CITRA PEMIMPIN NUSANTARA
Bangsa Nusantara mencari pemimpin yang bijak, mengabdi kepada rakyat dan merakyat.
Konsep
kepemimpinan bangsa yang didambakan rakyat terdapat dalam berbagai pustaka lama
khususnya pustaka Jawa.
Konsep
tersebut dituangkan dalam bentuk cerita, seperti Ramayana, Babad Baratayuda,
Babad Majapahit, Pararaton, dan berbagai serat piwulang (Wulang Reh,
Wulangpraja, Ajipamasa, Panitisastra, Slokantara) dsb. menyajikan berbagai
konsep citra pemimpin bangsa.
Ramayana,
menggelar ajaran Astabrata, Babad Bharata menunjukkan sikap pimpinan yang
agung, Parikesit putra Abimanyu, asuhan ki lurah Semar, dewa yang mangejawantah
dan merakyat. Babad Majapahit dan Pararaton mengungkap kepemimpinan raja-raja
Singasari dan Majapahit, di bawah asuhan Nayagenggong dan Sabdapalon, serta
peran Patih Gajah Mada dalam mempersatukan Nusantara, dengan Sumpah Palapa.
Ramayana
menggelar peperangan antara Rama dengan Rahwana. Pada akhir cerita dijabarkan
konsep kepemimpinan, dalam nasihat Rama kepada Gunawan Wibisana, calon raja
Langka, setelah kematian Rahwana. Wibisana putus asa menyaksikan keluarga
besarnya gugur di medan laga. Ia sebatang kara. Melihat kondisi itu Rama
memberikan astabrata, wejangan tentang darmaning ratu gung binathara, untuk
membangkitkan semangatnya. Asta berarti ’delapan’ brata berarti ’tapa,
’kewajiban’. Astabrata dimaknai sebagai kewajiban seorang pemimpin yang bijak
dalam menghadapi rakyat yang multikultural. Di bagian lain Rama memberikan
wejangan kepada Bharata, disebut sastracetha. Dalam Babad Bharatayudha Kresna
memberikan wejangan berupa bhagawatgita kepada Arjuna, untuk membangkitkan
semangatnya ketika ia putus asa untuk melakukan kewajiban sebagai ksatria, yang
harus membela kebenaran. Panitisastra dan Slokantara melambangkan hubungan
antara pemimpin dan rakyat bagaikan singa dan hutan atau ikan dan air serta
keduanya tak dapat dipisahkan, tak pantas berseteru dan saling membutuhkan.
Astabrata
cocok dipakai sebagai dasar pengabdian pemimpin bangsa. Masyarakat Jawa
beranggapan bahwa ratu (pemimpin) adalah titisan Wisnu. Ia mengayomi semua
pihak tanpa pandang bulu, semua diperlakukan sama. Dalam diri seorang pemimpin
bersemayam 8 dewa, Betara Indra, Yama, Surya, Candra, Anila, Kuwera, Bharuna,
dan Agni, ia menjelma sebagai ratu gung binathara trah andana warih, trahing
kusuma rembesing madu, ia berwibawa. Maksudnya setiap pemimpin harus,
mengikuti:
1.
Ambeging
lintang, bahwa seorang pemimpin harus takwa kepada Tuhan YME, dan menjadi
teladan bagi masyarakat, bercita-cita tinggi, dengan semboyan mamayu hayuning
bawana, demi kesejahteraan dunia.
2.
Ambeging
surya, bahwa seorang pemimpin harus mengikuti watak dewa matahari. Ia sabar dan
setia, panas yang membara di musim kemarau, mampu memberikan kekuatan pada semua
makhluk. Ia bertindak adil, berwibawa, merakyat, tanpa pamrih, setia kepada
negara dan bangsa sepanjang masa.
3.
Ambeging
rembulan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki watak seperti dewa bulan. Dia
memberikan penerangan dalam kegelapan. Pemimpin harus dapat menciptakan suasana
gembira, damai, memberikan solusi saat rakyat bermasalah. Sinarnya yang lembut
mampu memberikan kedamaian dan kesejukan bagi rakyat yang sedang menderita.
4.
Ambeging
angin, pemimpin harus memberikan kesejukan bagi rakyat. Angin bertiup
menyejukkan. Pemimpin harus mampu memberikan solusi terhadap berbagai masalah
yang dihadapi rakyat.
5.
Ambeging
mendung. Awan yang menggantung memang menakutkan. Tetapi ia juga memberikan
kegembiraan bagi makhluk hidup. Mendung selalu menaburkan hujan. Pemimpin harus
berwibawa tetapi tidak menakutkan, sehingga timbul sikap ajrih asih, dan
membagikan rezeki kepada rakyat secara merata.
6.
Ambeging
geni, api memiliki watak panas. Pemimpin harus mampu menegakkan keadilan,
dikaitkan dengan pemberantasan kejahatan. Siapa pun yang melanggar
undang-undang harus dipidana setimpal dengan kesalahannya.
7.
Ambeging
banyu, banyu identik dengan laut. Seorang pemimpin harus berwatak samudera
dalam arti sabar, berwawasan luas, bisa meredam berbagai masalah bangsa,
tanggap, pemaaf, dan menentramkan jiwa rakyat.
8.
Ambeging
bumi. Bumi pertiwi itu sabar, adil, pemurah dan pengasih. Ia memberikan
berbagai anugerah kepada umat, berupa tetumbuhan dan binatang demi
kesejahteraan umat manusia. Dengan anugerahnya umat bisa merasakan kemakmuran
dan terciptalah kedamaian.
Astabrata
bersifat universal, bisa diterapkan di mana saja sepanjang masa.
Bila
dijalankan secara integratif dunia aman dan damai. Mampukah para pemimpin
berlaku demikian, demi menciptakan tata titi tentrem kerta raharja, dan mamayu
hayuning bawana (menjaga ketertiban dunia) bukan sekedar slogan.
Dharma
Seorang Pemimpin
Serat
Pamarayoga, karya R. Ng, Ranggawarsita mejelaskan bahwa ratu, memegang
pemerintahan atas utusan Hyang Agung. Ia dilindungi tri loka buwana, pinandhita,
bathara lan satriya. Pemimpin harus berwawasan luas, memiliki ilmu kanuragan,
kadigdayan dan kawicaksanan. Jati diri para pemimpin merupakan dharma
(kewajiban) yang sangat berat, terbagi menjadi 8 hal, meliputi :
1.
Hanguripi,
seorang pemimpin harus melindungi rakyat, menghormati dan menjaga perdamaian,
sesuai undang-undang, sehingga timbul rasa percaya diri, untuk mencapai
kehidupan yang layak.
2.
Hangrungkebi,
bahwa seorang pemimpin harus berani berkorban jiwa, raga dan harta demi
kesejahteraan bangsa. Mukti wibawa sebagai abdi masyarakat menjadi tanggung
jawab yang harus diemban. Menghimpun kekuatan untuk membela rakyat dengan
sasanti bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
3.
Hangruwat,
berarti memberantas berbagai masalah yang mengganggu jalannya pemerintahan demi
ketenteraman negara, misalnya mengurangi kemiskinan, membantu para penyandang
cacat, memberikan pendidikan keterampilan para pemuda, meningkatkan ketakwaan,
dengan harapan mendapatkan ampunan, membersihkan diri, agar Tuhan memberikan
kemudahan dan solusi.
4.
Hanata,
berarti ’menata’ bahwa para pemimpin harus menghayati falsafah njunjung
drajating praja, berdasarkan konsep ’nata lan mbangun praja’, menegakkan
kedisiplian, kejujuran, dan setia (loyal), demi kesejahteraan rakyat, dengan
sasanti ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani,
memberikan contoh, membangkitkan semangat karja dan berwibawa di depan rakyat,
berpengaruh seperti dilansir dalam kepemimpinan Pancasila. Rakyat diberikan
kesempatan untuk memanfaatkan potensi alam milik negara, sesuai dengan amanat
UUD 45.
5.
Hamengkoni,
memberi bingkai, agar persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga. Pemerintah
memberikan kemerdekaan (kebebasan terbatas), kepada rakyat untuk berusaha
memanfaatkan potensi dalam negeri, dan menjalin bekerja sama dengan negara lain
tanpa intervensi.
6.
Hangayomi,
ayom berarti lindung, teduh. Hangayomi berarti memberikan perlindungan kepada
rakyat, agar merasa aman, bebas mencari nafkah di bawah naungan wahyu Ilahi.
Untuk menjaga kewibawaan bangsa pemimpin berkewajiban melindungi rakyat.
7.
Hangurubi,
membangkitkan semangat kerja kepada rakyat, untuk mencapai kesejahteraan hidup.
Rakyat berharap kesejahteraan terpenuhi, berpegang pada perilaku adil, jujur
dan setia membela kebenaran. Rasa asih dan asuh menyertai dalam membina
hubungan dengan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan, tatap berpegang pada
sabda pandhita ratu. Bahwa seorang pemimpin harus setia pada ucapannya.
8.
Hamemayu,
menjaga ketenteraman negara, dengan keselarasan dan keharmonisan berlandaskan
saling percaya menjauhkan diri dari sifat curiga, demi memperbaiki tatanan
pemerintahan.
Sementara
itu Sri Ajipamasa, ketika akan lereh kaprabon, berpesan kepada putranya bahwa
seorang raja harus berpegang pada Pancapratama, meliputi :
1.
Mulad,
bahwa sebagai pemimpin harus waspada dan hati-hati terhadap para punggawa.
2.
Amilala,
melindungi dan melayani, memberikan hadiah kepada punggawa yang setia, loyal
dan berjasa.
3.
Amiluta,
mengambil hati punggawa dan rakyat, dengan harapan dapat memberikan ketenangan
jiwa.
4.
Miladarma,
bahwa pemimpin harus bijak, sehingga tidak ada yang dirugikan, demi
kesejahteraan dunia, atau mamayu hayuning bawana, dan.
5.
Parimarma,
dalam arti welas asih, sabar dan pemaaf.
Kriteria
tersebut bila diamalkan Insya Allah negara akan tenteram dan damai. Selain itu
dikatakan bahwa seorang pemimpin juga harus mengamalkan pancaguna, untuk
menjaga kesejahteraan negara beserta isinya, dengan ilat, ulat, ulah, asih lan
asuh. Ilat berarti menjaga ucapan, ulat meunjukkan keramahan dan memperhatikan
sikap kepada para punggawa. Ulah merupakan tingkah laku yang pantas tinulat
(diteladiani). Sebab pemimpin selalu menjadi kaca benggala bagi rakyat yang
mendambakan ratu adil, yang tersembunyi dalam pudhak sinumpet (kuncup bunga
pandan). Asih mengandung arti menyayangi. Pemimpin harus menyayangi santana,
punggawa dan kawula. Sedangkan asuh, bahwa seorang pemimpin harus ’ngemong’,
masyrakat harus diperlakukan sama tanpa mban cindhe mban siladan.
Amanah dan tanggung jawab
Dalam
ajaran Islam dijelaskan bahwa memimpin adalah amanah, tugas mulia harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Serat Wulang Reh Pupuh III. 4-8.
karya Sri Pakubuwana IV, disarankan bahwa pemimpin jangan bersikap adigang,
adigung, adiguna, sapa sira sapa ingsun. Adigang adalah ’kijang’ adigung
’gajah’ dan adiguna ’ular’ ketiganya mati bersama dalam pertikaian karena
kesombongan masing-masing. Pemimpin yang baik menghindari sikap aji mumpung,
mumpung kuwasa, tumindak nistha, seperti ungkapan Ranggawarsita dalam Serat
Sabdatama, bait 12 ...., begjane ula dahuru, cangkem silite nyaplok, (13)
ndhungkari gunung-gunung, kang geneng- geneng padha jugrug, parandene tan ana
kang naggulangi, wedi kelamun sinembur, upase lir wedang umob.
Pimpinan
jangan diserahkan kepada yang tidak mau, maupun mereka yang ambisi, karena yang
berambisi umumnya memiliki motivasi lain, seperti aji mumpung. Sifat aji
mumpung bertentangan dengan dharma seorang pemimpin. Ia harus rendah hati,
bijak, adil dan ber budi bawa leksana. Hal itu diungkapkan oleh Ranggawarsita
dalam Serat Witaradya, bahwa seorang raja yang besar, watak narendra gung
binathara, mbaudhendha hanyakrawati, kutipan berikut:
Dene
utamaning nata, berbudi bawa laksana, lire ber budi mangkana, lila legawa ing
driya, hanggung hanggeganjar saben dina, lire kang bawa laksana, hanetepi ing
pangandika.
Pemimpin
harus memegang teguh janji yang diucapkan di depan rakyat. Janji adalah hutang,
yang wajib dibayar. Sabda pandhita ratu salah satu falsafah Jawa dan konsep
pengejawantahan janji adalah hutang, yang didukung frase ajining diri saka
obahing lathi ajining sarira saka busana, aja waton omong nanging omonga
nganggo wawaton, ilat ora ana balunge, esuk dhele sore tempe, mencla-mencle,
bukan sikap seorang pemimpin, melainkan konsep sedikit bicara banyak bekerja
yang sebaiknya dipegang teguh. Mereka dipercaya oleh rakyat. Mengembalikan
kepercayaan yang hilang lebih sulit dari pada membangunnya.
Falsafah
Jawa mengatakan bahwa drajat, pangkat lan semat bisa oncat. Hal itu menjadi
bahan pertimbangan bagi para pemimpin. Di dunia tidak ada yang langgeng. Semua
serba sementara, bagaikan kilat menyambar sekejap tanpa bekas. Saat mejabat ia
terhormat dan dipuja, pergantian tiba, ia dihujat dan dihina, kawan dan sahabat
seakan tak mengenalnya. Ia dilupakan. Ironis. Pada hal kita tahu tidak ada
manusia sempurna. Ada sisi baik dan sisi buruk. Setelah jatuh kebaikan tertutup
kekurangan. Pengalaman Prapanca penggubah Nagarakertagama dituangkan dalam
Nirartaprakerta, masa pemerintahan Hayam Wuruk menjabat sebagai bhiksu pemuka
agama Bhuda dan adyaksa (jaksa) membuktikannya. Setelah purna tugas ia
menyendiri tinggal di Swecchapura, lembah Sungai Brantas. Jauh dari kawan
seperjuangan dan sepengabdian. Mereka menjauh. Kesendirian itu dimanfaatkan
untuk menggubah Nirartaprakerta, sebagai kompensasi. Kompensasi itu positif,
karena ia tidak putus asa, tidak larut dalam kesendirian. Nir artha ’miskin tak
berharta’ harga diri lenyap bersama berakhirnya jabatan yang diembannya. Tetapi
ia punya iman yang kuat. Ia mendekatkan diri kepada Yang Agung. Ia sadar hanya
kepada-Nya ia akan kembali. Bahwa keabadian dan kelanggengan hanya milik-Nya,
pemilik alam semesta, penentu segalanya.
Dharma
seorang pemimpin yang bijak seperti dijabarkan dalam astabrata, dalam Ramayana
dan citra pemimpin bangsa dalam Serat Pamarayoga, sebaiknya dijadikan pegangan,
demi mencapai kesejahteraan rakyat. Konsep tersebut mampu menopang kepemimpinan
bangsa yang multikultural. Sosok pemimpin bangsa yang bijak dibutuhkan guna
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa didukung UUD 45, sumber segala hukum
di Nusantara, sasanti Bhinneka Tunggal Ika dalam cengkeraman burung garuda
putra bhagawan Kasyapa dalam kitab Adiparwa. Garuda menjadi wahana dewa Wisnu,
dewa pengayom alam semesta yang menjelma pada diri pemimpin bangsa. Dilengkapi
dasar negara Pancasila, di bawah naungan pataka sang saka merah putih, lambang
kehidupan jelmaan lingga dan yoni di Nusantara yang mahardika, dirangkai dalam
Sutasoma. Tan Tular berpesan kepada bangsa pancasila gĕgĕn den teki haywa lupa,
bahwa ’pancasila harus dipegang teguh, jangan diabaikan’. Pancasila, Bhinneka
tunggal ika dan mahardika, pataka sang saka pengikat NKRI dalam untaian manikam
sepanjang khatulistiwa.
Pemimpin
bangsa telah dipilih, melalui pileg dan pilpres. Siapa pun mereka pilihan
bangsa. Tempat menggantungkan harapan dan masa depan yang lebih baik di bumi
yang gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa
tinumbas, tata titi tentrem kerta raharja, dalam arti murah sandang pangan
seger kuwarasan, bukan hanya slogan. Mutiara kata itu harus direalisasikan oleh
mereka yang mendapatkan amanah, sebagai perwujudan lukisan negeri Amarta yang
didendangkan ki dalang dalam pentas wayang. Bukan sekedar impian, dengan
memanfaatkan potensi alam anugerah Allah Swt. yang membentang sepanjang
khatulistiwa, dalam bentuk hutan, gunung, laut dan sungai, simpanan harta karun
yang tak ternilai harganya. Semua dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat.
Mereka harus bekerjasama saiyeg saekapraya membangun bangsa. Eksekutif,
legislatif dan yudikatif memiliki tugas membangun negara dan bangsa. Sebagai
pemimpin mereka memiliki tanggung jawab yang cukup berat. Kesejahteraan rakyat
tidak bisa diwakilkan, tetapi direalisasikan. Bila wakil rakyat hidup sejahtera
bukan berarti rakyat pun meraskannya.
Ekonomi
kerakyatan bukan sekedar janji. Rakyat kecil tidak menuntut terlalu banyak.
Kebutuhan mereka sederhana. Sandang pangan tercukupi, kesehatan terjaga, dan
menyekolahkan anak demi masa depan calon pemimpin bangsa terlaksana. Kebutuhan
itulah yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Salah satu solusinya dengan
menciptakan lapangan kerja. Agar gepeng, pengamen, pengasong di jalanan tidak
mengganggu keamanan dan kenyamanan pengguna jalan. Ungkapan hujan emas di
negeri orang lebih baik hujan batu di negeri sendiri pun pudar. Rumput tetangga
tampak lebih hijau. Rakyat berbondong-bondong ke negeri orang mengadu nasib.
Yang beruntung meraup uang sementara yang kurang beruntung ada yang pulang
tinggal nama, menjadi jenazah, karena siksaan sang majikan. Cukupkah mereka
mendapat gelar pahlawan devisa.
Dalam
NagarakÅ—tagama dijelaskan bahwa Hayam Wuruk, setiap tahun anjangsana melihat
langsung suasana pedesaan membaur kembul bujana dan berkomunikasi dengan
rakyat, sambil membagikan sedekah. Sebagai raja ia sangat dekat dengan rakyat
dan merakyat. Tidak ada jarak di antaranya. Rakyat pun merasa diperhatikan.
Rakyat mempersembahkan berbagai hasil bumi, sebagai rasa hormat dan ungkapan
rasa terima kasih dan ajrih asih. Dengan demikian rasa asih dan asuh tercipta
antara pemimpin dengan yang dipimpin. Ibarat ikan dan air, singa dan hutan,
atau tegal dan rumput, menyatu saling membutuhkan seperti yang diungkapkan
dalam Serat Panittisastra.
Masyarakat Jawa percaya bahwa wahyu kaprabon, dalam diri seorang pemimpin masih ada. Asal pemimpin masih sanggup memberikan pangayoman, maka rakyat akan loyal. Seorang pemimpin harus waspada. Sebab di antara punggawa ada yang mbalela, sengaja berkhianat demi jabatan yang diincarnya. Bagi masyarakat konsep ratu adil, wahyu dan pulung merupakan trilogi dalam demokrasi. Untuk mendapatkan pulung atau wahyu, memerlukan laku, dengan mesu budi atau mesu brata, minta kepada Hyang Agung dengan jalan berpuasa atau bertapa. Wahyu merupakan jelmaan suara-Nya di balik suara umat manusia yang dipercaya mampu menerimanya. Sedangkan trilogi yang dianut oleh kraton Mangkunagaran, melu handarbeni, wajib hangrukebi, mulat sarira munggengwani. Bahwa seorang pemimpin harus merasa memiliki, membela kebenaran dan mawas diri. Mau mengakui kasalahan pribadi tanpa menyalahkan orang lain.
1. Tut wuri handayani.
2. Ing Ngarso Sung Tulodho.
3. Ing Madyo Mangun Karso.
Tut Wuri Handayani arti atau makna dari semboyan Tut Wuri Handayani adalah sebagai seorang pemimpin harus dapat memberikan teladan, dorongan, dan arahan.
Ing Ngarso Sung Tulodo artinya menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan.
Ing Madyo Mbangun Karso, artinya seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat.