majapahit. Dengan bantuan
berbagai senjata dari para tokoh di atas, Majapahit berhasil ditaklukkan.
Raja
dan pengikutnya dibuang ke Timur.
Pangeran
Kudus lalu menyerang pasukan terakhir di bawah pimpinan Husen hingga akhirnya
Husen menyerah. Hal itu terjadi tahun 1400 Jawa atau 1478 Masehi.
Pangeran
Kudus bersama Husen lalu melakukan penyerbuan kembali setelah Raja Brawijaya
mendapatkan dukungan dari propinsi-propinsi sebelah Timur. Pasukan Majapahit
kalah dan lari sampai Palembang.
Raja
Brawijaya berhasil menyeberang ke Bali tahun 1481 M. Meski menceritakan kisah
tersebut, Raffles menunjukkan kritik akan lamanya Angka Wijaya berkuasa yaitu
dari sebelum tahun 1398 M hingga 1478 M.
Usia
putri Campa yang lebih dari 100 tahun saat mendapat perlindungan Sunan Bonang,
tapi nisannya sendiri bertahun 1398 M.
Sejarah
versi lokal yang ditulis oleh Raffles menunjukkan pokok narasi yang berbeda
dengan versi Serat Darmogandul.
Hal
itu dapat dipahami karena Serat Darmogandul sendiri mengakui bahwa isinya tidak
didasarkan sumber-sumber tertentu.
Tentu
saja tidak mungkin narasi seperti Darmogandul berangkat dari ruang kosong,
tetapi pengarangnya memberikan tafsir sendiri sesuai dengan cara ia melihat
pengaruh Islam sebagai faktor yang merusak di Jawa.
Isi Serat Darmogandul
Menceritakan
perpindahan agama orang jawa Hindu / Budha ke Islam (Muslim)
Carita
adege nagara Islam ing Demak bedhahe nagara Majapahit kang salugune wiwite wong
Jawa ninggal agama Buddha banjur salin agama Islam.
(Kisah
mengenai berdirinya Kerajaan Islam Demak dan runtuhnya Kerajaan Majapahit yang
sebenarnya.
Awal
mulanya Orang Jawa meninggalkan Agama Buddha dan Beralih pada Agama Islam).
Gancaran
basa Jawa ngoko. Babon asli tinggalane K.R.T.Tandhanagara, Surakarta.
Cap-capan
ingkang kaping sekawan 1959 Toko Buku Sadu-Budi Sala.
Sinarkara
sarjunireng galih, myat carita dipangikitira, kiyai Kalamwadine, ing nguni
anggiguru, puruhita mring Raden Budi,mangesthi amiluta, duta rehing guru, sru
sityanglampahi dhawah/panggusthine tan mamang ing lair batin, pinindha
lirjawata. Satuduhe Raden Budi ining, pan ingimbun pinusthi ing cipta,
sumungkim lair batine, tanetung libur luluh, pangesthine ing awal akhir,
tinarimeng Bathara, sasidyanya kabul,agung nugraheng Hyang Suksma, sinung ilham
ing alam sahir myang kabir, dumadyaauliya. Angawruhi sasmiteng Hyang Widdhi,
pan biyasa mituhu susitya, mring dhawuh wiling gurune, kidah midhavkin kawruh,
karya suka pirineng jalmi, mring sagung ahli sastra, tuladhaning kawruh, kyai
Kalamwadi ngarang, sinung aran srat Darmagandhul jinilid, sinung timbang
macapat.
Pan
katimben amaos kinteki, timbang raras rum siya prasaja, triwaca w’jang
raose,mring tyas gung kumacilu, yun darbeya miwah nimpini, pinirit tinuladha,
lilipiyanipun, sawusnya winaos tamat, Vmaksanan tinidhak tinurun sungging,
kinarya nglipur manah.
Pan
sinambi-sambijagi panti, sasilanira ngupaya tidha, kinarya cagak linggahe,
nggennya dama cinubluk, mung kinarya ngarim-arimi, tarimanireng badan,
anganggurngithikur, ngibun-bun pasihaning Hyang, suprandene tan kalirin wayah
siwi, sagotra minulyarja. Wus pinupus sumendhe ing takdir, pan sumarah
kumambang karseng Hyang,ing lokhilmakful tulise, panitranira nuju, ping
trilikur ri Tumpak manis, Ruwah Jewarsanira, Sancaya kang windu, masa Nim
ringkilnya Aryang, wuku Wukir sangkalanira ing warsi: wuk guna ngesthi Nata
(taunJawa 1830).
DARMO
GANDHUL
Ing
sawijining dina Darmagandhul matur marang Kalamwadi mangkene Mau-maune kepriye
dene wong Jawa kok banjur padha ninggal agama Buddha salin agama Islam?
(Pada
suatu hari bertanyalah Darmagandhul pada Kalamwadi sebagai berikut, Asal
mulanya bagaimana, kok orang Jawa meninggalkan Agama Buddha dan berubah
menganut Agama Islam?)
Wangsulane
Ki Kalamwadi : Aku dhewe iya ora pati ngreti, nanging aku wis tau dikandhani
guruku, ing mangka guruku kuwi iya kena dipracaya, nyaritakake purwane wong
Jawa padha ninggal agama Buddha banjur salin agama Rasul.
(Jawabannya
Ki Kalamwadi, Saya sendiri juga tidak begitu mengerti, tapi saya sudah pernah
diberi tahu oleh guru saya, selain itu guru saya itu juga bisa dipercaya
beliau, menceritakan asal mulanya orang Jawa meninggalkan Agama Buddha dan
bergantimenganut agama Rasul (Islam).
Ature
Darmagandhul: Banjur kapriye dongengane?
(Darmagandhul
bertanya, Bagaimana kalau begitu ceritanya?)
Ki
Kalamwadi banjur ngandika maneh: Bab iki satemene iya prelu dikandhakake,
supaya wong kang ora ngreti mula-bukane kareben ngreti.
(Ki
Kalamwadi lalu berkata lagi, Hal ini sesungguhnya juga perlu diungkapkan agar
orang yang tidak tahu asal mulanya menjadi tahu).
Ing
jaman kuna nagara Majapahit iku jenenge nagara Majalengka, dene enggone jeneng
Majapahit iku, mung kanggo pasemon, nanging kang durung ngreti dedongengane iya
Majapahit iku wis jeneng sakawit. Ing nagara Majalengka kang jumeneng Nata
wekasan jejuluk Prabu Brawijaya. (Pada zaman kuno, Kerajaan Majapahit itu
namanya Kerajaan Majalengka, sedangkan nama Majapathit itu, hanya sebagai
perumpamaan, tetapi bagi yang belum tahu ceritanya, Majapahit itu telah
merupakan namanya semenjak awal. Di Kerajaan Majapahit yang berkuasa sebagai
Raja adalah Prabu Brawijaya.
Ing
wektu iku, Sang Prabu lagi kalimput panggalihe, Sang Prabu krama oleh Putri
Cempa,
Ing
mangka Putri Cempa mau agamane Islam, sajrone lagi sih-sinihan, Sang Retna
tansah matur marang Sang Nata, bab luruhe agama Islam, saben marak, ora ana
maneh kang diaturake, kajaba mung mulyakake agama Islam, nganti njalari
katariking panggalihe Sang Prabu marang agama Islam mau.
(Pada
saat itu, Sang Prabu sedang dimabuk asmara, ia menikah dengan Putri Cempa, karena
Putri Cempa itu beragama Islam, maka saat sedang berdua-duaan, Sang Putri
selalu berbicara pada sang Raja, mengenai agama Islam. Tiap kali berkata- kata,
tidak ada hal lain yang dibicarakan, selain mengagung-agungkan agama Islam,
sehingga menyebabkan tertariknya hati Sang Prabu akan agama Islam)
Ora
antara suwe kaprenah pulunane Putri Cempa kang aran Sayid Rakhmat tinjo menyang
Majalengka, sarta nyuwun idi marang Sang Nata, kaparenga anggelarake sarengate
agama Rasul.
(Tidak
berama lama datanglah pengikut Putri Cempa yang bernama Sayid Rakhmat ke
Majalengka. Ia minta izin pada sang raja, untuk menggelar penyebaran syariat
agama Rasul (Islam).
Sang
Prabu iya marengake apa kang dadi panyuwune Sayid rakhmat mau. Sayid Rakhmat
banjur kalakon dhedhukuh ana Ngampeldenta ing Surabaya (3) anggelarake agama
Rasul. Ing kono banjur akeh para ngulama saka sabrang kang padha teka, para
ngulama lan para maulana iku padha marek sang Prabu ing Majalengka, sarta padha
nyuwun dhedhukuh ing pasisir.
(Sang
Prabu juga mengabulkan apa yang diminta oleh Sayid Rakhmat itu. Sayid Rakhmat
lalu mendirikan sebuah desa kecil (dukuh) di Ngampeldenta, Surabaya. Ia
mengajar agama Islam di sana. Selanjutnya makin banyak para ulama dari seberang
yang datang. Para ulama dan para maulana itu beramai-ramai menghadap sang raja
di Majalengka, serta sama-sama meminta desa kecil di daerah pesisir.)
Panyuwunan
mangkono mau uga diparengake dening Sang Nata. Suwe-suwe pangidhep mangkono mau
saya ngrebda, wong Jawa banjur akeh banget kang padha agama Islam.(Permintaan
tersebut juga dikabulkan oleh Sang Raja. Lama-lama perkampungan kecil semacam
itu makin menjamur, orang Jawa makin banyak yang beragama Islam.)
Sayid
Kramat dadi gurune wong-wong kang wis ngrasuk agama Islam kabeh, dene
panggonane ana ing Benang bawah Tuban.
Sayid
Kramat iku maulana saka ing ‘Arab tedhake Kanjeng Nabi Rasulu’llah, mula bisa
dadi gurune wong Islam. Akeh wong Jawa kang padha kelu maguru marang Sayid Kramat.
Wong
Jawa ing pasisir lor sapangulon sapangetan padha ninggal agamane Buddha, banjur
ngrasuk agama Rasul.
Ing
Blambangan sapangulon nganti tumeka ing Banten, wonge uga padha kelu rembuge
Sayid Kramat.
(Sayid
Kramat menjadi gurunya orang-orang yang sudah menganut agama Islam. Tempat
menetapnya berada di Benang (juga disebut Bonang – penterjemah) , Tuban.
Sayid
Kramat itu adalah pemuka agama yang berasal dari Arab, atau tempat kelahirannya
Nabi Muhammad, sehingga dapat menjadi gurunya para penganut agama Islam. Banyak
orang Jawa yang berguru pada Sayid Kramat. Orang Jawa di pesisir utara, baik
bagian barat maupun timur, sama-sama meninggalkan agama Buddha dan berpindah
masuk Islam.
Dari
Blambangan ke arah barat hingga Banten, banyak orang yang telah mematuhiperkataan
Sayid Kramat.)
Mangka
agama Buddha iku ana ing tanah Jawa wis kelakon urip nganti sewu taun, dene
wong-wonge padha manembah marang Budi Hawa.
Budi
iku Dzate Hyang Widdhi, Hawa iku kareping hati, manusa ora bisa apa- apa,
bisane mung sadarma nglakoni, budi kang ngobahake.
(Pada
saat itu agama Buddha telah dianut di tanah Jawa selama seribu tahun, para
penganutnya menyembah pada Budi Hawa.
Budi
adalah Zat dari Hyang Widdhi, sedangkan Hawa itu adalah kehendak hati.
Manusia
itu tidak dapat berbuat apa-apa selain berusaha menjalankan, tetapi budi yang
mengubah segalanya)
Sang
Prabu Brawijaya kagungan putra kakung kang patutan saka Putri Bangsa Cina,
miyose putra mau ana ing Palembang, diparingi tetenger Raden Patah.
(Raja
Brawijaya memiliki putra dari seorang putri berkebangsaan Cina. Putranya itu
lahir di Palembang, dan diberi nama Raden Patah)
Bareng
Raden Patah wis diwasa, sowan ingkang rama, nganti sadhereke seje ramatunggal
ibu, arane Raden Kusen.
Satekane
Majalengka Sang Prabu kewran panggalihe enggone arep maringi sesebutan marang
putrane, awit yen miturut leluri saka ingkangrama, Jawa Buddha agamane, yen
ngleluri leluhur kuna, putraning Nata kang pambabare ana ing gunung, sesebutane
Bambang.
(Tatkala
Raden Patah sudah dewasa, ia mengunjungi ayahnya.
la
memiliki saudara lain ibu yang bernama Raden Kusen.
Setibanya
di Majalengka Sang Prabu bingung hatinya untuk memberi nama pada puteranya.
Sebab menurut tradisi leluhur Jawa yang beragama Buddha, putra raja yang lahir
di gunung, disebut Bambang)
Yen
miturut ibu, sesebutane: Kaotiang, dene yen wong ‘Arab sesebutane Sayid utawa
Sarib. Sang Prabu banjur nimbali patih sarta para nayaka, padha dipundhuti
tetimbangan enggone arep maringi sesebutan ingkang putra mau. Saka ature Patih,
yen miturut leluhur kuna putrane Sang Prabu mau disebut Bambang, nanging
sarehne ibune bangsa Cina, prayoga disebut Babah, tegese pambabare ana nagara
liya.
(Kalau
menurut ibunya, namanya adalah Kaotiang, yaitu kalau dalam bahasa Arab disebut
Sayid atau Sarib. Sang Prabu lalu memanggip para patih dan pegawai kerajaan.
Mereka diminta pendapatnya di dalam memberikan nama bagi putranya itu. Patih
berkata bahwa kalau menurut leluhur zaman dahulu, anak raja itu seharusnya
diberi nama Bambang, tetapi karena ibunya berkembangsaan Cina, maka seharusnya
disebut Babah, yang artinya lahirnya ada di negara lain)
Ature
Patih kang mangkono mau, para nayaka uga padha mupakat, mula Sang Nata iya
banjur dhawuh marang padha wadya, yen putra Nata kang miyos ana ing Palembang
iku diparingi sesebutan lan asma Babah Patah. Katelah nganti tumeka saprene,
yen blasteran Cina lan Jawa sesebutane Babah.
(Pendapat
sang patih tersebut juga disepakati oleh para pegawai kerajaan. Oleh karenanya
sang raja mengumumkan bahwa putranya itu yang lahir di Palembang, diberi nama
Babah Patah. Hingga sampai sekarang, orang yang berdarah campuran Cina dan Jawa
diberi nama Babah)
Ing
nalika samana, Babah Patah wedi yen ora nglakoni dhawuhe ingkang rama, mulane
katone iya seneng, senenge mau amung kanggo samudana bae, mungguh satemene ora
seneng banget enggone diparingi sesebutan Babah iku.
(Babah
Patah, takut kalau tidak mematuhi sabda bapaknya, karena itu bersikap
seolah-olah senang. Padahal ia tidak benar-benar senang- senang diberi nama
Babah)
Ing
nalika iku Babah Patah banjur jinunjung dadi Bupati ing Demak, madanani para
bupatiurut pasisir Demak sapangulon, sarta Babah Patah dipalakramakake oleh ing
Ngampelgadhing, kabener wayahe kiyai Ageng Ngampel. (Kemudian Babah Patah
diangkat menjadi bupati di Demak, untuk mengepalai para bupatidi pesisir Demak
ke arah barat. Babah Patah lalu diperintahkan untuk berguru diNgampelgadhing,
yang kebetulan dikepalai oleh Kyai Ageng Ngampel)
Bareng
wis sawatara masa, banjur boyong marang Demak, ana ing desa Bintara, sarta sarehne
Babah Patah nalika ana ing Palembang agamane wis Islam, anane ing Demak
didhawuhi nglestarekake agamane, dene Raden Kusen ing nalika iku
jinunjung
dadi Adipatiana ing Terung (5), pinaringan nama sarta sesebutan Raden Arya
Pecattandha. (Ketika waktunya telah tiba, ia pindah ke Demak, yakni ke desa
Bintara. Sebetulnya Babah Patah telah beragama Islam saat di Palembang. Oleh
sebab itu, tatkala telah berada di Demak, ia diperintahkan untuk melestarikan
agamanya. Sedangkan Raden Kusen diangkat menjadi adipati di Terung, dan diberi
gelar Raden Arya Pecattandha)
Suwening
suwe sarak Rasul saya ngrebda, para ngulama padha nyuwun pangkat sarta padha
duwe sesebutan Sunan, Sunan iku tegese budi, uwite kawruh kaelingan kang becik
lan kang ala, yen wohe budi ngreti marang kaelingan becik, iku wajib sinuwunan
kawruhe ngelmu lair batin. Ing wektu iku para ngulama budine becik-becik,
durung padha duwe karep kang cidra, isih padha cegah dhahar sarta cegah sare.
(Makin lama agama Rasul makin menyebar luas, para ulama menjadi ingin memiliki
gelar, dimana kemudian mereka digelari Sunan. Sunan itu artinya budi, pohon
pengetahuan kesadaran pada yang baik dan buruk. Jika buah budi itu menyadari
akan kebaikan, maka ia wajib menuntut ilmu lahir dan bathin. Pada saat itu para
ulama masih memiliki hati yang baik, belum memiliki keinginan buruk, masih menahan
diri dari makan dan tidur)
Sang
Prabu Brawijaya kagungan panggalih, para ngulama sarake Buddha, kok nganggo
sesebutan Sunan, lakune isih padha cegah mangan, cegah turu. Yen sarak rasul,
sirik cegah mangan turu, mung nuruti rasaning lesan lan awak. Yen cegah mangan
rusak, Prabu Brawijaya uga banjur paring idi. Suwe-suwe agama Rasul saya
sumebar.
(Sang
Prabu Brawijaya jadi jatuh hati, para ulama itu dikiranya Buddha, tetapi kok
disebut Sunan. Tingkah laku mereka masih menahan diri dari makan dan tidur.
Apabila mengikuti rasul, maka mereka [seharusnya] bukan menahan diri dari makan
dan tidur, melainkan hanya menuruti hawa nafsu keinginan. Tatkala kebiasaan
menahan diri dari makan dan tidur telah rusak, tetapi Prabu Brawijaya telah
terlanjur memberikan angin. Makin lama agama rasul makin menyebar)
Ing
wektu iku ana nalar kang aneh, ora kena dikawruhi sarana netra karna sarta
lesan, wetune saka engetan, jroning utek iku yen diwarahi budi nyambut gawe,
kang maca lan kang krungu nganggep temen lan ora, iya kudu ditimbang ing
sabenere, saiki isih anawujuding patilasane, isih kena dinyatakake, mula saka
pangiraku iya nyata.
(Pada
saat itu ada peristiwa-peristiwa yang aneh yang tidak masuk akal. Peristiwa-
peristiwa tersebut diketahui dari ingatan semata. Apabila membaca atau
mendengar,maka perlu dipertimbangkan benar dan tidaknya. Tetapi karena sampai
sekarang masihada peninggalannya, maka menurut pendapatku hal tersebut benar-
benar terjadi)
Dhek
nalika samana Sunan Benang sumedya tindak marang Kadhiri, kang ndherekakemung
sakabat loro. Satekane lor Kadhiri, iya iku ing tanah Kertasana, kepalangan
banyu, kali Brantas pinuju banjir. Sunan Benang sarta sakabate loro padha
nyabrang, satekane wetan kali banjur niti- niti agamane wong kono apa wis
Islam, apa isih agama Budi.
(Pada
saat itu Sunan Benang bersiap-siap untuk mengunjungi Kediri, yang mengantarnya
hanya dua orang sahabat. Ketika tiba di utara Kediri, yaitu di tanah Kertasana,
mereka terhalang oleh air. Sungai Brantas saat itu kebetulan sedang banjir.
Sunan Benang dan dua orang sahabatnya sama-sama menyeberang, dan ketika telah
tiba di seberang iamencari tahu apakah orang di sana telah beragama Islam, ataukah
masih menganutagama Budi)
Ature
Ki Bandar wong ing kono agamane Kalang, sarak Buddha mung sawatara, denekang
agama Rasul lagi bribik-bribik, wong ing kono akeh padha agama Kalang,
mulyakakeBandung Bandawasa. Bandung dianggep Nabine, yen pinuji dina Riyadi,
wong-wong padha bebarengan mangan enak, padha seneng-seneng ana ing omah. Sunan
Benang ngandika: “Yen ngono wong kene kabeh padha agama Gedhah, Gedhah iku ora
ireng ora putih, tanah kene patut diarani Kutha Gedhah.
(Menurut
Ki Bandar, orang di sana agamanya Kalang, bukan Buddha namun mirip, sedangkan
agama Rasul masih sedikit sekali tersebarnya. Orang di sana yang sebagian besar
beragama Kalang memuliakan Bandung Bandawasa. Bandung dianggap nabi mereka.
Pada saat hari perayaan keagamaan mereka bersama-sama makan enak dan
bersenang-senang di rumah. Sunan Benang berkata, Jika begitu maka orang di sini
sama- sama beragama Gedhah, Gedhah itu tidak hitam ataupun putih. Tempat ini
pantas disebut Kutha Gedhah)
Ki
Bandar matur: “Dhawuh pangandika panjenengan, kula ingkang nekseni”. Tanah
saloring kutha kadhiri banjur jeneng Kutha Gedhah, nganti tekane saiki isih
karan Kutha Gedhah, nanging kang mangkono mau arang kang padha ngreti
mula-bukane. (Ki Bandar menjawab, Baik, yang mulia, saya yang menjadi saksi.
Tempat di bagianutara Kediri namanya mulai sekarang adalah Kutha Gedhah. Hingga
saat ini masih disebut dengan Kutha Gedhah, tetapi orang jarang mengetahui asal
mula nama tersebut)
Sunan
Benang ngandika marang sakabate: “Kowe goleka banyu imbon menyang padesan,kali
iki isih banjir, banyune isih buthek, yen diombe nglarani weteng, lan maneh iki
wancine luhur, aku arep wudhu, arep salat”.
(Sunan
Benang berkata pada sahabatnya, “Carilah air minum di desa, sungai masih banjir
dan airnya keruh. Jika diminum maka akan menyebabkan sakit perut. Selain itu
sudah waktunya salat Lohor. Saya mau wudhu untuk salat”)
Sakabate
siji banjur lunga menyang padesan arep golek banyu, tekan ing desa Pathukana
omah katone suwung ora ana wonge lanang, kang ana mung bocah prawan siji,wajah
lagi arep mepeg birahi, ing wektu iku lagi nenun. Sakabat teka sarta alon
calathune: “mBok Nganten, kula nedha toya imbon bening resik”. mBok Prawan
kaget krungu swarane wong lanang, bareng noleh weruh lanang sajak kaya santri,
MBok Prawan salah cipta, pangrasane wong lanang arep njejawat, mejanani marang
dheweke, mula enggonemangsuli nganggo tembung saru: “nDika mentas liwat kali
teka ngangge ngarani njalukbanyu imbon, ngriki boten enten carane wong ngimbu
banyu, kajaba uyuh kula niki imbon bening, yen sampeyan ajeng ngombe”.
(Salah
seorang sahabatnya lalu pergi ke desa mencari air minum. Ia sampai di desa
Pathuk dan menjumpai rumah yang nampaknya tidak ada prianya. Yang ada hanya
seorang gadis perawan menjelang dewasa, dimana saat itu ia sedang menenun.
Sahabat Sunan Benang mendekat serta berkata perlahan, “Mbok Nganten (panggilan
terhadap wanita dalam bahasa Jawa), saya minta air minum yang bening dan
bersih.” Gadis perawan itu terkejut mendengar suara pria, ketika menoleh ia
melihat seorang pria yang nampaknya mirip santri. Gadis perawan tersebut salah
sangka, ia mengira orang tersebut ingin menggodanya, maka dijawabnya dengan
perkataan kotor, “Anda menyeberang sungai datang kemari untuk minta air minum.
Di sini tidak ada air minum, selain air kencing saya yang bening, jika Anda
ingin meminumnya.” )
Santri
krungu tetembungan mangkono banjur lunga tanpa pamit lakune dirikatake sarta
garundelan turut dalan, satekane ngarsane Sunan Benang banjur ngaturake
lelakone nalika golek banyu. Sunan Benang mireng ature sakabate, banget dukane,
nganti kawetu pangandikane nyupatani, ing panggonan kono disabdakake larang
banyu, prawane aja lakiyen durung tuwa, sarta jakane aja rabi yen durung dadi
jaka tuwa, bareng kena dayaningpangandika mau, ing sanalika kali Brantas iline
dadi cilik, iline banyu kang gedhe nyimpang nrabas desa alas sawah lan
pategalan, akeh desa kang padha rusak, awit katrajang ilining banyu kali kang
ngalih iline, kali kang maune iline gedhe sanalika dadi asat. Nganti tumeka
saprene tanah Gedhah iku larang banyu, jaka lan prawane iya nganti kasep
enggone omah-omah. Sunan Benang terns tindak menyang Kadhiri.
(Sang
santri yang mendengar ucapan kotor itu pergi tanpa pamit dan jalannya
dicepatcepatkan. Ia menggerutu dalam hati dan menceritakan pengalamannya di
hadapan Sunan Bonang. Ketika mendengar hal itu Sunan Bonang marah sekali, ia
kemudianmengucapkan sumpah serapah pada warga desa tersebut. Tempat itu dikutuk
agar susah mendapatkan air, para gadisnya akan terlambat menikah dan demikian
pula kaum perjakanya. Sesudah kutukan tersebut diucapkan aliran Sungai Brantas
menjadi kecil. Aliran sungai yang pada mulanya besar itu menyimpang dan
membanjiri desa, sawah, dan ladang. Banyak desa yang rusak karena diterjang
aliran sungai yang berpindah alirannya. Sungai yang pada mulanya deras alirannya
itu menjadi surut. Hingga saat ini tempat tersebut menjadi susah air serta
gadis dan perjakannya terlambat menikah. Sunan Benang melanjutkan perjalanannya
ke Kediri.)
Ing
wektu iki ana dhemit jenenge Nyai Plencing, iya iku dhemit ing sumur
Tanjungtani,tansah digubel anak putune, padha wadul yen ana wong arane Sunan
Benang, gawene nyikara marang para lelembut, ngendel- endelake kaprawirane,
kali kang saka Kadhiri disotake banjur asat sanalika, iline banjur salin dalan
kang dudu mesthine, mula akeh desa, alas, sawah sarta pategalan, kang padha
rusak, iya iku saka Panggawene Sunan Benang
(Pada
waktu itu ada seorang makhluk halus bernama Nyai Plencing, yakni makhluk halus
yang berdiam di sumur Tanjungtani. Anak cucunya para berkeluh kesah padanya,
mereka melaporkan tindakan orang bernama Sunan Benang yang kegemarannya
menyiksa para makhluk halus serta memamerkan kesaktiannya. Sungai yang mengalir
di Kediri dijadikan surut airnya serta berpindah alirannya ke arah lain yang
tidak seharusnya. Sehingga banyak desa, hutan, sawah, dan ladang yang rusak.
Semua itu akibat ulah Sunan Bonang.)
Sunan
Benang, kang uga ngesotake wong ing kono, lanang wadon ngantiya kasep enggone
omah-omah, sarta kono disotake larang banyu sarta dielih jenenge tanah aran
Kutha Gedhah, Sunan Benang dhemene salah gawe. Anak putune Nyai Plencing padha
ngajak supaya Nyai Plencing gelema neluh sarta ngreridhu Sunan Benang, bisaa
tumeka ing pati, dadi ora tansah ganggu gawe. Nyai Plencing krungu wadule anak
putune mangkono mau, enggal mangkat methukake lakune Sunan Benang, nanging
dhemit-dhemit mau ora bisa nyedhaki Sunan Benang, amarga rasane awake padha
panas banget kaya diobong.
(Sunan
Bonang juga mengutuk orang di sana, gadis dan perjaka akan terlambat kawin.
Sunan Benang itu kegemarannya bertindak salah. Anak cucu Nyai Plencing
bersama-sama memohon Nyai Plencing agar bersedia menyantet Sunan Benang sampai
mati dan tidak menganggu mereka lagi. Nyai Plencing yang mendengar keluh kesan
anak cucunya itu, segera pergi menjumpai Sunan Benang. Tetapi makhluk- makhluk
halus tersebut tidak dapat mendekati Sunan Benang, karena tubuh mereka serasa
panas terbakar.)
Dhemit-dhemit
mau banjur padha mlayu marang Kadhiri, satekane ing Kadhiri, matur marang
ratune, ngaturake kahanane kabeh. Ratune manggon ing Selabale. (6) Jenenge Buta
Locaya, dene Selabale iku dununge ana sukune gunung Wilis. Buta Locaya iku
patihe Sri Jayabaya, maune jenenge kiyai Daha, duwe adhi jenenge kiyai Daka.
Kiyai daha iki cikal-bakal ing Kadhiri, bareng Sri Jayabaya rawuh, jenenge kiyai
Daha dipundhut kanggo jenenge nagara, dheweke diparingi Buta Locaya, sarta
banjur didadekake patihe Sang Prabu Jayabaya.
(Makhluk-makhluk
halus itu lalu lari ke Kediri. Ketika tiba di sana mereka melaporkan pada
rajanya segala hal yang mereka alami. Raja makhluk halus itu berdiam di
Selabale, namanya adalah Buta Locaya. Selabale itu letaknya ada di kaki gunung
Wilis. Buta Locaya itu adalah patih Sri Jayabaya, dulu namanya adalah kyai Daha
dan memiliki adik bernama Kyai Daka. Kyai Daha itu asal usulnya ada di Kediri.
Pada saat Sri Jayabaya tiba di sana, nama Kyai Daha itu dijadikan nama negara
dan ia kemudian diberi nama Buta Locaya dan dijadikan patih oleh Sang Prabu
Jayabaya.)
Buta
iku tegese: buteng utawa bodho, Lo tegese kowe, caya tegese: kena dipracaya,
kiyai Buta Locaya iku bodho, nanging temen mantep setya ing Gusti, mulane
didadekake patih. Wiwite ana sebutan kiyai, iya iku kiyai daha lan kiyai Daka,
kiyai tegese: ngayahi anak putune sarta wong-wong ing kanan keringe.
(Buta
itu artinya buteng atau bodoh, Lo itu artinya kamu, caya artinya bisa
dipercaya. Sehingga Kyai Buta Locaya itu artinya bodoh, tetapi kawan yang setia
dan patuh pada pimpinannya. Oleh karena itu ia dijadikan patih. Yang pertama
kali bergelar kyai adalah Kyai Daha dan Kyai Daka. Kyai itu artinya mengayomi
anak cucu dan orang- orang yang berada di kanan-kirinya. )
Jengkare
Sri Narendra anjujug ing omahe kiyai Daka, ana ing kono Sang Prabu
sawadyabalane disugata, mula sang Prabu asih banget marang kiyai Daka, jenenge
kiyai Daka dipundhut kanggo jeneng desa, dene kiyai Daka banjur diparingi
jeneng kiyai Tunggulwulung, sarta dadi senapatining perang.
(Sang
raja lalu menuju ke rumah Kyai Daka. Di sana Sang Prabu Jayabaya beserta
seluruh pengikut dan pengawalnya disambut dengan meriah, sehingga sang raja
sangat mengasihi Kyai Daka. Nama Kyai Daka dijadikan nama desa dan selain itu
ia diberi gelar Kyai Tunggulwulung serta diangkat menjadi panglima perang.)
Samuksane
Sang Prabu Jayabaya lan putrane putri kang aran Ni Mas Ratu Pagedhongan, Buta
Locaya lan kiyai Tunggulwulung uga padha muksa; Ni Mas Ratu Pagedhongan dadi
ratuning dhemit nusa Jawa, kuthane ana sagara kidul sarta jejuluk Ni Mas Ratu
Anginangin. Sakabehe lelembut kang ana ing lautan dharatan sarta kanan keringe
tanah Jawa, kabeh padha sumiwi marang Ni Mas Ratu Anginangin. Buta Locaya
panggonane ana ing Selabale, dene kiyai Tunggulwulung ana ing gunung Kelut,
rumeksa kawah sarta lahar, yen lahar metu supaya ora gawe rusaking desa sarta
liya-liyane.
(Ketika
Sang Prabu Jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu Pagedhongan telah
moksha, maka Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut moksha. Ni Mas Ratu
Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus seluruh Jawa. Pusat kerajannya ada di
laut selatan dan digelari Ni Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang
ada di lautan dan daratan serta juga kanan kiri Tanah Jawa bersama-sama takluk
pada Ni Mas Ratu Anginangin. Buta Locaya kediamannya ada di Selabale, sedangkan
Kyai Tunggulwulung ada di Gunung Kelut. Ia mengawasi dan dan lahar agar supaya
saat lahar keluar tidak merusak desa dan lain sebagainya.)
Ing
wektu iku kiyai Buta Locaya lagi lenggah ana ing kursi kencana kang dilemeki
kasur babut isi sari, sarta kinebutan elaring merak, diadhep patihe aran
Megamendhung, lan putrane kakung loro uga padha ngadhep, kang tuwa arane Panji
Sektidiguna, kang anom aran panji Sarilaut.
(Waktu
itu Kyai Buta Locaya sedang duduk di singgasananya yang dialasi kasur
permadani. Datang menghadap patihnya bernama Megamendhung dan dua putra
tertuanya juga hadir. Yang lebih tua bernama Panji Sektiguna dan adiknya
bernama Sarilaut.)
Buta
Locaya lagi ngandikan karo kang padha ngadhep, kaget kasaru tekane Nyai
Plencing, ngrungkebi pangkone, matur bab rusake tanah lor Kadhiri, sarta
ngaturake yen kang gawe rusak iku, wong saka Tuban kang sumedya lelana menyang
Kadhiri, arane Sunan Benang. Nyai Plencing ngaturake susahe para lelembut sarta
para manusa.
(Buta
Locaya sangat terkejut dengan laporan Nyai Plencing mengenai tingkah polah
Sunan Benang yang merusak tanah di utara Kediri. Ia mengatakan bahwa Sunan
Benang yang merusak itu orang dari Tuban yang berkelana ke Kediri. Nyai
Plencing mengisahkan penderitaan para makhluk halus dan manusia.)
Buta
Locaya krungu wadule Nyai Plencing mangkono mau banget dukane, sarirane ngantikaya
geni, sanalika banjur nimbali putra-wayahe sarta para jin peri parajangan,
didhawuhinglawan Sunan Benang. Para lelembut mau padha sikep gegaman perang,
sarta lakune bareng karo angin, ora antara suwe lelembut wis tekan ing
saeloring desa Kukum, ing kono Buta Locaya banjur maujud manusa aran kiyai
Sumbre, dene para lelembut kangpirang-pirang ewu mau padha ora ngaton, kiyai
Sumbre banjur ngadeg ana ing tengah dalan sangisoring wit sambi, ngadhang
lakune Sunan Benang kang saka elor.
(Buta
Locaya mendengar laporan Nyai Plencing itu menjadi sangat marah. Wajahnya
menjadi merah padam bagaikan api. Ia segera memanggil anak-anaknya dan juga
para makhluk halus jin serta peri. Ia mengajak mereka melawan Sunan Benang.
Para makhluk halus itu bersiap-siap untuk perang. Mereka berjalan secepat
angin, tidak berapa lama mereka tiba di utara desa Kukum, di sana Buta Locaya
beralih wujud menjadi manusia yang bernama Kyai Sumbre. Ia kemudian berdiri di
tengah jalan, di bawah pohon sambi, menghadang perjalanan Sunan Benang dari
utara.)
Ora
antara suwe tekane Sunan Benang saka lor, Sunan Benang wis ora kasamaran yen
kang ngadeg ana sangisoring wit sambi iku ratuning dhemit, sumedya ganggu
gawe,katitik saka awake panas kaya mawa. Dene lelembut kang pirang-pirang ewu
mau padha sumingkir adoh, ora betah kena prabawane Sunan Benang. Mangkono uga
Sunan Benang uga ora betah cedhak karo kiyai Sumbre, amarga kaya dene cedhak
mawa, kiyai Sumbre mangkono uga.
(Tidak
lama kemudian, Sunang Bonang datang dari arah utara. Ia sudah mengetahui bahwa
yang berdiri di bawah pohon itu rajanya makhluk halus yang terlah bersiap-
siapuntuk menganggu dirinya. Dimana hal itu diketahui dari hawa panas yang
keluar dari makhluk halus tersebut. Para makhluk halus yang berjumlah banyak
tersebut bersama-sama menyingkir jauh-jauh karena tidak tahan dengan hawa
kekuatan Sunan Bonang.Namun Sunan Bonang juga tidak tahan berada di dekat Kyai
Sumbre, karena kemanapunSunan Bonang menyingkir, maka Kyai Sumbre ada di tempat
itu pula.)
Sakabat
loro kang maune padha sumaput, banjur padha katisen, amarga kena daya prabawane
kiyai Sumbre.
(Dua
orang sahabat Sunan Bonang pingsan, karena kedinginan. Mereka tidak tahan
terkena hawa kekuatan Kyai Sumbre.)
Sunan
Benang andangu marang kiyai Sumbre: “Buta Locaya! Kowe kok methukake lakuku,
sarta nganggo jeneng Sumbre, kowe apa padha slamet?”.
(Sunan
Bonang menegur Kyai Sumbre, “Buta Locaya! Kamu menghadang jalanku, serta
menyamar sebagai Sumbre. Apa kamu cari mati?”)
Buta
Locaya kaget banget dene Sunan Benang ngretos jenenge dheweke, dadi dheweke
kawanguran karepe, wusana banjur matur marang Sunan Benang: “Kados pundi dene
paduka saged mangretos manawi kula punika Buta Locaya?”.
(Buta
Locaya terkejut bukan main, karena Sunan Bonang mengetahui namanya, sehingga ia
merasa ketahuan rahasianya. Lalu bertanyalah ia pada Sunan Bonang, “Darimana
Anda dapat mengetahui bahwa saya adalah Buta Locaya?”)
Sunan
Benang ngandika: “Aku ora kasamaran, aku ngreti yen kowe ratuning dhemit
Kadhiri, jenengmu Buta Locaya.”.
(Sunan
Bonang berkata, “Aku tidak tertipu, aku tahu bahwa engkau adalah rajanya para
makhluk halus di Kediri, namamu adalah Buta Locaya.”)
Kiyai
Sumbre matur marang Sunan Benang: “Paduka punika tiyang punapa, dene mangangge
pating gedhabyah, dede pangagem Jawi. Kados wangun walang kadung?”.
(Kyai
Sumbre menjawab pada Sunan Bonang, “Anda itu orang mana, kok tingkah lakunya
tidak sopan, beda dengan adat istiadat Jawa. Seperti belalang saja [loncat sini
loncat sana.”)
Sunan
Benang ngandika maneh: “Aku bangsa ‘Arab, jenengku Sayid Kramat, dene omahku
ing Benang tanah Tuban, mungguh kang dadi sedyaku arep menyang Kadhiri, perlu
nonton patilasan kadhatone Sang Prabu Jayabaya, iku prenahe ana ing ngendi?”.
(Sunan
Bonang berkata lagi, “Aku orang Arab, namaku adalah Sayid Kramat, sedangkan rumah
saya ada di Bonang, Tuban. Aku ke Kediri karena ingin melihat peninggalan
istana Sang Prabu Jayabaya. Istana tersebut dulunya berada di mana?”)
Buta
Locaya banjur matur: “Wetan punika wastanipun dhusun Menang (9), sadaya
patilasan sampun sami sirna, kraton sarta pasanggrahanipun inggih sampun boten
wonten, kraton utawi patamanan Bagendhawati ingkang kagungan Ni Mas Ratu
Pagedhongan inggih sampun sirna, pasanggrahan Wanacatur ugi sampun sirna,
namung kantun namaning dhusun, sadaya wau sirnanipun kaurugan siti pasir sarta
lahar saking redi Kelut. (Buta Locaya menjawab, “Di sebelah timur itu, yakni di
desa Menang, semua peninggalan telah musnah, istana serta tempat pesanggrahan
juga telah tiada lagi. Istana dan taman istana Bagendhawati milik Ni Mas Ratu Pagedhongan
juga telah musnah, pesanggrahan Wanacatur juga telah sirna, yang tertinggal
adalah nama desa itu. Semua itu musnah tertimbun tanah pasir dan lahar dari
gunung Kelut.)
Kula
badhe pitaken, paduka gendhak sikara dhateng anak putu Adam, nyabdakaken
ingkang boten patut, prawan tuwa jaka tuwa, sarta ngelih nami Kutha Gedhah,
ngelih lepen, lajeng nyabdakaken ing ngriki awis toya, punika namanipun
siya-siya boten surup, sikara tanpa dosa, saiba susahipun tiyang gesang laki
rabi sampun lungse, lajeng boten gampil pencaripun titahing Latawalhujwa,
makaten wau saking sabda paduka, sepinten susahipun tiyang ingkang sami
kebenan, lepen Kadhiri ngalih panggenan mili nrajang dhusun, wana, sabin,
pinten-pinten sami risak, ngriki paduka- sotaken, selaminipun awis toya,
lepenipun asat, paduka sikara boten surup, nyikara tanpa prakara”
(Sekarang
saya hendak bertanya, Anda menyiksa anak cucu Adam, mengucapkansesuatu yang
tidak patut diucapkan. [Mengutuk] orang menjadi perawan dan perjaka tua, dan
juga mengubah nama menjadi Kutha Gedhah, memindah aliran sungai, dan
selanjutnya mengutuk bahwa di daerah ini akan susah air. Itu namanya tindakan
yang tidak berguna, menyiksa orang lain yang tak bersalah, menyebabkan susahnya
kehidupan orang lain. Lelaki susah menemukan jodohnya. Tindakan itu
bertentangan dengan titah dari Latawalhujwa. Semua itu berasal dari kutukan
Anda, begitu besarnya kesusahan
orang
yang kebanjiran. Sungai Kediri berubah alirannya dan menerjang desa, hutan,
sawah, berapa banyak yang rusak. Sedangkan di sini, Anda kutuk selamanya susah
air, sungainya surut. Anda itu hanya menyiksa orang lain yang tidak bersalah.”)
Sunan
Benang ngandika: “Mula ing kene tak-elih jeneng Kutha Gedhah, amarga wonge kene
agamane ora ireng ora putih, tetepe agama biru, sabab agama Kalang, mula
tak-sotake larang banyu, aku njaluk banyu ora oleh, mula kaline banjur tak-elih
iline, kene kabeh tak sotake larang banyu, dene enggonku ngesotake prawan tuwa
jaka tuwa, amarga kang tak jaluki banyu ora oleh iku, prawan baleg.”
(Sunan
Bonang berkata, “Tempat ini aku ganti namanya menjadi Kutha Gedhah, karena
orang di sini agamanya tidak hitam tidak putih, tepatnya agama biru, yakni
agama Kalang. Aku kutuk susah air, karena saya minta air minum tidak boleh.
Oleh karenanya, air sungainya saya rubah alirannya. Semua yang berada di sini
saya kutuk susah air. Saya mengutuk agar orang di sini menjadi perawan dan
perjaka tua, karena tidak bersedia memberikan saya air minum, yaitu gadis
perawan kurang ajar itu.”)
Buta
Locaya matur maneh: “Punika namanipun boten timbang kaliyan sot panjenengan,
boten sapinten lepatipun, tur namung tiyang satunggal ingkang lepat, nanging
ingkang susah kok tiyang kathah sanget, boten timbang kaliyan kukumipun, paduka
punika namanipun damel mlaratipun tiyang kathah, saupami konjuk Ingkang
Kagungan Nagari, paduka inggih dipunukum mlarat ingkang langkung awrat, amargi
ngrisakaken tanah, lah sapunika mugi panjenengan-sotake n wangsulipun malih,
ing ngriki sageda mirah toya malih, saged dados asil panggesangan laki rabi
taksih alit lajeng mencaraken titahipun Hyang Manon. Panjenengan sanes Narendra
teka ngarubiru agami, punika namanipun tiyang dahwen”.
(Buta
Locaya berkata lagi, “Itu namanya orang yang tanpa pertimbangan. Kesalahan
tidak seberapa, dan selain itu hanya satu orang yang bersalah, tetapi Anda
telah membuat susah orang banyak sekali. Tidak sesuai dengan hukumannya. Anda
itu namanya membuat susah orang banyak. Seandainya diketahui yang memiliki
negara, maka Anda akan dihukum melarat sekali, karenanya merusak tanah. Sudah
begini saja, Anda tarik kembali kutukan Anda. Di sini menjadi melimpah air
kembali, sehingga bisa untuk bercocok tanah. Pria dan wanita dapat kembali
menikah pada usia mudah, sesuai dengan titah dari Hyang Manon. Anda itu bukan
Narendra (gelar Wisnu, mungkin yang dimaksud
Tuhan
– penterjemah) , tetapi kok datang-datang mengharubiru agama. Itu namanya orang
berengsek.”)
Sunan
Benang ngandika: “Sanadyan kok-aturake Ratu Majalengka aku ora wedi”.(Sunan
Bonang berkata, “Meskipun kamu laporkan Raja Majalengka saya tidak takut.”)
Buta
Locaya bareng krungu tembung ora wedi marang Ratu Majalengka banjur
metunepsune, calathune sengol: “Rembag paduka niki dede rembage wong ahli
praja, patute rembage tiyang enten ing bambon, ngendelake dumeh tiyang digdaya,
mbok sampun sumakehan dumeh dipun kasihi Hyang Widdhi, sugih sanak malaekat,
lajeng tumindak sakarsa-karsa boten toleh kalepatan, siya dahwen sikara boten
ngangge prakara,sanadyan ing tanah Jawi rak inggih wonten ingkang nglangkungi
kaprawiran paduka,nanging sami ahli budi sarta ajrih sesikuning Dewa, tebih
saking ahli budi yen ngantos siya dhateng sesami nyikara tanpa prakara, punapa
paduka punika tiyang tunggilipun AjiSaka, muride Ijajil.
(Buta
Locaya setelah mendengar bahwa Sunan Bonang tidak takut pada Raja Majalengka
menjadi makin marah, kata-katanya menjadi keras, “Anda itu jelas sekali tidak
mencerminkan seseorang yang bijaksana dan berbudi luhur, melainkan lebih
tepat
lagidisebut dengan gelandangan (bahasa asli apabila diterjemahkan secara
harafiah adalah orang yang tinggal dalam rumah bambu- penterjemah). Beraninya
hanya mengandalkan kesaktiannya. Bersikaplah rendah hati sehingga dikasihi oleh
Hyang Widdhi, dikasihi oleh sahabat, dan bukannya bertindak semau-maunya
sendiri dengan tidak melihat kesalahannya. Itu namanya orang jahat yang tidak
menimbang dulu permasalahannya. Di tanah Jawa ini, khan banyak orang yang
kesaktiannya melebihi Anda, namun semuanya itu berbudi luhur dan tidak berusaha
mengungguli para dewa. Mereka sama sekali tidak menyiksa orang lain tanpa
melihat kesalahannya terlebih dahulu. Mengapa Anda meniru Aji Saka, muridnya
Ijajil?)
Aji
Saka dados Ratu tanah Jawi namung tigang taun lajeng minggat saking tanah Jawi,
sumber toya ing Medhang saurutipun dipun bekta minggat sadaya, Aji Saka tiyang
saka Hindhu, paduka tiyang saking ‘Arab, mila sami siya-siya dhateng sesami,
sami damel awising toya, paduka ngaken Sunan rak kedah simpen budi luhur, damel
wilujeng dhateng tiyang kathah, nanging kok jebul boten makaten, wujud paduka
niki jajil belis katingal, boten tahan digodha lare, lajeng mubal nepsune gelis
duka, niku Sunan napa?
(Aji
Saka menjadi raja tanah Jawa, tetapi tiga tahun kemudian pergi meninggalkannya,
sumber air yang ada di Medhang juga dibawanya pergi. Aji Saka orang dari
India,sedangkan Anda adalah orang Arab, karena itu sama-sama tidak menghargai
sesama manusia. Sama-sama membuat sulit air. Anda itu mengaku-ngaku sebagai
Sunan, khanseharusnya berbudi luhur, menciptakan kebajikan bagi orang banyak,
tetapi kok malah tingkah lakunya seperti itu. Anda itu seperti iblis tingkah
lakunya. Tidak tahan digoda oleh anak kecil, lalu bangkit nafsu angkara
murkanya. Sunan macam apa itu?)
Yen
pancen Sunaning jalma yektos, mesthi simpen budi luhur. Paduka niksa wong tanpa
dosa, nggih niki margi paduka cilaka, tandhane paduka sapunika sampun jasa
naraka jahanam, yen sampun dados, lajeng paduka-enggeni piyambak, siram
salebeting kawah wedang ingkang umob mumpal-mumpal. Kula niki bangsaning
lelembut, sanes alam kaliyan manusa, ewadene kula taksih enget dhateng
wilujengipun manusa. Inggih sampun ta, sapunika sadaya ingkang risak kula-aturi
mangsulaken malih, lepen ingkang asat lan panggenan ingkang sami katrajang toya
kula-aturi mangsulaken kados sawaunipun, manawi panjenengan boten karsa
mangsulaken, sadaya manusa Jawi ingkang Islam badhe sami kula- teluh kajengipun
pejah sadaya, kula tamtu nyuwun bantu wadya bala dhateng Kanjeng Ratu Ayu
Anginangin ingkang wonten samodra kidul”.
(Kalau
memang Anda sudah Sunan secara lahir bathin, maka seharusnya berbudi luhur.
Anda menyiksa orang tanpa dosa, yaitu karena Anda dihina. Sehingga dengan
demikian setelah ini Anda pantas masuk neraka jahanam. Kalau sudah mati, Anda
akan tinggal di sana. Dimasukkan kawah air panas yang asapnya melimpah-limpah.
Saya ini termasuk golongan makhluk halus, dan berbeda dengan kalian yang
manusia. Karenanya saya ini masih ingat dengan kesejahteraan umat manusia. Ya
sudah, apa yang sudah rusak saya minta untuk diperbaikik kembali. Sungai yang
surut dan tempat yang rusak diterjang banjir, saya minta dikembalikan seperti
asal mulanya. Jika Anda tidak bersedia mengembalikannya, semua orang Jawa yang
sudah masuk Islam akan saya santet agar mati semua. Saya tentu juga akan minta
bala bantuan dari Ratu Ayu Anginangin di laut selatan.”)
Sunan
Benang bareng mireng nepsune Buta Locaya rumaos lupute, dene gawe kasusahan
warna-warna, nyikara wong kang ora dosa, mula banjur ngandika: “Buta Locaya!
aku iki bangsa Sunan, ora kena mbaleni caturku kang wus kawetu, besuk yen wus
limang atus taun, kali iki bisa bali kaya mau-maune”.
(Sunan
Bonang setelah mendengar nasehat Buta Locaya jadi menyadari kesalahannya karena
telah menyebabkan kesengsaraan banyak orang, maka berkatalah ia, “Buta Locaya,
saya ini Sunan, tidak dapat menarik kembali ucapanku yang sudah keluar, besok
jika telah genap lima ratus tahun, maka sungai ini kembali seperti semula.”)
Buta
Locaya bareng krungu kesagahane Sunan Benang, banjur nepsu maneh, nuli
maturmarang Sunan Benang: “Kedah paduka-wangsulna sapunika, yen boten saged,
paduka kula-banda”.
(Buta
Locaya setelah mendengar penolakan Sunan Bonang menjadi marah kembali, ia
mengancam Sunan Bonang, “Harus dikembalikan sekarang juga, jika tidak bisa,
maka Anda saya tahan di sini.”)
Sunan
Benang ngandika marang Buta Locaya: “Wis kowe ora kena mangsuli, aku pamit
nyimpang mangetan, woh sambi iki tak-jenengake cacil, dene kok kaya bocah cilik
padha tukaran, dhemit lan wong pecicilan rebut bener ngadu kawruh prakara
rusaking tanah, sarta susahe jalma lan dhemit, dak-suwun marang Rabbana, woh
sambi dadi warna loro kanggone, daginge dadiya asem, wijine metuwa lengane,
asem dadi pasemoning ulat kecut, dene dhemit padu lan manusa, lenga tegese
dhemit mleleng jalma lunga. Ing besuk dadiya paseksen, yen aku padu karo kowe,
lan wiwit saiki panggonan tetemon iki, kang lor jenenge desa Singkal, ing kene
desa ing Sumbre, dene panggonane balamu kangana ing kidul iku jenenge desa
Kawanguran”.(Sunan Bonang berkata pada Buta Locaya, “Sudah, kamu tidak perlu
mengajari aku, aku pamit mau ke Magetan, buah sambi ini aku sebut cacil, karena
kok seperti anak kecil berkelahi. Makhluk halus dan manusia berkelahi mengadu
pengetahuan masalah rusaknya tanah, serta kesengsaraan manusia dan makhluk halus.
Saya akan minta pada Tuhan, buah sambi akan menjadi dua warna, dagingnya
menjadi masam, bijinya agar keluar minyaknya. Asam itu menjadi lambang ulat
masam, karena makhluk halus bertengkar dengan manusia. Minyak artinya makhluk
halus menghalangi perginya manusia. Pada masa mendatang jadilah saksi kalau
saya bertengkar dengan kamu. Dan mulai saat ini, tempat ini yang utara namanya
desa Singkah, sedangkan yang di sini namanya Sumbre. Sedangkan tempat
berkumpulnya pasukanmu di bagian selatan namanya dewa Kawanguran.” )
Sunan
Benang sawuse ngandika mangkono banjur mlumpat marang wetan kali, katelah
nganti tumeka saprene ing tanah Kutha Gedhah ana desa aran Kawanguran, Sumbre
sarta Singkal, Kawanguran tegese kawruhan, Singkal tegese sengkel banjur nemu
akal.
(Setelah
berkata demikian, Sunan Bonang lalu melompat ke timur sungai. Hingga saat ini
di Kutha Gedhah ada desa bernama Kawanguran, Sumbre, dan Singkal. Kawanguran
artinya pengetathuan. Singkah artinya menemukan akal budi.)
Buta
Locaya nututi tindake Sunan Bonang. Sunan Bonang tindake tekan ing desa Bogem,
ana ing kono Sunan Benang mriksani reca jaran, reca mau awak siji endhase loro,
deneprenahe ana sangisoring wit trenggulun, wohe trenggulun mau akeh banget
kang padha tiba nganti amblasah, Sunan Benang ngasta kudhi, reca jaran endhase
digempal.
(Buta
Locaya mengikuti perginya Sunan Bonang. Sunan Bonang tiba di desa Bogem, disana
ia melihat ada patung kuda yang berbadan satu tetapi berkepala dua. Letaknya
ada di bawah pohon trenggulun. Buah trenggulun itu banyak sekali hingga
menggunung tinggi. Sunan Bonang lalu menghancurkan kepala patung kuda itu.)
Buta
Locaya bareng weruh patrape Sunan Benang anggempal endhasing reca jaran, saya
wuwuh nepsune sarta mangkene wuwuse: “Punika yasanipun sang Prabu Jayabaya, kangge
pralambang ing tekadipun wanita Jawi, benjing jaman Nusa Srenggi, sinten
ingkang sumerep reca punika, lajeng sami mangretos tekadipun para wanita Jawi”
(Setelah
melihat Sunan Bonang menghancurkan kepala patung kuda, maka bangkit kembali
kemarahan Buta Locaya. Ia berkata, “Itu adalah peninggalan sang Prabu Jayabaya,
sebagai lambang tekadnya wanita Jawa. Besok di jaman Nusa Srenggi, siapa saja
yang melihat patung itu akan sama-sama memahami tekad para wanita Jawa.”)
Sunan
Benang ngandika: “Kowe iku bangsa dhemit kok wani padu karo manusa, jenenge
dhemit kementhus”.
(Sunan
Bonang menjawab, “Kamu itu bangsa makhluk halus, kok berani bertengkar dengan
manusia. Itu namanya makhluk halus sombong.”)
Buta
Locaya mangsuli: “Inggih kaot punapa, ngriku Sunan, kula Ratu”.
(Buta
Locaya berkata, “Lalu kenapa memangnya? Anda Sunan, saya raja.”)
Sunan
Benang ngandika: “Woh trenggulun iki tak-jenengake kenthos, dadiya
pangeling-eling ing besuk, yen aku kerengan karo dhemit kumenthus, prakara
rusaking reca”.
(Sunan
Bonang berkata, “Buah trenggulun ini aku namakan kenthos, sehingga menjadi
peringatan di masa mendatang kalau aku bertengkar dengan makhluk halus sombong
masalah rusaknya patung.”)
Ki
Kalamwadi ngandika: “Katelah nganti saprene, woh trenggulun jenenge kenthos, awit
saka sabdane Sunan Benang, iku pituture Raden Budi Sukardi, guruku”.
(Ki
Kalamwadi menjelaskan, “Hingga sekarang, buah trenggulun namanya kenthos,
karena berasal dari sabda Sunan Bonang. Itu adalah pemberitahuan dari guruku
Raden Budi Sukardi.”)
Sunan
Benang banjur tindak mangalor, bareng wis wanci asar, kersane arep salat,
sajabane desa kono ana sumur nanging ora ana timbane, sumure banjur
digolingake, dene Sunan Benang sawise, nuli saged mundhut banyu kagem wudhu
banjur salat. (Sunan Bonang lalu pergi ke arah utara. Pada saat itu telah
waktunya salat asar dan ia hendak menunaikan ibadah salat. Di luar desa itu ada
sumur, tetapi tidak ada ember untuk menimba air, karena itu Sunan Bonang
menggulingkan sumur itu sehingga ia bisa menggambil air dari dalamnya.)
Ki
Kalamwadi ngandika: “Katelah nganti saprene sumur mau karane sumur Gumuling,
Sunan Benang kang anggolingake, iku pituture Raden Budi guruku, embuh bener
lupute”.
(Ki
Kalamwadi menjelaskan, “Hingga saat ini sumur itu disebut sumur Gumuling. Sunan
Bonang yang menggulingkannya. Itu katanya Raden Budi guruku, entah benar entah
tidak.”)
Sunan
Benang sawise salat banjur nerusake tindake, satekane desa Nyahen (10) ing kona
ana reca buta wadon, prenahe ana sangisoring wit dhadhap, wektu iku dhadhape
pinuju akeh banget kembange, sarta akeh kang tiba kanan keringe reca buta mau,
ngantikaton abang mberanang, saka akehe kembange kang tiba, Sunan Benang priksa
reca mau gumun banget, dene ana madhep mangulon, dhuwure ana 16 kaki, ubenge
bangkekane 10 kaki, saupama dielih saka panggonane, yen dijunjung wong wolung
atus ora kangkat, kajaba yen nganggo piranti, baune tengen reca mau disempal
dening Sunan Benang, bathuke dikrowak.
(Setelah
salat maka Sunan Bonang meneruskan perjalanannya, dan tiba di desa Nyahen.Di
sana ada patung raksasa wanita yang terletak di bawah pohon dadap. Pada saat
itu kebetulan pohon dadapnya sedang banyak bunganya dan banyak yang berjatuhan
di kanan dan kirinya patung raksasa itu sehingga nampak merah merona. Sunan
Bonang melihat arca yang tingginya 16 kaki dan lingkarnya 10 kaki. Apabila
diangkat orang 800 juga masih belum terangkat. Bahu kanan patung tersebut
dihancurkan oleh Sunan Bonang dan selain itu dahinya juga dirusak.)
Buta
Locaya weruh yen Sunan Benang ngrusak reca, dheweke nepsu maneh, calathune:
“Panjenengan nyata tiyang dahwen, reca buta becik-becik dirusak tanpa prakara,
sa-niki awon warnine, ing mangka punika yasanipun Sang Prabu Jayabaya, lah
asilipun punapa panjenengan ngrisak reca?”
(Buta
Locaya mengetahui tindakan Sunan Bonang merusak patung itu, timbul amarahnya
kembali, “Anda itu benar-benar orang brengsek. Patung bagus-bagus kok dirusak
tanpa sebab. Patung itu adalah peninggalan Sang Prabu Jayabaya, lalu mengapa
Anda rusak?”)
Pangandikane
Sunan Benang: “Mulane reca iki tak-rusak, supaya aja dipundhi-pundhi dening
wong akeh, aja tansah disajeni dikutugi, yen wong muji brahala iku jenenge
kapir kupur lair batine kesasar.”
(Jawaban
Sunan Bonang, “Arca ini saya rusak supaya jangan disembah-sembah oleh orang
banyak, supaya jangan dimantrai. Yang menyembah patung itu namanya kafir. Lahir
dan bathinnya tersesat.”)
Buta
Locaya calathu maneh: “Wong Jawa rak sampun ngretos, yen punika reca sela,
boten gadhah daya, boten kuwasa, sanes Hyang Labawalhujwa, mila sami dipun
ladosi, dipun kutugi, dipun sajeni, supados para lelembut sampun sami manggen
wonten ing siti utawi kajeng, amargi siti utawi kajeng punika wonten asilipun,
dados tedhanipun manusa, mila para lelembut sami dipun sukani panggenan wonten
ing reca, panjenengan-tundhungdhateng pundi?
(Buta
Locaya mengomel lagi, “Orang Jawa itu khan sudah tahu, bahwa itu hanya sebuah
arca batu, tidak punya daya apa-apa, tidak punya kekuasaan apa, bukan Hyang
Labawalhujwa, karena itu dimantrai dan diberi sesajian, supaya para makhluk
halus yang dulunya tinggal di tanah atau kayu – karena tanah dan kayu itu
dimanfaatkan bagi manusia – maka para makhluk halus itu diberi tempat tinggal
di dalam arca. Anda itu tahu nggak sih?)
Sampun
jamakipun brekasakan manggen ing guwa, wonten ing reca, sarta nedha ganda
wangi, dhemit manawi nedha ganda wangi badanipun kraos sumyah, langkung seneng
malih manawi manggen wonten ing reca wetah ing panggenan ingkang sepi edhum
utawi wonten ngandhap kajeng ingkang ageng, sampun sami ngraos yen alamipun
dhemit punika sanes kalayan alamipun manusa, manggen wonten ing reca teka
panjenengan sikara, dados panjenengan punika tetep tiyang jail gendhak sikara
siya-siya dhateng sasamining tumitah, makluking Pangeran. Aluwung manusa Jawa
ngurmati wujud reca ingkang pantes simpen budi nyawa, wangsul tiyang bangsa
‘Arab sami sojah Ka’batu’llah, wujude nggih tugu sela, punika inggih langkung
sasar”.
(Sudah
wajar kalau para makhluk halus tinggal di gua dan patung. Selain itu mereka
makan bau harum. Makhluk halus itu apabila makan bau harum, badannya terasa
segar. Mereka betah tinggal di patung-patung batu yang berada di tempat sepi
atau yang berada di depan pohon besar. Apakah Anda sudah pernah merasakan hidup
di alam makhluk halus yang berbeda dengan alam manusia? Mereka yang hidup di dalam
patung baru, Anda siksa, jadi karena itu Anda patut disebut orang jahil. Orang
yang gemar berbuat seenaknya sendirinya terhadap sesama makhluk Tuhan. Lebih
baik orang Jawa yang menghormati patung demi menguntungkan para makhluk halus,
dibandingkan dengan orang Arab yang menyembah Ka’bah. Wujudnya juga tugu batu,
sehingga seharusnya mereka juga sesat.”)
Pangandikane
Sunan Benang: Ka’batu’llah iku kang jasa Kangjeng Nabi Ibrahim, ing kono
pusering bumi, didelehi tugu watu disujudi wong akeh, sing sapa sujud marang
Ka’batu’llah, Gusti Allah paring pangapura lupute kabeh salawase urip ana ing
‘alam pangumbaran”.
(Sunan
Bonang menjawab, “Ka’bah itu ada karena jasanya Nabi Ibrahim, di situ
terletakpusatnya bumi. Dibangun tugu dan disembah orang banyak. Siapa saja yang
bersujud pada Ka’bah, Allah akan mengampuni dosanya selama hidup di dunia.”)
Buta
Locaya mangsuli karo nepsu: “Tandhane napa yen angsal sihe Pangeran, angsal
pangapunten sadaya kalepatanipun, punapa sampun angsal saking Pangeran Kang
Maha Agung tapak asta mawi cap abrit?
(Buta
Locaya menjawab dengan marah, “Buktinya apa kalau mereka beroleh pengampunan
dosa dari Tuhan, memperoleh pengampunan dari semua kesalahan.Apakah sudah
memperoleh tanda tangan dan cap dari Tuhan?”)
Sunan
Benang ngandika maneh: “Kang kasebut ing kitabku, besuk yen mati oleh
kamulyan”.
(Sunan
Bonang berkata lagi, “Itu semua disebut dalam kitabku. Besok kalau meninggal
akan beroleh kemuliaan.”)
Buta
Locaya mangsuli karo mbekos: “Pejah malih yen sumerepa, kamulyan sanyata wonten
ing dunya kemawon sampun korup, sasar nyembah tugu sela, manawi sampun nrimah
nembah curi, prayogi dhateng redi Kelut kathah sela ageng-ageng yasanipun
Pangeran, sami maujud piyambak saking sabda kun, punika wajib dipun sujudi.
Saking dhawuhipun Ingkang Maha Kuwaos, manusa sadaya kedah sumerep ing
Baitu’llahipun, badanipun manusa punika Baitu’llah ingkang sayektos, sayektos
yen yasanipun Ingkang Maha Kuwaos, punika kedah dipunreksa, sinten sumerep
asalipun badanipun, sumerep budi hawanipun, inggih punika ingkang kenging
kangge tuladha.
(Buta
Locaya menjawab dengan tidak senang hati, “Ketahuilah, kemuliaan yang ada di
dunia ini sudah ternoda, orang tersesat menyembah tugu batu, ketika mereka
sudah melakukan kejahatan. Di Gunung Kelut banyak batu besar-besar hasil
ciptaan Tuhan, kesemuanya itu terwujud berdasarkan Sabda Allah, itulah yang
sesungguhnya lebih pantas disembah. Berdasarkan izin Yang Maha Kuasa, seluruh
umat manusia harus mengetahui mengenai Ka’bah sejati, tubuh manusia itulah
Ka’bah sejati. Sejati karena ciptaannya Yang Maha Kuasa. Inilah yang harus
diperhatikan. Siapa yang sadar akan asal usulnya, mengetahui akal budinya,
yaitu yang sanggup dijadikan suri tauladan.)
Sanadyan
rinten dalu nglampahi salat, manawi panggenanipun raga peteng, kawruhipun sasar-susur,
sasar nembah tugu sela, tugu damelan Nabi, Nabi punika rak inggih manusa
kekasihipun Gusti Allah, ta, pinaringan wahyu nyata pinter sugih engetan, sidik
paningalipun terus, sumerep cipta sasmita ingkang dereng kalampahan. Dene
ingkang yasa reca punika Prabu Jayabaya, inggih kekasihipun Ingkang Kuwaos,
pinaringan wahyu mulya, inggih pinter sugih engetan sidik paningalipun terus,
sumerep saderengipun kalampahan, paduka pathokan tulis, tiyang Jawi pathokan
sastra, betuwah saking leluhuripun. sami- sami nyungkemi kabar, aluwung
nyungkemi kabar sastra saking leluhuripun piyambak, ingkang patilasanipun
taksih kenging dipuntingali. Tiyang nyungkemi kabar ‘Arab, dereng ngretos
kawontenanipun ngrika, punapa dora punapayektos, anggega ujaripun tiyang nglempara.
(Meskipun
siang dan malam menjalankan salat, tetapi apabila pikirannya gelap,
pengetahuannya amburadul, menyembah tugu batu yang dibuat nabi. Nabi itu khan
jugamanusia kekasih Allah, diberi wahyu sehingga menjadi pandai dan sanggup
mengetahui apa yang akan terjadi. Sedangkan yang membangun arca batu itu adalah
Prabu Jayabaya, yang juga merupakan kekasih Allah. Ia juga menerima wahyu
mulia, jugabanyak pengetahuannya dan sanggup mengetahui apa yang akan terjadi.
Anda berpedoman pada kitab, sedangkan orang Jawa berpedoman pada sastra kuno,
petuah dari leluhur sendiri. Lebih baik mempercayai sastra kuno dari leluhur
sendiri yangpeningggalannya masih dapat disaksikan. Orang mempercayai kitab
Arab, padahal belum tahu keadaan di sana, entah benar entah salahnya, hanya
percaya perkataannya para penipu.)
Mila
panjenengan anganjawi, nyade umuk, nyade mulyaning nagari Mekah, kula sumerep
nagari Mekah, sitinipun panas, awis toya, tanem-tanem tuwuh boten saged medal,
benteripun banter awis jawah, manawi tiyang ingkang ahli nalar, mastani Mekah
punika nagari cilaka, malah kathah tiyang sade tinumbas tiyang, kangge rencang
tumbasan. Panjenengan tiyang duraka, kula-aturi kesah saking ngriki, nagari
Jawi ngriki nagari suci lan mulya, asrep lan benteripun cekapan, tanah pasir mi
rah toya, punapa ingkang dipuntanem saged tuwuh, tiyangipun jaler bagus,
wanitanipun ayu, madya luwes wicaranipun. Rembag panjenengan badhe priksa
pusering jagad, inggih ing ngriki ingkang kula-linggihi punika, sapunika
panjenengan ukur, manawi kula lepat panjenengan jotos.
(Anda
menjual kemuliaannya negeri Mekah. Padahal saya tahu seperti apa sebenarnya
Mekah. Tanahnya panas, susah air, tanaman tidak bisa tubuh, serta jarang hujan.
Orang yang sanggup bernalar akan menyebut Mekah itu negeri celaka. Malah banyak
orang yang diperjual-belikan sebagai budak. Anda itu orang durhaka. Saya minta
untuk pergi dari sini, negeri Jawa yang suci dan mulia, cukup hujan dan air,
apa yang ditanam dapat tumbuh, yang pria tampan, yang wanita cantik. Bicaranya
juga luwes. Kalau Anda bicara masalah pusatnya jagad, maka tempat yang saya
duduki inilah yang merupakan pusat jagad. Silakan Anda ukur, bila salah
pukullah saya.)
Rembag
panjenengan punika mblasar, tandha kirang nalar, kirang nedha kawruh budi,
remen niksa ing sanes. Ingkang yasa reca punika Maha Prabu Jayabaya,
digdayanipun ngungkuli panjenengan, panjenengan punapa saged ngepal lampahing
jaman? Sampun ta, kula-aturi kesah kemawon saking ngriki, manawi boten purun
kesah sapunika, badhe kula-undhangake n adhi-kula ingkang wonten ing redi
Kelut, panjenengan kula-kroyok punapa saged menang, lajeng kula-bekta mlebet
dhateng kawahipun redi Kelut, panjenengan punapa boten badhe susah, punapa
panjenengan kepengin manggen ing sela kados kula? Mangga dhateng Selabale,
dados murid kula!”.
(Anda
itu seperti orang tidak waras, pertanda kurang nalar, kurang memakan
pengetahuan akal budi, senang menyiksa orang lain. Yang membuat arca itu Maha
Prabu Jayabaya, yang kesaktiannya melebihi Anda. Anda apa sanggup mengetahui
apa yang akan terjadi? Sudahlah, saya minta Anda pergi saja dar sini. Jika
tidak mau pergi dari sini, maka akan saya panggilkan adik saya dari Gunung
Kelut. Anda saya keroyok apa bisa menang? Lalu akan saya bawa ke dalam kawah
Gunung Kelut. Apakah Anda tidak sengsara? Apakah Anda ingin berdiam dalam batu
seperti saya? Kalau mau silakan datang ke Selabale, jadi murid saya!”)
Sunan
Benang ngandika: “Ora arep manut rembugmu, kowe setan brekasakan”.(Sunan Bonang
berkata, “Saya tidak mau mengikuti perkataanmu, wahai setan iblis.”)
Buta
Locaya mangsuli: “Sanadyan kula dhemit, nanging dhemit raja, mulya langgeng
salamine, panjenengan dereng tamptu mulya kados kula, tekad panjenengan rusuh,
remen nyikara niaya, mila panjenengan dhateng tanah Jawi, wonten ing ‘Arab
nakal kalebet tiyang awon, yen panjenengan mulya tamtu boten kesah saking
‘Arab, mila minggat, saking lepat, tandhanipun wonten ing ngriki taksih
krejaban, maoni adating uwong, maoni agama, damel risak barang sae, ngarubiru
agamane leluhur kina, Ratu wajib niksa, mbucal dhateng Menadhu”.
(Buta
Locaya menjawab, “Meskipun saya makhluk halus, tetapi raja makhluk halus. Mulia
dan abadi selamatnya. Anda belum tentu mulia seperti saya. Niat Anda buruk,
gemar menyiksa orang lain. Oleh karena itu Anda datang ke tanah Jawa. Di Arab
Anda tergolong orang hina. Jika Anda orang mulia maka tidak akan pergi
meninggalkan Arab, karena salah maka melarikan diri dari sana. Buktinya di sni
membuat onar, menghina adatistiadat orang lain, menghina agama, merusak barang
yang bagus, mengharubiru agama leluhur kuno. Raja wajib menyiksa dan membuang
Anda.”)
Sunan
Benang ngandika: “Dhadhap iki kembange tak jenengake celung, uwohe kledhung,
sabab aku kecelung nalar lan keledhung rembag, dadiya paseksen yen aku padu lan
ratu dhemit, kalah kawruh kalah nalar”.
(Sunan
Bonang berkata, “Pohon dadap ini bunganya aku beri nama celung, buahnya
kledhung, karena aku kalah nalar dan kalah pembicaraan. Jadilah saksi bila aku
bertengkar dengan raja makhluk halus dan kalah pengetahuan serta nalar.”)
Mula
katelah nganti tumeka saprene, woh dhadhap jenenge kledhung, kembange aran
celung.
(Oleh
karena itu hingga sekarang, buah dadap, namanya kledhung, bunganya dinamakan
celung.)
Sunan
Benang banjur pamitan: “Wis aku arep mulih menyang Benang”.
(Sunan
Bonang lalu berpamitan, “Sudah saya akan pulang ke Bonang.”)
Buta
Locaya mangsuli karo nepsu: “Inggih sampun, panjenengan enggala kesah,
wontening ngriki mindhak damel sangar, manawi kadangon wonten ing ngriki
mindhak damel susah, murugaken awis wos, nambahi benter, nyudakaken toya”.
Sunan
Benang banjur tindak, dene Buta Locaya sawadya-balane uga banjur mulih. (Buta
Locaya menjawab dengan marah, “Ya sudah, pergilah cepat-cepat. Di sini membuat
susah saja. Makin lama makin membuat susah saja. Membuat susah air, menyebabkan
kekeringan.” Sunan Bonang meninggalkan tempat itu dan Buta Locaya beserta
pasukannya juga pulang meninggalkan tempat itu.)
Gatoloco dan Darmogandul: Sinisme Terhadap Islam di
Awal Abad 20
kontroversi
soal penghinaan ajaran Islam yang kini ramai karena menyikapi soal isi video
pidato Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu, bila
ditelisik dalam perkembangan sejarah penyebaran Islam di Nusantara—terutama
Jawa—sudah berlangsung sangat lama. Semenjak dulu selalu ada sikap dan tindakan
pejoratif , sinis, atau bahkan anti-Islam seperti itu.
Salah
satu kenyataan itu akan terlihat jelas bila membaca kembali beberapa buku
klasik di dalam kesusteraan ‘Jawa baru’, yakni Dermagandul (ada yang menulis
Darmogandul) dan Gatoloco (ada juga yang menulis dengan Gato Lotjo).
Pada
zaman silam sebelum tahun 1970-an buku ini di Jawa tersebar luas. Orang
membicarakan dari mulut ke mulut. Ajaran Islam, fiqh, hingga sosok ulama dan
haji jadi bahan olokan. Saking kesalnya, pihak yang tersinggung kerap menyebut
olok-olokan Gatoloco sebagai sebutan
‘kothak-kathik gathuk’ (permaian kata-kata) dengan arti: ‘Digathuk-gathue
dadine lucu” (dihubung-hubungkan yang
jadinya lucu).
Buku-buku ini masih ditemukan pada era Soekarno, tetapi
di larang selama Orde Baru. Namun pada 2005 dan 2006, Dermagandhul diterbitkan ulang di Surakarta
dan Yogyakarta oleh pengarang yang tampaknya berbeda, yang merupakan nama
samaran (noms de plume) dari satu
penulis yang lebih suka namanya anonim karena takut masih adanya larangan resmi
penerbitan.
Namun, sekitar dua tahun silam, stensilan buku
Gatoloco versi penerbit Tan Khoen Swie, Kediri, Tjetakan ke V tahun 1958 masih
gampang di dapatkan. Di kios buku antik
yang berada di pinggiran Alun-Alun Utara Surakarta (tak jauh dari Kraton dan
Masjid Besar Surakarta) buku ini masih dijual belikan.
Sampul
gambar buku sangat sederhana, namun menarik karena terasa antik. Gambar nya
memakai lukisan sketsa seorang lelaki yang duduk bersimpuh di depan seorang
perempuan yang berdiri di depan sebuah gua. Perempuan itu digambarkan dengan
memakai kebaya dan kain. Lekuk tubuh keperempuannya terkesan ditonjolkan.
Bahasa buku ini terkesan ‘asli’ karena memakai bahasa Jawa baru.
Jalinan
cerita buku ini mengisahkan tentang perdebatan antara tiga sosok kyai (ulama)
dengan seorang lelaki bernama Gatoloco digambarkan
sebagai orang yang berpenampilan buruk, berbau busuk, bermulut kotor, penghisap
candu, pembantah, filosofis, dan berpikiran seksual. Gatoloco pun tak
sendirian. Dia ditemani bujangnya yang
bernama Darmogandu
Sikap
ingin menista atau sinis terhadap Islam, tercermin dalam percakapan antara tiga
orang ulama dengan Gatoloco. Dalam Bab ke IV, buku Gatholco tebritan Tan Khoen
Swie Kediri hal 1958 (Gambuh, 26). Perdebatan ini terkait dengan soal haramnya
kaum Muslim memakan daging babi :
Gambuh
26 :
Den
ingu kawit kuntjung, lah tah sapa wani ganggu-ganggu, luwih kalal saking iwak
wedhus pithik, jen asale iwak wedhus, sakko anggone anjenjolong.
(Sudah
dipelihara semenjak kecil (babi), lalu siapakah yang berani mengganggu,
(karena) lebih halal daging babi itu dari pada kambing ayam, bila asalnya
daging kambing itu didapat dari
mencuri,red).
Mengkaji
buku Gatoloco tersebut, sejarawan Australia, MC Ricklefs, (Mengislamkan Jawa,
Serambi, Cet 1 November 2013), menyatakan, di antara kaum priyayi di Jawa pada
masa itu memang tumbuh sentiment anti-Islam . Mereka beranggapan bahwa
peralihan keyakinan ke Islam adalah sebuah kesalahan dan bahwa kunci modernitas
yang sesungguhnya terletak kesalahan peradaban.
Selain
itu, mereka pun percaya bila kunci
modernitas yang sesunguhnya itu terletak pada penggabungan pengetahuan moderen
ala Eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu –Jawa. Islam dalam hal ini
dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan
tersebut: Kerajaan Majapahit.
Pada
tahun 1870-an, para penulis dari Kediri memang telah meramu gagasan-gagasan
semacam ini di dalam tiga karya sastra yang ‘mengagumkan’, Babad Kedhiri, Suluk
Gatholoco, dan Serial Dermagandul, dan mengolok-olok Islam. Karya tersebut ini
meramalkan bahwa penolakan terhadap Islam akan terjadi empat abad setelah
kejatuhan Majapahit.
Jadi
buku ini mungkin ditulis untuk memperingati berdirinya sebuah sekolah milik
pemerintah kolonial bagi kaum elite di Probolinggo pada 1878, atau 400 tahun
setelah runtuhnya Majapahit sebagaimana secara tradisional diyakini dan bahkan
orang Jawa akan menjadi pemeluk agama Kristen.
Pada
bagian lain dalam buku itu, Ricklefs lebih lanjut menyatakan bila Babad Kediri , yang ditulis pada 1873,
itu menampilkan satu sejarah yang konon
rahasia tentang kemenangan Islam di Jawa, kabarnya terjadi karena pengkhianatan
Sultan Demak pertama yang memerangi ayahnya senditi dengan para wali di
sekitarnya. Di sinilah muncul Sabdo Palon, penasihat Raja Majapahit, yang
mendesak Sultan mempertahankan keyakinan Budhanya. Ternyata Sabda Palon adalah
dewa punakawan Semar. Pelindung 'adi dunia' bagi semua orang Jawa.
Dalam
kajiannya itu Ricklefs juga menyatakan Suluk Gatholoco benar-benar kasar dan
gila-gilaan ditulis tidak lebih lama dari tahun 1872. Karya ini menghina Islam
dari berbagai segi, bahkan menafsirkan ulang kalimat syahadat sebagai metafora
hubungan seksual.
Sedangkan
buku ketiga, Serat Dermagandhul, menggabungkan revisionesme Babad Kedhiri dan
Kegilaan cabul Gotholoco. Karya ini meramalkan bahwa setelah tiga tahun (yaitu
pada 1970-an) orang Jawa akan mengabdikan diri mereka pada pembelajaran moderen
dan menjadi orang Jawa sejati kembali, dan kemudian pindah agama ke Kristiani.
Buku-buku
luar ini masih ditemukan pada era
Soekarno, tetapi di larang selama Orde Baru. Namun pada 2005 dan 2006, Dermagandhul diterbitan ulang di Surakarta
dan Yogyakarta oleh pengarang yang tampaknya berbeda, yang merupakan nama
samaran (noms de plume) dari satu penulis yang lebih suka namanya anonym karena
takut masih adanya larangan resmi penerbitan.
Namun,
beberapa waktu silam stensilan buku Gatoloco versi penerbit Tan Khoen Swie,
Kediri, Tjetakan ke V tahun 1958 memang terbukti masih bisa di dapatkan.
Di kios buku antik yang berada di
pinggiran Alun-Alun Utara Surakarta (tak jauh dari Kraton dan Masjid Besar
Surakarta). Sampul gambar buku ini memakai lukisan sketsa seorang lelaki yang
duduk bersimpuh di depan seorang perempuan yang berdiri di depan sebuah gua.
Perempuan itu digambarkan dengan memakai kebaya dan kain. Lekuk tubuh
keperempuannya terkesan ditonjolkan.
SERAT
DARMO GANDUL & SULUK GATOLOCO ISINYA MENGKRITIK ISLAM PADA WAKTU ITU
Sebagian
besar aliran kebatinan berpegang teguh pada kitab-kitab yang dianggap suci dan
disucikan, yaitu kitab Darmo Gandul, Gatoloco, dan Hidayat Jati. Bila dikaji
secara mendalam, kitab Darmo Gandul dan Gatoloco isinya bukan semata-mata
sinkritisme, mencari kesamaan dan persamaan di antara ajaran agama-agama,
seperti Hindu, Budha, dan Islam, melainkan membuat penafsiran dan penakwilan ajaran
agama Islam. Dalam buku Darmo Gandul, misalnya, terdapat kesan bahwa zikir cara
Budha itu lebih daripada zikir cara Islam. Dan, berikut sedikit uraian tentang
buku Darmo Gandul, pada sebuah pangkur yang isinya menghina Islam. Di antara
isinya adalah sebagai berikut :
1.
Orang
yang beragama Islam itu jahat. Buktinya, diperlakukan dengan baik-baik malah
membalas dengan kejahatan.
2.
Orang
Islam mementingkan formalitas belaka, salat dengan gerakan-gerakan tertentu,
azan dengan suara keras, doa dengan mengangkatkedua tangan (menadahkan kedua
tangan) seperti orang edan (gila), berteriak-teriak lima kali dalam sehari
semalam.
3.
Orang
Islam mengharamkan makanan-makanan yang lezat, seperti sate babi, opor monyet,
gorengan cacing, kare anjing, sup tikus, bistik kodok, gulai ular, dendeng
luwak, dan lain-lain. Orang Islam yang mengharamkan makanan yang lezat itu
adalah keblinger.
4.
Yang
penting dalam Islam itu adalah syahadat, bukan shalat (sembahyang).
5.
Syahadat
orang Islam adalah syahadat syaringat (syariat), atau hubungan kelamin antara
laki-laki dan perempuan, hubungan seksual itu sangat penting bagi umat Islam.
6.
Permulaan
surat Al-Baqarah, "Alif laam miim, dzalikal kitabu laa raiba fiihi hudal
lilmuttaqin." Menurut versi Darmo Gandul artinya, ;Dzalikal ( ….disensor
dan tidak dpt ditulis disini karena sangat jorok) Kitaabu laa (………….) Raiba
fiihi hudan :(ditafsirkan wanita telanjang bulat )Lil muttaqin (………..)
7.
Penulis
Darmo Gandul kemudian menyebutkan yang dalam bahasa Indonesianya adalah,
"Itu adalah bahasa Arab yang sampai ke tangan kita (Jawa), aku tafsirkan
menurut interpretasi Jawa, agar artinya dapat dipahami. Artinya, bahwa bahasa
Arab tersebut di pulau Jawa saya ceritakan dengan mata kebatinan sehingga
seperti yang tersebut di atas."
8.
Berdasarkan
keterangan di atas, nampak jelas bahwa tujuan utama buku Darmo Gandul ditulis
bukanlah untuk sinkritisme, melainkan untuk menghina, mencela, merendahkan, dan
merongrong ajaran Islam.
9.
Adapun
kitab suci aliran kebatinan yang lain adalah Gatoloco. Gatoloco sendiri adalah
nama kemaluan laki-laki. Di antara isi kitab tersebut telah disebutkan oleh
Prof. DR. Rasyidi dalam bahasa Indonesia, yang salinannya di tulis dalam
bukunya yang berjudul Islam dan Kebatinan antara lain sebagai berikut.
10.
Semua
barang halal asalkan diperoleh dengan cara baik, seperti babi, anjing, kucing,
luwak, tikus, ular, kodok, bekicot, (keong racun), semuanya halal asal
diperoleh dari cara baik, seperti membeli, diberi, atau menangkap sendiri, dan
bahkan lebih halal daripada kambing, sapi, kerbau, dan yang lainnya yang
diperoleh lewat mencuri.
11.
Pedoman
hidupku adalah bahrul qalbi, yaitu lautan hatiku untuk minum madat. Rasulullah
itu bukanlah orang yang ada di Arab sana, dia sudah mati, lebih-lebih Saudi
Arabia sangatlah jauh, maka orang kita menyembah Rasulullah di Arab itu tidak
ada gunanya, dan aku menyembah Rasul yang ada dalam dadaku.
12.
Aku
ini Tuhan berada di sentrum wujud. Rasulullah adalah hatiku, agamaku adalah
agama rasa.
13.
Pedoman
hidupku adalah bahrul qalbi yaitu lautan hatiku yang luas lagi dalam.
14.
Aku
selalu sembahyang, tidak pernah putus-putus, sembahyangku adalah nafsuku ini,
nafsu yang dari ubun-ubun adalah sembahyangku terhadap tuhan. Nafsu yang dari
mulut adalah sembahyangku untuk Muhammad saw.
15.
Ada
nafas yang keluar dari hidung itu adalah tali kehidupanku, oleh karena itu
nafasku berbunyi Allah-Allah.
16.
Qiblatku
adalah diriku sendiri yang dinamakan Baitullah. Arti lafad "baitun"
adalah baito (perahu, kapal) yang berarti baitullah adalah perahu buatan Allah.
Sedang ka'bah hanyalah buatan nabi Ibrahim. Maka lebih bagus kapal buatan Allah
daripada kapal buatan nabi Ibrahim, oleh karena itu, berkiblat dengan hati
lebih baik daripada berkiblat kepada Ka’bah yang hanya buatan Nabi Ibrahim.
17.
Sebelum
dunia ini ada, sebelum ada binatang dan matahari, yang ada hanyalah nur
Muhammad, yaitu yang berada di bintang johar yang menjadi pusar (pusat) atau
wudel (bhs Jawa) Nabi Muhammad .
18.
Lanang
(laki-laki) artinya adalah kemaluan laki-laki.
19.
Wadon
(perempuan) artinya adalah kemaluan perempuan.
20.
Dua
kalimah syahadat artinya adalah laki-laki dan perempuan yang sedang berhubungan
badan Allah artinya adalah olo (jelek) yang berarti kedua kemaluan laki-laki
dan perempuan itu buruk dan jelek rupa dan bentuknya.
21.
Dua
kalimah syahadat menurut kebatinan artinya aku menyaksikan bahwa hidupku dan
cahaya Tuhan serta rasa Nabi Muhammad adalah karena persetubu han bapak dan
ibu, karena itu saya juga ingin melakukan persetubuhan itu.
22.
Mekah
(Makkah) artinya adalah bersetubuh, yaitu (………………)
Itu
di antara sebagian isi dari buku Gatoloco yang merupakan buku dan kitab suci
aliran kebatinan. Buku itu jelas-jelas menghina ajaran Islam.Na'udzubillahi min
dzalik
Sama
dengan Darmogandul dan Gatoloco dalam Menolak Syari’at Islam
Generasi
awal penolak syari’at Islam di Jawa telah dipelopori oleh Darmogandul dan
Gatoloco.
Gatoloco
menolak syari’at dengan qiyas/ analog yang dibuat-buat sebagai berikut:
“Santri
berkata: Engkau makan babi. Asal doyan saja engkau makan, (engkau) tidak takut
durhaka."
Gatoloco
berkata: "Itu betul, memang seperti yang engkau katakan, walaupun daging
anjing, ketika dibawa kepadaku, aku selidiki. Itu daging anjing baik. Bukan
anjing curian."
Anjing
itu kupelihara dari semenjak kecil. Siapa yang dapat mengadukan aku? Daging
anjing lebih halal dari daging kambing kecil. Walaupun daging kambing kalau
kambing curian, adalah lebih haram. Walaupun daging anjing, babi atau rusa
kalau dibeli adalah lebih suci dan lebih halal.
Itulah
penolakan syari’ah dengan qiyas/ analogi yang sekenanya, yang bisa bermakna
mengandung tuduhan. Untuk menolak hukum haramnya babi, lalu dibikin analog:
Babi dan anjing yang dibeli lebih halal dan lebih suci dibanding kambing hasil
mencuri.
Ungkapan
Gatoloco yang menolak syari’at Islam berupa haramnya babi itu bukan sekadar
menolak, tetapi disertai tuduhan, seakan hukum Islam atau orang Islam itu
menghalalkan mencuri kambing. Sindiran seperti itu sebenarnya baru kena,
apabila ditujukan kepada orang yang mengaku tokoh Islam namun mencuri kambing
seperti Imam bahkan pendiri LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yakni Nur
Hasan Ubaidah. Karena dia memang pernah mencuri kambing ketika di Makkah hingga
diuber polisi, dan kambingnya disembunyikan di kolong tempat tidur. Tetapi
zaman Gatoloco tentunya belum ada aliran Nur Hasan Ubaidah itu. Jadi Gatoloco
itu (sebagaimana ditiru oleh penolak syari’ah Islam belakangan) telah melakukan
dua hal:
1.
Menolak
syari’at Islam
2.
Menuduh
umat Islam sekenanya.
Penolakan
syari’at Islam disertai tuduhan ada yang lebih drastis lagi, yaitu yang
dilakukan oleh Darmogandul. Mari kita simak kecaman dan tuduhan Darmogandul
terhadap Umat Islam berikut ini:
“Semua
makanan dicela, umpamanya: masakan cacing, dendeng kucing, pindang kera, opor
monyet, masakan ular sawah, sate rase (seperti luwak), masakan anak anjing,
panggang babi atau babi rusa, kodok dan tikus goreng."
"Makanan
lintah yang belum dimasak, makanan usus anjing kebiri, kare kucing besar,
bestik gembluk (babi hutan) semua itu dikatakan haram. Lebih-lebih jika mereka
melihat anjing, mereka pura-pura dirinya terlalu bersih."
"Saya
mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi
memegang badannya atau makan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan
anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak pakai
nikah. Inilah sebabnya mereka tak mau makan dagingnya.”
Ungkapan
Darmogandul yang menuduh umat Islam sampai sedrastis itu, sebenarnya intinya
sama juga.
1.
Menolak
syari’at Islam.
2.
Menuduh
secara semaunya terhadap umat Islam ataupun syari’atnya
Jadi
sebenarnya polanya sama, antara penolak syari’at model lama dan model baru.
Intinya ya dua perkara itu. Hanya saja kalau penolak syari’at Islam model baru,
pakai putar-putar sana sini, lalu tuduhannya pun dicanggih-canggihkan.
Diberondongkanlah ungkapan-ungkapan negatif terhadap umat Islam, bahkan
syari’at Islam. Maka diluncurkanlah kepada umat Islam, kata-kata: inferiority
complex, fikihisme, legalisme, pikiran apologetis sampai pada ungkapan fikih
telah kehilangan relevansinya.
Sebenarnya
Darmogandul dan Gatoloco pun telah mencari-cari perkataan yang
secanggih-canggihnya untuk menuduh Umat Islam dan Syari’at Islam. Jadi ungkapan
Inferiority complex yang dilontarkan orang sekarang, itu sebenarnya nilainya ya
sama saja dengan ungkapan dendeng kucing, pindang kera, opor monyet yang
dilontarkan orang masa lalu yaitu Darmogandul dan Gatoloco.
Masih
ada satu ciri yang sama, yaitu mengembalikan istilah kepada pemaknaan secara
bahasa, tetapi semaunya dan tidak sesuai dengan Islam.
Darmogandul
mengatakan:
”
… bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini
adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala
(jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya
mereka itu merasa pahit dan masin."
"Adapun
orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir, ia sesungguhnya
melakukan zikir salah. Muhammad artinya Makam atau kubur, Ra su lu lah, artinya
rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak,
dada ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah
berkali-kali.”
"Di
situ lafal “Allah” oleh Darmogandul diartikan Ala yaitu jahat. Lalu lafal
“Muhammad” diartikan “makam” atau kuburan. Dan lafal “Rasulullah” diartikan
“rasa yang salah”.
Lalu
Darmogandul menuduh orang Islam sebagai orang gila, waktu pagi dan sore mereka
adzan maka dibilang berteriak-teriak; sedang ketika Muslimin menjalankan shalat
maka dia anggap bersedekap itu menekan dada, membaca bacaan shalat itu dia
anggap bisik-nisik, sedang sujud dia anggap kepala ditaruh di tanah
berkali-kali.
Demikianlah
ungkapan Darmogandul. Sebenarnya banyak kata-kata dari ayat Al-Qur’an ataupun
istilah Islam yang oleh Darmogandul diartikan dengan arti-arti jorok sekitar
hubungan badan lelaki perempuan. Tetapi tidak usah kami kutip di sini.
Berikut
ini model yang sama dari ungkapan Gatoloco:
“Baitullah,
baitu artinya baito (perahu), jadi perahu buatan Allah, dalam perahu ada
samodranya. Adapun Baitullah yang ada di Mekkah telah dibikin oleh Nabi
Ibrahim."
"Pikirlah,
baik mana kiblat bikinan manusia atau kiblat bikinan Tuhan, yakni badanku ini.
Kiblatmu di Mekkah hanya buatan Nabi.”
Gatoloco
mengartikan lafal “Baitullah” (Ka’bah) dengan “baito” yaitu perahu. Tetapi
susunan pemaknaan itu tidak kosnisten, sehingga Gatoloco beralih kilah, tidak
jadi pakai penerjemahan lewat bahasa, tetapi pilih pakai klaim, bahwa kiblat di
Makkah itu bikinan manusia, Nabi Ibrahim. Sedang kiblat Gatoloco adalah
badannya yang dibikin oleh Tuhan. Lantas Gatoloco dalam menolak Syari’at Islam
menyuruh orang Islam berpikir, lebih baik yang mana: kiblat bikinan manusia
ataukah yang bikinan Tuhan.
Maksud
Gatoloco, mengartikan Baitullah dengan Ka’bah di Makkah itu salah. Yang benar,
Baitullah itu adalah baito Allah, (perahu bikinan Allah) yaitu badan manusia.
Sehingga orang yang berkiblat ke Ka’bah di Makkah itu disalahkan oleh Gatoloco
dengan cara mengalihkan arti secara bahasa. Dan penyalahan arti itu kemudian
diplesetkan ke arah yang sangat jorok-jorok, tentang hubungan badan
lelaki-perempuan, tapi tidak usah saya kutip di sini.
Darmogandul
dan Gatoloco itu menempuh jalan: Mengembalikan istilah kepada bahasa, kemudian
bahasa itu diberi makna semaunya, lalu dari makna bikinannya itu dijadikan
hujjah/ argument untuk menolak syari’at Islam.
Coba
kita bandingkan dengan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid: Islam dikembalikan
kepada al-Din, kemudian dia beri makna semau dia yaitu hanyalah agama (tidak
punya urusan dengan kehidupan dunia, bernegara), lalu dari pemaknaan yang
semaunya itu untuk menolak diterapkannya syari’at Islam dalam kehidupan.
Sama
bukan?
Kalau
dicari bedanya, maka Darmogandul dan Gatoloco menolak syari’at Islam itu untuk
mempertahankan Kebatinannya, sedang Nurcholish Madjid menolak syari’at Islam
itu untuk mempertahankan dan memasarkan Islam Liberal dan faham Pluralismenya.
Dan perbedaan lainnya, Darmogandul dan Gatoloco adalah orang bukan Islam,
sedang Nurcholish Madjid adalah orang Islam yang belajar Islam di antaranya di
perguruan tinggi Amerika, Chicago, kemudian mengajar pula di perguruan tinggi
Islam negeri di Indonesia. Hanya saja cara-cara menolak Syari’at Islam adalah
sama, hanya beda ungkapan-ungkapannya, tapi caranya sama.
Meskipun
akar masalahnya sudah bisa dilacak, namun masih ada hal-hal yang perlu
ditanggapi sebagaimana berikut ini.
Kutipan:
“…sudah
jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah
kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan
perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan
pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya,
sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja,
melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan
hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur
kehidupan bersama.” (Artikel Nurcholish Madjid).
Tanggapan:
Kalau
Gatoloco menolak syari’at dengan cara mengkambing hitamkan kambing curian, maka
sekarang generasi Islam Liberal menolak syari’ah dengan meganggap fiqh sudah
kehilangan relevansinya. Sebenarnya, sekali lagi, sama saja dengan Gatoloco dan
Darmogandul itu tadi.
Tuduhan
bahwa fiqh telah kehilangan relevansinya, itu adalah satu pengingkaran yang
sejati.
Dalam
kenyataan hidup ini, di masyarakat Islam, baik pemerintahnya memakai hukum Islam
(sebut saja hukum fiqh, karena memang hukum praktek dalam Islam itu tercakup
dalam fiqh) maupun tidak, hukum fiqh tetap berlaku dan relevan. Bagaimana umat
Islam bisa berwudhu, sholat, zakat, puasa, nikah, mendapat bagian waris,
mengetahui yang halal dan yang haram; kalau dia anggap bahwa fiqh sudah
kehilangan relevansinya? Hatta di zaman modern sekarang ini pun, manusia yang
mengaku dirinya Muslim wajib menjaga dirinya dari hal-hal yang haram. Untuk itu
dia wajib mengetahui mana saja yang haram. Dan itu perinciannya ada di dalam
ilmu fiqh.
Seorang
ahli tafsir, Muhammad Ali As-Shobuni yang jelas-jelas menulis kitab Tafsir
Ayat-ayat Hukum, Rowaai’ul Bayan, yang dia itu membahas hukum langsung dari
Al-Qur’an saja masih menyarankan agar para pembaca merujuk kepada kitab-kitab
fiqh untuk mendapatkan pengetahuan lebih luas lagi. Tidak cukup hanya dari
tafsir ayat ahkam itu.
Kalau
mau mengingkari Islam yang jangkauannya mengurusi dunia termasuk negara,
mestinya cukup merujuk kepada Barat sekuler yang terkena kedhaliman pihak
gereja. Tidak usah merujuk kepada kondisi Islam yang akibatnya hanya akan
menuduh umat Islam, fiqh Islam, syari’at Islam dan bahkan Islam itu sendiri.
Hingga terseretlah oleh hawa nafsu tanpa dilandasi paradigma ilmu: Islam
disempitkan jadi al-din yang dia maknakan sebagai agama belaka alias ritual/
ubudiah belaka. Ini namanya menabrak-nabrak, hanya untuk menguat-nguatkan
pendapatnya. Akibatnya justru menuduh sana-sini (unsur-unsur dalam Islam) tanpa
dalil yang pasti.
Dalam
hal ini, Nurcholish Madjid di samping pemikirannya sederhana, masih pula
mengingkari realitas dan sejarah. Hingga Nurcholish menganggap,“sudah jelas,
bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan
relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang.”
Sangat
disayangkan, realitas yang belum hilang sama sekali dalam kenyataan, telah
diingkari oleh Nurcholish Madjid. Teman sejawat Nurcholish Madjid dalam hal
keliberalan, atau istilahnya waktu itu Islam kontekstual, yaitu Pak Munawir
Sjadzali yang pernah dijuluki sebagai trio pembaruan (Nurcholish Madjid,
Abdurrahman Wahid, dan Munawir Sjadzali) di tahun 1985-1990-an, Pak Munawir
telah berpayah-payah membuat kompilasi hukum Islam dari kitab-kitab fiqh Islam
sekitar (26 kitab) dengan mengumpulkan para rektor, dosen, dan para ulama
se-Indonesia untuk membuat kompilasi hukum Islam selama 2 tahun-an, dengan
mengadakan studi banding ke berbagai tempat. Ternyata kini upaya Menteri Agama
Munawir Sjadzali MA itu diingkari mentah-mentah oleh Nurcholish Madjid. Memang
kompilasi hukum Islam itu hanya mengenai hukum keluarga (ahwalus syahsyiyah)
yaitu hukum waris, hibah, sedekah, nikah , talak, dan rujuk. Namun pelaksanaan
dalam pengadilan agama yang telah disahkan lewat undang-undang peradilan agama,
tetap merujuk kepada hukum fiqh Islam.
Kenyataan
yang masih ada di depan mata pun diingkari oleh Nurcholish Madjid. Dan setelah
mengadakan pengingkaran, lalu dia nyatakan:
Kutipan:
“Maka,
hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi
semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama.”
Tanggapan:
Ungkapan
Nurcholish Madjid itu tidak usah manusia yang menjawab, tetapi kita serahkan
kepada Allah SWT yang telah berfirman:
“Apakah
hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maaidah: 50).
Agaknya
pantas kita mengingat pepatah:
·
Anak
di pangkuan dilepaskan
·
Beruk
di hutan disusukan
Hukum
Islam yang jelas dari Allah SWT, mau dia buang, sedang hukum rimba yang belum
ketahuan juntrungannya mau diterapkan. Ini secara akal sudah menyalahi akal
sehat. Sedang secara keyakinan sudah mengingkari hukum Allah SWT. Sehingga
keyakinannya terhadap Islam pun dipertanyakan.
Barang
yang masih ada di depan mata pun diingkari. Ayat yang masih tertulis di seluruh
dunia pun diingkari. Dua hal ini saja sudah menjadikan lemahnya bobot pemikiran
itu. Maka pantas, dulu Pak Rasyidi menyebutnya, pemikirannya itu berbahaya
karena sederhana. Satu ungkapan yang perlu diresapi dengan arif.
Itu
belum tentang masalah orang Hindu, Budha, Sinto oleh Nurcholish Madjid
dimasukkan sebagai Ahli Kitab sebagaimana Yahudi dan Nasrani. Belum lagi
tentang musyrikat (wanita musyrik, menyekutukan Tuhan) hanya dia anggap
musyrikat Arab saja, bukan yang lainnya. Jadi arahnya ke mana?
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِمَّا
يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى
{123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Maka
jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.
(Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam
menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada
siapa saja yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya,
bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir
ath Thabari, 16/225].
Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ
سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku
telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih
Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm.
Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil
Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
فَإِمَّا
يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى
{123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Maka
jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit,
dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha:
123, 124).
Dalam
menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada
siapa saja yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa
dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath
Thabari, 16/225].
Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ
سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku
telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih
Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm.
Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil
Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِمَّا
يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى
{123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Maka
jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.
(Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam
menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada
siapa saja yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya,
bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir
ath Thabari, 16/225].
Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ
سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku
telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih
Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm.
Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil
Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِمَّا
يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى
{123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Maka
jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.
(Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam
menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada
siapa saja yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya,
bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir
ath Thabari, 16/225].
Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ
سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku
telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi,
H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh
Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah,
hlm. 12-13).
MENGOLOK-OLOK
ISLAM DALAM SASTRA ANONIM KEJAWEN (SERAT DARMOGANDUL DAN GATOLOCO)
Cara
Pujangga Jawa Mengkritik Praktik Beragama Islam
Kritik
Sukarno dalam esai legendaris Islam Sontoloyo yang terbit di berkala Pandji
Islam (1940), juga gema yang terdengar lebih verbal dari puisinya Sukmawati
Sukarnoputri, bukanlah pikiran tanpa preseden. Kritik terhadap lelaku agama
Islam formal atau Arab Islamic Orthodoxy dalam istilahnya Ben Anderson sudah
berlangsung lama.
Hal
itu bisa dilacak dari sejumlah karya sastra Jawa, seperti Suluk Gaṭolojo dan
Serat Darmogandul yang mengkritik dengan terang lagi tajam maupun Serat
Wedhatama anggitan KGPAA Mangkunegaran IV yang kritiknya lebih samar. Tulisan
ini mencoba menukil sejumlah bagian yang terdapat dalam kitab-kitab di atas,
memaparkan muatan kritiknya, dan terakhir melihatnya dalam konteks kekinian.
Suluk Gatoloco
Suluk
Gatoloco merupakan sebentuk suluk mistisisme Jawa yang diperkirakan berasal
dari awal abad ke-19, berbahasa Jawa Baru. Sejak pertama kali dikaji oleh orang
Belanda, suluk ini sudah mengejutkan karena gaya penulisannya yang sangat
terbuka dan di beberapa bagian vulgar, jauh berbeda dengan karya-karya
semasanya. Sebagai karya sastra tampaknya suluk ini dibuat sebagai serangan
balik dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan aplikasi aturan-aturan fiqh
yang ketat, yang dicoba diterapkan pada masa itu. Oleh kalangan Islam revivalis
Indonesia masa kini, kitab ini sering kali digunakan sebagai contoh gerakan
menentang penerapan fiqh.
Gatoloco
merupakan nama tokoh utama dalam kitab ini, yang digambarkan sebagai orang yang
berpenampilan buruk, berbau busuk, bermulut kotor, penghisap candu, pembantah,
filosofis, dan berpikiran seksual. Ia ditemani oleh bujangnya yang bernama
Darmogandul. Adanya tokoh Darmogandul ini menimbulkan spekulasi keterkaitan
antara suluk ini dengan Serat Darmagandhul, kitab yang juga kritis terhadap
penyebaran Islam di Jawa. Arti kata gatholoco dalam bahasa Jawa (gatho: barang
tersembunyi, loco: mengocok, mengelus) sudah berasosiasi ke penis karena memang
dimaksudkan sebagai simbol seksual kelelakian.
Nama
gatoloco juga digunakan sebagai nama kesenian rakyat daerah Kedu. Nama itu dipakai
sebagai singkatan dari digathuk-gathuke dadine lucu, memanfaatkan kepopuleran
nama Gatoloco yang dipakai sebagai judul suluk populer ini. Kesenian ini tidak
ada hubungan dengan suluk, kecuali kesamaan nama.
Kritik yang Samar Tajam
Wedhatama
adalah puisi yang disenandungkan melalui aturan konvensi pelaguan yang memuat
tuntunan moral (a didactic poem) yang ditulis pada akhir 1870an. Ia memang
diniatkan sebagai kitab tuntunan moral seperti tercermin dalam bait pertama
yang menjelaskan tujuan dianggitnya Wedhatama. Pada bait itu, muncul frase
mardi siwi yang kira-kira berarti "untuk menuntun anakku" (Robson
1990).
Selain
itu, Wedhatama juga kaya dengan kritik terhadap perilaku agama Islam yang lebih
sering merujuk Arab daripada Jawa itu sendiri. Atas dasar tersebut, sosok
panembahan Sénapati layak menjadi suri tauladan bagi orang Jawa daripada
menghadirkan tokoh asing yang berasal dari Arab atau lainnya. Hal itu didasari
atas laku asketik yang ditempuh Panembahan Senapati dalam keseluruhan hidupnya.
Hal itu diuraikan dalam pupuh II (canto) metrum
Sinom:
Nulada
laku utama
Tumrap
ing wong tanah Jawi
Wong
Agung ing Ngèksiganda
Panembahan
Sénapati.
Mencontoh
laku hidup utama
Bagi
orang yang hidup di Jawa
Orang
mulia dari Mataram
Yakni
Panembahan Senapati.
Secara
implisit, teks ini menganjurkan bahwa tokoh panutan haruslah memiliki jarak
referen yang dekat dan sesuai dengan ruh budaya Jawa. Maka, dalam serat
tersebut, ditampilkanlah sosok Panembahan Senapati sebagai figur yang dekat
dengan orang Jawa. Figur yang berasal dari Arab atau lainnya memiliki jarak
referen yang jauh sehingga kesulitan untuk dijangkau.
Hal itu diuraikan dalam baris ke-10:
Lamun
sira paksa nulad
Tuladhaning
Kangjeng Nabi
O
nggèr kadohan panjangkah .
Tatkala
dirimu membutuhkan panutan
Lantas
dirimu mengikuti Kanjeng Nabi)
Oalah,
Nak, apa yang kamu lakukan tersebut terlalu jauh.
Selain
itu, metrum sinom baris sembilan juga menggambarkan perilaku orang yang
memegang aturan fikih (hukum tuhan), tetapi tidak memahami esensi hukum
tersebut. Hal ini mungkin yang paling cocok dengan kondisi Indonesia hari ini.
Deskripsi detailnya sebagai berikut
Anggung
anggubel saréngat
Saringané
tan dén-wruhi
Dalil
dalaning ijemak
Kiyasé
nora mikani
Katungkul
mungkul sami
Béngkrakan
mring masjid agung
Kalamun
maca kutbah
Lalagone
dhandang gendhis
Swara
arum ngumandang céngkok palaran.
Mereka
senantiasa melilitkan diri pada hukum Islam
Tetapi
esensinya tidak mereka tangkap
Dalil
hukum sebagai dasar kesepakatan
Analogi
sebagai dasar pengambilan hukum mereka tidak paham
Mereka
terlalu berlebihan dalam banyak hal
Berjalan
gagah ke masjid agung
Tatkala
membaca khutbah
Pelantunannya
melalui metrum dhandanggula
Dengan
suara manis menggelegar dengan gaya palaran.
Gambaran
di atas adalah kritik terhadap praktik ber-Islam yang terjadi pada awal abad
ke-19 yang ditandai banyaknya orang yang melilitkan diri (anggubel) pada hukum
Islam (fikih), tetapi tidak memahami inti dari hukum tersebut. Mereka
bersikukuh memegang dalil, menguasai cara-cara pengambilan hukum melalui qiyas
dan ijma’, tetapi mereka tidak menyadari Jawa sangat berbeda dengan Arab. Maka,
apa yang mereka lakukan cenderung mengganggap agama sebagai festival atas
ketimpangan dan ketidakselarasan atas yang terjadi.
Kritik yang Terang Tajam
Berbeda
dengan Serat Wedhatama, Serat Gatolojo terang-terangan mengkritik praktik
Islam. Tidak hanya terang-terangan, malahan disebut memiliki daya ungkap yang
kasar. Secara jelas ia memuat daya ungkap yang jorok dan tabu sehingga hal ini
membuat priyayi Jawa malu dan merasa marwahnya turun (Anderson 1981). Saking
kontroversial isinya, dan memungkinkan menimbulkan kegaduhan di masyarakat,
serat ini pernah dilarang peredarannya, dan hanya diedarkan melalui jaringan
bawah tanah.
Saya
menggunakan sumber dari Serat Balsafah Gaṭolotjo: Ngemot Balsafah Kawruh
Kawaskiṭan yang ditulis ulang oleh R. Tanojo bertarikh awal abad XX yang
diterbitkan S. Muljo, Solo. Saya akan menukil bagian yang terdapat dalam bab
tentang bebantahan ilmu (perdebatan ilmu) yang menggunakan metrum dhandanggula.
Berikut
nukilannya :
Gaṭolotjo
anauri aris
Rasul
Mekah ingkang sira-sembah
Ora
nana ing wudjude
Wes
séda séwu taun
Panggonané
ing tanah ‘Arbi
Lelakon
pitung wulan
Tur
kadangan laut
Mung
kari kubur kewala
Sira-sembah
djungkar-djungkir saben ari
Apa
bisa tumeka
Gaṭolotjo
menjawab dengan bijak
Rasul
di Mekah yang kamu sembah
Sudah
tidak berwujud lagi
Sudah
meninggal seribu tahun lamanya
Tempatnya
berada di tanah Arab
Ditempuh
perjalanan selama tujuh bulan
Dan
terhadang laut
Hanya
tinggal makamnya saja
kamu
sembah jungkir balik setiap hari
Memangnya
yang kamu lakukan bakal sampai?
Teks
di atas menggambarkan perdebatan sengit antara Gatolotjo dan Abduljabar tentang
tauhid Islam. Bagian di atas adalah jawaban atas pertanyaan tentang kedudukan
Nabi dalam Islam yang harus ditiru semua tingkah lakunya oleh umat Islam.
Gatolotjo kemudian menyodorkan jawaban yang lugas sekaligus memicu pertanyaan
dan perdebatan yang tak berkesudahan.
Apa
yang saya paparkan di atas menunjukkan bahwa kritik terhadap Islam tersaji
secara gamblang dalam teks klasik Jawa. Di sana terdapat pertarungan
memperebutkan wacana dan kuasa seperti diulas oleh Drewes (1966) dalam “The
struggle between Javanism and Islam as illustrated by the sĕrat dĕrmagandul”.
Menilik
dua serat di atas, Wedhatama memiliki komposisi puitik yang indah dan proposisi
kalimat yang tertata sehingga mengakibatkan kritiknya bisa diterima oleh
priyayi Jawa dan umat Islam. Setidaknya, serat tersebut masih banyak
dilantunkan dan diproduksi hingga sekarang.
Berbeda
nasibnya dengan Suluk Gatolotjo dan Serat Darmogandul yang memiliki komposisi
kurang indah (ditakar dari sudut pakem) dan cenderung jorok bahkan sejak dari
judul. Hal ini mengakibatkan dua teks itu sempat dilarang pada 1963 karena
isinya dianggap anti-Islam dan bermuatan pornografis (“Kitab Lelaki Sejati”,
Historia).
Poin
pentingnya adalah bahwa penyampaian kritik harus dibarengi dengan kejernihan
berpikir atau ketuntasan proposisi, apalagi bentuk kritiknya melalui piranti
kesusasteraan. Maka, kompetensi kebahasaan dan kesusasteraan yang memadai
menjadi prasyarat penting untuk membangun kritik. Dengan demikian, kritik dalam
bentuk puisi itu bisa lebih elegan secara bentuk dan makna sehingga substansi
kritik dapat terus bergema.
Yang
tidak kalah penting adalah efek politik yang ditimbulkan. Di balik produksi
teks dan kritik, terselip secara halus pertarungan memperebutkan kuasa dan
wacana publik. Pujangga Jawa abad ke-19 memahami dengan baik ihwal kuasa kata
yang terselip dalam sastra. Adakah generasi sekarang memahami hal yang sama?
“Dallikal,
yen turu nyengkal wadine nyengkal, tegesipun kitabulla, natap mlebu ala wadi,
tegese rahabapi, rahaba kang gawe sampur, hudan lil muttakina, yen wis wuda
jalu estri, den mutena jroning ala-jroning ala.”
(Dzalikal:
jika tidur kemaluannya nyengkal (bangkit), kitabu la,kemaluan lelaki masuk di
kemaluan perempuan dengan tergesa-gesa, raiba fihi : perempuan yang pakai kain,
hudan :telanjang (wuda), lil muttaqien : sesudah telanjang, kemaluan lelaki
termuat dalam kemaluan wanita [diterjemahkan oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi dalam
Islam dan Kebatinan, hal. 17])
Kalimat diatas adalah penggalan isi Serat
Darmagandul. Menjadikan Islam sebagai bahan olok-olokan adalah ciri utama dalam
Serat Darmagandul tersebut, sebuah sastra anonim yang ditulis abad Misi, sebuah
masa dimana politik asosiasi atau yang lebih tepat westernisasi dan politik
kristenisasi berjalan sangat intens. Istilah-istilah kunci dalam agama Islam,
diputar balikkan maknanya oleh Darmagandul dengan metode othak-athik gathuk
(mengait-ngaitkan) seperti istilah sadat sarengat (syhadat dan syari’at) di
artikan dengan yen sare wadine njengat (kalau tidur kemaluannya berdiri),
tarekat itu taren kang estri (mengajak istri bersetubuh), sedangkan lafal
Muhammad diartikan sebagai makam, kuburan segala rasa, yang berarti memuja diri
sendiri, bukan memuji Muhammad yang lahir di tanah arab.
Selain
Darmagandul, juga ada serat Gatoloco, dimana dalam serat yang juga anonim ini,
istilah-istilah inti dalam Islam diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat
cabul. Seperti kata Allah diartikan ala, yang rupanya jelek, yang dimaksud
adalah wujud kemaluan laki-laki, sedangkan naik haji ke Makkah diartikan
sebagai proses persetubuhan dimana poisisi istri saat bersetubuh mekakah (Rasjidi,
1967 : hal. 9-39).
Merebaknya
sastra anonim di kalangan elit Jawa, tidak terlepas dari kekalahan Pangeran
Diponegoro pada perang Jawa 1825 – 1830. Meskipun Belanda memenangkan perang
besar ini, namun biaya yang ditanggung sangat besar. Kondisi keuangan Kerajaan
Belanda hampir bangkrut karenanya. Untuk menutupi kerugian tersebut, pemerintah
Belanda menerapkan kebijakan politik tanam paksa (Cultuur Stelsel). Sistem
tanam paksa mengharuskan para menanami seperlima lahan yang dimiliki dengan
tanaman komersial yang sudah ditentukan pemerintah Belanda. Untuk menjalankan
politik tanam paksa ini, pemerintah kolonial Belanda menaikkan derajat para
bupati mejadi ningrat, dengan syarat para bupati harus melaksanakan kehendak
residen Belanda. Sedangkan penduduk pribumi dituntut kepatuhan mutlak sebagai
budak (Kahin, 2013 : 12). Belanda menangguk untuk yang besar dengan politik
tanam paksa ini, utang VOC sebesar 35.500.000 gulden berhasil dilunasi, bahkan
kas negeri Belanda bertambah sebesar 664.500.000 gulden.
Proses
penganakemasan kalangan bupati dan para ningrat yang lazim disebut priyayi ini,
akhirnya menjadikan para priyayi sebagai kelas tersendiri dalam masyarakat
Jawa. Bukan hanya kelas sosial tetapi juga orientasi spiritualnya. Berkaca dari
kekalahan Pangeran Diponegoro, bagi para priyayi tersebut, menandakan takluknya
seluruh Jawa kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga ketaatan bukan
lagi tertuju pada kewibawaan Islam, melainkan kepada apa yang disebut
kewibawaan Kristen (Akkeren, 1995 : 56).
Benih-benih
sentimen anti Islam pun mulai bermunculan. Para priyayi tersebut beranggapan
bahwa peralihan keyakinan masyarakat Jawa ke agama Islam Islam adalah sebuah
kesalahan peradaban dan bahwa kunci kepada modernitas yang sesungguhnya
terletak pada penggabungan pengetahuan modern ala eropa dengan restorasi
kebudayaan Hindu Jawa. Apa yang menjadi pandangan kaum priyayi Jawa tersebut
berasal dari Snouck Hurgronje, dimana menurut Snouck dengan penetrasi
pendidikan model Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau
sedikitnya dikurangi. Pendidikan juga akan menghilangkan jarak kultural orang
Belanda dengan para bangsawan dan kaum aristokrat Indonesia. Selain itu posisi
mereka yang relatif “bersih” dari pengaruh Islam, para priyayi tersebut
merupakan kelompok sosial yang paling cocok untuk ditarik masuk ke dalam orbit
kebudayaan Barat dan dijadikan sebagai rekanan (Shihab, 1998 : 86)
Islam
dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan
tersebut, Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1870-an para penulis dari Kediri
meramu gagasan-gagasan semacam ini di dalam tiga karya sastra yang mengagumkan,
Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco dan Serat Darmogandhul, yang merendahkan dan
mengolok-olok Islam. Karya yang disebut terakhir ini meramalkan bahwa penolakan
terhadap Islam akan terjadi empat abad setelah kejatuhan Majapahit –ini mungkin
ditulis untuk memperingati sebuah sekolah milik pemerintah bagi kaum elite di
Probolinggo pada tahun 1878, atau 400 tahun setelah runtuhnya Majapahit
sebagaimana secara tradisional diyakini dan bahkan orang Jawa akan menjadi
pemeluk Kristen. (Ricklefs, 2012 : 53-54).
Pemilihan
Kejawen bukannya Kristen sebagai jalan spiritual oleh para priyayi tersebut
disebabkan dalam pandangan masyarakat Jawa pada umumnya, kekristenan identik
dengan penjajahan yang menyengsarakan rakyat banyak. Orang-orang Kristen Jawa
sering dicemooh dengan ungkapan londo wurung jowo tanggung (belum berhasil
menjadi Belanda dan tanggung/tidak sepenuhnya menjadi orang Jawa, lali jawane
(orang jawa yang lupa akan kejawaannya), dan sebagainya. Mereka juga sering
dijuluki toewan gendjah (tuan yang belum matang) (Aritonang, 2006 : 99). Agar
tidak berhadapan dengan masyarakat pada umumnya, para priyayi tersebut menolak
untuk dikristenkan, seperti yang digambarkan Ricklefs;
“Sekitar
tahun 1870, seorang Bupati menegaskan komitmennya untuk tetap memeluk Islam
dalam pengertian yang lebih instrumentalis daripada spiritual. Dia telah
menunjukkan antusiasismenya terhadap segala sesuatu yang berbau Belanda.
Karenanya seorang kenalan Belanda bertanya kepadanya, bilakan ini berarti bahwa
dia akan beralih menjadi Kristen. Bupati tersebut menjawab, “Ah, …..
sejujurnya, saya lebih senang memiliki empat orang istri dan satu Tuhan
dariapada satu istri dan tiga Tuhan.” (Ricklefs, 2012:52)
Sastra
Kejawen, Penginjilan Jalan Memutar
Sistem
tanam paksa dijalankan pada era Gubernur Jendral Van den Bosch. Selain sebagai
gubernur, ia juga merupaka ketua di Nederland Bijbelgenootschap. Pada tanggal
27 Februari 1932, Van den Bosch mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal
(Lembaga Bahasa Jawa). pada 27 Februari 1832. Selain untuk mempelajari bahasa
dan seluk beluk Jawa, lembaga ini diharapkan berfungsi sebagai institusi
pendamping penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. (Simbolon, 2007 :127).
Lembaga ini merupakan tempat berkumpul para ahli-ahli Jawa berkebangsaan
Belanda. Para javanolog Belanda ini lebih jauh menggali kesusastraan, bahasa
dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa. Para
Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan
menghubungkannya dengan Surakarta.
Javanolog Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan
makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya,
mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda (Shiraishi, 1997 :
7-9)
Apa
yang dilakukan oleh para Javanolog Belanda dalam mengolah sastra Jawa tersebut
mirip dengan kisah pertemuan Flaubert dengan Kuchuk Hanum, pelacur Mesir yang
dikisahkan oleh Erward Said, dalam magnum opusnya, Orientalisme.
Sastra
Jawa sekedar menjadi boneka timur para Javanolog, dan semuanya dibuat tanpa ada
kesepakatan bersama. Kuchuk Hanum, si pelacur, tidak pernah berbicara tentang
dirinya, tidak pernah mengungkapkan perasaannya, kehadirannya, atau riwayat
hidupnya kepada Flaubert. Akan tetapi, kondisi Kuchuk Hanum yang lemah dan
miskin secara material tidak berdaya, menjadikan Falubertlah yang justru
berbicara atas nama dan mewakili dirinya. (Said, 2010 : 8) Kartini memandang
resah fenomena ini, sebagaimana tertuang dalam salah satu suratnya kepada
temannya di Eropa.
“Ada
banyak, ya banyak, pejabat (Belanda) yang membiarkan para pemimpin pribumi
mencium kaki dan dengkul mereka. Dalam banyak cara yang halusm mereka
menjadikan kami merasa bahwa kami berbeda dari mereka. Seakan-akan mereka
berkata “Saya orang Eropa, kamu orang Jawa,” atau “Saya tuan, kamu hamba.” Dan
bahkan banyak orang Belanda yang tidak begitu suka berbicara kepada kami dalam
bahasa mereka. Bahasa Belanda terlalu indah untuk diucapkan oleh mulut berwarna
coklat” (Alwi Shihab, 1998 : 96)
Dan
arah dari sastra anonim seperti Darmagandhul ini, oleh Susiyanto, dosen IAIN
Surakarta yang meneliti serat Darmagandul menunjukkan beberapa paragraf yang
secara eksplisit mencita-citakan kekristenan orang-orang Jawa.
Serat
‘Arab djaman wektu niki,sampun mboten kanggo,resah sija adil lan kukume,
ingkang kangge mutusi prakawis, Serate Djeng Nabi,Isa Rahu’llahu.(Anonim,
1955:6) (Serat Arab jaman waktu ini sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan
dan tidak adil, yang digunakan untuk memutusi perkara Serat Kanjeng Nabi Isa
Rahullah).
”Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kawruh, ….”(Anonim, 1955:93).
(Artinya, “Orang Jawa ganti agama, besok banyak yang meninggalkan Islam,
berganti (menganut) agama kawruh (agama budi, nasrani)”)
Kecenderungan
menjadikan Islam sebagai bahan hinaan dalam karya sastra, memang ciri khas
orientalis yang pada abad XVII – XIX yang didominasi kalangan teolog Kristen.
Di Eropa misalnya, kita bisa mengambil
contoh karya Dante, The Divine Comedy. Maometto –Muhammad- oleh Dante
ditempatkan pada lapisan kesembilan dan sepuluh lapisan Bogias of Maleboge,
gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka. Dalam pandangan
Dante, Muhammad dikategorikan penyebar skandal dan perpecahan, dengan hukuman
tubuhnya terus menerus dibelah dua dari dagu hingga ke anus, bagaikan, kata
Dante, sepotong kayu yang papan-papannya dirobek-robek. (Said, 2010 : 101-102).
Meskipun
sebagai sastra anonim yang tentu saja tidak bisa dipertanggung jawabkan, akan
tetapi sampai hari ini, baik Darmagandul maupun Gatoloco masih terus
direproduksi. Bukan hanya bukunya yang terus mengalami cetak ulang, namun
tasfir atas kedua serat tersebut juga ditulis oleh banyak pihak.
Pebenturan
antara Jawa dengan Islam dalam kedua serat tersebut, menjadi patokan dalam
karya-karya para misionaris seperti Hendrik Kreamer, Schuurman, Van Lith dan
Ten Berge di masa kolonial, dan beberapa nama penting di masa sekarang seperti
Jan Bakker, Frans Magnis Suseno, J.B. Banawiratmaja, SJ dan Harun Hadiwiyono.
Hal ini menurut Azyumardi Azra merupakan strategi misionaris Kristen untuk
menghadapi Islam di Indonesia. Dengan menggali unsur pra Islam dalam kebudayaan
lokal, untuk kemudian memisahkannya secara oposisional, seperti Syari’at dengan
kebatinan, etika Islam dengan etika Jawa, mengikuti argumen William Roff, guru
besar Emiritus Columbia University, bukan hanya untuk menjadikan Islam menjadi
kabur (obscure) tapi juga memberi peluang lebih besar bagi keberhasilan
misionaris (Steenbrink, 1995 :xxii).
Namun,
sayangnya, bidang sastra dan kebudayaan, menjadi anak tiri dalam wacana dakwah
Islam. Umat Islam, baik awam maupun para cendekiawannya, tidak mempunyai skema
relasi Islam dengan kebudayaan lokal, ataupun strategi Islamisasi kebudayaan
sebagaimana para pendahulunya. Dari hari ke hari, kebudayaan Jawa makin menjauh
dari kaum muslimin, sehingga dari hari ke hari, kebudayaan makin menjadi milik
kaum Kejawen dan Kristen. Proses kreatif Islamisasi budaya Jawa seperti mandeg,
Kemandegan ini akan merugikan dakwah Islam di tanah Jawa. Karena itu, dakwah di
bidang kebudayaan harus menjadi agenda serius mulai sekarang, bila umat Islam
tetap ingin sebagai tuan rumah di tanah Jawa.
Serat Darmogandul Sebuah Bentuk Kontroversi Terhadap
Islam
Serat Darmogandul
Serat
Darmogandul adalah serat yang berisi dialog tokoh-tokoh jaman dahulu berbentuk
puisi tembang macapat. Serat ini biasanya digunakan sebagai bahan studi
sejarah, terutama terkait keruntuhan Majapahit. Selain itu, terdapat juga
cerita tentang Prabu Brawijaya yang berubah kepercayaan dari agama Buddha ke
agama Islam.
Serat
Darmogandul ini mengambil ide cerita dari serat Babad Kadhiri. Meskipun
merupakan plagiasi dari serat Babad Kadhiri, namun tampaknya serat ini ditulis
dengan motif tertentu yaitu keberpihakan penulisnya terhadap pemerintah
kolonial Belanda serta kecenderungan terhadap misi Kristen di tanah Jawa. Akan
tetapi, Serat Darmogandul ini dilarang untuk beredar karena dianggap bermuatan
penghinaan terhadap Islam.
Penulis Serat Darmogandul
Serat
Darmogandul pertama kali diterbitkan Redaksi Almanak H. Bunning, Yogyakarta,
pada tahun 1920. Lalu pada tahun 1959, T.B Sadu Budi Solo menerbitkan Serat
Darmogandul versi prosa. Tidak jelas siapa penulis dari Darmogandul. Pada seri
yang diterbitkan oleh Dahara Prize disebutkan nama penulisnya adalah Ki
Kalamwadi, namun itu merupakan nama samaran (kalam berarti pena, wadi berarti
rahasia : penulis yang merahasiakan namanya).
Menurut
M. Hari Soewarno penulis dari Darmogandul adalah Ronggowarsito, sastrawan Jawa
terkenal dari Keraton Surakarta. Namun klaim ini diragukan, karena
Ronggowarsito akan mencantumkan kalimat yang digunakan untuk menyiratkan
namanya atau disebut “Sandi Asma” dalam setiap karyanya. Sedangkan pada
Darmogandul tidak ditemukan “Sandi Asma” seperti pada karya-karya yang lainnya.
Terlebih, terdapat bukti yang menyatakan bahwa Ronggowarsito adalah seorang
santri. Sehingga mustahil bagi serang santri untuk menulis hal yang berbau porno
di dalam karyanya.
Selain
itu, menurut Prof. Dr. G.W.J. Drewes (The Struggle between Javanism and Islam
as Illustrated by the Serat Dermogandul dan Javanese Poems Dealing with or
Attributed to the Saint of Bonang) kitab Darmogandul merupakan buah tulisan
seorang bangsawan tinggi di Kediri dan bersumber dari Babad Kadhiri (1873).
Sementara,
menurut Prof. Dr. H.M. Rasjidi, dalam Islam dan kebatinan, Pangeran Suryonegoro
selaku putra dari Hamengkubuwana VII adalah penulis serat Darmogandul. Rasjidi
mengatakan bahwa terdapat beberapa kata Belanda seperti klacht (kelah) dalam
serat. Ia berfikir bahwa Darmogandul ditulis pada zaman penjajahan Belanda.
Isi Serat Darmogandul
Isi
Serat Darmogandul menceritakan tentang perubahan kepercayaan orang Jawa dari
agama Budha ke agama Islam. Serta kisah berdirinya Kerajaan Islam Demak dan
runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Sebagai
awalan, terdapat dialog antara Darmogandul dan Ki Kalamwadi. Darmogandul
bertanya kepada Kalamwadi tentang bagaimana orang Jawa meninggalkan agama Budha
dan berubah menganut agama Islam. Ki Kalamwadi memberikan informasi berdasarkan
penjelasan dari gurunya (Raden Budi). Kalamwadi mulai menceritakan kepada
Darmogandul bagaimana sejarahnya, mulai dari awal kerajaan Majapahit yang
sebelumnya bernama Majalengka hingga keruntuhan Majapahit dan berdirinya
Kesultanan Demak.
Bermula
dari raja Kerajaan Majapahit yaitu Prabu Brawijaya yang jatuh hati terhadap
Putri Cempa yang pada saat itu menganut agama Islam. Prabu Brawijaya pun mulai
tertarik dan penasaran terhadap agama Islam setelah beberapa kali Sang Putri
bercerita kepadanya. Setelah itu, pengikut Putri Cempa bernama Sayid Rakhmat
datang ke Majalenka. Ia meminta izin kepada Raja untuk menggelar penyebaran
syariat agama Islam. Sang Raja pun mengabulkan permintaannya. Penyebaran agama
Islam terus berkembang, dan semakin banyak orang yang berpindah kepercayaan
dari agama Budha ke agama Islam.
Selain
itu, di ceritakan juga tentang keruntuhan Kerajaan Majapahit yang disebabkan
oleh serangan dari Adipati Demak bernama Raden Patah yang sebenarnya masih
merupakan putra dari Prabu Brawijaya. Menurut kitab Darmogandul, Raden Patah
diprovokasi oleh para ulama yang dipimpin Sunan Giri dan Sunan Bonang yang
tergabung dalam majlis dakwah wali sangah untuk merebut takhta kerajaan dari
ayahnya yang masih kafir, karena memeluk agama Buddha. Rencana ini berhasil dan
Majapahit berhasil runtuh. Sayangnya, Prabu Brawijaya berhasil meloloskan diri.
Hingga akhirnya digantikannya Majapahit dengan berdirinya Kesultanan Demak.
Hampir
seluruh isi Serat Darmogandul ini merupakan turunan dari cerita Babad Kadhiri
yang ditulis pada 1832. Hal ini juga
disetujui oleh G.W.J Drewes, seorang orientalis Belanda, ia mengungkapkan bahwa
Babad Kadhiri menyiapkan tema utama dan ide bagi penulisan buku Darmogandul.
Kontroversi Sinisme Terhadap Islam
Serat
Darmogandul adalah buku yang banyak mengandung kontroversi. Terutama tentang
pembahasan masuknya Islam ke tanah Jawa. Buku Darmogandul ini banyak memiliki
kesalahan data dalam mengungkap fakta sejarah. Seperti, cerita keruntuhan
Kerajaan Majapahit yang disebabkan oleh serangan Raden Patah yang masih
merupakan anak dari Prabu Brawijaya dan dianggap sebagai anak durhaka. Yang
pada kenyataanya Raden Patah hanyalah merebut kekuasan Girindrawardana yang
sebelumnya telah memporak-porandakan Majapahit.
Selain
itu, pada buku ini juga membahas tentang “budi buruk” para ulama yang diberi
izin untuk menyebarkan Islam di wilayah Majapahit, namun saat Islam sudah
menjadi besar mereka balik menyerang Majapahit dan melupakan budi baik sang
Raja. Hal itu diperjelas dengan ekspresi penulisan Darmogandul dalam
mengartikan kata wali adalah walikan (balikan) yang artinya diberi kebaikan
namun membalas dengan keburukan.
Kontroversi
yang lain yaitu penyajian pikiran-pikiran tentang seks yang digunakan sebagai
penafsiran materi ajaran Islam pada kedudukan pornografis. Didalam buku ini
juga sebelumnya menyatakan pendapat bahwa babi dan anjing lebih baik dari
kambing curian dan penghinaan dengan gaya jarwodosok terhadap quran. Jarwodosok
merupakan gaya bahasa penulisan atau bahasa lisan khas para pelawak jawa
(mencari persamaan bunyi yang cenderung lucu atau porno). Terdapat
kalimat-kalimat lain yang juga menunjukan penghinaan terhadap Islam.
Karena
itu, Buku Darmogandul ini dilarang beredar. Namun, pada akhirnya diterbitkan
kembali dengan menghapus beberapa bagian yang dapat menimbulkan kontroversi
serta diberikan kata pengantar atau catatan agar pembaca mengerti dan tidak
menyalah artikan isi dari buku tersebut.