NASAB
Kebanyakan
dari kita tentu pernah mendengar kata nasab dalam kehidupan sehari-hari. Namun,
tak banyak yang benar-benar paham artinya. Nasab berasal dari bahasa Arab
al-nasb yang artinya menghubungkan kekerabatan, keturunan atau menyebutkan
keturunan. Bila al-nasb dibentuk menjadi kalimat tanaasub artinya ikatan, hubungan,
kesamaan, atau kesetaraan.
Dalam
terminologi fikih, nasab diartikan sebagai suatu ikatan yang memiliki kekuatan
untuk melanggengkan berdirinya sebuah tatanan kehidupan berkeluarga yang kokoh.
Nasab berfungsi sebagai alat pengikat masing-masing anggota keluarga dengan
ikatan abadi yang dihubungkan melalui dasar-dasar kesatuan darah antara satu
dengan lainnya.
Sehingga
seorang anak merupakan bagian dari ayahnya demikian pula ayah merupakan bagian
dari anaknya. Dengan begitu nasab dapat dikatakan sebagai pengikat satu
kesatuan keluarga besar dengan ikatan satu darah atau genetik.
Pengertian
Nasab Menurut Para Ahli.
1.
Wahbah
al- Zuhaili. Mendefinisikan nasab sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk
meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau
pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya seorang
anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah bagian dari kakeknya. Dengan
demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian
darah.
2.
Ibnu
Athiyah. Menyatakan bahwa nasab adalah "an yajma'a insan ma'a akhar fi
abin au ummin qaraba dzalik am ba' uda" artinya seorang manusia berkumpul
bersama yang lain dalam hubungan kebapaan atau keibuan, baik hubungan itu dekat
maupun jauh.
3.
Ibnu
Aby Taghlib. Menyatakan nasab merupakan "al-ittishal baina insanain bi
al-isytirak fi wiladatin qariibatin au ba 'idatin" artinya hubungan
keterikatan antara dua orang dengan persamaan dalam kelahiran, dekat maupun
jauh.
Hukum Nasab dalam Islam
Nasab
dalam hukum Islam memiliki kualitas yang sangat penting, karena dengan adanya
nasab secara filosofi antara anggota keluarga besar memiliki keterkaitan dan
keterikatan yang sangat kuat dan menjadi fondasi utama untuk membentuk suatu
kelompok manusia yang kokoh, setiap anggota kelompok dan terkait dengan anggota
lainnya, seolah-olah membentuk jaringan laba-laba dalam kehidupan bersama dalam
bermasyarakat dan bernegara.
Dengan
terbentuknya jaringan tersebut, maka satu anggota dengan anggota lainnya akan
terjalin hubungan persaudaraan yang harmonis, yang dilandasi dengan terciptanya
kasih sayang yang mendalam. Selain itu, dengan landasan tersebut akan tercipta
suasana pergaulan dalam kehidupan antara masing-masing anggota yang damai,
tentram dan terkendali, karena masing-masing anggota dalam kelompok itu akan
selalu menyadari apa kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap yang lain dan
hak apa saja yang harus ia terima dari anggota kelompok lain.
Hukum
Islam melarang seorang ayah mengingkari nasab anak-anaknya, demikian pula
seorang ibu diharamkan menghubungkan nasab anak bukan pada ayah yang
sebenarnya. Demikian pula hukum Islam mengharamkan menghubungkan nasab anak
dengan ayah angkatnya.
Demikian
urgensinya nasab dalam perikatan keluarga besar seorang manusia. Oleh karena
itu untuk melindungi dan memelihara keberadaan nasab ini, maka dalam hukum
Islam terdapat syari'ah haram melakukan zina beserta hal-hal yang akan menjerumuskan
orang terhadap perbuatan zina, terdapat syari'ah haran qadzaf (menuduh
melakukan zina), terdapat syari'ah li'an antara suami istri, terdapat syariah
iddah da istibra.
Nasab
secara etimologi bererti al qorobah (kerabat), kerabat dinamakan nasab kerana
antara dua kata tersebut ada hubungan dan keterkaitan.
Berasal
dari frasa nisbatuhu ilaa abiihi nasaban (nasabnya kepada ayahnya), Ibnus Sikit
berkata,Nasab itu dari sisi ayah dan juga ibu. Sementara sebahagian ahli bahasa
mengatakan, Nasab itu khusus pada ayah, ertinya seseorang dinasabkan kepada
ayahnya saja dan tidak dinasabkan kepada ibu kecuali dalam keadaan luar biasa.
Beberapa
peneliti kontemporari berusaha memberikan takrifan nasab dengan makna khusus
iaitu kekerabatan dari jalur ayah kerana manusia hanya dinasabkan kepada
ayahnya saja. (al Bashmah al Warotsiyah hal 2).
Penisbahan bin/binti di belakang nama
Peletakan
nama bin (anak laki-laki) dan binti (anak perempuan) yang disertai dengan nama
ayahnya setelah nama anaknya adalah sesuatu yang disyariatkan di dalam agama
Islam.
Firman
Allah : ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ
Ertinya:
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka.” (QS. Al Ahzab : 5)
Di
dalam ayat itu Allah swt meminta agar setiap anak dinisbahkan kepada ayahnya
tidak kepada ibunya, sehingga disebut fulan bin fulan tidak fulan bin fulanah.
Ketika seseorang dipanggail atau diseru ia juga dipanggil dengan,”Wahai bin
fulan,” tidak “Wahai bin fulanah.”
Pada
hari kiamat pun manusia akan dipanggil dengan namanya yang dinisbahkan kepada
ayahnya, fulan bin fulan, sebagaimana disebutkan didalam hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi Muhammad s.a.w., ”Sesungguhnya seorang
pengkhianat akan mengangkat sebuah panji untuknya pada hari kiamat. Dikatakan
kepadanya, ’Inilah pengkhianatan fulan bin fulan.” (HR. Bukhori)
Ibnu
Batthol mengatakan, ”Panggilan dengan ayahnya lebih senang dikenal dan lebih
mengena untuk membezakannya dengan orang lain.” (Fathul Bari juz X hal 656)
Penisbahan
seorang anak kepada ayahnya ini kerana ayahnya adalah pemimpin bagi isteri dan
anak-anaknya baik di dalam maupun di luar rumah.
Pemeliharaan Islam terhadap nasab
Allah
swt menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling kenal
mengenal. Realiti berbangsa-bangsa dan bersuku-suku ini tidak akan diketahui
tanpa adanya saling kenal mengenal dan interaksi kecuali dengan mengetahui
nasab-nasab mereka dan memeliharanya dari ketercampuran dan kerancuan dari
nasab-nasab orang selainnya.
Islam
membatalkan setiap bentuk hubungan yang telah dikenal oleh sebagian umat dan
masyarakat yang menyimpang dari syariat Allah yang lurus. Islam tidak
membolehkan hubungan selain hubungan yang ditegakkan di atas pernikahan yang
syar’i dengan berbagai persyaratan yang telah ditentukan atau memiliki budak
yang juga telah ditentukan, firman-Nya,
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٥﴾ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦﴾ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْعَادُونَ ﴿٧
Ertinya
: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas.” (QS. Al Mukminun : 5 – 7).
Di
antara pemeliharaan islam terhadap nasab adalah kecamannya yang keras terhadap
berbagai pengingkaran nasab dan ancaman kepada para ayah dan ibu yang
mengingkari keberadaan nasab anak-anak mereka, sikap berlepas dirinya dari
anak-anak itu, atau ketika menasabkan seorang anak yang bukan dari mereka.
Sabda
Rasulullah saw,”… Dan setiap laki-laki yang mengingkari anaknya padahal dia
mengetahuinya maka Allah menghijab darinya pada hari kiamat serta Dia swt akan
menghinakannya dihadapan orang-orang yang terdahulu dan akan datang.” (HR. Abu
Daud)
Islam
mengharamkan penasaban seseorang kepada selain ayahnya sebagaimana sabda
Rasulullah saw yang berisi ancaman keras terhadap pelakunya, ”Siapa yang
menganggap kepada selain ayahnya sedangkan dia mengetahui bahwa dia bukanlah
ayahnya maka syurga diharamkan atasnya.” (HR. Bukhori)
Islam
membatalkan pengangkatan anak, penasaban anak angkat kepada ayah angkatnya,
setelah hal ini dianggap biasa dan tersebar di kalangan orang-orang jahiliyah
pada awal-awal Islam. Allah swt berfirman :
ادْعُوهُمْ
لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
Artinya
: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapa-bapa mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu.” (QS. Al Ahzab : 5)
NASAB
ANTARA HUBUNGAN DARAH DAN HUKUM SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KEWARISAN
Masalah
keturunan (nasab) dan kewarisan tidak semuanya didasarkan pada ayat al-Qur’an
yang qath’i. Peran akal manusia tidak dapat diingkari dan, sebagai konsekuensi
logisnya, pengaruh sosial budaya sulit untuk dihindari. Karena itu, kajian dan
ijtihad ulang mengenai persoalan tersebut sepantasnya dilakukan. Sesungguhnya
hubungan nasab pada dasarnya adalah hubungan darah. Legalitas nasab seseorang
dengan ibunya bersifat otomatis berdasarkan wiladah. Sedangkan nasab seseorang
dengan ayahnya, meskipun juga pada dasarnya adalah hubungan darah, fuqaha’
mensyaratkan bahwa hubungan yang berakibat lahirnya orang tersebut bukanlah
hubungan yang haram (zina). Nasab pada dasarnya merupakan hubungan darah, maka
seseorang mempunyai nasab dengan ayahnya dan ibunya. Hubungan nasab dengan
lebih kuat daripada dengan ayah yang lebih banyak didasarkan pada asumsi, klaim
dan kesaksian. Konsekuensi lebih lanjut, hubungan kekerabatan dengan para
kerabat dari pihak ibu juga kuat daripada hubungan kekerabatan dengan para
kerabat dari pihak ayah. Hal ini berimplikasi terhadap masalah kewarisan.