sabar
Sabar
adalah suatu sikap menahan emosi dan keinginan, serta bertahan dalam situasi sulit
dengan tidak mengeluh.
Sabar
merupakan kemampuan mengendalikan diri yang juga dipandang sebagai sikap yang
mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekokohan jiwa orang yang memilikinya.
Semakin
tinggi kesabaran yang seseorang miliki maka semakin kokoh juga ia dalam
menghadapi segala macam masalah yang terjadi dalam kehidupan.
Sabar
juga sering dikaitkan dengan tingkah laku positif yang ditonjolkan oleh
individu atau seseorang.
Dalam
sebuah pernyataan pendek, dikatakan bahwa sabar itu, seperti namanya, adalah
sesuatu yang pahit dirasakan, tetapi hasilnya lebih manis daripada madu.
Salah
satu dalil tentang kesabaran menurut Islam adalah dalam Qur'an, sungguh Allah
Berfirman : Bersabarlah kalian. Sungguh Allah bersama orang-orang yang sabar.
Dalil
ini menunjukkan bahwa sabar itu wajib. Dalam hal ini, seseorang menahan diri
dari segala ujian yang menimpanya dan itu dianggap berat olehnya; tapi dengan
dia menahan diri dengan jalan bersabar, maka dia menjauhkan dirinya dari
kemarahan terhadap segala yang menimpanya demi menjaga keimanannya.
Umat
Islam dituntut untuk sabar tidak hanya ketika menghadapi musibah, tetapi juga
ketika melakukan pekerjaan apapun dalam kehidupan. Perintah untuk sabar banyak
tercantum dalam Alquran dan hadis.
Salah
satunya yakni surat Al-Baqarah ayat 45 yang berbunyi :
Jadikanlah
sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.
Sabar
dalam Islam memiliki manfaat dan pahala besar.
Menurut
bahasa, Sabar berasal dari kata Al Habsu yang artinya menahan diri. Pengertian
sabar menurut syar'iat dalam agama Islam adalah menahan diri dari 3 macam
perkara, yaitu :
1.
Ketaatan
kepada Allah.
2.
Hal
yang diharamkan.
3.
Takdir
Allah yang mungkin sulit dijalani misalnya musibah.
Perintah Allah untuk Bersabar
Allah
Ta'ala memerintahkan kepada semua muslim untuk bersabar. Sambil bersandar,
kepada muslim juga dianjurkan untuk bertakwa kepada Allah. Sabar dalam maksud
ini adalah untuk menahan diri dari maksiat. Menahan diri juga berarti menahan
diri dalam ketaatan. Sabar dalam Islam juga berarti berbuat dan bersabar.
Karena itu semua adalah bentuk takwa. Allah berdoa di dalam Al Quran, yaitu :
ا
ا الَّذِينَ ا اا ابِرُوا اا اتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ لِحُونَ
Hai
orang-orang yang percaya, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.
(QS. Ali Imran: 200)
Jenis Sabar dalam Islam
Ada
dua jenis sabar dalam Islam yang harus dimiliki oleh setiap umat muslim. Yaitu :
1.
Sabar dalam Menghadapi Musibah.
Takdir Allah ada dua macam, yaitu takdir
yang menyenangkan dan pahit (musibah). Bagi siapa pun yang mendapat baik, maka
bersyukur mendapat takdir. Sikap syukur juga merupakan bentuk ketaatan kepada
Allah Ta'ala. Tapi bagi yang sedang menghadapi musibah, seorang muslim harus
bersabar.
2.
Sabar untuk Tidak Bermaksiat.
Kesabaran yang membuat aktivitas
maksiat. Setiap hari pasti seorang muslim selalu mendapat godaan dari setan
untuk melakukan maksiat. Baik itu perbuatan dosa kecil hingga besar, seorang
muslim harusnya sabar untuk menahan diri. Dosa-dosa yang tidak sengaja
dilakukan seperti melihat yang tidak seharusnya dilihat dan menggunjing orang
lain termasuk perbuatan yang harusnya dihindari.
keutamaan sabar dalam islam
Kesabaran
dalam menghadapi musibah memang terasa pahit. Misalnya, seseorang kehilangan
harta atau orang tercinta meninggal dunia, Maka semua muslim harus bersabar.
Sabar dalam Islam saat menghadapi kesulitan adalah menahan diri dan tidak
menimbulkan kecemasan dan berlebihan secara lisan atau perbuatan.
Nasehat
dari Rasul saat menghadapi musibah bisa dipelajari dari hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik, beliau berkata,
النَّبِىُّ
– لى الله ليه لم – امْرَأَةٍ الَ « اتَّقِى اللَّهَ وَاصْبِرِى » . الَتْ لَيْكَ لَمْ
لَمْ . لَ لَهَا النَّبِىُّ – لى الله ليه لم – . ابَ النَّبِىِّ – لى الله ليه لم
– لَمْ ابِينَ الَتْ لَمْ . الَ « ا الصَّبْرُ الصَّدْمَةِ الأُولَى »
Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah melewati seorang wanita yang sedang
menangis di sisi kuburan. Lalu beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda,”Bertakwalah pada Allah dan waspadalah.” Kemudian wanita itu berkata,
“Menjauhlah dariku. sejatinya engkau belum pernah merasakan musibahku dan belum
mengetahuinya.” Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu bahwa orang yang
berkata tadi adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Kemudian wanita
tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Kemudian
dia tidak melihat seorang yang menahan dia masuk di rumah Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam. Kemudian wanita ini berkata, “Aku belum mengenalmu.” Lalu
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, ”Sesungguhnya namanya sabar adalah
di awal musibah.” (HR. Bukhari, No. 1283)
Pahala Sabar Dalam Islam
Dalam
Islam, semoga pahalanya besar. Pahala bagi yang berharap adalah surga. Tidak
ada ketidakseimbangan yang lebih baik dari itu. Dalam Al Quran, Allah Ta'ala
berfirman :
لْ
ا ادِ الَّذِينَ ا اتَّقُوا لِلَّذِينَ ا الدُّنْيَا اللَّهِ اسِعَةٌ ا الصَّابِرُونَ
ا
Katakanlah:
“Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang
baik di dunia ini memperoleh prestasi. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya
hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
(QS. Az-Zumar:10)
Yang
dimaksud dicukupkan adalah kesabaran seorang muslim tidak bisa ditimbang dan
ditakar. Oleh karena itu, ketidakseimbangan yang didapatkan orang yang sabar
adalah surga. Dalam hadits, Rasulullah membicarakan pahala orang sabar.
اءُ
احٍ الَ الَ لِى ابْنُ اسٍ لاَ امْرَأَةً لِ الْجَنَّةِ لْتُ لَى . الَ الْمَرْأَةُ
السَّوْدَاءُ النَّبِىَّ – لى الله ليه لم – الَتْ ادْعُ اللَّهَ لِى . الَ « لَكِ
الْجَنَّةُ اللَّهَ افِيَكِ » . ال . الَتْ ادْعُ اللَّهَ لاَ ا لَهَا
Dari
'Atho' bin Abi Robaah, ia berkata bahwa Ibnu 'Abbas berkata Anda, "Maukah
kutunjukkan wanita yang penduduk surga?" 'Atho menjawab, "Iya
mau." Ibnu 'Abbas berkata, “Wanita yang berkulit hitam ini, ia pernah
mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu ia pun berkata, “Aku
menderita penyakit ayan dan auratku sering terbuka karenanya. Berdoalah pada
Allah untukku.” Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pun mengatakan, “Jika mau
sabar, bagimu surga. Jika engkau mau, aku akan berdoa pada Allah agar menyembuhkanmu.”
Wanita itu pun berkata, “Aku memilih memilih.” Lalu ia berkata pula, “Auratku
biasa tersingkap (kala aku terkena ayan). berdoalah pada Allah agar auratku
tidak terbuka.” Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pun berdoa pada Allah untuk
wanita tersebut. (HR.Bukhari, No.5652)
pahala sabar dalam islam
Sabar
dalam Islam bisa berarti menghindari untuk tidak bermaksiat dan sabar saat
ditimpa musibah. Jika tidak mendapat cobaan, seharusnya bersyukur. Sedangkan
ketika kena musibah, Allah memerintahkan kita untuk sabar. Karena pahalanya
sabar sangat besar, yaitu surga. Di dalam Al Quran, Allah mengatakan bahwa Ia
bersama orang yang selalu siaga.
ا
ا الَّذِينَ ا اسْتَعِينُوا الصَّبْرِ الصَّلَاةِ اللَّهَ الصَّابِرِينَ
Hai
orang-orang yang percaya, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Baqarah: 153)
Makna Sabar
Sabar
(al-shabru) menurut bahasa artinya adalah menahan diri dari keluh kesah.
Menurut M. Quraish Shihab, sabar adalah menahan diri atau membatasi jiwa dari
keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau luhur. Lawan dari sabar
adalah keluh-kesah.
Menurut
Sukino dalam jurnal Konsep Sabar dalam Alquran dan Kontekstualisasinya dalam
Tujuan Hidup Manusia, sabar adalah: “Menahan diri dari sifat kegundahan dan
rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh
dari perbuatan yang tidak terarah”.
Beliau
juga menulis konsep sabar yang perlu diterapkan dalam kehidupan manusia, yaitu :
1.
Sabar
dalam beribadah.
2.
Sabar
ketika ditimpa malapetaka.
3.
Sabar
terhadap tipu daya dunia.
4.
Sabar
mengendalikan diri supaya jangan melakukan perbuatan maksiat.
5.
Sabar
dalam perjuangan dengan menyadari bahwa ada kalanya perjuangan mengalami masa
naik dan masa jatuh.
Keutamaan Sabar dalam Islam
Allah
SWT memerintahkan makhluk-Nya untuk sabar bukan tanpa alasan. Terdapat berbagai
manfaat sabar dalam Islam. Apa saja?
Mendapat
Pahala
Allah
berjanji akan menganugerahkan pahala kepada umat-Nya yang sabar. Hal ini
dijelaskan dalam Al Quran surat An Nahl ayat 96 yang berbunyi:
Apa
yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.
Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Makna dan Keutamaan Sabar Dalam Islam
Ketika
dihadapkan pada musibah, kita seringkali merasa sedih, bahkan emosi. Namun
apabila kita sabar dan memahami bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Allah
SWT, kita bisa mengambil hikmah dari ujian hidup.
Allah
SWT berfirman :
Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami
perintahkan kepadanya): ‘Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya
terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah’. Sesunguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang
penyabar dan banyak bersyukur. (QS Ibrahim:5).
Sabar
berasal dari kata “sobaro-yasbiru” yang artinya menahan. Dan menurut istilah,
sabar adalah menahan diri dari kesusahan dan menyikapinya sesuai syariah dan
akal, menjaga lisan dari celaan, dan menahan anggota badan dari berbuat dosa
dan sebagainya.
Pandangan Islam Tentang Sabar
Setelah
kita tahu tentang pengertian sabar maka kita pelajari tentang pandangan islam
tentang sabar. Sesuai pandangan islam Sabar itu ada berbagai macam, antara lain
:
1.
Sabar dalam menjalankan perintah Allah SWT.
Menahan diri kita agar tetap istiqomah
dalam menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT adalah bagian dari
perintah Allah SWT. Kita harus tetap sabar menjalankan itu semua, karena Allah
telah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang menjalankan perintah-Nya dengan
baik sesuai syariat yang telah Allah SWT turunkan. Mulai dari shalat, zakat,
puasa, dakwah, dan lain-lain. Itu semua harus kita jalani dengan sabar.
2.
Sabar dari apa yang dilarang Allah SWT.
Tenar sekali salah satu lagu yang
dinyanyikan oleh Raja Dangdut H.Rhoma Irama dimana ada sebagian liriknya yang
berbunyi “mengapa semua yang asik-asik, itu diharamkan? mengapa semua yang
enak-enak itu dilarang?” karena semua itu adalah memang godaan setan yang
merayu kita dengan kenikmatan-kenikmatan dunyawi. Semua kenikmatan itu hanya
semua, karena jalan yang ditunjukan oleh setan itu tidaklah berakhir kecuali di
neraka. Dan kita sebagi umat Islam harus bersabar dari apa yang dilarang oleh
Allah SWT. Yakinlah bahwa semua larangan itu pasti ada maksudnya. Tidaklah
Allah SWT melarang kita untuk berbuat dosa, kecuali dalam dosa itu pasti ada
sebuah kerugian yang akan didapat jika kita melakukannya.
3.
Sabar terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah SWT.
Jika ada salah satu dari kita
ditakdirkan dengan kondisi fisik yang kurang, maka kita juga harus tetap
bersabar. Karena bersabar dengan ketentuan Allah SWT merupakan salah satu dari
macam sabar. Dan balasan lain dari sabar kita itu adalah surga. Rasulallah SAW
bersabda: sesungguhnya Allah SWT berfirman“Jika hambaku diuji dengan kedua
matanya dan dia bersabar, maka Aku akan mengganti kedua matanya dengan surga”
(HR. Bukhori).
Hakikat Sabar
Sabar
adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba
akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam
menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala
sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id,
hal. 95).
Pengertian Sabar
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan
diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat
kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi
takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Macam-Macam Sabar
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi
menjadi tiga macam :
1.
Bersabar
dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.
2.
Bersabar
untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah.
3.
Bersabar
dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang
menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang
berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan
Di
dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan
sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan
bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.
Di
samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini.
Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan
berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana
diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar
dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu
mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani
semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih
kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga,
“Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah
juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan
kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al
Furqaan [25] : 75).
Selain
itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan
tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah
ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang
memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini
ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal.
375)
Sabar Dalam Ketaatan
Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh
Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang
yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar,
kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus
bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian,
mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain
sebagainya.
Semoga
Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak
akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam
shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari
orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh
darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan
kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul
wushul, hal. 12-13)
Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu
Syaikh
Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus
bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan
ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan
ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula
orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang
mereka.
Sehingga
gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan
fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di
zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang
sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita,
Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13).
Sabar Dalam Berdakwah
Syaikh
Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama
Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya,
karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah
bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah
ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa
melainkan pasti akan disakiti orang.”
Sehingga
jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak
di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan
perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As
Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula
jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya
para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut
bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka
semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi
mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.”
(Taisirul wushul, hal. 13-14)
Sabar dan Kemenangan.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman
kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka
mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga
disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).
Semakin
besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan.
Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang
(da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud.
Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah
kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga
menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu
termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka
wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap
konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama
Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam
menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para
Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan
dan perbuatan sekaligus.
Allah
ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun
yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah
tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah
‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada
musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]:
31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…”
(Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas Islam
Ingatlah
bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh
dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh
majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal.
122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh
Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang
sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah.
(Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah
keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya
untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum
bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin
Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus
nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan
agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah
kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh
berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku,
ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang
berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan
tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan
daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah
tauhid di masa silam.
Mereka
disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang
dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai
meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan
pilar keimanan mereka.
Ingatlah
firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
Ingatlah
juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya
akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari
jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan
dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran.
Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan
ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah
Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624).
(Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi Maksiat
Syaikh
Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari
kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena
bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya.
Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan
mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam
muhkam al-Qur’an.
Di
antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang
binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang
mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam
perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya
(dikutuk).”
Pentahqiq
kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah
ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di
antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara
mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada
yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami
tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi
merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
Bukankah
itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah
tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh
didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar
yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya
siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar
untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan
apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera
bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan
menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti
kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana
difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan
menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana
disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan
dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll,
dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal.
15-17)
Sabar Menerima Takdir
Syaikh
Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari
macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan
Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu
gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan
melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar
menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa,
anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut
ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar dan Tauhid
Syaikh
Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala
membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman
billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah
termasuk cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh
Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam
penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara
yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian
ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan
dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak
akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal
ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu),
atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga
berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba
supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat
penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi
larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang
dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa
hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan
melalui sarana keputusan takdir.
Adapun
ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam
firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di
dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala
berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku
menguji (manusia) dengan dirimu’.”
Maka
hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian.
Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian
yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan
larangan.
Untuk
melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk
meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat
menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan
bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya
sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari
maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena
amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah
maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau.
Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk
bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan
oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan
rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang
tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan
itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang
wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu
beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan
ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara
bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran”
(artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam
tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan.
Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Ia
disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak
berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan
untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi,
merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya:
Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan
dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain
semacamnya.
Imam
Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90
tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi
jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak
punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa
takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
Perkataan
beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri
karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi
takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana
kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka
dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan
bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan
penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan
bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran.
Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan.
Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan
sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa
menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)
Hukum Merasa Ridha Terhadap Musibah
Syaikh
Shalih Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala menjelaskan, “Hukum merasa ridha
dengan adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya
banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridha dengan sabar. Sedangkan
kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi
musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan.
Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan
tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah.
Adapun
ridha memiliki dua sudut pandang yang berlainan :
1.
Terarah
kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa ridha terhadap perbuatan
Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridha dan puas
dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah.
Dia merasa ridha terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla
wa ‘ala. Rasa ridha terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban
yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan
kesempurnaan tauhid (yang harus ada).
2.
Terarah
kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum
merasa ridha terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk
merasa ridha dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk
merasa ridha dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk
merasa ridha dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab
(disunnahkan). Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridha yang hukumnya
wajib) Alqamah mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang
tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah
maka diapun merasa ridha” yakni merasa puas terhadap ketetapan Allah “dan ia
bersikap pasrah”. Karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi
(perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At
Tamhiid, hal. 392-393)
Sabar dan Syukur
Dari
Abu Yahya Shuhaib bin Sinaan radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan
orang yang beriman, semua urusannya adalah baik. Tidaklah hal itu didapatkan
kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia tertimpa kesenangan maka
bersyukur. Maka itu baik baginya. Dan apabila dia tertimpa kesulitan maka dia
pun bersabar. Maka itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)
Syaikh
Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa manusia dalam menghadapi takdir Allah yang
berupa kesenangan dan kesulitan terbagi menjadi dua, yaitu kaum beriman dan
kaum yang tidak beriman.
Adapun
orang yang beriman bagaimanapun kondisinya selalu baik baginya. Apabila dia
tertimpa kesulitan maka dia bersabar dan tabah menunggu datangnya jalan keluar
dari Allah serta mengharapkan pahala dengan kesabarannya itu. Dengan demikian
dia memperoleh pahala orang-orang yang sabar. Maka ini baik baginya.
Sedangkan
apabila seorang mukmin menerima nikmat diniyah maupun duniawiyah maka dia
bersyukur yaitu dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah. Karena syukur bukan
saja mencakup ucapan syukur di mulut saja, akan tetapi harus dilengkapi dengan
melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah. Sehingga orang yang beriman
memiliki dua nikmat ketika mengalami kesenangan yaitu nikmat dunia dengan
merasa senang dan nikmat diniyah dengan bersyukur. Sehingga inipun baik bagi
dirinya.
Adapun
orang kafir, mereka berada dalam keadaan yang buruk sekali, wal ‘iyaadzu
billaah. Apabila tertimpa kesulitan mereka tidak mau bersabar, bahkan tidak mau
terima, memprotes takdir, mendoakan kebinasaan, mencela masa dan caci maki
lainnya.
Sedangkan
apabila mendapatkan kesenangan dia tidak bersyukur kepada Allah. Maka
kesenangan yang dialami oleh orang-orang kafir di dunia ini kelak di akhirat
akan berubah menjadi siksaan. Karena orang kafir itu tidaklah menyantap makanan
atau menikmati minuman kecuali dia pasti mendapatkan dosa karenanya. Meskipun
hal itu bagi orang mukmin tidak dinilai dosa, akan tetapi lain halnya bagi
orang kafir.
Hal
ini sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala yang artinya, “Katakanlah:
Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah dan rezeki yang baik-baik yang
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Katakanlah: itu semua adalah untuk
orang-orang yang beriman di dalam kehidupan dunia yang akan diperuntukkan untuk
mereka saja pada hari kiamat.” (QS.Al A’raaf [7]: 32).
Sehingga
semua rezeki tersebut diperuntukkan bagi kaum beriman saja pada hari kiamat
nanti. Adapun orang-orang yang tidak beriman maka nikmat itu bukan menjadi hak
mereka. Mereka memakannya padahal itu haram bagi mereka dan pada hari kiamat
nanti mereka akan disiksa karenanya. Sehingga bagi orang kafir kesenangan
maupun kesulitan adalah sama-sama buruknya, wal ‘iyaadzu billaah. (Lihat Syarh
Riyadhush Shalihin, I/107-108)
Hikmah di Balik Musibah
Dari
Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan
hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada
hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat
hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di dalam Az Zuhud.
Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan
gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376
dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220).
Syaikhul
Islam mengatakan, “Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat. Karena ia
menjadi sebab dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga
orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan
sikap kembali taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta
memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai maslahat
agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah
sebagai sebab penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang
paling agung. Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat
bagi keseluruhan makhluk, kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang
tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada
maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia
menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang menimpa
agamanya.”
“Sesungguhnya
ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit
atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam
dirinya, atau bahkan penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian
kewajiban yang dibebankan padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang
diharamkan sehingga berakibat semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang
semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila ditilik dari sisi dampak
yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi musibahnya itu
sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan sikap
sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam
ini sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi dengan
perbuatan Rabb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah
ta’ala maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji
dengan suatu musibah lantas diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar
itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus karenanya maka muncullah
sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah).
Dan
apabila dia memuji Rabbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan
memperoleh pujian-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian
(shalawat) dari Rabb mereka dan memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqarah
[2]: 156) Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu
pula derajatnya pun akan terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang
hukumnya wajib ini niscaya dia akan memperoleh balasan-balasan tersebut”
Selesai perkataan Syaikhul Islam, dengan ringkas. (Lihat Fathul Majiid, hal.
353-354)
Doa Apabila Tertimpa Musibah
Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, Allahumma’jurnii fii mushiibatii wa ahklif
lii khairan minhaa
Artinya:
“Sesungguhnya kita adalah milik Allah. Dan kita pasti akan kembali kepada-Nya.
Ya Allah, berikanlah ganjaran pahala atas musibah hamba. Dan gantikanlah ia
dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim, 2/632. lihat Hishnul
Muslim, hal. 96-97)
Pertanyaan
: Apabila ada seseorang yang terkena suatu penyakit atau tertimpa suatu bencana
yang berakibat buruk bagi diri atau hartanya, lalu bagaimanakah cara untuk
mengetahui bahwa bencana itu merupakan ujian ataukah kemurkaan dari sisi Allah
?
Syaikh
Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab, “Allah ‘azza wa jalla
menguji hamba-hamba-Nya dengan bentuk kesenangan dan kesulitan, dengan
kesempitan dan kelapangan. Terkadang dengan hal itu Allah menguji mereka supaya
bisa menaikkan derajat mereka serta meninggikan sebutan mereka dan juga demi
melipatgandakan kebaikan-kebaikan mereka. Yang demikian itu sebagaimana yang
dialami oleh para Nabi dan Rasul ‘alaihimush shalatu was salaam, dan juga para
hamba Allah yang shalih. Sebagaimana sudah disabdakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Orang yang paling berat cobaannya adalah para Nabi,
kemudian diikuti oleh orang-orang lain yang berada di bawah tingkatan mereka.”
Dan
terkadang Allah juga menimpakan hal itu disebabkan oleh perbuatan-perbuatan maksiat
dan dosa-dosa (yang mereka lakukan). Sehingga dengan demikian maka bencana itu
merupakan hukuman yang di segerakan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah
Yang Mahasuci yang artinya, “Dan musibah apapun yang menimpa kalian maka itu
terjadi karena ulah perbuatan tangan-tangan kalian, dan Allah memaafkan banyak
kesalahan orang.” (QS. Asy Syura [42]: 30).
Adapun
kondisi sebagian besar umat manusia yang ada ialah fenomena taqshir/meremehkan
dan tidak menunaikan kewajiban yang telah dibebankan. Oleh karena itu musibah
yang menimpa dirinya maka itu sesungguhnya timbul dikarenakan dosa-dosa yang
diperbuatnya serta kekurangannya sendiri dalam menjalankan perintah Allah.
Sedangkan
apabila yang mengalami musibah adalah termasuk golongan hamba Allah yang shalih,
entah berupa penyakit tertentu ataupun musibah yang lainnya, maka sesungguhnya
hal ini termasuk kategori ujian yang diberikan kepada kalangan para Nabi dan
Rasul dalam rangka mengangkat derajat serta membesarkan balasan pahalanya. Dan
juga dia bisa menjadi contoh untuk orang lain dalam hal kesabaran dan
keyakinannya untuk berharap pahala. Sehingga hasil yang ingin diraih dengan
sebab terjadinya musibah ialah terangkatnya derajat, peningkatan pahala,
sebagaimana halnya musibah yang ditetapkan oleh Allah menimpa para Nabi dan
sebagian orang yang baik/shalih.
Dan
bisa juga hal itu terjadi demi menghapuskan dosa kesalahan-kesalahan,
sebagaimana tercantum dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Barang siapa
yang melakukan kejelekan pasti akan dibalas.” (QS. An Nisaa’ [4] : 123).
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada sebuah kesusahan,
kekalutan, keletihan, penyakit, kesedihan maupun gangguan yang menimpa seorang
mukmin melainkan Allah pasti menghapuskan sebagian dosa
kesalahan-kesalahannnya, bahkan sampai duri yang menusuk bagian tubuhnya.” Dan
sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang diinginkan baik
oleh Allah maka pasti Dia timpakan musibah kepadanya.”
Namun
terkadang bisa juga hal itu merupakan hukuman yang di segerakan disebabkan
perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan dan kelambatan diri dalam bertaubat.
Hal itu sebagaimana diceritakan di dalam sebuah hadits dari beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi
hamba-Nya maka Allah segerakan hukuman baginya di alam dunia. Sedangkan apabila
Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka Allah menahan hukuman atas dosa
itu hingga terbayarkan kelak pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, dinilainya
hasan). (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah juz 4, diterjemahkan dari
website beliau)
Marah Saat Tertimpa Musibah
Pertanyaan:
Apa hukumnya orang yang marah tatkala tertimpa musibah ?
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjawab, “Orang ketika menghadapi
musibah terbagi dalam empat tingkatan :
1.
Tingkatan
Pertam Marah.
Tingkatan ini meliputi beberapa macam
keadaan :
Kondisi pertama; ia menyimpan perasaan
marah di dalam hati kepada Allah. Sehingga dia pun menjadi marah terhadap apa
yang sudah diputuskan Allah. Hal ini adalah haram. Bahkan terkadang bisa
menjerumuskan pelakunya ke dalam kekafiran. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah di pinggiran.
Apabila dia tertimpa kebaikan dia pun merasa tenang. Dan apabila dia tertimpa
ujian maka dia pun berbalik ke belakang, hingga rugilah dia dunia dan akhirat.”
(QS. Al Hajj [22]: 11).
Kondisi kedua; kemarahannya
diekspresikan dengan ucapan. Seperti dengan mendoakan kecelakaan dan kebinasaan
atau ucapan semacamnya, ini juga haram. Kondisi ketiga; kemarahannya sampai
meluap sehingga terekspresikan dengan tindakan anggota badan. Seperti dengan
menampar-nampar pipi, merobek-robek kain pakaian, mencabuti rambut dan
perbuatan semacamnya. Perbuatan ini semua haram hukumnya dan meniadakan sifat
sabar yang wajib ada.
2.
Tingkatan
Kedua Bersabar.
Hal ini sebagaimana digambarkan oleh
seorang penyair dalam syairnya,.
Sabar itu memang seperti namanya
Pahit kalau baru dirasa
Tapi buahnya yang ditunggu-tunggu
Jauh lebih manis daripada madu.
Dia melihat bahwa musibah ini adalah
sesuatu yang sangat berat akan tetapi dia tetap bisa tabah dalam menanggungnya.
Dia merasa tidak senang atas kejadiannya. Namun imannya masih bisa menjaganya
untuk tidak marah. Sehingga terjadi atau tidaknya musibah itu masih terasa
berbeda baginya. Dan hal ini adalah tingkatan yang wajib. Sebab Allah ta’ala
telah memerintahkan untuk bersabar. Allah berfirman yang artinya, “Bersabarlah
kalian. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Alnfaal
[8]: 46).
3.
Tingkatan
Ketiga Merasa Ridha.
Yaitu seseorang bisa merasa ridha dengan
musibah yang menimpanya. Sehingga ada dan tidaknya musibah adalah sama saja
baginya. Dia tidak merasakannya sebagai sebuah beban yang sangat berat. Ini
adalah tingkatan yang sangat dianjurkan/mustahab, dan bukan hal yang wajib
menurut pendapat yang kuat. Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan
sebelumnya cukup jelas. Yaitu karena dalam tingkatan ini ada tidaknya musibah
itu terasa sama saja dalam hal keridhaan terhadapnya. Adapun dalam tingkatan
sebelumnya terjadinya musibah itu masih dirasakan sebagai sesuatu yang sukar
baginya, namun dia masih tetap bersabar.
4.
Tingkatan
Keempat Bersyukur.
Inilah tingkatan yang tertinggi. Yaitu
dengan justru bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya. Dia sadar
bahwa pada hakikatnya musibah adalah faktor penyebab terhapusnya dosa-dosanya,
bahkan terkadang bisa menjadi sumber penambahan amal kebaikannya. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada sebuah musibah pun yang menimpa
seorang muslim, kecuali pasti Allah hapuskan (dosanya) dengan sebab musibah
itu, bahkan sekalipun duri yang menusuknya.” (HR. Bukhari (5640) dan Muslim
(2572)). (Diterjemahkan dengan penyesuaian redaksional dari Fatawa Arkanil
Islam, hal. 126-127)
Balasan Bagi Orang yang Sabar
Allah
ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit
rasa takut, kelaparan serta kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka
berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang
apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami ini berasal dari
Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya”. Mereka itulah orang-orang yang
akan mendapatkan ucapan shalawat (pujian) dari Tuhan mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang memperoleh hidayah.” (QS. Al Baqarah [2]: 155-157).
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya,
“Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak
menerima lawan darinya, berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta
kerugian. Betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini. Betapa kecilnya
keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar bila dibandingkan dengan
besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang yang protes dan
tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76)
Allah
ta’ala juga berfirman yang artinya, “Sesungguhnya balasan pahala bagi
orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar [39]: 10).
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab
tafsirnya,”Ayat ini berlaku umum untuk semua jenis kesabaran. Sabar dalam
menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah
karenanya. Sabar dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang
di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya, sehingga dia pun
merasa lapang dalam melakukannya.
Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa
hitungan, artinya tanpa batasan tertentu maupun angka tertentu ataupun ukuran
tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa diraih kecuali disebabkan karena begitu
besarnya keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi Allah, dan
menunjukkan pula bahwa Allah lah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir
Rahman, hal. 721)
Surga
Bagi Orang yang Sabar
Allah
ta’ala berfirman yang artinya, “(yaitu) Surga ‘Adn yang mereka masuk ke
dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya,
istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke
tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum
bima shabartum” (Keselamatan atas kalian sebagai balasan atas kesabaran
kalian). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. Maka alangkah baiknya
tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra’d: 23-24).
Kata-Kata Bijak tentang Sabar dalam Menjalani
Kehidupan
1.
Seseorang
yang tak pernah sabar akan memilih untuk mudah berbicara tanpa batasan dan tak
pernah berpikir apa yang akan terjadi setelah itu.
2.
Kita
menjadi dewasa karena masalah-masalah yang datang kepada kita. Masalah-masalah
yang akan membuat kita menjadi lebih sabar dan kuat.
3.
Sabar
bukanlah kemampuan untuk menunggu, tapi kemampuan untuk menjaga sikap yang baik
ketika sedang menunggu.
4.
Sabar
akan membuat Anda pelan dalam berbicara dan mudah untuk mendengarkan. Dengan
begitu, Anda akan mudah untuk menghadapi permasalahan.
5.
Bersabarlah,
semuanya dimulai dengan fase yang berat sebelum semuanya menjadi mudah.
6.
Jalan
terbaik untuk menjadi dewasa adalah dengan menggunakan kesabaran di setiap
waktu ketika kamu menghadapi masalah masalah.
7.
Jadikan
kesabaran sebagai penolong ketika menghadapi masalah. Terkadang, sabar akan
membawa jalan untuk menjawab semua permasalahan.
8.
Kesabaran
ialah tanpa batas. Tapi, ada orang orang yang membuat kesabaran memiliki batas.
Sebenarnya, merekalah yang tidak sabar sama sekali.
9.
Permasalahan
tidak akan menjadi lebih besar jika Anda menghadapinya dengan penuh kesabaran.
10.
Selalu
mendoakan apa yang terbaik untukmu dan bersabarlah untuk menunggu sampai
semuanya terjadi padamu.
11.
Makin
kamu bertanya berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan, makin lama perjalanannya.
12.
Setiap
impian yang hebat dimulai oleh seorang pemimpi. Selalu ingat bahwa kamu
memiliki kekuatan, kesabaran, dan gairah di dalam dirimu untuk meraih bintang
untuk mengubah dunia.
13.
Jangan
mengharapkan hal-hal berjalan dengan benar untuk pertama kalinya, bersabarlah.
14.
Kesabaran
bukan sekadar kemampuan untuk menunggu, itu tentang bagaimana kita bersikap
ketika sedang menunggu.
15.
Kunci
dari segala sesuatu adalah kesabaran. Kamu memperoleh ayam dengan mengeramkan
telur, bukan dengan memecahkannya.
16.
Kesabaran
adalah suatu kebajikan.
17.
Makin
banyak kamu mengenal dirimu sendiri, makin banyak kesabaran yang kamu miliki
untuk apa yang kamu lihat di dalam diri orang lain.
18.
Miliki
kesabaran. Semua hal akan sulit sebelum menjadi mudah.
19.
Kita
tidak akan pernah bisa belajar untuk menjadi berani dan sabar jika hanya ada
kegembiraan di dunia ini.
20.
Karakter
yang baik tidak dibentuk dalam satu minggu atau satu bulan. Itu dibuat sedikit
demi sedikit, hari ke hari. Usaha yang sabar dan berkepanjangan dibutuhkan untuk
membentuk karakter yang baik.
21.
Bersabar
dan mengerti. Hidup terlalu singkat untuk mendendam dan dengki.
22.
Kesabaran
itu dibutuhkan, dan orang tidak dapat menuai segera di mana dia telah menabur.
23.
Kesabaran,
ketekunan, dan keringat menghasilkan kombinasi kesuksesan yang tak terkalahkan.
24.
Dia
yang dapat memiliki kesabaran, dapat memiliki yang dia inginkan.
25.
Kesabaran
itu pahit, namun buahnya manis.
26.
Apa
yang mungkin tidak dapat diubah, menjadi lebih ringan dengan kesabaran.
27.
Obat
melawan saat-saat sulit adalah memiliki kesabaran terhadapnya.
28.
Bersabarlah
dan kuatlah. Suatu hari nanti cobaan ini akan bermanfaat bagimu.
29.
Pertama,
mereka mengabaikanmu. Kemudian mereka menertawakanmu. Lalu, mereka melawanmu.
Maka, Anda menang.
30.
Seseorang
yang menguasai kesabaran adalah pengusaha dalam segala hal lainnya.