TIWIKRAMA
Pada
dasarnya makna filosofi dari Tiwikrama adalah kemampuan untuk mengerahkan
segala pikiran, perasaan, upaya dan tenaga dalam merubah anda menjadi sosok
baru diluar kekuatan apapun yang selama ini anda pikirkan.
Tiwikrama
:
1.
Pengubahan
diri menjadi raksasa dsb. (dalam cerita wayang).
2.
Pengerahan
segenap tenaga dan pikiran untuk menyampaikan maksudnya.
Manusia mempunyai segala kelebihan dibanding mahluk lain untuk mewujudkan sifat sifat Tuhan, baik yang terlembut maupun yang tak terkalahkan sekalipun. Hanya fikiran lah yang acapkali menahan dan membatasi kita untuk melakukan banyak hal besar.
Tiwikrama
adalah saat seorang telah habis kesabaran dan kebijaksanaannya. Lalu murka,
kemudian menjelma wujud jadi luar biasa kuat. Pepatah lama bahwa sabar itu juga
ada batasnya.
Tiwikrama
adalah suatu ajian atau kemampuan untuk merubah diri menjadi Raksasa yang tak
terkalahkan.
Dalam
lakon Kresna Duta, Sri Kresna sebagai utusan pihak Pandawa tak mampu menahan
amarahnya tatkala mendengar jawaban dan melihat kelakuan Duryudana dalam
menempik janji mereka untuk menyerahkan kembali kerajaan astina pada Pandawa
meskipun telah diperingatkan tetua Astina seperti Resi Bisma dan lainnya.
Sri
Kresna sebagai manifestasi Betara Wishnu sontak bergegas keluar dan berubah
menjadi raksasa yang siap menghancurkan segala angkara murka berikut bumi,
kahyangan dan seisinya. Tak ada seorangpun yang mampu menghentikannya, sehingga
kahyangan pun menurunkan Betara Dharma untuk menenangkannya.
Tak
hanya Sri Kresna yang memiliki kemampuan ini, Puntadewa atau Yudistira pun
mampu merubah perangai aslinya yang lembut menjadi sosok yang mengerikan.
Beberapa tokoh lainnya pun memiliki kemampuan serupa, begitu juga Anda jika
anda mau melakukannya.
Cerita Triwikrama
VERSI
1.
Triwikrama
adalah kemampuan titisan Wisnu dan beberapa makhluk lainnya untuk berubah ujud
menjadi raksasa yang amat besar, bertangan seribu yang disebut Tiwikrama.
Dalam
pewayangan, tokoh titisan Wisnu yang tergolong sering melakukan Tiwikrama
adalah Arjuna Sasrabahu dan Kresna.
Selain
titisan Wisnu, Dasamuka juga bisa bertiwikrama. Dalam keadaan biasa, Dasamuka
hanya berkepala satu. Namun, ketika bertiwikrama ia berkepala sepuluh dan
tubuhnya menjadi jauh lebih besar.
Dalam
pewayangan diceritakan, saat Kresna bertindak sebagai duta Pandawa, ia
melakukan triwikrama karena Kurawa tidak mau memenuhi janjinya dan hendak
mengeroyok Kresna. Karena tiwikrama Prabu Kresna, balairung istana Astina tidak
mampu memuat tubuhnya sehingga jebol. Dinding-dindingnya roboh dan atapnya
runtuh. Para Kurawa dan dan penghuni istana Astina lari kalang kabut untuk
menyelamatkan diri.
Dalam
lakon carangan berjudul Dewa Amral. Prabu Yudhistira juga melakukan triwikrama.
Begitu juga Anoman, beberapa buku pewayangan menyebutkan putra Dewi Anjani itu
juga sanggup melakukan tiwikrama. Misalnya ketika ia menjadi duta, waktu ia
menyeberangi lautan, Anoman diterkam Wilkataksani dan ditelannya. Saat Anoman
berada di dalam tenggorokan raksasa itu, ia melakukan tiwikrama sehingga leher
raksasa itu bedah dan Wikataksani mati seketika.
Dalam
seni kriya, khusus untuk Kresna, Arjuna dan Puntadewa, peraga wayang yang
menggambarkan keadaan tiwikrama disebut Tiwikrama.
Pada
pewayangan gagrak Jawatimuran, Antareja yang sedang tiwikrama dilukisakan
berwajah ular naga dan badannya bersisik. Arjunasasrabahu dan Dasamuka, jika
sedang tiwikrama digambarkan bertangan banyak. Tangan-tangan kecil ditambahkan
pada bahu dan lengannya.
VERSI
2.
Tiwikrama
adalah sebutan bagi raksasa besar dan menakutkan, jelmaan titisan dewa Wisnu
yang sedang triwikrama (beralih rupa) dalam beberapa mitologi Indonesia.
Dalam
pendalangan, Tiwikrama diceritakan sebagai raksasa sebesar gunung dengan seribu
kepala dan seribu tangan, masing-masing memegang berbagai macam senjata.
Digambarkan
pula, kedua matanya melotot menyeramkan. Tiwikrama, di dalam bahasa Jawa
merupakan kerata basa dari kata bubrah dan ala yang artinya rusak dan jelek.
Di
antara titisan Wisnu, Prabu Kresna dan Arjuna Sasrabahulah yang sering
melakukan triwikrama.
Sebagian
dalang Wayang Kulit Purwa, menyebut Tiwikrama dengan sebutan Balasrewu, terutama
jika yang melakukan triwikrama adalah Prabu Kresna. Sedangkan Puntadewa atau
Yudhistira, bila sedang menjadi Tiwikrama disebut Dewa Amral.
Pada
deretan wayang (janturan), Tiwikrama dipasang paling belakang, di sebelah kiri
dan kanan tokoh wayang lainnya.
Tokoh
wayang ini merupakan bentuk jelmaan dari tokoh-tokoh yang dianggap suci dan
dikeluarkan saat sang tokoh sedang triwikrama karena amarah yang memuncak.
Banyak
kreasi para seniman wayang kulit untuk melukiskan ujud Tiwikrama ini.
Semuanya
menampilkan ujud yang besar dan menakutkan.
Proses untuk menjadi Tiwikrama
Proses
untuk menjadi Tiwikrama disebabkan oleh dua hal yang pertama adalah karena
kemarahan besar yang disebut dengan triwikrama.
Tiwikrama
yang kemudian mengantar Harjuna Sasrabahu menjadi Tiwikrama terjadi dua kali,
yang pertama ketika Prabu Harjuna Sasrabahu marah karena ditantang Sumantri
Patihnya.
Kedua,
saat Harjuna Sasrabahu berhadapan dengan Dasamuka raja Alengka.
Demikian
pula Kresna, ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Harjuna
Sasrabahu.
Dua
kali Kresna triwikrama berubah menjadi Tiwikrama.
Pertama,
ketika mencuri Dewi Rukmini dan yang ke dua ketika sebagai duta di Negara
Hastinapura.
Ketika
menjadi duta untuk menagih bumi Hastinapura yang menjadi haknya para Pandawa,
Kresna sangat marah karena dipermainkan dan di ingkari oleh Duryudana, ia
kemudian melakukukan triwikrama dan menjadi Tiwikrama, mengamuk dan merobohkan
beteng kedaton kraton Hastinapura, hingga menewaskan Destarastra dan Gendari.
Selain
triwikrama, proses untuk menjadi Tiwikrama dapat terjadi karena niat untuk mengeluarkan
kesaktiannya dengan mengetrapkan mantra sakti dibarengi tiga kali melangkahkan
kaki yang disebut dengan triwikrama. Tri artinya tiga sedangkan krama artinya
patrap atau keadaan tubuh.
Prabu Kresna menjadi Tiwikrama
Prabu
Kresna melakukannya ketika ia hendak melakukan persenggamaan dengan Dewi
Rukmini. Di kisah lain, diceritakan ia melakukannya ketika ia menjadi duta para
Pandawa, merundingkan penyerahan kembali Kerajaan Amarta dan Separuh Astina
dari para Kurawa. Dalam lakon Kresna Gugah, ketika Kresna melakukan tapa tidur
Ngraga Suksma, ia dalam keadaan triwikrama berubah menjadi Tiwikrama. Namun,
ketika Kresna dalam keadaan marah besar dan membunuh Sisupala dalam lakon
Sesaji Rajasuya, dia tidak melakukan triwikrama dan mampu menjadi Tiwikrama. Hal
ini menyimpulkan bahwa untuk menjadi Tiwikrama, Kresna tidak perlu marah, dan
kalau marah tidak selalu menjadi Tiwikrama.
Prabu Arjuna Sasrabahu menjadi Tiwikrama
Prabu
Arjuna Sasrabahu menjadi berhala ketika ketika dia berhadapan dengan Bambang
Sumantri ketika dalam keadaan marah, begitu pula ketika ia berperang melawan
Prabu Dasamuka.
Namun,
ketika ia menjadi Tiwikrama sewaktu membendung sungai Yamuna, ia tidak sedang
dalam keadaan marah. Prabu Arjuna Sasrabahu juga melakukan triwikrama ketika ia
membendung sungai Gangga agar permaisurinya dapat mandi dan berenang puas di
sungai itu. Di kisah lain, disebutkan bahwa ia juga melakukan triwikrama ketika
menghadapi Prabu Dasamuka dari Alenka. Sebelumnya, ia juga melakukan triwikrama
menjadi Tiwikrama ketika Patih Suwanda menantangnya.
Dewa Amral
Kisah
ini menceritakan tentang Prabu Puntadewa yang berubah wujud menjadi raksasa
untuk menyelamatkan adik-adiknya di Kawah Candradimuka.
PRABU
BALADEWA BERMIMPI BURUK TENTANG PRABU PUNTADEWA
Di
Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa memimpin pertemuan yang dihadiri
Raden Samba Wisnubrata dari Paranggaruda, Arya Setyaki dari Swalabumi, dan
Patih Udawa dari Widarakandang. Hadir pula sang kakak dari Kerajaan Mandura,
yaitu Prabu Baladewa yang hanya didampingi Patih Pragota. Dalam kunjungannya
itu, Prabu Baladewa berkata bahwa dirinya baru saja mimpi buruk tentang Prabu
Puntadewa, pemimpin para Pandawa.
Dalam
mimpinya tersebut, Prabu Baladewa melihat Prabu Puntadewa berjalan kaki
mengenakan pakaian serbaputih. Kemudian datang angin kencang yang menerbangkan
tubuhnya. Prabu Baladewa lalu terbangun dari tidur dan tidak mengetahui
bagaimana nasib Prabu Puntadewa selanjutnya. Mengingat adiknya sangat cerdas
dan mampu menafsir mimpi, Prabu Baladewa pun datang ke Kerajaan Dwarawati untuk
menanyakan arti mimpinya itu kepada Prabu Kresna.
Prabu
Kresna termenung sejenak, kemudian ia berkata bahwa dirinya harus segera
berangkat ke Kerajaan Amarta karena ada hal buruk yang akan menimpa Prabu
Puntadewa dan para Pandawa lainnya. Prabu Baladewa tidak ingin ketinggalan.
Mereka pun bersama-sama berangkat dengan disertai Arya Setyaki dan Patih
Pragota.
PRABU
DEWASRANI IRI HATI KEPADA PRABU PUNTADEWA
Sementara
itu di Kahyangan Dandangmangore, Batari Durga menerima kedatangan putranya,
yaitu Prabu Dewasrani dari Kerajaan Nusarukmi. Dalam kunjungannya itu, Prabu
Dewasrani bertanya kepada ibunya mengapa dirinya diberi nama dengan unsur kata
“dewa”. Batari Durga menjawab, itu karena Prabu Dewasrani adalah putra dewa,
yaitu Batara Guru, sehingga boleh memakai nama dengan unsur kata “dewa”.
Prabu
Dewasrani lalu bertanya mengapa Prabu Puntadewa memakai nama yang mengandung
unsur “dewa”, apakah ia memang putra salah satu dewa? Batari Durga menjawab,
Prabu Puntadewa adalah putra Prabu Pandu Dewanata yang mendapat nama dengan
unsur kata “dewa” dari ayahnya itu. Adapun Prabu Pandu boleh menyandang gelar
Dewanata adalah karena pernah berjasa membunuh musuh kahyangan yang bernama
Prabu Nagapaya.
Prabu
Dewasrani berterus terang bahwa dirinya kesal mendengar ada orang lain yang
memiliki nama dengan unsur kata “dewa” seperti dirinya, dan orang itu menjadi
raja pula. Apalagi, ayah Prabu Puntadewa bahkan bernama Prabu Pandu Dewanata,
yang artinya “raja dewa”. Nama ini jelas menyamai Batara Guru yang memiliki
gelar Sanghyang Jagadnata, ataupun menyamai Batara Indra yang memiliki gelar
Sanghyang Suranata.
Batari
Durga berkata bahwa roh Prabu Pandu Dewanata sudah mendapat hukuman dari Batara
Guru, yaitu dikurung dalam Kawah Candradimuka bersama Dewi Madrim, istri
keduanya. Prabu Dewasrani tidak puas karena Prabu Puntadewa harusnya juga
dihukum karena memakai nama dengan unsur kata “dewa” padahal bukan anak dewa.
Apabila Prabu Puntadewa tidak dicopot dari kedudukannya sebagai raja dan juga
tidak dihukum, maka Prabu Dewasrani memilih lebih baik bunuh diri saja.
Batari
Durga sangat memanjakan Prabu Dewasrani. Ia pun menuruti keinginan putranya itu
dan segera berangkat bersama menuju Kahyangan Jonggringsalaka untuk menghadap
Batara Guru.
ROMBONGAN
DARI KERAJAAN DWARAWATI TERHALANG PERJALANANNYA
Batari
Durga dan Prabu Dewasrani berangkat dikawal pasukan Nusarukmi yang terdiri atas
para raksasa, beserta para pengikut Kahyangan Dandangmangore yang berwujud kaum
makhluk halus. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan rombongan dari Kerajaan
Dwarawati. Dasar watak para raksasa yang suka mencari keributan, mereka pun
mengganggu rombongan tersebut.
Arya
Setyaki yang berada paling depan segera menghadapi para raksasa itu.
Pertempuran pun terjadi. Batari Durga tidak mau melibatkan diri. Ia pun membawa
Prabu Dewasrani terbang secepat kilat menuju Kahyangan Jonggringsalaka,
sedangkan pasukan mereka dipimpin Jin Jaramaya sibuk bertempur melawan
orang-orang Dwarawati.
BATARI
DURGA MENGADU KEPADA BATARA GURU
Di
Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada, Batara Indra, dan
Batara Yamadipati. Tidak lama kemudian datanglah Batari Durga dan Prabu
Dewasrani. Batari Durga menangis meminta Batara Guru mencegah putranya bunuh
diri. Batara Guru bertanya mengapa Prabu Dewasrani ingin bunuh diri. Batari
Durga pun menjawab bahwa ini semua karena Prabu Puntadewa memakai unsur nama
“dewa”. Unsur nama “dewa” hanya boleh dipakai oleh putra dewa saja, seperti
Prabu Dewasrani. Namun, jika ada manusia biasa, apalagi seorang raja seperti
Prabu Puntadewa memakai nama “dewa”, maka lebih baik Prabu Dewasrani bunuh diri
saja.
Batara
Guru tidak tahan menyaksikan ratapan Batari Durga. Ia pun memutuskan bahwa
Prabu Puntadewa harus melepas takhta Kerajaan Amarta dan juga melepas nama
“dewa”. Apabila menolak, maka ia harus diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka.
Tugas ini diserahkan kepada Batara Narada untuk pergi ke Kerajaan Amarta.
Batara
Narada heran mengapa Batara Guru begitu mudah menuruti permintaan yang tidak
masuk akal ini? Mengapa hanya karena bernama “dewa” lantas Prabu Puntadewa
harus dihukum mati diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka segala? Bukankah ada
orang lain yang juga bernama “dewa”, misalnya Prabu Baladewa ataupun Raden
Sadewa? Apakah mereka semua juga harus dihukum mati?
Batara
Guru tidak menjawab. Keputusannya hanya berlaku untuk Prabu Puntadewa saja,
tidak ada urusan dengan yang lainnya. Sekarang yang jadi pertanyaan, apakah
Batara Narada bersedia menjalankan perintah atau tidak? Batara Narada menjawab,
sebagai bawahan maka dirinya tidak dapat menolak perintah ini. Ia hanya
berusaha memberikan saran yang baik, syukur-syukur apabila diterima. Namun
demikian, semua keputusan tetap berada di tangan Batara Guru sebagai pemimpin
kahyangan. Usai berkata demikian, Batara Narada pun pamit undur diri menuju
Kerajaan Amarta.
BATARA
NARADA MENJEMPUT PRABU PUNTADEWA
Di
Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa dihadap keempat adiknya, yaitu Arya Wrekodara,
Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Ketika sedang membahas masalah
negara, tiba-tiba datang Batara Narada turun dari angkasa. Para Pandawa pun
bergantian menghaturkan sembah kepadanya.
Batara
Narada berkata bahwa kedatangannya adalah untuk menyampaikan perintah Batara
Guru. Perintah tersebut ialah Prabu Puntadewa harus mengganti nama yang tidak
boleh mengandung unsur kata “dewa”, dan juga harus melepaskan takhta Kerajaan
Amarta. Jika menolak, maka ia akan dihukum mati dengan cara diceburkan ke dalam
Kawah Candradimuka.
Prabu
Puntadewa menjawab, nama yang ia pakai adalah pemberian orang tua, sehingga
jika dilepas harus minta izin dulu kepada mereka. Yang kedua, dirinya menjadi
raja adalah karena dipaksa keempat adiknya. Oleh sebab itu, jika diminta turun
takhta, maka harus keempat adiknya itu yang mengizinkan.
Arya Wrekodara pun maju sebagai juru bicara keempat Pandawa. Dengan tegas ia menolak kakak sulungnya turun takhta. Menurutnya, Prabu Puntadewa adalah raja yang adil dan bijaksana, memakmurkan negara, dan memimpin rakyat Amarta bagaikan anak sendiri. Apabila Prabu Puntadewa turun takhta mengikuti perintah Batara Guru, maka rakyat akan kehilangan pemimpin sejati dan ini adalah bencana bagi Kerajaan Amarta. Untuk urusan nama, yang memberikan nama “Puntadewa” adalah Prabu Pandu, ayah para Pandawa. Dengan demikian, Prabu Puntadewa tidak akan bisa melepas namanya, karena Prabu Pandu sudah lama meninggal dunia. Itu artinya tidak akan ada lagi yang bisa memberikan izin penggantian nama tersebut.
Batara
Narada merasa serbasalah. Di satu sisi ia setuju dengan ucapan Arya Wrekodara,
namun di sisi lain ia harus menjalankan perintah atasan, yaitu menjemput Prabu
Puntadewa dan menceburkannya ke dalam Kawah Candradimuka. Arya Wrekodara
menyadari kegelisahan Batara Narada. Ia berkata bahwa nyawa Prabu Puntadewa
terlalu berharga untuk dikorbankan. Sebagai gantinya, ia dan para Pandawa yang
lain bersedia diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka. Raden Arjuna, Raden
Nakula, dan Raden Sadewa sepakat mendukung pernyataan Arya Wrekodara.
Batara
Narada terharu melihat semangat para Pandawa yang tidak takut mati demi rakyat
Amarta. Arya Wrekodara dan ketiga adiknya lalu mohon pamit kepada Prabu
Puntadewa. Dengan berlinang air mata, Prabu Puntadewa memeluk mereka satu
persatu. Keempat adiknya itu lalu pergi bersama Batara Narada. Prabu Puntadewa
pun berjalan mengantarkan sampai ke ambang pintu.
DEWI
KUNTI MENEGUR PRABU PUNTADEWA
Tiba-tiba
Dewi Kunti muncul karena mendapat firasat buruk. Ia pun bertanya mengapa Prabu
Puntadewa sendirian saja. Prabu Puntadewa menceritakan dari awal hingga akhir
mulai kedatangan Batara Narada, hingga bagaimana keempat adiknya bersedia
dibawa ke kahyangan untuk menggantikan dirinya menjalani hukuman mati di Kawah
Candradimuka.
Dewi
Kunti terkejut mendengar cerita itu. Ia menegur Prabu Puntadewa sebagai kakak
sulung tidak becus melindungi saudara. Bahkan, Prabu Puntadewa bersenang hati
tetap menjadi raja dengan mengorbankan nyawa keempat adiknya. Dewi Kunti
menyesal telah melahirkan Prabu Puntadewa ke dunia. Ia pun menagih air susu
yang telah ia berikan dulu, lebih baik dikembalikan saja.
Prabu
Puntadewa lemas gemetar mendengar ucapan ibunya. Jantungnya berdebar kencang
dan ia pun memijat dada sendiri. Tanpa sengaja, tangan Prabu Puntadewa
menyentuh pusaka Kalung Robyong Mustikarawis warisan Arya Gandamana yang
melekat di dadanya. Menyentuh kalung itu dengan disertai perasaan hati yang
terdesak membuat wujud Prabu Puntadewa seketika berubah menjadi raksasa tinggi
besar berkulit putih bersih.
Dewi
Kunti semakin marah dan menuduh Prabu Puntadewa hendak berbuat durhaka
kepadanya. Prabu Puntadewa menolak tuduhan itu. Dengan wujud raksasa ini ia
akan mengacau Kahyangan Jonggringsalaka agar keempat adiknya dibebaskan. Usai berpamitan
kepada sang ibu, ia pun berangkat meninggalkan istana.
PRABU
KRESNA MENYUSUL KE KAHYANGAN
Sementara
itu, perjalanan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa yang terhalang pertempuran
melawan pasukan Nusarukmi membuat kedatangan mereka menjadi terlambat. Mereka
baru sampai di Kerajaan Amarta ketika para Pandawa sudah pergi dan hanya
bertemu Dewi Kunti menangis sendirian. Mereka lalu bertanya ada kejadian apa
yang menimpa Kerajaan Amarta.
Dewi
Kunti semakin marah atas pertanyaan dua keponakannya itu. Ia menuduh Prabu
Kresna tidak menjalankan tugasnya sebagai pamong para Pandawa dengan baik. Kini
keempat Pandawa dibawa ke kahyangan untuk dihukum mati, tetapi Prabu Kresna
justru bertanya ada masalah apa. Kalau tidak punya pengetahuan yang cukup,
untuk apa menyombongkan diri sebagai titisan Batara Wisnu segala?
Prabu
Kresna tersenyum tidak marah atas tuduhan sang bibi. Ia pun meraba rambutnya,
menyentuh Panah Kesawa sambil membaca mantra Balasrewu. Seketika tubuhnya pun
berubah menjadi raksasa berkulit hitam legam. Ia lalu mohon pamit kepada Dewi
Kunti untuk menyusul para Pandawa. Prabu Baladewa pun diminta agar tetap
tinggal untuk menjaga Dewi Kunti dan Kerajaan Amarta.
KEEMPAT
PANDAWA DICEBURKAN KE DALAM KAWAH CANDRADIMUKA
Sementara
itu, Batara Narada dan keempat Pandawa telah sampai di Kahyangan
Jonggringsalaka. Batara Guru bertanya mengapa bukan Prabu Puntadewa yang dibawa
menghadap kepadanya. Arya Wrekodara menjawab, nyawa kakak sulungnya terlalu
berharga jika harus dikorbankan demi suatu hal yang tidak masuk akal. Sebagai
pengganti, ia dan ketiga adiknya rela mengorbankan nyawa diceburkan ke dalam Kawah
Candradimuka.
Batara
Guru lalu bertanya kepada Batari Durga apakah nyawa keempat Pandawa bisa untuk
menebus kesalahan Prabu Puntadewa. Batari Durga berpikir bahwa ini adalah
kesempatan untuk menyingkirkan para Pandawa. Jika keempat adiknya sudah tewas, maka
tidak sulit untuk menyingkirkan Prabu Puntadewa. Berpikir demikian, Batari
Durga pun menyatakan setuju untuk menceburkan keempat Pandawa itu ke dalam
Kawah Candradimuka sebagai ganti Prabu Puntadewa. Dalam hati ia berpikir kelak
akan mencari cara lain untuk mencelakai sulung Pandawa tersebut.
Maka,
Batara Guru pun memerintahkan Batara Yamadipati untuk melaksanakan tugas.
Batara Yamadipati segera menggiring Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula,
dan Raden Sadewa menuju ke Gunung Jamurdipa. Sesampainya di sana, ia
menceburkan keempat Pandawa tersebut ke dalam Kawah Candradimuka.
Arya
Wrekodara dan ketiga adiknya tidak takut mati. Mereka pun langsung tenggelam ke
dasar kawah. Sungguh ajaib, air kawah yang mendidih itu terasa sejuk oleh
mereka. Tiba-tiba mereka sudah tiba di hadapan dua orang yang duduk di dasar
Kawah Candradimuka. Kedua orang itu tidak lain adalah ayah para Pandawa, yaitu
Prabu Pandu beserta ibu si kembar, yaitu Dewi Madrim, yang masing-masing sudah
berbadan rohani.
Arya
Wrekodara terharu dan segera memeluk roh Prabu Pandu, sedangkan Raden Arjuna
bersimpuh memeluk kaki ayahnya itu. Dewi Madrim juga tampak dipeluk kanan-kiri
oleh Raden Nakula dan Raden Sadewa. Selang agak lama, Prabu Pandu lalu bertanya
tentang kabar anak-anaknya itu. Arya Wrekodara menceritakan bahwa mereka lima
bersaudara sudah mendirikan Kerajaan Amarta. Sebaliknya, ia pun bertanya
bagaimana kabar Prabu Pandu dan Dewi Madrim selama bersemayam di Kawah
Candradimuka.
Dahulu
kala ketika Dewi Madrim sedang mengandung Raden Nakula dan Raden Sadewa,
tiba-tiba terbesit keinginannya untuk bertamasya di atas kendaraan Batara Guru,
yaitu Lembu Andini. Prabu Pandu pun naik ke kahyangan meminjam lembu tersebut
dengan disertai sumpah bahwa kelak setelah meninggal ia rela tidak naik ke
surga, tetapi rohnya ditahan saja di dalam Kawah Candradimuka. Batara Guru
mengizinkan Lembu Andini dipinjam secara cuma-cuma, tetapi para dewa lainnya
menganggap hal ini sebagai kelancangan. Mereka pun menuntut agar Prabu Pandu
benar-benar diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka sesuai keinginannya.
Beberapa
bulan kemudian, Prabu Pandu berperang melawan raja raksasa dari Kerajaan
Pringgadani, yaitu Prabu Tremboko. Dalam perang itu Prabu Tremboko tewas,
tetapi ia sempat melukai paha Prabu Pandu. Akibat luka tersebut, Prabu Pandu
menderita sakit beberapa bulan lamanya. Hingga akhirnya Batara Yamadipati
datang untuk menjemput kematiannya.
Prabu
Pandu meminta waktu kepada Batara Yamadipati agar Dewi Madrim melahirkan lebih
dulu. Ternyata Dewi Madrim melahirkan sepasang bayi kembar. Sesuai janjinya,
maka roh Prabu Pandu pun dicabut dan dibawa Batara Yamadipati. Melihat itu,
Dewi Madrim merasa bersalah dan ikut meninggal pula. Rohnya kemudian ikut pergi
menyertai sang suami.
Demikianlah,
awal mula mengapa roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim bersemayam di dalam Kawah
Candradimuka. Arya Wrekodara merasa heran mengapa ia dan adik-adiknya tidak
merasa panas saat diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka. Prabu Pandu menjawab,
Kawah Candradimuka bukanlah kawah sembarangan. Barangsiapa memiliki hati yang
baik dan tulus, maka ia tidak akan mati apabila diceburkan ke dalam kawah
tersebut. Arya Wrekodara dan ketiga adiknya pun bersyukur karena mereka bukan
termasuk golongan berhati jahat.
Keempat
Pandawa itu kemudian merasa prihatin melihat keadaan Prabu Pandu dan Dewi
Madrim yang hidup menderita di dalam Kawah Candradimuka. Prabu Pandu menjawab,
ia dan Dewi Madrim sama sekali tidak merasa menderita karena mereka sering
mendengar nama baik para Pandawa dalam membela kebenaran dan keadilan.
Sebaliknya, meskipun Prabu Pandu dan Dewi Madrim tinggal di Swargaloka, tetapi
jika mendengar berita para Pandawa berbuat kejahatan di dunia, maka itu rasanya
seperti tinggal di neraka.
DEWA
AMRAL MENGAMUK DI KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA
Sementara
itu, raksasa putih penjelmaan Prabu Puntadewa telah sampai di Kahyangan
Jonggringsalaka dan membuat kekacauan di sana. Ia mengaku bernama Dewa Amral
dan menantang para dewa untuk menyerahkan takhta kahyangan kepada dirinya. Para
dewa pun maju menyerang namun tiada satu pun yang dapat mengalahkan raksasa
putih tersebut. Bahkan, mereka justru yang dibuat kalang kabut menghadapi
amukan Dewa Amral.
Batara
Narada segera melaporkan kekacauan ini kepada Batara Guru. Batara Guru pun
memerintahkan Batara Narada untuk mencari jago yang bisa mengatasi Dewa Amral.
Batara Narada mohon pamit berangkat melaksanakan tugas. Di tengah jalan ia
bertemu raksasa berkulit hitam legam, yang mengaku bernama Ditya Kesawamanik.
Batara Narada pun menjanjikan istri bidadari apabila Ditya Kesawamanik mampu
menumpas Dewa Amral. Ditya Kesawamanik menjawab bersedia. Mereka lalu berangkat
menuju tempat Dewa Amral mengamuk merusak bangunan kahyangan.
Sesampainya
di sana, Ditya Kesawamanik segera maju mendekati Dewa Amral. Kedua raksasa itu
berhadapan tetapi tidak saling menyerang. Ada rasa segan di dalam hati
masing-masing. Setelah saling mengenal, Ditya Kesawamanik pun paham bahwa Dewa
Amral adalah penjelmaan Prabu Puntadewa, sedangkan Prabu Puntadewa paham bahwa
Ditya Kesawamanik adalah penjelmaan Prabu Kresna.
Ditya
Kesawamanik lalu berbisik kepada Dewa Amral tentang apa yang menjadi
rencananya. Dewa Amral setuju. Mereka lalu bersatu mengamuk di kahyangan.
Mereka merusak bangunan dan segala benda kedewaan yang mereka temui.
DEWA
AMRAL MEMBEBASKAN PARA PANDAWA
Dewa
Amral dan Ditya Kesawamanik bergerak menuju ke Gunung Jamurdipa. Para dewa dan
pasukan dorandara masih mengejar mereka. Ditya Kesawamanik menghadang para dewa
tersebut, sedangkan Dewa Amral mencebur ke dalam Kawah Candradimuka.
Sesampainya
di dasar kawah, Dewa Amral melihat keempat adiknya sedang bersama sepasang pria
dan wanita. Dewa Amral pun terharu saat mengenali mereka adalah orang tuanya
sendiri, yaitu Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Ia lalu bersimpuh menyembah mereka
berdua.
Prabu
Pandu memeluk Dewa Amral dan memintanya untuk membawa keempat Pandawa pergi,
karena tugas mereka di dunia masih banyak. Dewa Amral segera menggendong Arya
Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa, lalu berenang naik ke
permukaan Kawah Candradimuka. Sesampainya di atas, ia segera mengamuk membantu
Ditya Kesawamanik memukul mundur para dewa yang mengepung.
BATARA
NARADA MENCARI JAGO
Kahyangan
Jonggringsalaka kembali kacau oleh amukan sepasang raksasa hitam-putih. Batara
Guru memberi tahu Batara Narada bahwa yang bisa mengalahkan Dewa Amral dan
Ditya Kesawamanik adalah permaisuri Keraajaan Amarta, yaitu Dewi Drupadi.
Mendengar petunjuk tersebut, Batara Narada segera mohon pamit berangkat ke
sana.
Dewi
Drupadi saat itu sedang menerima kedatangan Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca
disertai para panakawan. Tidak lama kemudian datanglah Batara Narada turun dari
angkasa. Batara Narada bercerita bahwa Kahyangan Jonggringsalaka saat ini
sedang dikacau oleh dua raksasa berwarna hitam dan putih. Hanya Dewi Drupadi
seorang yang bisa mengalahkan mereka. Dewi Drupadi heran mengapa dirinya yang
harus menjadi jago kahyangan. Mengapa tidak para Pandawa saja? Batara Narada
menjawab, para Pandawa saat ini telah menjadi tawanan kedua raksasa itu.
Mendengar berita tersebut, Dewi Drupadi langsung bersemangat dan ia pun
berangkat disertai Batara Narada. Raden Abimanyu, Arya Gatutkaca, dan para
panakawan ikut menyertai di belakang.
Sesampainya di Kahyangan Jonggringsalaka, Dewi Drupadi segera menantang Dewa Amral dan Ditya Kesawamanik. Seumur hidup Dewi Drupadi tidak pernah bertarung. Namun, demi untuk menyelamatkan para Pandawa, ia sama sekali tidak takut mati. Sebaliknya, Dewa Amral dan Ditya Kesawamanik hanya saling pandang tidak tahu harus berbuat apa. Mereka serbasalah karena tidak mungkin melayani tantangan Dewi Drupadi. Merasa sudah saatnya untuk membuka samaran, kedua raksasa itu pun kembali ke wujud semula, yaitu Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna.
Arya
Wrekodara, Raden Arjuna, dan si kembar keluar dari persembunyian. Dewi Drupadi
kini telah tahu duduk permasalahannya. Ia bersyukur tidak terjadi hal buruk
menimpa para Pandawa.
ARYA
WREKODARA PERGI BERTAPA
Tiba-tiba
muncul Prabu Dewasrani dan Batari Durga yang merasa kecewa karena rencana
mereka gagal. Prabu Dewasrani marah dan mengerahkan pasukannya untuk mengeroyok
para Pandawa. Raden Arjuna bergerak cepat menghadapi raja Nusarukmi tersebut.
Dalam pertarungan itu, Prabu Dewasrani tewas terkena kerisnya sendiri.
Batari Durga marah melihat putranya tewas. Ia pun mengamuk mengerahkan pasukan makhluk halus. Kyai Semar yang tiba bersama Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca segera menghadapi mereka. Dengan mengerahkan kentut saktinya, para makhluk halus itu berhamburan pergi. Batari Durga pun dapat diringkus oleh Kyai Semar dengan cara ditindih tubuhnya.
Batari Durga menangis memohon ampun. Kyai Semar bersedia melepaskannya, asalkan Batari Durga tidak lagi mempermasalahkan soal nama Prabu Puntadewa. Batari Durga berjanji akan mematuhi Kyai Semar, namun ia juga meminta supaya putranya dihidupkan kembali. Karena Batari Durga sudah berjanji demikian, Prabu Kresna pun melangkah maju dan berhasil menghidupkan kembali Prabu Dewasrani menggunakan Kembang Wijayakusuma.
Setelah Prabu Dewasrani hidup kembali, Batari Durga pun mohon pamit membawa pulang putranya itu kembali ke Kahyangan Dandangmangore.
Prabu
Kresna lalu mengajak para Pandawa dan Dewi Drupadi kembali ke Kerajaan Amarta.
Namun, Arya Wrekodara menolak. Ia merasa prihatin atas nasib Prabu Pandu dan Dewi Madrim yang masih disekap di dalam Kawah Candradimuka. Sebagai anak yang pernah mendapatkan ilmu sejati Sangkan Paraning Dumadi dari Dewa Ruci, ia merasa berkewajiban untuk mengentas ayah dan ibunya itu dari Kawah Candradimuka dan memindahkannya ke tempat yang lebih baik. Untuk itu, Arya Wrekodara mohon pamit melakukan tapa ngrame dengan mendirikan tempat pengobatan di Gunung Argakelasa. Prabu Puntadewa merestui. Mereka lalu berpisah. Arya Wrekodara berangkat ditemani Arya Gatutkaca, sedangkan Prabu Puntadewa, Prabu Kresna dan yang lain kembali ke Kerajaan Amarta.