Garwo
(Sigarane Nyowo)
Garwo
adalah saling memahami.
Orang
yang kedatangannya menjadi obat bagi setiap lukanya, luka dihati, luka pikiran,
luka jiwa, hingga luka raga.
Garwo
adalah orang yang tidak akan pernah berubah menjadi apa yang dia tidak suka.
Orang
yang akan membuatnya rela melakukan apapun asal ia bisa memberikan seiris
senyum pada orang yang disayang.
Garwo
adalah orang yang bila ia jauh darinya, maka ia dadanya akan terasa sakit,
sesak menahan rasa rindu.
Garwo
adalah kata dalam bahasa Jawa yang artinya istri.
Kata
ini adalah singkatan dari sigarane nyowo atau di dalam bahasa Indonesia artinya
belahan jiwa.
Bahasa
menggambarkan budaya, jadi dengan mengerti arti yang terkandung di dalam kata,
kita bisa membaca budaya.
Dalam
budaya Jawa seorang suami menghormati istrinya dan memahami istrinya sebagai
belahan jiwanya, ia tidak bisa hidup tanpanya.
Bahkan
dikatakan saking dekatnya hubungan suami istri, sehingga ketergantungan istri
kepada suami, diungkapkan dengan kalimat, swargo nunut, neraka katut yang arti
hurufiahnya kalau suami masuk sorga istri juga terikut demikian juga kalau
masuk neraka.
Dengan
kata lain hidup mereka benar-benar tak terpisahkan.
Persoalannya
adalah teori tak semudah kenyataan.
Pada
kenyataannya banyak pasangan suami-istri yang bercerai, dan melupakan janji
pernikahannya di hadapan Tuhan.
Banyak
pasangan putus asa di dalam membangun kebersamaan. Namun bilamana setiap
pasangan, memahami janji pernikahannya dan menghargai pasangannya sebagaimana
arti yang disandang yaitu belahan jiwa, maka sebuah pernikahan akan berlangsung
langgeng.
Biasanya
semboyan aku tak bisa hidup tanpa kau hanya saat pacaran atau saat bulan madu.
Ketika persoalan nyata di dalam rumah tangga seperti persoalan pekerjaan dan
lain-lain muncul, maka akan berakibat gairah cinta luntur.
Persoalan
berikutnya adalah perbedaan karakter pria dan wanita, di rumah tanggalah
masing-masing karakter yang unik didewasakan. Itu sebabnya masing-masing
pasangan harus mengerjakan PR-nya, ingat pasangan yang sudah menikah adalah
satu tubuh, bila masing-masing mempertahankan ego dan mau menang sendiri, maka
yang terjadi adalah yang menang jadi arang yang kalah jadi abu.
Pada
prinsipnya jangan pernah berusaha merubah pasangan tetapi rubah diri kita
sendiri.
Dengan
demikian semakin hari pernikahan akan bertambah harmonis, sehingga pernikahan
Anda layak dinilai seperti semboyan yang ideal ini adalah biasa kita menikahi
pasangan yang Anda cintai, tetapi adalah luar bisa jika Anda tetap mencintai
pasangan yang telah lama kita nikahi.
Garwo
secara kasar bisa diartikan suami/istri.
Merupakan
singkatan dari Sigarane Nyowo atau Belahan Jiwa.
Garwo
juga merupakan versi halus/tinggi (Krama Inggil) dari bojo yang berarti sama
suami/istri.
Garwo
(Belahan Jiwa) lebih dari sekedar bojo (suami/istri), disebut belahan jiwa
karena secara wanita tercipta dari tulang rusuk pria sehingga keduannya
merupakan kesatuan. Dan juga garwo bermakna filosofi bahwa sepasang suami istri
itu kalau bahagia harus dirasakan bersama dan kalau susah harus ditanggung
bersama, tidak terpisahkan, maka pasangan yang demikian ini yang disebut garwo.
Setiap
makhluk diciptakan berpasang-pasang.
Ada
siang ada malam, ada pria ada wanita.
Dalam
bahasa Jawa pasangan biasa disebut dengan kata bojo dan garwo.
Sebenarnya
untuk kata pasangan dalam bahasa Jawa adalah bojo.
Jadi
setiap orang yang sudah memiliki pasangan (menikah), berarti telah memiliki
bojo. Namun belum tentu bojo yang dimiliki adalah garwo.
Sebab
kata garwo memiliki makna lebih dalam.
Orang
Jawa biasa mengatakan garwo adalah singkatan dari Sak sigaring jiwo. Secara
sederhana Sak sigaring jiwo berarti belahan jiwa.
Selalu
ada dua sudut pandang dalam melihat suatu hal. Pemahaman yang utuh akan
menjadikan kebijaksanaan dalam bersikap.
Dalam
satu sudut pandang, aku adalah aku sendiri ini. Secara mandiri dan bebas aku
berdiri sendiri dengan utuh.
Namun
sadarkah, bahwa dari sudut pandang yang lain, aku yang ini, aku yang mandiri
dan bebas ini sebenarnya hanya setengah.
Sebenarnya
aku yang sendiri belumlah utuh.
Kemudian
setengahnya lagi adalah pasangan sejatiku.
Pasangan
sejati hanya ada 1 dalam kehidupan, namun belum tentu dalam satu kehidupan kita
dapat menemukan dan bersamanya. Siapapun pasanganmu adalah bojomu, namun belum
tentu pasanganmu itu garwomu.
Sebab
sejatinya kata garwo digunakan untuk menyebut pasangan sejati yang menjadi bojo
kita. Sedang pasangan yang bukan pasangan sejati hanya disebut dengan bojo.
Kadang
satu kata menunjukkan makna yang dalam, satu kata memberi pelajaran untuk
memahami realitas semesta. Serta pemilihan kata menjadi penting ketika benar-benar
dimengerti maknanya.
Menurut KH. Maimoen Zubeir
Garwo
adalah istilah jawa dari istri. Garwo adalah akronim (singkatan) dari kata
sigarane nyowo (belahan hati) Dan belahan hati adalah penentu sang buah hati.
KH.
Maimoen Zubeir pernah dawuh Neng Al Qur-an :
ﻧﺴﺎﺅﻛﻢ ﺣﺮﺙ ﻟﻜﻢ
Istri
iku ladang kanggo suami. Sepiro apike bibit tapi nek tanahe atau ladange ora
apik, ora bakal ngasilno pari apik.
Artinya :
Di
dalam Al Qur’an, Istri itu ibarat sebuah ladang bagi suami. Seberapa bagus
bibit tetapi kalau tanah dan ladangnya tidak bagus, maka tidak akan menghasilkan
padi yg bagus pula.
Maka,
beliau menawarkan konsep dalam mencari istri itu hendaknya:
Nek
milih bojo iku sing ora patiyo ngerti dunyo, mergo sepiro anakmu sholeh, sepiro
sholehahe ibune.
Artinya
:
Jika
memilih istri sebaiknya (wanita yg) tidak begitu suka dunia, karena seberapa
sholeh anakmu tergantung dari seberapa sholeh ibunya.
Seirama
dengan beliau menurut, KH. M. Anwar Manshur pun berpesan :
Carilah
wanita yg memiliki nasab baik, karena itu akan mempengaruhi nasib yg baik pula.
Tapi
andai kata jodohmu bukanlah orang yg memiliki nasab, maka buatlah nasab sendiri
dan bangun nasib dengan nasab yg kamu bangun.
Kemudian
Mbah Maimoen mengambil i'tibar dari kisah para sahabat Rasulullah:
Shohabat
Abbas iku nduwe bojo ora seneng dandan, nganti sohabat Abbas isin nek metu karo
bojone.
Tapi
beliau nduwe anak ngalime poll, rupane Abdulloh bin Abbas.
Artinya
: Sahabat Abbas mempunyai istri yg tidak suka berdandan, sampai sahabat Abbas
malu jika keluar rumah bersama istrinya. Tapi beliau memiliki anak yg sangat
alim sekali, yaitu Abdullah bin Abbas.
Sayyidina
Husain nduwe bojo anake Rojo Rustam (rojo Persia). Walaupun asale putri Rojo,
sakwise dadi bojone Sayyidina Husain wis ora patiyo seneng dunyo. Mulane nduwe
putro Ali Zainal Abidin bin Husain, ngalim-ngalime keturunane Kanjeng Nabi.
Artinya
: Sayyidina Husain (cucu Rosulullah SAW) memiliki istri dari putri Raja Rustam
(Raja Persia). Walaupun berasal dari putri raja, setelah menjadi istri
Sayyidina Husain sudah tidak begitu suka dunia. Makanya beliau memiliki putra
bernama Ali Zainal Abidin bin Husain, keturunan Rosulullah yang paling alim.
Beliau
juga memberikan contoh bukti real pentingnya peranan garwo di zaman now:
Kiai-Kiai
Sarang ngalim-ngalim koyo ngono, mergo mbah-mbah wedo'e do seneng poso.
Artinya
: Para kiyai dari Sarang bisa alim seperti itu, sebab para mbah perempuannya
suka berpuasa.
Beliau
pun memberikan contoh ulama besar Mekkah berdarah Padang Sumatra Barat. Tokoh
berdarah Nusantara itu bernama Abu Al-Faidh’ Alam Ad Diin Muhammad Yasin bin
Isa Al-Fadani, bergelar Almusnid Dunya (ulama ahli sanad dunia) karena
keahliannya dalam hal ilmu periwayatan hadits. Maka banyak para ulama-ulama
dunia berbondong-bondong untuk mendapat Ijazah Sanad hadits dari beliau.
Bahkan
Al-‘Allamah Habib Segaf bin Muhammad Assegaf salah seorang ulama dan waliyulloh
dari Tarim Hadromaut sangat mengagumi keilmuan Syekh Yasin Al-Fadani hingga
menyebut Syekh Yasin dengan Sayuthiyyu Zamanihi (imam Al Hafid Assayuthy pada
zamannya).
Mbah
Maimoen dawuh :
Syekh
Yasin Al Fadani iku nduwe istri pinter dagang, nduwe putro loro. Sing siji dadi
ahli bangunan sijine kerjo neng transportasi. Kabeh anake ora ono sing nerusake
dakwahe Syekh Yasin.
Artinya
: Syekh Yasin Al Fadani itu mempunyai istri yg pandai dalam berdagang, mereka
memiliki dua putra. Yang satunya ahli dalam bangunan, yg satunya bekerja dalam
bidang transportasi. Semua anaknya tidak ada yg meneruskan dakwah Syekh Yasin.
Beliau
memberikan konklusi (kesimpulan) bahwa :
Intine
iso nduwe anak ngalim, nek istrine ora patiyo ngurusi dunyo lan khidmah poll
karo suamine.
Artinya
: Intinya untuk memiliki anak yg alim, jika istrinya tidak begitu mengurusi
masalah dunia dan totalitas berkhidmah (patuh) kepada suaminya.
Nek
kowe milih istri pinter dunyo, kowe sing kudu wani tirakat.
Nek
ora wani tirakat, yo lurune istri sing ahli dzikir, kowene sing mikir dunyo
alias kerjo.
Artinya
: Jika kamu memilih istri yang pandai mengurus masalah dunia, kamu harus berani
untuk tirakat. Jika kamu tidak berani, yang kedua carilah istri yg ahi dalam
berdzikir, kamu yg berpikir masalah dunia alias bekerja.
Menurut
dawuhipun Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya :
Semangat
bekerja, bertanggung jawab, tidak meninggalkan sholat lima waktu dan mau
mendekati ulama dan orang-orang Sholeh.
Insya
Allah akan membawa kebaikan, baik duniawi maupun ukhrawi.
Yang
masih single semoga segera mendapat jodoh, yang membawa maslahat dunia dan
akhirat.
Permaisuri
Permaisuri
adalah istri raja. Arti lainnya dari permaisuri adalah istri raja yang utama
(apabila raja mempunyai lebih dari satu istri).
Permaisuri
adalah gelar bagi istri dari penguasa monarki pria (raja, maharaja, sultan,
atau kaisar).
Dalam
monarki yang menganut sistem poligami, permaisuri merujuk pada istri utama dari
penguasa monarki pria.
Meskipun
demikian, tidak setiap istri seorang penguasa monarki langsung mendapat gelar
permaisuri secara otomatis. Hal ini lantaran perbedaan hukum dan adat yang
berlaku di tiap daerah.
Gelar
lain yang juga memiliki makna hampir sama dengan permaisuri adalah ratu.
Dalam
kebudayaan Melayu (Indonesia, Malaysia, dan sekitarnya), gelar permaisuri
digunakan untuk merujuk pada istri utama penguasa monarki pria, baik raja
maupun sultan.
Sebagaimana
kedudukan permaisuri yang lebih tinggi dari pasangan raja yang lain, anak-anak
raja dan permaisuri juga memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari anak-anak
dari pasangan raja yang lain.
Hal
ini menjadikan putra-putra permaisuri biasanya didahulukan untuk menjadi
pewaris tahta.
SELIR
Selir
adalah istri seorang raja, kaisar, sultan, atau tsar yang diperoleh dari
pernikahan yang tidak diakui oleh agama dan umumnya tidak berdasarkan pengakuan
dari sang istri sah atau permaisuri.
Pada
zaman dahulu, raja-raja Jawa dikenal oleh masyarakat sebagai sosok setara dewa.
Kemakmuran
dan kemiskinan ditentukan oleh tangan mereka. Bahkan kejadian bencana alam
kerap dikaitkan dengan sosok sang raja.
Selain
itu, para raja biasanya memiliki banyak selir. Bahkan seorang raja bisa
memiliki selir hingga puluhan orang.
Jumlah
selir yang dimiliki biasanya menjadi semacam simbol bagi kekuasaan sang raja.
Bisa
dikatakan, selir merupakan perempuan-perempuan yang memiliki keterikatan
hubungan dengan sang raja tanpa status pernikahan.
Keterikatan
itu yang membuat para selir harus melayani sang raja dalam segala hal. Termasuk
untuk urusan ranjang.
Hal
tersebut yang kemudian memunculkan rasa penasaran publik, bagaimana para raja
bisa kuat dalam berhubungan dengan para selir yang jumlah banyak. Misalnya saja
Susuhunan Pakubuwono X yang diketahui memiliki selir hingga 45 orang.
Selir
adalah satu rahasia keperkasaan raja-raja Jawa adalah ramuan khusus. Ramuan itu
diminum tiap hari oleh raja-raja Jawa untuk menggauli para selirnya yang
jumlahnya mencapai puluhan orang itu.
Ramuan
itu merupakan campuran 40 butir merica, 40 butir daun sirih, serta 40 butir
bawang lanang. Bahan rempah tersebut kemudian dihaluskan menggunakan layah dari
batu.
Usai
dihaluskan, bahan-bahan tersebut lalu direbus dan disaring. Selanjutnya air
hasil saringan diembunkan selama semalaman. Pagi harinya air itu diminum.
Begitulah setiap harinya.
Selain
memiliki ramuan khusus, para raja di Jawa biasanya memiliki ilmu Asmaragama
yang berisi pedoman dalam bercinta.
Di
dalam ilmu itu, terdapat pedoman gaya bercinta dan sejumlah ajaran yang
memiliki filosofi Jawa.
Konsep
ajaran adalah Asmaratantra, yang mengajarkan kepada pasangan istri untuk
perasaan yang berbeda dan saling mendukung.
Konsep
kedua adalah Asmaraturida, yang mengajarkan pasangan suami istri tidak boleh
kaku dan harus mengeluarkan guyonan yang mengundang tawa.
Ajaran
ketiga adalah Asmaranala, yang mengajarkan tentang saling memberi dan saling,
disenangkan, maupun menyenangkan.
Selanjutnya
keempat adalah Asmaradana yang mengajarkan agar setiap pasangan mampu menemukan
hati pasangannya. Sedangkan yang terakhir Asmaratura, yang mengajarkan puji dan
rayu antara satu sama lain.
Selain
itu sebelum melakukan hubungan, raja-raja Jawa harus melakukan semedi dan
membersihkan diri.
Ritual
itu dilakukan raja sebagai bentuk persiapan sebelum bercinta, baik dengan
permaisuri maupun selirnya.
Sama
halnya dengan raja, para permaisuri dan selir juga mempersiapkan diri sebelum
bercinta.
Biasanya
mereka mandi, dandan atau memakai wewangian. Hal itu sesuai dengan ajaran
Asmaragama di mana kedua pihak harus saling menjaga kebersihan diri.
WAYUH
Telah
menjadi qodarnya bahwa pria sangat menyenangi wanita, begitupula sebaliknya.
Sehingga naluri qodarnya akan mempengaruhi tingkah laku pria dimana saja
berada. Contohnya : sesibuk apapun, pria akan menyempatkan melihat, minimal
melirik kepada wanita disekitarnya. Firman Allah di dalam Al-Qur'an yang
tersurat dalam Surat Ali Imron ayat 14 yang artinya "Telah dihiasi hati
manusia dengan kesukaan pada barang-barang yang diingini termasuk perempuan..."
Bagi
para remaja yang memang benar-benar sudah tidak kuat menahan dorongan nafsu
birahi yang menggebu dan dia sudah mampu untuk menikah, maka menikah adalah
jalan keluar yang terbaik untuk menjaga pelanggaran antara laki-laki dan
perempuan. Jikalau belum mampu bisa dengan puasa. Dan bagi laki-laki yang sudah
beristri satu merasa belum karekso (terjaga), namun masih mengkhawatirkan
dirinya untuk melanggar, maka jalan keluar yang terbaik adalah melaksanakan
sunnah Nabi yaitu polygami (wayuh). Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadist suami akan
lebih memejamkan pada pandangan dan menjaga pada farjinya. Bagi suami yang
mempunyai tendensi bertemperamen biologis tinggi (ngacengan), apabila kondisi
tidak memungkinkan berhubungan dengan istrinya (karena sakit, datang bulan, nifas
dll) maka bagi suami tersebut akan menjadi masalah besar. Maka dengan polygami
(wayuh) masalah tersebut dapat teratasi.
Firman
Allah dalam Al-Qur'an dalam Surat An-Nissa ayat 3 yang artinya : Maka
menikahlah kalian pada perempuan-perempuan yang kalian senangi dua atau tiga
atau empat, jika kalian kuatir tidak bisa berbuat adil maka cukup satu atau
pada budak kalian. Demikian itu lebih dekat untuk tidak nyimpang/melanggar.
Dari
beberapa teman yang sudah beristri lebih dari satu, mereka mengatakan dan
menceritakan kepada saya bahwa kehidupannya lebih bahagia dan dengan istri yang
pertama menjadi lebih mesra. Hal ini barangkali disebabkan karena hasrat
seksualnya terpenuhi dan seolah-olah mempunyai tenaga baru, ibarat aki yang
sudah swoak kemudian di cas maka aki tersebut menjagi bertenaga lagi dan bahkan
dari beberapa teman mengatakan kalau habis pulang dari istri muda maunya
bersenggama lagi dengan istri tuanya. Hal ini mungkin disebabkan karena penis
yang semakin terlatih dengan yang muda sehingga otot-otot dan pembuluh darahnya
semakin kuat dan tingkat sensitifitasnya semakin tinggi. Maka solisi yang
terbaik untuk menambah keintiman dalam rumah tangga adalah menikah lagi,
tentunya menikah yang dilaksanakan sesuai dengan syariat islam yang benar.
Banyak
dari golongan kaum hawa yang tidak tahu dan belum menyadari akan hal itu,
sehingga ketika suaminya melirik wanita lain langsung marah, apalagi kalau
bilang mau menikah lagi...wah istri langsung ngambek, marah , sewot dan mungkin
suami akan di marah-marah terus. Bahkan ada yang mengatakan "Silahkan ?,
nikah lagi...tapi ...bapak harus milih, saya apa dia. Ada juga yang mengatakan
"Awas, kalau nikah lagi!...Tak potong!..itunya. Sebagian juga mengatakan,
dengan terlalu PD nya "Suami saya ngak mungkin nikah lagi...karena service
saya sudah luar biasa". Kadang-kadang terjadi yang istrinya menyangka
suaminya tidak menikah lagi, eh..malah suaminya tahu-tahu sudah menikah
lagi..... Itulah fenomena yang yang terjadi yang berhubungan dengan masalah
polygami (wayuh). Tentunya masih banyak lagi cerita-cerita di luar sana yang
lebih seru lagi berkaitan dengan masalah polygami.
Sedikit
kami memberikan solusi kepada para suami yang mau menikah lagi, silahkan
laksanakan , sepanjang pernikahan itu dalam rel kebenaran dan sesuai dengan
hukum islam. Tidak harus memberitahu dulu kepada istrinya. Setelah wayuh
perlakukan istri yang pertama dengan baik, dan tunjukkan rasa sayang yang
lebih. Hubungan suami istri menjadi lebih harmonis. Ketika istri marah-marah
kita jangan terpancing ikut marah, tetapi kita harus diam dan sabar, setelah
kemarahan istri reda kita bisa berbicara dengan topik yang lain, untuk
mengalihkan perhatian istri. Insya Allah kalau hal ini dilakukan terus-menerus
akan membuat istri kita bisa menerima dan menganggap bahwa suaminya milik dia
seutuhnya.
Jangan
takut dengan polygami (wayuh), wayuh adalah solusi yang terbaik menghadapi
kemaksiatan yang semakin marak, apalagi dengan jumlah kaum hawa yang jumlahnya
lebih banyak dari kaum adam.
Siapa
yang akan menyelamatkan kaum hawa yang jumlahnya semakin banyak dan tidak
bersuami ?
Kalau
banyak diproduksi kondom secara besar-besaran sementara polygami dilarang
apakah itu yang disebut menyelamatkan bangsa dari perzinaan.
Tunggu
apa lagi ?, banyak janda yang masih ingin bersuami, banyak perawan-perawan tua,
apakah akan kita tonton dan kita biarkan mereka menderita batinnya.
Syarat
utama istri pertama syah mengjinkan dengan tulus iklas.
POLIGAMI
Poligami
adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa
lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
Dalam
antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari
satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Hal ini
berlawanan dengan praktik monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri.
Terdapat
tiga bentuk poligami yaitu:
Poligini
merupakan sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa
wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan.
Poliandri
adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih
dari satu orang dalam waktu yang bersamaan.
Pernikahan
kelompok (bahasa Inggris: group marriage) yaitu kombinasi poligini dan
poliandri.
Ketiga
bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, tetapi poligini merupakan
bentuk yang paling umum terjadi.
Walaupun
diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian
kalangan.
Terutama
kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai
bentuk penindasan kepada kaum wanita.
Poligini
dan poliandri dilakukan oleh sekalangan masyarakat Hindu pada zaman dulu.
Namun,
pada praktiknya dalam sejarah, hanya raja dan kasta tertentu yang melakukan
poligami. Poligami mungkin juga terjadi karena terpaksa yang dilakukan karena
berbagai alasan, misalnya karena tidak mempunyai keturunan atau tujuan politik
Raja-Raja Hindu.
Kitab-kitab
Hindu secara jelas melarang poligami.
Manawa
Dharmasastra yang digunakan sebagai pegangan hukum Hindu, Buku ke-3 (Tritiyo
‘dhayayah) pasal 5 berbunyi :
Asapinda
ca ya matura, sagotra ca ya pituh, sa prasasta dwijatinam, dara karmani
maithune.
Seorang
gadis yang bukan sapinda dari garis-garis ibu, juga tidak dari keluarga yang
sama dari garis bapak dianjurkan untuk dapat dikawini oleh seorang lelaki
dwijati.
Tafsirnya
adalah, perkawinan yang dianjurkan adalah antara satu orang gadis dan satu
orang lelaki di mana keduanya tidak mempunyai hubungan darah yang dekat.
Istilah dwijati ditafsirkan sebagai seorang lelaki yang telah menyelesaikan
pelajaran (kuliah) dan mendapat pekerjaan atau mandiri.
Pada
Rgveda X.27.12 tertulis :
Kiyati
yosa maryato vadhuyoh, pariprita panyasa varyena, bhadra vadhur bhavati yat
supesah, svayam sa mitram vanute jane cit.
Gadis-gadis
tertarik oleh kebaikan yang unggul dari para lelaki yang hendak mengawininya,
seorang gadis beruntung menjadi pemenang dari pilihan seorang lelaki dari
kumpulannya.
Poliandri
yang dilakukan Drupadi dalam Mahabharata tidak dipandang sebagai perkawinan
yang didasari pada kebutuhan sex, tetapi lebih ditekankan pada ajaran etika,
yaitu mentaati perintah Dewi Kunti agar panca Pandawa selalu bersatu dan selalu
berbagi dengan saudara-saudara yang lain.
Selain
itu, Drupadi pada kehidupannya yang lampau adalah seorang gadis tua yang tidak
kawin.
Ia memuja Dewa Siwa untuk diberikan suami yang
pantas. Permohonan itu ia ucapkan sebanyak lima kali sehingga pada
reinkarnasinya sebagai Drupadi, Dewa Siwa memenuhi permintaan itu dengan
memberikannya lima orang suami dari kesatria utama.
Dalam
agama Buddha, perihal poligami tidak dijelaskan dalam aturan secara langsung,
karena Sang Buddha tidak menetapkan hukum religius apapun berkaitan dengan
kehidupan rumah tangga, tetapi yang ada adalah nasihat-nasihat berharga tentang
bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga yang terpuji.
Buddha
Sidharta Gautama tidak menetapkan hukum religius yang berkaitan dengan
kehidupan rumah tangga, melainkan memberikan nasihat tentang bagaimana
menjalani kehidupan rumah tangga yang terpuji.
Walaupun
Buddha tidak menyebutkan apapun tentang jumlah istri yang dapat dimiliki
seorang pria, ia dengan tegas menyatakan bahwa seorang pria yang telah menikah
kemudian pergi ke wanita lainnya yang tidak dalam ikatan perkawinan, hal
tersebut dapat menjadi sebab keruntuhannya sendiri. Ia akan menghadapi berbagai
masalah dan rintangan lainnya.
Ajaran
Buddha hanya menjelaskan suatu kondisi dan akibat-akibatnya.
Orang-orang
dapat berpikir sendiri mana yang baik dan mana yang buruk. Bagaimanapun juga,
jika hukum negara menetapkan bahwa pernikahan haruslah monogami, hukum tersebut
harus dipatuhi.
Yudaisme,
walaupun kitab-kitab kuno agama Yahudi menandakan bahwa poligami diizinkan,
berbagai kalangan Yahudi kini melarang poligami.[7
Gereja-gereja
Kristiani umum, seperti Kristen Protestan, Katolik, dan Ortodoks, menentang
praktik poligami. Namun, beberapa aliran Kristen memperbolehkan poligami dengan
merujuk pada kitab-kitab kuno Yahudi. Gereja Katolik merevisi pandangannya
sejak masa Paus Leo XIII pada tahun 1866 yakni dengan melarang poligami yang
berlaku hingga sekarang.
Rujukan
yang digunakan umat Kristiani mengenai poligami adalah Kitab Injil Markus
10:1-12 yang berbunyi :
(10:1)
Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan
dan di situpun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia
mengajar mereka pula. (10:2) Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk
mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: "Apakah seorang suami
diperbolehkan menceraikan istrinya?" (10:3) Tetapi jawab-Nya kepada
mereka: "Apa perintah Musa kepada kamu?" (10:4) Jawab mereka :
"Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai."
(10:5) Lalu kata Yesus kepada mereka : "Justru karena ketegaran hatimulah
maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. (10:6) Sebab pada awal dunia,
Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, (10:7) sebab itu laki-laki
akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, (10:8)
sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. (10:9) Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia." (10:10) Ketika mereka sudah di rumah,
murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. (10:11) Lalu
kata-Nya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin
dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. (10:12)
Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia
berbuat zina.
Mormonisme
Penganut
Mormonisme pimpinan Joseph Smith di Amerika Serikat sejak tahun 1840-an hingga
sekarang mempraktikkan, bahkan hampir mewajibkan poligami. Tahun 1882, penganut
Mormon memprotes keras undang-undang anti-poligami yang dibuat pemerintah
Amerika Serikat. Namun praktik ini resmi dihapuskan ketika Utah memilih untuk
bergabung dengan Amerika Serikat. Sejumlah gerakan sempalan Mormon sampai kini
masih mempraktikkan poligami.
Islam
Islam
pada dasarnya berkonsep monogami dalam aturan pernikahan, tetapi memperbolehkan
seorang pria beristri lebih dari satu (poligini).
Islam
memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat
sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya.
Di
dalam Al-Quran surat An-nisa ayat ke-129 juga mengatakan bahwa "Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian.
Surat
an-nisa ayat ke-129 mengatakan bahwa seorang suami harus dapat berbuat adil
terhadap seluruh istrinya, dan mengatakan bahwa kalau seorang suami tidak bisa
berbuat adil kepada isteri-isterinya nanti, sebaiknya tidaklah melakukan
poligami.
Poligini
dalam Islam baik dalam hukum maupun praktiknya, diterapkan secara bervariasi di
tiap-tiap negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Di Indonesia
terdapat hukum yang memperketat aturan poligami untuk pegawai negeri, dan
sedang dalam wacana untuk diberlakukan kepada publik secara umum. Tunisia dan
Turki adalah contoh negara Islam yang tidak memperbolehkan poligami.
Poligami menurut Mahkamah Konstitusi Indonesia
Sebuah
lukisan yang menggambarkan seorang pria yang memiliki dua istri.
Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa asas
perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat,
dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan hak untuk
membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sebagaimana diutarakan dalam sidang pembacaan
putusan perkara No. 12/PUU-V/2007 pengujian UU Perkawinan yang diajukan M.
Insa, seorang wiraswasta asal Bintaro Jaya, Jakarta Selatan pada Rabu
(3/10/2007).
Insa
dalam permohonannya beranggapan bahwa Pasal 3 ayat (1) dan (2), Pasal 4 ayat
(1) dan (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, dan Pasal 24 UU Perkawinan
telah mengurangi hak kebebasan untuk beribadah sesuai agamanya, yaitu beribadah
Poligami. Selain itu, menurut Insa, dengan adanya pasal-pasal tersebut yang
mengharuskan adanya izin istri maupun pengadilan untuk melakukan poligami telah
merugikan kemerdekaan dan kebebasan beragama dan mengurangi hak prerogatifnya
dalam berumah tangga dan merugikan hak asasi manusia serta bersifat
diskriminatif.
Mahkamah
Konstitusi dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, dan menyatakan menolak
permohonan M. Insa karena dalil-dalil yang dikemukakan tidak beralasan. Menurut
Mahkamah Konstitusidalam pertimbangan hukumnya, pasal-pasal yang tercantum
dalam UU Perkawinan yang memuat alasan, syarat, dan prosedur poligami,
sesungguhnya semata-mata sebagai upaya untuk menjamin dapat dipenuhinya hak-hak
istri dan calon insteri yang menjadi kewajiban suami yang berpoligami dalam rangka
mewujudkan tujuan perkawinan.
Tujuan
perkawinan sebagaimana dikemukakan ahli Muhammad Quraish Shihab dalam sidang
sebelumnya yang dikutip dalam pertimbangan hukum putusan, adalah untuk
mendapatkan ketenangan hati (sakinah). Sakinah dapat lestari manakala kedua
belah pihak yang berpasangan itu memelihara mawaddah, yaitu kasih sayang yang
terjalin antara kedua belah pihak tanpa mengharapkan imbalan (pamrih) apapun,
melainkan semata-mata karena keinginannya untuk berkorban dengan memberikan
kesenangan kepada pasangannya.
Menurut
Shihab, sifat egoistik, yaitu hanya ingin mendapatkan segala hal yang
menyenangkan bagi diri sendiri, sekalipun akan meyakitkan hati pasangannya akan
memutuskan mawaddah. Itulah sebabnya, demi menjaga keluarga sakinah adalah wajar
jika seorang suami yang ingin berpoligami, terlebih dahulu perlu meminta
pendapat dan izin dari istrinya agar tak tersakiti. Di samping itu, izin istri
diperlukan karena sangat terkait dengan kedudukan istri sebagai mitra yang
sejajar dan sebagai subjek hukum dalam perkawinan yang harus dihormati harkat
dan martabatnya.
Muhammad
Quraish Shihab menyatakan bahwa asas perkawinan yang dianut oleh ajaran Islam
adalah asas monogami. Poligami merupakan kekecualian yang dapat ditempuh dalam
keadaan tertentu, baik yang secara objektif terkait dengan waktu dan tempat,
maupun secara subjektif terkait dengan pihak-pihak (pelaku) dalam perkawinan
tersebut.
Terkait
dengan salah satu syarat poligami yang terpenting, yaitu adil, pendapat Ahli
Huzaemah T. Yanggo yang dikutip dalam pertimbangan hukum putusan, menyatakan
bahwa kaidah fiqh yang berlaku adalah pemerintah (negara) mengurus rakyatnya
sesuai dengan kemaslahatannya. Oleh karena itu, menurut ajaran Islam, negara
(ulil amri) berwenang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh warga
negaranya yang ingin melakukan poligami, demi kemaslahatan umum, khususnya
mencapai tujuan perkawinan.
Mengenai
adanya ketentuan yang mengatur tentang poligami untuk WNI yang hukum agamanya
memperkenankan perkawinan poligami, hal ini menurut MK adalah wajar. Oleh
karena sahnya suatu perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan apabila
dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Sebaliknya, akan menjadi
tidak wajar jika UU Perkawinan mengatur poligami untuk mereka yang hukum
agamanya tidak mengenal poligami. Jadi pengaturan yang berbeda ini bukan suatu
bentuk diskriminasi, karena dalam pengaturan ini tidak ada yang dibedakan,
melainkan mengatur sesuai degan apa yang dibutuhkan, sedangkan diskriminasi
adalah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap dua hal yang sama.
Kewajiban Istri Terhadap Suami dalam Ajaran Agama
Islam
Demi
terciptanya rumah tangga yang harmonis, diperlukan kerja sama antar suami dan
istri. Semua peran harus melakukan tugasnya masing-masing agar seimbang dan
demi kebahagiaan keluarga.
Dalam
ajaran agama Islam, istri diharuskan untuk selalu menghormati suami karena
perannya sebagai pemimpin keluarga. Namun, peran istri juga tidak kalah penting
lho, Ma. Pasalnya istri harus bisa dijadikan teman diskusi untuk mengambil
keputusan yang berkaitan dengan keluarga.
Dalam
sebuah pernikahan, suami bertanggung jawab penuh atas hidup pasangannya. Jika
suami bertugas untuk mencari nafkah, istri pun punya peran untuk melayani
suami.
Berikut
Popmama.com telah merangkum kewajiban istri terhadap suami di dalam ajaran
agama Islam.
1.
Taat
patuh kepada suami. Sudah menjadi kewajiban seorang istri untuk mematuhi dan
taat kepada suami. Namun, bukan berarti istri tidak mempunyai kuasa atas
dirinya. Seorang istri bisa menentukan apapun yang mereka mau, namun tetap
harus mendapatkan izin suami terlebih dahulu. Seorang istri juga harus selalu
mendiskusikan pilihan mereka kepada suaminya. Hal ini dilakukan sebagai tanda
hormat kepada suami. Jadi, di dalam hubungan suami istri tidak menunjukan
bawahan atau atasan. Sebagai sebuah keluarga, pasangan suami dan istri juga
perlu mengingat bahwa mereka memiliki peranan masing-masing. Namun, seorang
suami memiliki peran lebih sebagau kepala keluarga, sementara tanggung jawab
istri berada di tangan suami. Dalam agama Islam telah dijelaskan dalam Alquran,
yaitu, “maka istri-istri yang saleh itu ialah yang taat kepada Allah dan
memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Oleh karenanya Allah telah
memelihara (menjaga) mereka,” - (QS. An Nisa: 34).
2.
Bisa
menyenangkan suami. Kewajiban istri kepada suami yang perlu diingat, yakni
menyenangkan hatinya. Mama bisa melakukan ini dengan cara-cara yang sederhana,
seperti memasak makanan kesukaannya, menghabiskan waktu bersama dan memberikan
tampilan sesuai dengan keinginan suami. Menyenangkan
hati suami juga bisa dengan berusaha untuk menciptakan sebuah keluarga yang
rukun dan harmonis. Perintah ini juga tertanam dalam hadis Abu Harairah RA,
beliau mengatakan kepada Rasulullah bahwa, “Sebaik-baik perempuan ialah seorang
perempuan yang apabila engkau melihatnya, engkau merasa gembira. Jika engkau
perintah, dia akan mentaatimu. Dan jika engkau tidak ada di sisinya, dia akan
menjaga hartamu dan dirinya”.
3.
Selalu
menjaga nama baik suami. Setiap rumah tangga pasti ada saja permasalahan yang
muncul, sehingga harus dihadapi bersama. Ketika ada masalah dengan suami, maka
seorang istri tidak diperkenankan untuk mengumbarkan masalah rumah tangganya
kepada orang lain. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga aib rumah tangga dan
nama baik suami. Sebagai istri, Mama sebaiknya tetap menjaga aib suami dan
masalah kehidupan rumah tangga berdua saja. Jangan pernah mengumbar kejelekan
atau aib suami diketahui oleh orang lain. Perlu diingat kalau suami merupakan seorang
kepala keluarga, jika namanya jelek itu membuktikan rumah tangga yang
dijalaninya sedang tidak berjalan dengan baik.
4.
Bisa
pelan-pelan meredakan kemarahan suami. Selama menjalani pernikahan, ada kalanya
terjadi masalah dalam rumah tangga. Terkadang suami pun ada masalah dengan
teman, saudara, keluarga, bahkan pekerjaan. Sebagai seorang istri sudah
kewajibannya untuk menemani dan menenangkan suami agar tidak stres menghadapi
masalah. Jika emosi suami tidak dapat tertahankan akan mempengaruhi rumah
tangga. Jadi, sebaiknya ketika suami sedang menghadapi masalah, Mama bisa
melakukan sesuatu untuk menenangkan hatinya. Menyenangkan suami ada banyak
caranya, seperti memasak makanan kesukaan, mendengarkan keluh kesah, bahkan
dengan menghabiskan berbagai momen berdua. Sudah kewajiban seorang istri untuk
terus menemani suami dalam keadaan apapun, termasuk saat sedang terkena musibah
atau suasana hatinya tidak stabil.
5.
Melayani
suami di atas ranjang. Kewajiban lainnya, seorang istri harus melayani
pasangannya di atas ranjang. Seorang harus bisa menyenangkan hati suami secara
batin ketika sedang melakukan hubungan seks. Hal ini bertujuan untuk menjaga
keintiman dan keharmonisan hubungan rumah tangga. Namun, istri bisa menolak
untuk berhubungan intim ketika sedang haid, sakit, nifas dan kondisi-kondisi
tertentu. Jadi, dalam kehidupan rumah tangga tidak boleh ada paksaan dalam melakukan
hubungan intim. Suami juga harus bisa mengerti ketika istrinya sedang sedang
merasa sakit dan tidak dapat berhubungan badan.
Nasihat Kewajiban Istri dalam Alquran dan Hadits
Rasulullah
Dalam
surat An Nisa ayat 34, Allah berfirman, Kaum laki-laki itu pemimpin wanita.
Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) alas sebagian yang
lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta mereka.
Maka wanita yang salehah ialah mereka yang taat kepada Allah dan memelihara
diri ketika suaminya tidak ada menurut apa yang Allah kehendaki.
Tentunya
yang harus diikuti adalah aturan ataupun nasihat yang berhubungan dan tidak
melenceng dari apa yang sudah diajarkan dan diperintahkan Allah SWT.
Mengikuti
apa yang disampaikan suami bukan semata-mata karena suami, melainkan karena memang
disebutkan pula oleh Allah. Kewajiban kedua yaitu istri wajib bersikap taat
pada suami. Sama seperti kewajiban sebelumnya, ketaatan ini hadir atas dasar
karena Allah SWT.
Dalam
ayat yang sama, Allah bersabda, "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya
maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi
Mahabesar.
Ketaatan
seorang istri pada suaminya disebut setara nilainya dengan jihad kaum lelaki.
Hal ini dikisahkan ketika ada seorang perempuan yang datang kehadapan Nabi dan
berkata, "Wahai Rasulullah SAW, saya mewakili kaum wanita untuk menghadap
tuan (untuk menanyakan tentang sesuatu). Berperang itu diwajibkan Allah hanya
untuk kaum lakilaki, jika mereka terkena luka, mereka mendapat pahala dan kalau
terbunuh maka mereka adalah tetap hidup di sisi Allah. lagi dicukupkan
rezekinya (dengan buah-buahan Surga). Dan kami kaum perempuan selalu melakukan
kewajiban terhadap mereka (yaitu melayani mereka dan membantu keperluan mereka)
lalu apakah kami boleh ikut memperoleh pahala berperang itu?
Mendengar
itu, Rasul pun bersabda, "Sampaikanlah kepada perempuan-perempuan yang
kamu jumpai bahwa taat kepada suami dengan penuh kesadaran maka pahalanya
seimbang dengan pahala perang membela agama Allah. Tetapi sedikit sekali dari
kamu sekalian yang menjalankannya."
Usai
menikah, Muslimah juga harus tetap menjaga auratnya. Ia tidak boleh memperlihatkan
aurat bahkan memiliki niatan mengundang atau memancing pada laki-laki yang
bukan suaminya. Menjaga aurat berarti menghormati dirinya sendiri.
Dalam
surat An Nuur ayat 31, Allah bersabda, "Katakanlah kepada wanita yang
beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau
putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita.
Dalam
sebuah hadis, dijelaskan wanita tidak boleh menganiaya suaminya dengan
pekerjaan yang membenaninya dan membuatnya sakit hati. Tugas seorang suami
adalah menafkahi keluarga, tapi sebagai seorang istri harus dapat memahami
kemampuan suaminya agar kelancaran juga menyertai keluarganya.
Nabi
Muhammad SAW dalam hadis disebut pernah bersabda, "Barang siapa (istri)
menganiaya suaminya dan memberi beban pekerjaan yang tidak pantas menjadi
bebannya (yakni suami) dan menyakitkan hatinya, maka para malaikat juru pemberi
rahmat (malaikat rahmat) dan Malaikat juru siksa (malaikat azab) melaknatinya
(yakni istri). Barang siapa (istri) yang bersabar terhadap perbuatan suaminya
yang menyakitkan maka Allah akan memberinya seperti pahala yang diberikan Allah
pada Asiyah dan Maryam binti Imran.
MACAM/JENIS/BENTUK
PERKAWINAN/PERNIKAHAN - POLIGINI, POLIANDRI, ENDOGAMI, EKSOGAMI,
Perkawinan
atau pernikahan merupakan legalisasi penyatuan antara laki-laki dan perempuan
sebagai suami isteri oleh institusi agama, pemerintah atau kemasyarakatan.
Berikut ini merupakan bentuk-bentuk perkawinan beserta pengertian / arti
definisi :
Bentuk Perkawinan Menurut Jumlah Istri / Suami
1.
Monogami.
Monogami adalah suatu bentuk perkawinan / pernikahan di mana si suami tidak
menikah dengan perempuan lain dan si isteri tidak menikah dengan lelaki lain.
Jadi singkatnya monogami merupakan nikah antara seorang laki dengan seorang
wanita tanpa ada ikatan penikahan lain.
2.
Poligami.
Poligami adalah bentuk perkawinan di mana seorang pria menikahi beberapa wanita
atau seorang perempuan menikah dengan beberapa laki-laki. Berikut ini poligami
akan kita golongkan menjadi dua jenis :
a.
Poligini
: Satu orang laki-laki memiliki banyak isteri. Disebut poligini sororat jika
istrinya kakak beradik kandung dan disebut non-sororat jika para istri bukan
kakak adik.
b.
Poliandri
: Satu orang perempuan memiliki banyak suami. Disebut poliandri fraternal jika
si suami beradik kakak dan disebut non-fraternal bila suami-suami tidak ada
hubungan kakak adik kandung.
Bentuk Perkawinan Menurut Asal Isteri / Suami
1.
Endogami.
Endogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam
lingkungan yang sama.
2.
Eksogami.
Eksogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam
lingkungan yang berbeda. Eksogami dapat dibagi menjadi dua macam, yakni :
a.
Eksogami
connobium asymetris terjadi bila dua atau lebih lingkungan bertindak sebagai
pemberi atau penerima gadis seperti pada perkawinan suku batak dan ambon.
b.
Eksogami
connobium symetris apabila pada dua atau lebih lingkungan saling tukar-menukar
jodoh bagi para pemuda. Eksogami melingkupi heterogami dan homogami. Heterogami
adalah perkawinan antar kelas sosial yang berbeda seperti misalnya anak
bangsawan menikah dengan anak petani. Homogami adalah perkawinan antara kelas
golongan sosial yang sama seperti contoh pada anak saudagar / pedangang yang
kawin dengan anak saudagar / pedagang.
Bentuk Perkawinan Menurut Hubungan Kekerabatan
Persepupuan
1.
Cross
Cousin. Cross Cousin adalah bentuk perkawinan anak-anak dari kakak beradik yang
berbeda jenis kelamin.
2.
Parallel
Cousin. Cross Cousin adalah bentuk perkawinan anak-anak dari kakak beradik yang
sama jenis kelaminnya.
Bentuk Perkawinan Menurut Pembayaran Mas Kawin /
Mahar
Mas
kawin adalah suatu tanda kesungguhan hati sebagai ganti rugi atau uang pembeli
yang diberikan kepada orang tua si pria atau si wanita sebagai ganti rugi atas
jasa membesarkan anaknya.
1.
Mahar
/ Mas Kawin Barang Berharga.
2.
Mahar
/ Mas Kawin Uang.
3.
Mahar
/ Mas Kawin Hewan / Binatang Ternak, dan lain-lain.
Kejahatan Perkawinan dalam KUHP
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur pemidanaan terhadap kejahatan
perkawinan, sebagaimana dimaksud dalam Bab XIII tentang Kejahatan Terhadap Asal
Usul dan Perkawinan, khususnya Pasal 279 dan Pasal 280 KUHP.
Pasal
279 KUHP :
Diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun :
1)
barang
siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2)
barang
siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
Jika
yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak
lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal
280 KUHP :
Barang
siapa mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahu kepada pihak
lain bahwa ada penghalang yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut, perkawinan lalu
dinyatakan tidak sah
Berdasarkan
ketentuan di atas, perkawinan bigami yang disembunyikan, merupakan tindak
pidana, khususnya jika yang melakukan perkawinan menyembunyikan kepada pihak
lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Misalnya, seseorang
laki-laki mengaku masih single kepada seorang perempuan, padahal ia masih
terikat perkawinan dengan istrinya.
Selain
itu, apabila seseorang melangsungkan perkawinan, padahal dia tahu bahwa
pasangannya tidak boleh melakukan perkawinan karena sedang ada penghalang, maka
ia dapat dipidana penjara 5 tahun.
Dengan
demikian, merujuk ke KUHP, perkawinan baru yang dilakukan dengan
menyembunyikan adanya penghalang dari
perkawinan sebelumnya merupakan tindak pidana.
Di
sisi lain, perkawinan bigami dan poligami merupakan bagian dari kekerasan
terhadap perempuan dalam perkawinan. Komnas Perempuan sejak tahun 2010
mengidentifikasi perkawinan poligami sebagai salah satu penyebab utama
tingginya perceraian, atau dengan kata lain perkawinan poligami adalah salah
satu bentuk kekerasan terhadap perempuan.
UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas perkawinan monogami
terbuka. Artinya, bahwa UU Perkawinan tetap memperbolehkan dilakukannya
poligami, -atau secara khusus memperbolehkan perkawinan dengan lebih dari satu
istri (poligini)- dengan syarat-syarat yang ketat yang harus dipenuhi seorang
laki-laki.
Manakala
syarat-syarat tidak bisa terpenuhi, maka terdapat halangan perkawinan yang sah
dan perkawinan poligini tersebut adalah kejahatan.
Melindungi Lembaga Perkawinan
Pengaturan
Pasal 279 dan Pasal 280 KUHP pada hakikatnya bertujuan melindungi lembaga
perkawinan. Sebab kedua pasal tersebut, tidak hanya menyasar lelaki (suami)
tetapi juga perempuan (kedua, ketiga dan keempat) yang dinikahinya ketika
mengetahui bahwa calon suaminya atau calon isterinya masih terikat perkawinan
dan tidak memenuhi persyaratan untuk melangsungkan perkawinan poligini
(perkawinan dengan lebih dari satu istri) atau poliandri (perkawinan dengan
lebih dari satu suami).
Namun
demikian, dalam praktik, penerapan Pasal 279 KUHP ini masih beragam dalam
penegakannya.
Sebagai
gambaran, berikut ini diuraikan 2 contoh kasus :
1.
Pertama,
perempuan yang dijatuhi pidana tiga bulan karena menikah siri dengan seorang
pria beristri. Namun di tingkat banding, Pengadilan Tinggi menolak dan
menyatakan bahwa bagi orang muslim, perkawinan yang sah dilaksanakan berdasar
dan menurut cara serta memenuhi persyaratan sebagaimana yang terdapat dalam UU
Perkawinan. Di tingkat Kasasi MA juga menyatakan bebas bagi perempuan tersebut.
2.
Kedua, seorang pria beristri melakukan perkawinan
siri dan dituntut dengan Pasal 279 KUHP, kemudian dipidana satu tahun penjara.
Sampai dengan tahap Kasasi terdakwa tetap dijatuhi hukuman pidana yang sama.
Dalam hal ini, hakim memaknai pengertian perkawinan termasuk di dalamnya
perkawinan siri.
UNDANG-UNDANG
TENTANG PERKAWINAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA
Presiden
Republik Indonesia,
Menimbang
:
bahwa
sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum
nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua
warga negara.
Mengingat
:
1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.
BAB
I
DASAR
PERKAWINAN
Pasal
1
Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Pasal
2
(1).
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
(2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
3
(1)
Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2)
Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal
4
(1)
Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan
kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2)
Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal
5
(1)
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
adanya
persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka;
adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
(2)
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BAB
II
SYARAT-SYARAT
PERKAWINAN
Pasal
6
(1)
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2)
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3)
Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
(4)
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
(5)
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini.
(6)
Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
Pasal
7
(1)
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2)
Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita.
(3)
Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam
hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi
yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Pasal
8
Perkawinan
dilarang antara dua orang yang:
a.
berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b.
berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.
berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d.
berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
e.
berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f.
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
Pasal
9
Seorang
yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,
kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang
ini.
Pasal
10
Apabila
suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan
perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal
11
(1)
Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2)
Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Pasal
12
Tata-cara
pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
BAB
III
PENCEGAHAN
PERKAWINAN
Pasal
l3
Perkawinan
dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Pasal
14
(1)
Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus
keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang
calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2)
Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di
bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan
kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan
orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal
15
Barang
siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua
belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan
yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-undang ini.
Pasal
16
(1)
Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan
Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
(2)
Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini
diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal
17
(1)
Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai
pencatat perkawinan.
(2)
Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan
perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pasal
18
Pencegahan
perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali
permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal
19
Perkawinan
tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal
20
Pegawai
pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan
dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang
ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal
21
(1)
Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut
ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan
perkawinan.
(2)
Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin
melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu
keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan
penolakannya.
(3)
Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan
didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan
berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan
penolakan tersebut diatas.
(4)
Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan
ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan,
agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5)
Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan
penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi
pemberitahuan tentang maksud mereka.
BAB
IV
BATALNYA
PERKAWINAN
Pasal
22
Perkawinan
dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Pasal
23
Yang
dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
a.
Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
b.
Suami atau isteri;
c.
Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d.
Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal
24
Barang
siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua
belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal
25
Permohonan
pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau
isteri.
Pasal
26
(1)
Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri
oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga
dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau
isteri.
(2)
Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1)
pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan
dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal
27
(1)
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2)
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri
suami atau isteri.
(3)
Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari
keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup
sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal
28
(1)
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2)
Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b.
Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang
lebih dahulu;
c.
Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB
V
PERJANJIAN
PERKAWINAN
Pasal
29
(1)
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2)
Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan.
(3)
Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4)
Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
BAB
VI
HAK
DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Pasal
30
Suami
isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal
31
(1)
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2)
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3)
Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal
32
(1)
Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2)
Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh
suami isteri bersama.
Pasal
33
Suami
isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal
34
(1)
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2)
Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3)
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugutan kepada Pengadilan.
BAB
VII
HARTA
BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal
35
(1)
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2)
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal
36
(1)
Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
(2)
Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal
37
Bila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.
BAB
VIII
PUTUSNYA
PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal
38
Perkawinan
dapat putus karena :
a.
kematian,
b.
perceraian dan
c.
atas keputusan Pengadilan.
Pasal
39
(1)
Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2)
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri
itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3)
Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Pasal
40
(1)
Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2)
Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam
peraturan perundangan tersendiri.
Pasal
41
Akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a.
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b.
Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut;
c.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
BAB
IX
KEDUDUKAN
ANAK
Pasal
42
Anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah.
Pasal
43
(1)
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
(2)
Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal
44
(1)
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya,
bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat
daripada perzinaan tersebut.
(2)
Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepentingan.
BAB
X
HAK
DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
Pasal
45
(1)
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2)
Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak
itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal
46
(1)
Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2)
Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan
keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal
47
(1)
Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya.
(2)
Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan
diluar Pengadilan.
Pasal
48
Orang
tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.
Pasal
49
(1)
Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang
anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa
atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
la
sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
la
berkelakuan buruk sekali.
(2)
Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
BAB
XI
PERWALIAN
Pasal
50
(1)
Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada
dibawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang
bersangkutan maupun harta bendanya.
Pasal
51
(1)
Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,
sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua)
orang saksi.
(2)
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang
sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
(3)
Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4)
Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya
pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta
benda anak atau anak-anak itu.
(5)
Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau
kelalaiannya.
Pasal
52
Terhadap
wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.
Pasal
53
(1)
Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal
49 Undang-undang ini.
(2)
Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Pasal
54
Wali
yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah
kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan
Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian
tersebut.
BAB
XII
KETENTUAN-KETENTUAN
LAIN
Bagian
Pertama
Pembuktian
asal-usul anak
Pasal
55
(1)
Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang
autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2)
Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka
Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah
diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3)
Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi
pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan
mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Bagian
Kedua
Perkawinan
diluar Indonesia
Pasal
56
(1)
Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara
Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan
itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2)
Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan
Perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian
Ketiga
Perkawinan
Campuran
Pasal
57
Yang
dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal
58
Bagi
orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran,
dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal
59
(1)
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya
perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun
mengenai hukum perdata.
(2)
Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut
Undang-undang Perkawinan ini.
Pasal
60
(1)
Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa
syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak
masing-masing telah dipenuhi.
(2)
Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi
dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran,
maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing
berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat
telah dipenuhi.
(3)
Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu,
maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan
dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal
apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4)
Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu
menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5)
Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan
lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah
keterangan itu diberikan.
Pasal
61
(1)
Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2)
Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih
dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan
pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3)
Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui
bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.
Pasal
62
Dalam
perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1)
Undang-undang ini.
Bagian
Keempat
Pengadilan
Pasal
63
(1)
Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :
Pengadilan
Agama bagi mereka yang beragama Islam;
Pengadilan
Umum bagi lainnya.
(2)
Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.
BAB
XIII
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
64
Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi
sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan
lama, adalah sah.
Pasal
65
(1)
Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum
lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah
ketentuan-ketentuan berikut:
Suami
wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
Isteri
yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada
sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
Semua
isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak
perkawinannya masing-masing.
(2)
Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut
Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan
ayat (1) pasal ini.
BAB
XIV
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
66
Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie
Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op
de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
67
(1)
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang
pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2)
Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Agar
supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 2 Januari 1974.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
JENDERAL
TNI.
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS
NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA,
SUDHARMONO,
SH.
MAYOR
JENDERAL TNI.
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
PENJELASAN
UMUM:
1.
Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya
Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah
berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
2.
Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara
dan berbagai daerah seperti berikut :
bagi
orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah
diresipiir dalam Hukum Adat;
bagi
orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;
bagi
orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie
Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);
bagi
orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;
bagi
orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur
Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;
bagi
orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan
dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
3.
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka
Undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain
fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat
dewasa ini. Undang undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur
dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Keper- cayaannya itu dari yang
bersangkutan.
4.
Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai
perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Azas-azas
atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai
berikut:
a.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan
material.
b.
Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte
resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
c.
Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan,
seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan
seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki
oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
d.
Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu,
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa
batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju
kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini
menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19
(sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
e.
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan
sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan
di depan Sidang Pengadilan.
f.
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami-isteri.
5.
Untuk menjamin kepastian hukurri, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku,
yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila
mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku
ketentuan yang ada.
PENJELASAN
PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Sebagai
Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting.
Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula
merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan menjadi hak dan
kewajiban orang tua.
Pasal
2
Dengan
perurnusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum
rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang
Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukurn masing-masing agamanya dan
kepereayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam Undang- undang ini.
Pasal
3
1.
Undang-undang ini menganut asas monogami.
2.
Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut
dalam Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah
ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari salon suami mengizinkan adanya
poligami.
Pasal
4
Cukup
jelas.
Pasal
5
Cukup
jelas.
Pasal
6
1.
Oleh karena perkawinan mernpunyai rnaksud agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka
perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan
tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini,
tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum
perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) Undang-undang ini.
2.
Cukup jelas.
3.
Cukup jelas.
4.
Cukup jelas.
5.
Cukup jelas.
6.
Cukup jelas.
Pasal
7
1.
Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan
batas-batas umur untuk perkawinan.
2.
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1)
seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.
3.
Cukup jelas.
Pasal
8
Cukup
jelas.
Pasal
9
Cukup
jelas.
Pasal
10
Oleh
karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu
perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali,
sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
Pasal
11
Cukup
jelas.
Pasal
12
Ketentuan
Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.
Pasal
13
Cukup
jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal
17
Cukup
jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal
21 Cukup jelas.
Pasal
22
Pengertian
"dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal,
bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Pasal
23
Cukup
jelas.
Pasal
24
Cukup
jelas.
Pasal
25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal
28
Cukup
jelas.
Pasal
29
Yang
dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk
taklik-talak.
Pasal
30
Cukup
jelas.
Pasal
31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal
33
Cukup
jelas. Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal
35
Apabila
perkawinan Putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya
masing-masing.
Pasal
36
Cukup
jelas.
Pasal
37
Yang
dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing; ialah hukum agama, hukum
adat dan hukum lainnya.
Pasal
38
Cukup
jelas.
Pasal
39
1.
Cukup jelas.
2.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk pereeraian adalah :
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.
Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemauannya;
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
libel berat setelah perkawinan berlangsung.
d.
Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan berat yang
mernbahayakan terhadap pihak yang lain.
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f.
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
3.
Cukup jelas.
Pasal
40
Cukup
jelas.
Pasal
41
Cukup
jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal
44
Pengadilan
mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.
Pasal
45
Cukup
jelas.
Pasal
46
Cukup
jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal
49
Yang
dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan
sebagai wali-nikah.
Pasal
50
Cukup
jelas.
Pasal
51
Cukup
jelas.
Pasal
52
Cukup
jelas.
Pasal
53
Cukup
jelas.
Pasal
54
Cukup
jelas.
Pasal
55
Cukup
jelas.
Pasal
56
Cukup
jelas.
Pasal
57
Cukup
jelas.
Pasal
58
Cukup
jelas.
Pasal
59
Cukup
jelas.
Pasal
60
Cukup
jelas.
Pasal
61
Cukup
jelas.
Pasal
62
Cukup
jelas.
Pasal
63
Cukup
jelas.
Pasal
64
Cukup
jelas.
Pasal
65
Cukup
jelas.
Pasal
66
Cukup
jelas.
Pasal
67
Cukup
jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA NOMOR 3019